NovelToon NovelToon

Parhelion

Prolog

Prolog

Aku mempercepat langkahku yang mulai gontai, nafasku hampir habis, keringat bercucuran bercampur dengan air mata. Rasa takut yang teramat sangat, selama ini hanya dialami oleh tokoh utama dalam setiap drama yang aku tonton, dan sekarang, aku benar-benar merasakannya. Berulang kali aku berusaha meyakinkan bahwa aku sedang bermimpi buruk, dan berharap ada orang yang membangunkanku. Lalu, aku akan bernafas lega di tempat tidurku, sambil meneguk segelas air putih, kemudian kembali tertidur, melanjutkan mimpi yang berganti mimpi indah. Namun, perasaan dan keadaan ini terlalu terasa nyata, untuk disebut sebagai mimpi. Kakiku rasanya seperti akan lepas dari persendian, dengan terseok dan sisa tenaga yang aku punya, aku berusaha mencari pertolongan.

Suara itu semakin jelas aku dengar, sepertinya ia tepat ada di belakangku. Samar-samar aku mendengar suara langkah yang semakin mendekat, disertai gelak tawa yang seolah mengejek. Aku tidak sempat mengingat, bagaimana aku bisa sampai di tempat ini? Tempat yang sama sekali tidak aku kenali. Lorong gedung yang aku susuri, anak tangga yang aku lewati, besi-besi berkarat, serta bau sampah yang cukup menyengat. Tembok-tembok berlumut seolah menatap tajam, memperhatikanku yang cukup kebingungan mencari pintu keluar.

Jarak pandangku terbatas, karena gelap yang begitu pekat. Seluruh bulu kudukku merinding, sepertinya aku sudah hampir menemui kematianku, ketika aku mendapati darah segar mengalir dari luka di kaki dan wajahku, hingga aku hampir kehilangan kesadaranku, tetapi aku tetap berusaha bertahan dengan sisa tenaga yang aku punya. Perlahan aku melepas sepatuku untuk meringankan langkah, agar bisa sedikit lebih cepat, tetapi luka di kakiku tetap menghalanginya. Darah segar terus mengalir, lukaku semakin menganga. Rasa sakit aku tahan dengan susah payah, sambil terus memohon, jika ini bukan mimpi, maka tolong kirimkan seseorang untuk menolongku.

Aku merogoh ponselku, dan mencoba menghidupkannya kembali. Sebisa mungkin, aku harus berusaha untuk bertahan. Jika aku harus mati sekarang, paling tidak, ada seseorang yang menemukan mayatku.

“Aku mohon, tidakkah kau membaca pesanku?” kataku sambil terus berlari. Luka dan darah yang mengalir tidak lagi aku hiraukan. Jejak noda tertinggal dalam setiap jengkal yang aku lewati. Orang-orang itu akan lebih mudah menemukanku. Untuk sesaat aku merasa percuma bersembunyi.

“Argghhhh, aku tidak kuat lagi” aku jatuh tersungkur, dan tanpa terasa, aku sudah sampai di atap gedung. Petir tiba-tiba menyambar keras, diiringi hujan yang begitu deras hingga membasahi seluruh luka di tubuhku. Perih. Aku memejamkan mataku, mungkin ini saat tiba ajalku. Aku pasrah. Tarikan nafasku mulai terdengar melemah, tanganku terasa kelu. Dalam diam dan kepasrahanku, seseorang berjalan ke arahku. Dengan sedikit memicingkan mataku yang mulai nanar, aku memastikan bahwa aku mengenal sosok itu.

“Kaukah itu?” tanyaku sambil tersenyum dan sedikit bernafas lega. Ya, mungkin belum saatnya aku mati. Sosok itu menatapku dari bawah payungnya. Hatiku bersorak, malaikat penyelamatku telah datang. “Kau, membaca pesanku? Kau datang untuk menyelamatkanku?” kataku lagi, dengan susah payah berusaha berdiri. Sosok itu diam tak bergeming, matanya menatap lurus ke arahku.

“Kau sudah memanggil bantuan? Polisi?” kataku dengan terengah menahan luka yang semakin terasa nyeri.

“Ah, kalian di sini. Kau menemukannya lebih dahulu? Sekarang lakukan tugasmu...”

Aku menggeleng tidak percaya. Saat ini aku benar-benar tersudut dan tidak bisa berpikir jernih. Tanpa pikir panjang, aku langsung naik ke pembatas pagar. Tidak ada pilihan lain, bertahan atau melompat, aku tetap akan mati. Perlahan aku mundur beberapa langkah. Aku seolah melihat malaikat pencabut nyawa tepat berada di hadapanku. Aku tidak bisa kemana-mana, kali ini, setiap langkah yang aku tuju adalah gerbang kematian.

“Jangan mendekat, atau aku akan lompat...” kataku dengan nada mengancam. Kakiku gemetar. Dengan sedikit sisa keberanian yang aku punya, aku melihat ke bawah. Cukup tinggi juga. Jika aku melompat, kemungkinan aku hidup mungkin hanya sepersekian persen. Tetapi, bukankah keajiban selalu ada disetiap kemungkinan terkecil sekalipun?

