Parhelion

Parhelion

Prolog

Prolog

Aku mempercepat langkahku yang mulai gontai, nafasku hampir habis, keringat bercucuran bercampur dengan air mata. Rasa takut yang teramat sangat, selama ini hanya dialami oleh tokoh utama dalam setiap drama yang aku tonton, dan sekarang, aku benar-benar merasakannya. Berulang kali aku berusaha meyakinkan bahwa aku sedang bermimpi buruk, dan berharap ada orang yang membangunkanku. Lalu, aku akan bernafas lega di tempat tidurku, sambil meneguk segelas air putih, kemudian kembali tertidur, melanjutkan mimpi yang berganti mimpi indah. Namun, perasaan dan keadaan ini terlalu terasa nyata, untuk disebut sebagai mimpi. Kakiku rasanya seperti akan lepas dari persendian, dengan terseok dan sisa tenaga yang aku punya, aku berusaha mencari pertolongan.

Suara itu semakin jelas aku dengar, sepertinya ia tepat ada di belakangku. Samar-samar aku mendengar suara langkah yang semakin mendekat, disertai gelak tawa yang seolah mengejek. Aku tidak sempat mengingat, bagaimana aku bisa sampai di tempat ini? Tempat yang sama sekali tidak aku kenali. Lorong gedung yang aku susuri, anak tangga yang aku lewati, besi-besi berkarat, serta bau sampah yang cukup menyengat. Tembok-tembok berlumut seolah menatap tajam, memperhatikanku yang cukup kebingungan mencari pintu keluar.

Jarak pandangku terbatas, karena gelap yang begitu pekat. Seluruh bulu kudukku merinding, sepertinya aku sudah hampir menemui kematianku, ketika aku mendapati darah segar mengalir dari luka di kaki dan wajahku, hingga aku hampir kehilangan kesadaranku, tetapi aku tetap berusaha bertahan dengan sisa tenaga yang aku punya. Perlahan aku melepas sepatuku untuk meringankan langkah, agar bisa sedikit lebih cepat, tetapi luka di kakiku tetap menghalanginya. Darah segar terus mengalir, lukaku semakin menganga. Rasa sakit aku tahan dengan susah payah, sambil terus memohon, jika ini bukan mimpi, maka tolong kirimkan seseorang untuk menolongku.

Aku merogoh ponselku, dan mencoba menghidupkannya kembali. Sebisa mungkin, aku harus berusaha untuk bertahan. Jika aku harus mati sekarang, paling tidak, ada seseorang yang menemukan mayatku.

“Aku mohon, tidakkah kau membaca pesanku?” kataku sambil terus berlari. Luka dan darah yang mengalir tidak lagi aku hiraukan. Jejak noda tertinggal dalam setiap jengkal yang aku lewati. Orang-orang itu akan lebih mudah menemukanku. Untuk sesaat aku merasa percuma bersembunyi.

“Argghhhh, aku tidak kuat lagi” aku jatuh tersungkur, dan tanpa terasa, aku sudah sampai di atap gedung. Petir tiba-tiba menyambar keras, diiringi hujan yang begitu deras hingga membasahi seluruh luka di tubuhku. Perih. Aku memejamkan mataku, mungkin ini saat tiba ajalku. Aku pasrah. Tarikan nafasku mulai terdengar melemah, tanganku terasa kelu. Dalam diam dan kepasrahanku, seseorang berjalan ke arahku. Dengan sedikit memicingkan mataku yang mulai nanar, aku memastikan bahwa aku mengenal sosok itu.

“Kaukah itu?” tanyaku sambil tersenyum dan sedikit bernafas lega. Ya, mungkin belum saatnya aku mati. Sosok itu menatapku dari bawah payungnya. Hatiku bersorak, malaikat penyelamatku telah datang. “Kau, membaca pesanku? Kau datang untuk menyelamatkanku?” kataku lagi, dengan susah payah berusaha berdiri. Sosok itu diam tak bergeming, matanya menatap lurus ke arahku.