“Jangan, Monnaire, aku mohon jangan melompat”

“Kau sudah gila” kataku dengan nafas tersengal. Aku mulai kesulitan bernafas. Tubuhku terasa sangat lemas, mungkin karena aku sudah kehabisan banyak darah.

“Ya, memang aku sudah gila. Dan kau yang menyebabkan semua kegilaan ini. Kau pikir, aku benar-benar memintamu untuk jangan melompat? Hahahahaha” tawa membahana memecah keheningan. Aku benar-benar seperti seekor rusa yang siap dimangsa oleh sekawanan singa lapar.

“Terlalu mudah bagimu Monnaire, untuk mati karena dirimu sendiri. Oleh karena itu, aku tidak membiarkanmu melompat. Kau harus mati atas keinginanku. Hei, cepat lakukan tugasmu. Ini saatnya Nona Muda kita mati”

“Monnaire, maafkan aku...Aku harus melakukan ini”

Aku mundur perlahan, mencoba mencari celah dengan bernegosiasi. Aku yakin, mereka menginginkan sesuatu dariku. “Tolong, jangan bunuh aku. Aku... Aku akan memberikan apapun yang kalian inginkan”.

“Apapun? Kau yakin?”

“Ya, aku akan memberikan apapun itu” kataku dengan penuh harap.

“Tidak. Justru, jika dengan membiarkanmu hidup, aku akan kehilangan apa yang aku inginkan. Sampai jumpa di neraka, Monnaire. Tidak perlu menungguku, karena aku akan lama sampai di sana”

Suara tembakan terdengar keras, bersahutan dengan suara petir yang menggelegar. Kilatan cahaya itu terasa begitu dekat. Aku sempat berpegangan pada sesuatu, namun akhirnya terlepas, karena aku kehabisan tenaga.

Secepat kilat tubuhku terlempar dengan dorongan kuat. Meski sempat berpegangan pada pagar pembatas, namun akhirnya aku menyerah juga. Tubuhku melayang diantara rimbun dedaunan. Gelap dan dingin menyelimuti, menjalar hingga urat nadi. Ranting pohon yang bertautan, satu persatu seolah menyambut kedatanganku, mengiringi irama kematian yang menjemputku perlahan.

Aku tidak pernah membayangkan akan berakhir seperti ini. Aku selalu merasa bahagia, dan berpikir bahwa hidupku benar-benar sempurna, dan jika nanti aku mati, aku akan mati di atas ranjang yang hangat, serta dikelilingi orang-orang yang menyayangiku. Akhir yang seperti ini, tidak pernah sekalipun aku harapkan, bahkan terbesit dalam mimpi buruk pun tidak. Dalam akhir nafasku, sekelibat pikiran menyapaku, aku ingin hidup sekali lagi.

********

Suara letusan tembakan kembali membangunkan tidurku yang tak pernah nyenyak. Rasa mual dan sakit menyeruak hingga ke tenggorokan, nafasku tercekat, leherku terasa tercekik, hingga aku kesulitan mengeluarkan suara. Rasa takut itu seketika kembali menyelimuti bayanganku. Suara itu, langkah itu, tawa serta ejekan sorak sorai yang memenuhi kepalaku. Aku takut.

Dengan gemetar, aku meraih gelas dan obat penenang yang tersusun di atas meja, di samping tempat tidurku. Satu, dua, tidak, itu tidak akan cukup menghilangkan rasa cemasku. Beberapa butir obat penenang langsung aku tenggak. Aku tidak ingin memikirkan efek sampingnya, yang aku ingin, penderitaan ini benar-benar bisa lenyap.

Selalu saja begini, meski aku sudah melewati kejadian itu berbulan-bulan lamanya. Entah aku harus bahagia atau berduka, karena kali ini Tuhan mendengar doaku. Doa yang kuucapkan disisa akhir waktuku dalam rasa pasrah bercampur dendam. Aku hidup sekali lagi. Tidak, lebih tepatnya, aku masih diberi kesempatan hidup, untuk menjalani keadaan yang sama sekali berbeda.

“Kau sudah bangun? Apa kau bermimpi buruk lagi?”

Seorang wanita cantik menghampiriku dengan senyum lembut di balik semburat merah lipstiknya yang terang menyala. Seperti biasa, setiap pagi ia selalu mengecek keadaanku, sambil membawakanku sarapan pagi atau minuman hangat. Dia adalah Lauricie, wanita yang menyelamatkanku. Umurnya mungkin sama dengan ibuku, meski wajahnya terlihat jauh lebih muda dari ibu. Setiap harinya, Lauricie selalu menggunakan riasan tebal. Pipi merona, garis mata yang dibuat tegas, serta alis tebal yang dicukur rapi, seolah dibuat untuk semakin menonjolkan kecantikannya. Meski riasannya tebal, namun tetap membuatnya tampak elegan. Lauricie seolah memancarkan pesona wanita berkelas. Bagiku, Lauricie terlihat seperti seorang permaisuri yang ada dalam cerita komik kerajaan.

Lauricie ingin aku memanggilnya dengan sebutan Mom, meski aku masih belum terbiasa. Dengan wajahnya yang seperti itu, aku merasa lebih pantas memanggilnya Kakak. Ya, aku serius. Jika orang lain melihat kami berdua berdampingan, mereka pasti akan lebih percaya kalau Lauricie adalah kakakku.

“Minumlah, ini akan menyegarkan pikiranmu. Aku memetik sendiri bunga kamomil ini di kebun belakang” Lauricie menaruh secangkir teh panas di depanku, uap dan aromanya seketika menyeruak hidungku. Ah, segar sekali.

“Liberty biasanya selalu meminum teh kamomil setiap bangun pagi. Dia bilang, kamomil adalah simbol kelahiran kembali. Jadi, dia merasa lahir kembali, setelah minum teh kamomil” kata Lauricie sambil tersenyum tipis.

Aku meraih cangkirku perlahan, sambil menatap sekilas pigura yang tersusun rapi di atas meja. Liberty, gadis itu tersenyum dalam setiap potretnya. Sepertinya, ia adalah gadis yang ceria.

“Jadi, apa kau sudah memutuskan?” tanya Lauricie mengejutkan lamunanku. Aku menghela nafas panjang. “Kau selalu saja menanyakan hal ini” kataku sambil membiarkan angin pagi membelai wajahku. Rasanya hangat. Ini adalah angin musim semi yang selalu aku rindukan.

“Aku tidak akan berhenti menanyakan ini, hingga kau membuat keputusanmu” kata Lauricie sambil meletakan cangkirnya. “Apakah kau ingin terus merasakan ketakutan dan kecemasan seperti ini, lalu membiarkan mereka hidup tenang?” kata Lauricie lagi.

Aku terdiam dalam bimbang. Aku takut keputusanku salah, dan malah semakin menjerumuskanku dalam derita berkepanjangan. Lauricie menatapku lekat-lekat. Kemudian dia membuka ponselnya, dan menunjukan sesuatu padaku. Mataku terbelalak kaget. Aku tak kuasa membendung air mataku dan menangis sejadi-jadinya.

Lauricie memelukku dengan lembut tanpa berkata apa-apa, dan tangisku makin pecah. “Menangislah, hingga kau puas” katanya lirih. Lauricie menepuk bahuku, dan melepaskan pelukannya perlahan. “Maafkan aku, seharusnya aku tidak memaksamu. Ini pasti membuatmu merasa sangat tersiksa” kata Lauricie, matanya seolah menunjukan penyesalan. Ia kemudian berdiri, dan melangkah keluar dari kamarku.

Tanpa terasa, hari sudah menjelang sore, sepertinya aku tidur cukup lama. Mataku masih terlihat sembab. Sinar matahari senja menyelinap masuk melalui celah jendela. Aku ingat, ibuku sangat menyukai suasana sore yang hangat seperti ini. Aku memejamkan mataku sesaat, dan perlahan aku melangkah menuju taman belakang. Saat sore hari seperti ini, Lauricie biasanya sedang ada di sana, menyirami tanamannya, atau memetik bunga-bunga segar untuk ditaruh di dalam vas.

Lauricie langsung menoleh ke arahku, begitu aku datang. Ia tersenyum menyambutku. Dengan agak berat, aku mulai membuka suara. “Aku, sudah mengambil keputusan”

Lauricie mengangguk. “Ya, apapun itu, aku akan mendengarnya” kata Lauricie sambil meletakan alat penyiram di sampingnya. “Tentu saja. Ini agak berat, tetapi aku yakin, pertemuan kita, bukan suatu kebetulan” katanya lagi.

“Baiklah, aku sudah memutuskannya. Selanjutnya, mari kita saling membantu” kataku dengan senyum mantap.

Aku yakin keputusanku tidak salah. Tuhan telah memberikanku kesempatan untuk hidup, dan aku tidak akan menyia-nyiakannya dengan hanya terpaku dan bersembunyi dalam ketakutanku. Hidupku yang baru sudah hampir dimulai. Tunggu aku. Kita akan berjumpa di neraka, seperti yang kalian ucapkan sebagai salam perpisahan kepadaku. Tetapi kali ini, aku pastikan, kalian yang akan lebih dulu menuju tempat itu.

“Baiklah...” Lauricie bangkit dari duduknya dan mengambil cermin, lalu membawanya kepadaku. “Katakan selamat tinggal pada Monnaire, mulai hari ini, Monnaire benar-benar mati”

\*\*\*\*\*\*\*

Part 1 - Legacy

Keluarga De Frank.

Kakekku adalah seorang pengusaha. Ia memiliki perusahaan yang bergerak di banyak bidang. Dua bidang yang menjadi penyokong kekayaannya, adalah elektronik dan asuransi. Dia adalah Cazzar Theodore De Frank. Dia membangun bisnis dari nol, berasal dari modal yang dipinjam dari seorang kerabat. Kakekku adalah orang yang ulet, tangguh, serta tidak mudah menyerah. Bila ada yang berkata, tidak ada orang yang bisa membesarkan bisnis yang dibangun dari nol, maka dengan lantang aku akan menjawab, Cazzar Theodore De Frank orangnya. Ia berkali-kali mengalami jatuh bangun, bahkan pernah terlilit hutang, sama seperti orang lain yang sedang merintis bisnis. Namun satu hal, ia tidak pernah menjadikan itu sebagai alasannya untuk berhenti. Prinsip yang selalu dijalankan kakekku adalah, pantang berhenti sebelum sampai. Ya, kakekku memang cukup ambisius untuk mencapai tujuannya.