“Kau sudah memanggil bantuan? Polisi?” kataku dengan terengah menahan luka yang semakin terasa nyeri.

“Ah, kalian di sini. Kau menemukannya lebih dahulu? Sekarang lakukan tugasmu...”

Aku menggeleng tidak percaya. Saat ini aku benar-benar tersudut dan tidak bisa berpikir jernih. Tanpa pikir panjang, aku langsung naik ke pembatas pagar. Tidak ada pilihan lain, bertahan atau melompat, aku tetap akan mati. Perlahan aku mundur beberapa langkah. Aku seolah melihat malaikat pencabut nyawa tepat berada di hadapanku. Aku tidak bisa kemana-mana, kali ini, setiap langkah yang aku tuju adalah gerbang kematian.

“Jangan mendekat, atau aku akan lompat...” kataku dengan nada mengancam. Kakiku gemetar. Dengan sedikit sisa keberanian yang aku punya, aku melihat ke bawah. Cukup tinggi juga. Jika aku melompat, kemungkinan aku hidup mungkin hanya sepersekian persen. Tetapi, bukankah keajiban selalu ada disetiap kemungkinan terkecil sekalipun?

“Jangan, Monnaire, aku mohon jangan melompat”

“Kau sudah gila” kataku dengan nafas tersengal. Aku mulai kesulitan bernafas. Tubuhku terasa sangat lemas, mungkin karena aku sudah kehabisan banyak darah.

“Ya, memang aku sudah gila. Dan kau yang menyebabkan semua kegilaan ini. Kau pikir, aku benar-benar memintamu untuk jangan melompat? Hahahahaha” tawa membahana memecah keheningan. Aku benar-benar seperti seekor rusa yang siap dimangsa oleh sekawanan singa lapar.

“Terlalu mudah bagimu Monnaire, untuk mati karena dirimu sendiri. Oleh karena itu, aku tidak membiarkanmu melompat. Kau harus mati atas keinginanku. Hei, cepat lakukan tugasmu. Ini saatnya Nona Muda kita mati”

“Monnaire, maafkan aku...Aku harus melakukan ini”

Aku mundur perlahan, mencoba mencari celah dengan bernegosiasi. Aku yakin, mereka menginginkan sesuatu dariku. “Tolong, jangan bunuh aku. Aku... Aku akan memberikan apapun yang kalian inginkan”.

“Apapun? Kau yakin?”

“Ya, aku akan memberikan apapun itu” kataku dengan penuh harap.

“Tidak. Justru, jika dengan membiarkanmu hidup, aku akan kehilangan apa yang aku inginkan. Sampai jumpa di neraka, Monnaire. Tidak perlu menungguku, karena aku akan lama sampai di sana”

Suara tembakan terdengar keras, bersahutan dengan suara petir yang menggelegar. Kilatan cahaya itu terasa begitu dekat. Aku sempat berpegangan pada sesuatu, namun akhirnya terlepas, karena aku kehabisan tenaga.

Secepat kilat tubuhku terlempar dengan dorongan kuat. Meski sempat berpegangan pada pagar pembatas, namun akhirnya aku menyerah juga. Tubuhku melayang diantara rimbun dedaunan. Gelap dan dingin menyelimuti, menjalar hingga urat nadi. Ranting pohon yang bertautan, satu persatu seolah menyambut kedatanganku, mengiringi irama kematian yang menjemputku perlahan.

Aku tidak pernah membayangkan akan berakhir seperti ini. Aku selalu merasa bahagia, dan berpikir bahwa hidupku benar-benar sempurna, dan jika nanti aku mati, aku akan mati di atas ranjang yang hangat, serta dikelilingi orang-orang yang menyayangiku. Akhir yang seperti ini, tidak pernah sekalipun aku harapkan, bahkan terbesit dalam mimpi buruk pun tidak. Dalam akhir nafasku, sekelibat pikiran menyapaku, aku ingin hidup sekali lagi.