Cazzar Theodore dikenal masyarakat sebagai seorang dermawan yang tidak pernah melupakan kebaikan orang lain. Karena alasan itulah juga, kakek menikahi Marina Martin Baker, nenekku, anak dari Louis Baker, pemilik The Fact News, surat kabar terbesar di negara ini, dan dia adalah orang yang telah meminjamkan modalnya kepada kakekku. Kakek merasa harus membalas budi baik kakek buyutku, sehingga ia tidak menolak ketika kakek buyutku menarwarkan perjodohan.

Bisa dibilang, kakekku tidak menyimpan rasa cinta sedikitpun untuk nenek, mereka melakukan pernikahan hanya sebatas balas budi, hingga saat kakek buyutku meninggal, tepatnya sebulan setelah ibuku lahir, mereka bercerai. Kakek merasa tidak ada yang perlu dipertahankan, terlebih lagi, nenekku melahirkan anak perempuan, bukan anak laki-laki seperti yang diharapkan kakek, untuk meneruskan gurita bisnisnya. Ya, itu adalah Nathealiza Sofia De Frank, ibuku.

Setelah bercerai dengan nenek, kakekku menikah lagi. Sepertinya, setelah bercerai, kakek benar-benar menemukan tambatan hatinya, Liora Arthur James. Namun, desas desus yang beredar di masyarakat, hubungan mereka telah terjalin sejak kakek dan nenekku masih bersama. Ada juga yang mengatakan, bahwa kakek terpaksa meninggalkan wanita itu, karena harus menikahi nenekku, dan mereka kembali bersama saat kakek bercerai. Entahlah, aku tidak pernah mengonfirmasinya secara langsung kepada kakek, kami tidak sedekat itu. Lagipula, itu adalah masalah pribadi mereka, bahkan aku juga tidak pernah bertanya pada ibuku.

Pernikahan kakek dengan Liora terbilang harmonis. Mereka memiliki dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Paman dan bibiku, Manuella Reginna De Frank, dan Edward Valentinno De Frank. Aku juga tidak terlalu dekat dengan mereka. Aku hanya menyapa sekali atau dua kali saat menghadiri pertemuan keluarga, selebihnya, aku merasa canggung. Aku merasa seperti orang asing yang tersesat, karena setiap kali bertemu, mereka selalu saja membicarakan masalah bisnis. Terlebih lagi, mereka juga selalu bersikap acuh tak acuh padaku.

Paman dan bibiku menikahi orang-orang yang cukup sukses di bidangnya. Bibi Manuella menikah dengan Joseph Vincent Bennedict, seorang pejabat bea cukai negara, sedangkan paman Edward menikah dengan seorang seniman pahat yang karyanya cukup terkenal, Evellyne Constantine. Mereka masing-masing memiliki seorang putra yang telah mereka persiapkan sebagai pewaris kerajaan bisnis keluarga ini. Alfredo Bennedict, dan Carlo Valentinno De Frank. Sayangnya, Carlo tidak bisa benar-benar menjadi ahli waris, karena ia adalah anak hasil hubungan di luar nikah. Dalam keluarga ini, anak hasil hubungan di luar nikah, tidak dianggap sebagai keluarga. Namun, keluarga Paman Edward tidak akan menerima keputusan itu begitu saja, mereka akan melakukan segala cara, agar Carlo tetap bisa menjadi penerus, terlebih lagi, Paman Edward merasa, ia adalah anak laki-laki kakek satu-satunya, sehingga ia merasa memiliki hak kekuasaan penuh untuk menggantikan kakek, dan menunjuk siapa yang menjadi penerusnya kelak.

Hal tersebut tentu saja tidak diterima oleh keluarga Bibi Manuella yang juga ingin menjadikan Alfredo sebagai penerus kakek, tetapi sayangnya, Alfredo tidak tertarik dengan bisnis. Namun, Alfredo sangat suka dengan uang. Bisa dibilang, Alfredo adalah anak orang kaya yang masa depannya terjamin bukan karena kemampuannya, tetapi karena hak istimewa yang dimiliki keluarganya.

Meskipun demikian, kakek sangat menyanyangi cucu-cucunya, berbeda dengan aku dan kakak. Aku, Monnaire De Frank, dan kakakku Estephania De Frank, hanyalah dua gadis yang beruntung menjadi bagian dari keluarga De Frank, karena diadopsi oleh ibuku dari panti asuhan. Walaupun tidak mengatakannya secara langsung, aku tahu, kakek menyimpan rasa tidak suka yang amat besar kepadaku dan kakak. Ibu sering merasa sedih karena hal itu. Oleh sebab itu, ibu jarang mengajak kami ikut dalam acara keluarga, dan lebih sering menitipkan kami kepada nenek, setiap kali keluarga De Frank mengadakan perayaan.

Berbeda dengan kakek, nenek sangat menyayangi kami. Jika ibu tidak ada, aku selalu mencari nenek ketika merasa bersedih. Hanya dengan mencium aroma tubuh nenek yang hangat, aku merasa kesedihanku berangsur menghilang. Aku selalu bilang kepada nenek, bahwa nenek adalah bola kristal ajaib. Nenek selalu membelikan apa saja yang aku inginkan, tanpa aku memberitahunya. Ya, sebesar itu rasa sayang nenek kepada kami.

Hari ini, kami berkumpul di rumah keluarga De Frank. Aku dan kakak tidak pernah berencana untuk ikut hadir, tetapi Bibi Manuella bilang, seluruh keluarga harus hadir, meskipun kami sebenarnya bukan keluarga. Dengan tegas ia menekankan kalimat “bukan keluarga” di depan wajah kami, sehingga ibu tidak bisa menahan rasa sedihnya. Ibu meraih tanganku dan kakak, mencoba menguatkan kami. Aku tersenyum kepada ibu, memberi tanda bahwa aku baik-baik saja, dan sama sekali tidak terpengaruh dengan perkataan Bibi Manuella.

Kakek menyatakan bahwa ia sudah terlalu tua, dan ia harus segera pensiun, sehingga ia mengumpulkan seluruh anggota keluarga, untuk mengumumkan hak warisnya, meski ia belum meninggal. Wajah sumringah dan berseri-seri terpancar dari air muka bibi dan pamanku. Sesekali mereka berbisik, lalu tertawa lepas. Kadang mereka melirik ke arah kami, melontarkan pandangan sinis yang menusuk.

Kakekku memasuki ruangan, semua berdiri memberi hormat, kecuali kakakku, Estephania. Ia malah asyik mendengarkan musik dari ponselnya, sambil menggunakan earphone. Matanya terpejam, tubuhnya sedikit bergoyang mengikuti irama, mulutnya terlihat komat kamit, dengan sedikit suara pelan yang hampir tidak terdengar. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Seluruh hadirin menatapnya dengan pandangan marah, terlebih kakek. Ibu kemudian mengambil ponsel kakak, kakakku tampak protes, namun segera menuruti perintah ibu untuk berdiri. Aku tertawa kecil melihat tingkah kakak, tetapi segera kuhentikan karena Bibi Manuella melotot ke arahku.

Kakek berdehem, sambil menyerahkan secarik kertas kepada Pak Alfonso, penasihat hukumnya. Pak Alfonso mencermati setiap bagian isi dalam kertas itu. Lalu, ia mendekatkan wajahnya ke telinga kakek, seperti sedang membisikan sesuatu yang penting. Pak Alfonso tampak mengernyitkan dahinya sedikit. Sepertinya, pembicaraannya cukup serius. Meski suasana cukup hening, aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Yah, aku juga tidak peduli, karena pastinya tidak ada hubungannya denganku.

“Lakukan saja” kata kakek pada Pak Alfonso. Pak Alfonso tampak mengangguk. Pak Alfanso membenarkan kacamatanya, dan mengangkat kertas yang diberikan kakek sejajar dengan wajahnya. Suasana masih tampak hening, wajah-wajah yang menanti pengumuman kakek tampak sedikit tegang, seolah tidak sabar mendapatkan apa yang mereka inginkan.

“Dengan ini, saya, Cazzar Theodore De Frank menyatakan bahwa, akan membagi kekayaan saya, kepada anak-anak, menantu, dan cucu-cucu saya, dengan pembagian sebagai berikut, Edward mendapatkan tiga puluh persen saham perusahaan Sunshine Steel. Dengan demikian, beliau adalah pemilik saham terbesar di Sunshine Steel. Manuella, mendapatkan dua puluh dua persen saham Imago Finance. Carlo dan Alfredo, mendapatkan sepuluh persen saham di Sunshine Steel, dan saya menaikan jabatan Alfredo sebagai kepala manajer umum di Sunshine Steel” Pak Alfonso terdiam sebentar, menarik nafasnya dan kembali mengatur suaranya yang agak sedikit serak. Paman Edward terlihat gelisah, jari-jarinya sedikit bergetar, wajahnya seperti ingin menyampaikan sesuatu. Entah itu usul, atau sebuah protes

“Joseph dan Evellyne, mendapatkan sepuluh persen saham Imago Finance. Dan, Nathealiza... Aku menyerahkan Green Future untuk dikelola, proses pengalihan kepemilikan perusahaan akan segera dilakukan setelah pengumuman hak waris ini berlangsung. Demikianlah, keputusan ini saya buat dengan keadaan sadar dan tanpa ada paksaan dari pihak manapun” Pak Alfonso mengakhiri pengumumannya. Kakek yang sejak tadi duduk di sebelah Pak Alfonso langsung angkat suara.

“Ada yang ingin kau sampaikan, Edward?” katanya dengan nada tegas, seperti biasanya.

“Ayah, kenapa ayah tidak langsung melakukan pengumuman suksesi? Bukankah ayah bilang, ayah ingin pensiun dan beristirahat” kata Paman Edward.

“Suksesi? Maksudmu, kau ingin aku menyerahkan kepemimpinan perusahaan kepada anakmu?” Kakek memajukan wajahnya, matanya memandang tepat ke wajah Paman Edward tanpa berkedip.

“Carlo adalah calon yang potensial, dibandingkan dengan Alfredo yang hanya bisa menghabiskan uang saja, tetapi malah mendapat jabatan sebagai manajer umum” kata Paman Edward.