********

Suara letusan tembakan kembali membangunkan tidurku yang tak pernah nyenyak. Rasa mual dan sakit menyeruak hingga ke tenggorokan, nafasku tercekat, leherku terasa tercekik, hingga aku kesulitan mengeluarkan suara. Rasa takut itu seketika kembali menyelimuti bayanganku. Suara itu, langkah itu, tawa serta ejekan sorak sorai yang memenuhi kepalaku. Aku takut.

Dengan gemetar, aku meraih gelas dan obat penenang yang tersusun di atas meja, di samping tempat tidurku. Satu, dua, tidak, itu tidak akan cukup menghilangkan rasa cemasku. Beberapa butir obat penenang langsung aku tenggak. Aku tidak ingin memikirkan efek sampingnya, yang aku ingin, penderitaan ini benar-benar bisa lenyap.

Selalu saja begini, meski aku sudah melewati kejadian itu berbulan-bulan lamanya. Entah aku harus bahagia atau berduka, karena kali ini Tuhan mendengar doaku. Doa yang kuucapkan disisa akhir waktuku dalam rasa pasrah bercampur dendam. Aku hidup sekali lagi. Tidak, lebih tepatnya, aku masih diberi kesempatan hidup, untuk menjalani keadaan yang sama sekali berbeda.

“Kau sudah bangun? Apa kau bermimpi buruk lagi?”

Seorang wanita cantik menghampiriku dengan senyum lembut di balik semburat merah lipstiknya yang terang menyala. Seperti biasa, setiap pagi ia selalu mengecek keadaanku, sambil membawakanku sarapan pagi atau minuman hangat. Dia adalah Lauricie, wanita yang menyelamatkanku. Umurnya mungkin sama dengan ibuku, meski wajahnya terlihat jauh lebih muda dari ibu. Setiap harinya, Lauricie selalu menggunakan riasan tebal. Pipi merona, garis mata yang dibuat tegas, serta alis tebal yang dicukur rapi, seolah dibuat untuk semakin menonjolkan kecantikannya. Meski riasannya tebal, namun tetap membuatnya tampak elegan. Lauricie seolah memancarkan pesona wanita berkelas. Bagiku, Lauricie terlihat seperti seorang permaisuri yang ada dalam cerita komik kerajaan.

Lauricie ingin aku memanggilnya dengan sebutan Mom, meski aku masih belum terbiasa. Dengan wajahnya yang seperti itu, aku merasa lebih pantas memanggilnya Kakak. Ya, aku serius. Jika orang lain melihat kami berdua berdampingan, mereka pasti akan lebih percaya kalau Lauricie adalah kakakku.

“Minumlah, ini akan menyegarkan pikiranmu. Aku memetik sendiri bunga kamomil ini di kebun belakang” Lauricie menaruh secangkir teh panas di depanku, uap dan aromanya seketika menyeruak hidungku. Ah, segar sekali.

“Liberty biasanya selalu meminum teh kamomil setiap bangun pagi. Dia bilang, kamomil adalah simbol kelahiran kembali. Jadi, dia merasa lahir kembali, setelah minum teh kamomil” kata Lauricie sambil tersenyum tipis.

Aku meraih cangkirku perlahan, sambil menatap sekilas pigura yang tersusun rapi di atas meja. Liberty, gadis itu tersenyum dalam setiap potretnya. Sepertinya, ia adalah gadis yang ceria.

“Jadi, apa kau sudah memutuskan?” tanya Lauricie mengejutkan lamunanku. Aku menghela nafas panjang. “Kau selalu saja menanyakan hal ini” kataku sambil membiarkan angin pagi membelai wajahku. Rasanya hangat. Ini adalah angin musim semi yang selalu aku rindukan.

“Aku tidak akan berhenti menanyakan ini, hingga kau membuat keputusanmu” kata Lauricie sambil meletakan cangkirnya. “Apakah kau ingin terus merasakan ketakutan dan kecemasan seperti ini, lalu membiarkan mereka hidup tenang?” kata Lauricie lagi.