“Jaga bicaramu, Edward. Kau ingin mencalonkan anak hasil hubungan gelapmu itu? Yang benar saja, itu akan membuat kericuhan diantara para pemegang saham. Masuknya Carlo ke dalam perusahaan saja, sudah cukup membuat harga saham turun. Kekacauan apalagi yang akan terjadi, jika Carlo sampai menjadi pemimpin menggantikan Ayah?” Bibi Manuella berkacak pinggang.

Paman Edward tampak marah, raut mukanya memerah. Ia langsung bangkit dari kursinya. “Kau, apakah kau tidak berkaca? Kekacauan yang seringkali anakmu buat, itulah yang selalu memicu kericuhan. Kau ingat, saham kita pernah mencapai angka terendah, setelah Alfredo berkelahi dengan pengunjung club, hanya karena berebut untuk didampingi wanita malam. Hah, benar-benar rendahan”

Bibi Manuella langsung berteriak memaki Paman Edward. Suasana yang tadi hening mendadak ramai. “Ini akibat mendiang ibu terlalu memanjakanmu, kau jadi seenaknya, dan menganggap dirimu paling benar”

Kakek menggelengkan kepalanya. Lalu ia menggebrak meja dengan keras. Aku hampir saja tersedak, gelas di sampingku pecah, karena tersenggol oleh Estephania yang kaget. “Aku belum meninggal, tetapi kalian sudah ribut seperti ini. Terkadang aku berpikir, sebenarnya siapa yang kalian hormati, aku atau kekuasaan dan harta yang aku miliki?” kata kakek sambil pergi beranjak menuju ruang kerjanya. Mungkin kakek sudah menduga, bahwa hal seperti ini pasti akan terjadi. Meski bahasa tubuhnya terlihat marah, tetapi raut wajah kakek memperlihatkan kesedihan.

Pak Alfonso ikut berdiri, sambil memberi salam hormat, dan mengikuti langkah kakek dari belakang. Semua terdiam dan menunduk, tidak ada lagi yang berani mengeluarkan suara, sampai kakek benar-benar masuk ke ruangannya.

“Yang benar saja” kata Estephania sambil menyetir mobil. “Aku tidak peduli, jika memang kita tidak mendapatkan warisan. Lagipula, aku tidak mengharapkan itu. Tetapi setidaknya, kakek tidak memberikan anak perusahaan yang hampir bangkrut kepada ibu. Itu sama halnya dengan kakek melepaskan tanggung jawabnya” Estephania terlihat kesal.

“Kudengar, Green Future juga punya banyak hutang, Bu. Bagaimana bisa ibu mengelola anak perusahaan bermasalah seperti itu?” tanyaku, sambil menoleh ke kursi belakang. Ibu sedang menyadarkan kepalanya. Ia menarik nafas sambil tersenyum.

“Green Future juga sempat melakukan pemutusan kerja besar-besaran, karena tidak sanggup membayar gaji karyawan. Saat karyawan melakukan demonstrasi juga sempat diwarnai kerusuhan, bahkan sampai memakan korban. Ah, perusahaan yang benar-benar kacau. Bukankah dulu, Carlo yang menjadi direktur di sana? Lalu setelah semua kekacauan terjadi, kenapa justru perusahaan itu diberikan kepada ibu? Aku tidak mengerti dengan sikap kakek. Paling tidak, dia bisa memberi ibu saham yang potensial, meskipun hanya sedikit. Bagaimanapun, ibu adalah anaknya. Benar-benar anak dari hasil hubungan resmi, bukan seperti Carlo” kata Estephania lagi.

“Kau tahu, ibu kita tidak membutuhkan itu. Warisan dari nenek, jauh lebih besar, bahkan bisa menghidupi sampai ke cucumu” kataku dengan nada bercanda.

Ibu tertawa kecil. Ia terdiam cukup lama. “Bu, are you, okay?” tanyaku. Ibuku mengangguk.

“Tetapi, akan lebih baik lagi, kalau kita makan dulu. Bagaimana kalau ke restoran Chinesee food kesukaan Monnaire, bukankah Monnaire suka sekali bebek Peking?”

“Aku mauuuuu...” kataku bersorak.

“Tidak bisakah kita cari restoran lain saja? Aku sedang diet” usul Estephania.

“Monnaire sedang dalam masa penyembuhan, ada baiknya makan makanan yang sedikit berlemak. Kau bisa memesan sayuran, atau dimsum rendah lemak” kata ibu.

Estepania mendengus kecewa. “Baiklah...” katanya sambil membelokan setir menuju restoran favoritku.

“Monnaire, tidak marah, kan, dengan kakek?” tanya ibu.

Aku menggeleng, namun tidak dengan Estephania. Ia tampak kesal. Entah karena pertanyaan ibu, atau karena ia tidak bisa memilih apa yang diinginkannya.

“Suatu saat, kakekmu pasti akan berubah” kata ibu lagi.

Aku mengangguk mengiyakan. Samar-samar aku melirik ke arah Estephania. Wajahnya memerah, seperti sedang menahan amarah yang tidak bisa terlampiaskan.

“Kakak...” kataku sambil memegang tangannya pelan.