Aku terdiam dalam bimbang. Aku takut keputusanku salah, dan malah semakin menjerumuskanku dalam derita berkepanjangan. Lauricie menatapku lekat-lekat. Kemudian dia membuka ponselnya, dan menunjukan sesuatu padaku. Mataku terbelalak kaget. Aku tak kuasa membendung air mataku dan menangis sejadi-jadinya.

Lauricie memelukku dengan lembut tanpa berkata apa-apa, dan tangisku makin pecah. “Menangislah, hingga kau puas” katanya lirih. Lauricie menepuk bahuku, dan melepaskan pelukannya perlahan. “Maafkan aku, seharusnya aku tidak memaksamu. Ini pasti membuatmu merasa sangat tersiksa” kata Lauricie, matanya seolah menunjukan penyesalan. Ia kemudian berdiri, dan melangkah keluar dari kamarku.

Tanpa terasa, hari sudah menjelang sore, sepertinya aku tidur cukup lama. Mataku masih terlihat sembab. Sinar matahari senja menyelinap masuk melalui celah jendela. Aku ingat, ibuku sangat menyukai suasana sore yang hangat seperti ini. Aku memejamkan mataku sesaat, dan perlahan aku melangkah menuju taman belakang. Saat sore hari seperti ini, Lauricie biasanya sedang ada di sana, menyirami tanamannya, atau memetik bunga-bunga segar untuk ditaruh di dalam vas.

Lauricie langsung menoleh ke arahku, begitu aku datang. Ia tersenyum menyambutku. Dengan agak berat, aku mulai membuka suara. “Aku, sudah mengambil keputusan”

Lauricie mengangguk. “Ya, apapun itu, aku akan mendengarnya” kata Lauricie sambil meletakan alat penyiram di sampingnya. “Tentu saja. Ini agak berat, tetapi aku yakin, pertemuan kita, bukan suatu kebetulan” katanya lagi.

“Baiklah, aku sudah memutuskannya. Selanjutnya, mari kita saling membantu” kataku dengan senyum mantap.

Aku yakin keputusanku tidak salah. Tuhan telah memberikanku kesempatan untuk hidup, dan aku tidak akan menyia-nyiakannya dengan hanya terpaku dan bersembunyi dalam ketakutanku. Hidupku yang baru sudah hampir dimulai. Tunggu aku. Kita akan berjumpa di neraka, seperti yang kalian ucapkan sebagai salam perpisahan kepadaku. Tetapi kali ini, aku pastikan, kalian yang akan lebih dulu menuju tempat itu.

“Baiklah...” Lauricie bangkit dari duduknya dan mengambil cermin, lalu membawanya kepadaku. “Katakan selamat tinggal pada Monnaire, mulai hari ini, Monnaire benar-benar mati”