“Aku baik-baik saja. Lepaskan tanganmu, kalau kau seperti itu terus, aku bisa menabrak mobil di depan kita”

Aku melepaskan tanganku. Estephania berulang kali menghela nafas, namun kini raut wajahnya sedikit lebih tenang. “Apakah sebenarnya, Estephania menginginkan warisan kakek?” batinku.

“Aku tahu apa yang kau pikirkan” kata Estephania mengejutkanku. Tiba-tiba aku membayangkannya seperti seorang cenayang yang sedang membaca pikiranku. “Aku tidak pernah menginginkan warisan kakek. Aku hanya kesal membayangkan perlakuan kakek. Kau ingat, saat kita kecil, kakek pernah membagikan cupcake saat ulang tahun Alfredo, dan hanya kita berdua yang tidak dapat”

“Lalu, aku mencurinya, dan kita berdua dihukum ibu” kataku terkekeh.

“Kau tahu, Monnaire, aku ingin menjadi seorang pramugari. Makanya, aku harus menjaga bentuk tubuhku. Aku sama sekali tidak tertarik dengan perusahaan, saham, atau apalah itu”

“Dan aku, ingin menjadi musisi. Itu impianku sejak kecil. Aku selalu membayangkan tampil di konser besar, dengan jutaan mata yang memandang kagum kepadaku. Ah, sepertinya menyenangkan sekali”

“Mari, kita gapai mimpi itu bersama, Monnaire” Estephania tersenyum lebar.

“Ya. Berjanjilah untuk saling mendukung, apapun keadaannya” kataku dengan mata berbinar. Aku beruntung memiliki keluarga ini. Aku beruntung memiliki ibu, nenek, dan Estephania. Aku bahagia dengan hidupku. Aku tidak perlu warisan kakek. Ya, yang aku butuh hanya kenyamanan seperti ini. Itu saja sudah cukup.

\*\*\*\*\*\*

Part 2 - Mutualism

Aku baru saja menyelesaikan operasiku. Sungguh sebuah mukjizat, karena aku sempat tidak yakin operasinya akan berhasil.

“Selamat, Dokter. Anda hebat” kata Threz, seorang asistenku.

“Kalian juga hebat. Dan Tuhan lebih hebat, sebab sudah mempercayakan kita untuk melakukan pekerjaan kita dengan lancar” kataku sambil menepuk pundak Threz.

“Ini operasi kita yang terlama selama kita di sini. Dokter pasti sangat lelah, mau saya ambilkan kopi?” Threz terlihat mengantuk, berulang kali ia menguap. Tentu saja ia sangat lelah, operasi ini berlangsung selama hampir empat belas jam.

Aku mengangguk mengiyakan. Aku juga sangat mengantuk. Tubuhku rasanya ingin sekali berbaring di balik selimut hangat, lalu aku akan tertidur seharian penuh. Tidak, mungkin dua hari, atau bisa juga tiga hari. Rasa lelah dan lega sama-sama menghampiriku. Aku tidak pernah mengharapkan penghargaan. Bagiku, melihat senyum bahagia dari keluarga pasien karena operasinya berhasil, adalah hal yang sangat membahagiakan.

Aku menghela nafas panjang, sambil menatap ke luar jendela. Threz terlihat berjalan menuju kedai kopi yang ada di kantin rumah sakit. Tepat berada di belakang gedung operasi. Threz sudah cukup lama menjadi asistenku. Jika saja aku bisa menjadikannya menantuku, tentu rasanya sangat senang, punya seorang menantu dan rekan kerja yang kredibel seperti dia.

Aku tersenyum sendiri, membayangkan hal yang tidak mungkin. Waktu sudah menunjukan pukul satu pagi. Lagi-lagi aku menguap. Ah, sebaiknya aku berjalan-jalan, untuk menghilangkan rasa kantukku. Aku tidak bisa langsung pulang ke rumah, karena aku masih harus menyusun laporan medis pasien. Aku langsung mengambil ponselku, dan mengirimkan pesan kepada Threz.

“Aku berjalan-berjalan sebentar. Kau bisa menaruh kopiku di ruangan. Terima kasih.”

Aku memasukkan ponsel ke saku, dan melanjutkan langkahku dengan perlahan. Suasana rumah sakit saat dini hari begini, memang terasa agak berbeda. Tetapi, aku sangat menyukai suasana hening seperti ini. Tanpa terasa, aku sudah sampai di depan pintu IGD. Aku melihat ke sekeliling, beberapa orang co-ast menyapaku ramah.

Tiba-tiba, mobil ambulans berhenti di depanku. Dua orang perawat turun, dan langsung masuk ke dalam dengan tergopoh. Hal seperti ini biasa terjadi, tetapi entah mengapa, kali ini aku sangat penasaran. Aku bergerak mendekat ke arah pintu ambulans, diiringi dengan langkah dokter dan para perawat yang tergopoh membawa pasien ke luar ambulans dengan kereta dorong. Sepertinya, pasien ini adalah korban kecelakaan. Aku mengikuti mereka dari belakang.

“Denyut jantungnya normal, tetapi, pasien mengalami shock, sehingga dia pingsan. Tolong segera hubungi keluarganya” kata dokter Peter. Ya, aku tanda pengenal di jasnya. Sepertinya dia adalah dokter yang bertugas berjaga di IGD malam ini.

“Beliau tidak memiliki identitas, Dokter. Wajahnya juga sulit dikenali” kata salah seorang perawat.