\*\*\*\*\*\*\*

Episodes
1 Prolog
2 Part 1 - Legacy
3 Part 2 - Mutualism
4 Part 3 - Taken (1)
5 Part 3 - Taken (2)
6 Part 3 - Taken (3)
7 Part 3 - Taken (4)
8 Part 3 - Taken (5)
9 Part 3 - Taken (6)
10 Part 3 - Taken (End)
11 Part 4 - Pengkhianat (1)
12 Part 4 - Pengkhianat (2)
13 Part 4 - Pengkhianat (3)
14 Part 4 - Pengkhianat (End)
15 Part 5 - Aku Yang Baru (1)
16 Part 5 - Aku Yang Baru (2)
17 Part 5 - Aku Yang Baru (3)
18 Part 5 - Aku Yang Baru (4)
19 Part 5 - Aku Yang Baru (5)
20 Part 5 - Aku Yang Baru (End)
21 Special Part
22 Part 6 - Parhelion
23 Part 7 - Iblis Yang Sebenarnya (1)
24 Part 7 - Iblis Yang Sebenarnya (2)
25 Part 7 - Iblis Yang Sebenarnya (3)
26 Part 7 - Iblis Yang Sebenarnya (4)
27 Part 7 - Iblis Yang Sebenarnya (End)
28 Part 8 - Orang Yang Dipercaya
29 Part 9 - Kebetulan dan Keberuntungan
30 Part 10 - Teman?
31 Part 11 - Sekutu Yang Dipaksa (1)
32 Part 11 - Sekutu Yang Dipaksa (2)
33 Part 11 - Sekutu Yang Dipaksa (3)
34 Part 11 - Sekutu Yang Dipaksa (End)
35 Part 12 - Cepat Atau Lambat
36 Part 13 - Kehidupan dan Kematian
37 Part 14 - The War (1)
38 Part 14 - The War (2)
39 Part 14 - The War (3)
40 Part 14 - The War (4)
41 Part 14 - The War (End)
42 ucapan Terimakasih dan dukungan
43 Part 15 - Yang Tersembunyi (1)
44 Part 15 - Yang Tersembunyi (2)
45 Part 15 - Yang Tersembunyi (3)
46 Part 15 - Yang Tersembunyi (4)
47 Part 15 - Yang Tersembunyi (End)
48 Part 16 - Planning (1)
49 Part 16 - Planning (2)
50 Part 16 - Planning (3)
51 permohonan maaf
52 Mohon maaf sekali lagi
Episodes

Updated 52 Episodes

1
Prolog
2
Part 1 - Legacy
3
Part 2 - Mutualism
4
Part 3 - Taken (1)
5
Part 3 - Taken (2)
6
Part 3 - Taken (3)
7
Part 3 - Taken (4)
8
Part 3 - Taken (5)
9
Part 3 - Taken (6)
10
Part 3 - Taken (End)
11
Part 4 - Pengkhianat (1)
12
Part 4 - Pengkhianat (2)
13
Part 4 - Pengkhianat (3)
14
Part 4 - Pengkhianat (End)
15
Part 5 - Aku Yang Baru (1)
16
Part 5 - Aku Yang Baru (2)
17
Part 5 - Aku Yang Baru (3)
18
Part 5 - Aku Yang Baru (4)
19
Part 5 - Aku Yang Baru (5)
20
Part 5 - Aku Yang Baru (End)
21
Special Part
22
Part 6 - Parhelion
23
Part 7 - Iblis Yang Sebenarnya (1)
24
Part 7 - Iblis Yang Sebenarnya (2)
25
Part 7 - Iblis Yang Sebenarnya (3)
26
Part 7 - Iblis Yang Sebenarnya (4)
27
Part 7 - Iblis Yang Sebenarnya (End)
28
Part 8 - Orang Yang Dipercaya
29
Part 9 - Kebetulan dan Keberuntungan
30
Part 10 - Teman?
31
Part 11 - Sekutu Yang Dipaksa (1)
32
Part 11 - Sekutu Yang Dipaksa (2)
33
Part 11 - Sekutu Yang Dipaksa (3)
34
Part 11 - Sekutu Yang Dipaksa (End)
35
Part 12 - Cepat Atau Lambat
36
Part 13 - Kehidupan dan Kematian
37
Part 14 - The War (1)
38
Part 14 - The War (2)
39
Part 14 - The War (3)
40
Part 14 - The War (4)
41
Part 14 - The War (End)
42
ucapan Terimakasih dan dukungan
43
Part 15 - Yang Tersembunyi (1)
44
Part 15 - Yang Tersembunyi (2)
45
Part 15 - Yang Tersembunyi (3)
46
Part 15 - Yang Tersembunyi (4)
47
Part 15 - Yang Tersembunyi (End)
48
Part 16 - Planning (1)
49
Part 16 - Planning (2)
50
Part 16 - Planning (3)
51
permohonan maaf
52
Mohon maaf sekali lagi

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!