“Lalu bagaimana? Apa tidak ada satupun tanda pengenal, nomor telepon keluarga, atau yang lainnya?” perawat yang lainnya ikut angkat bicara.

Perawat sebelumnya hanya menjawab dengan gelengan kepala. Aku bergerak mendekat. Dokter Peter dan kedua perawat itu membungkukan badannya, tanda memberi salam hormat kepadaku. Aku balas membungkukan badan. Perlahan aku mendekati pasien yang terbaring lemah tak berdaya itu. Seorang wanita, dan benar, wajahnya penuh luka, nyaris hancur. Cukup mengerikan, dan membuat yang melihatnya bergidik.

“Bisakah pasien ini masuk ke ruang rawat? Aku yang akan bertanggung jawab” kataku pada Dokter Peter dan kedua perawat itu. Mereka saling menatap. “Aku yang akan bicara kepada dokter penanggung jawab IGD. Bisakah kalian membawanya ke ruang rawat, dan berikan dia perawatan semaksimal mungkin. Dia butuh perawatan intensif” kataku lagi.

“Baiklah, tetapi, kami harus membersihkan lukanya dulu” kata Dokter Peter.

Aku mengangguk, dan mundur perlahan, memberikan ruang kepada mereka untuk melakukan tugas mereka. Entah apa yang aku lakukan, kenapa aku ingin sekali menolong gadis itu, padahal aku tidak mengenalnya sama sekali?

“Dokter” panggil salah satu perawat tadi.

Aku menoleh dan dengan sigap menghampirinya. “Bagaimana?” tanyaku.

“Kami sudah membersihkan lukanya, dan kami akan membawanya ke ruang rawat pasien. Kondisinya sangat lemah, sepertinya akan butuh waktu untuknya sampai dia siuman”

“Tolong berikan perawatan terbaik. Aku akan segera menemui dokter penanggung jawab. Terima kasih atas bantuannnya” kataku lagi.

Aku yakin, aku tidak melakukan suatu yang salah. Aku merasa gadis itu sedang bicara padaku, dan memohon pertolonganku. Pasti ada suatu hal yang membawa kami, sehingga kami bisa bertemu. Perlahan aku membuka pintu ruang kerjaku, Threz sudah berada di sana.

“Anda darimana? Kopinya hampir dingin” katanya, sambil menyeruput segelas kopi di tangannya.

“Hanya berjalan-jalan, mencari angin” jawabku sambil tersenyum, dan meraih kopi yang tersaji di atas meja. Aku meneguknya dengan perlahan. Pikiranku masih terbayang pada gadis tadi. Usianya mungkin sama dengan putriku. Perawakan mereka pun mirip. Saat aku melihatnya dibawa turun dari ambulans, aku seperti merasakan de javu. Seperti itulah yang aku rasakan, ketika melihat putriku dulu. Ya, sekarang aku tahu, kenapa aku menolongnya. Semua itu karena aku merasa iba padanya, di saat keadaannya seperti itu, tidak ada satupun keluarganya yang mendampinginya. Kasihan sekali.

“Dokter...Anda baik-baik saja?” pertanyaan Threz barusan, membuatku sedikit terkejut. Ternyata, aku cukup lama melamun. “Anda bisa pulang sekarang, jika Anda merasa lelah. Untuk laporan operasi hari ini, biar saya yang selesaikan” kata Threz.

Aku menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Aku hanya teringat pada putriku. Aku belum melihat keadaanya hari ini” kataku lagi.

Threz terdiam. Mungkin ia bingung harus berkata apa, sebab pertanyaan mengenai putriku, saat ini merupakan hal yang sensitif. Aku hampir putus asa dengan keadaannya. Bahkan dokter sudah menyarankan untuk mencabut semua alat bantu medis, karena kondisinya tidak ada kemajuan sama sekali. Tetapi, aku masih belum mau berpasrah, dan aku belum siap jika harus kehilangan.

“Mari kita selesaikan laporan hari ini, setelah itu, kita bisa beristirahat. Kau pasti sangat lelah” kataku pada Threz. Aku harus segera menyelesaikan pekerjaanku. Setelah itu, aku bisa menemuiku putriku. Aku sangat merindukannya, meski aku tidak bisa melihatnya tersenyum seperti dahulu, tetapi paling tidak, aku masih bisa melihat wajahnya, walaupun ia hanya bisa diam tanpa menunjukan ekspresi apapun.

Wajah itu, terlihat pucat dan tirus. Sudah terlalu lama ia di sini, dan tidak ada perkembangan sama sekali. Mungkin aku egois, karena memaksanya untuk tetap bertahan.

“Hai, putri cantikku. Bagaimana kabarmu hari ini?” Tanpa terasa, air mata ini kembali menetes. Rasa bersalah kembali menghampiriku. Maafkan aku Tuhan. Aku masih belum sanggup melepasnya. Ini sangat berat. Biarkan aku memeluknya lebih lama lagi.

\*\*\*\*\*\*\*

Aku memandang wajah gadis di depanku lekat-lekat. Kasihan sekali. Usianya masih muda, namun mengalami hal yang seberat ini. Dalam kondisi separah ini, tidak ada satupun keluarganya yang mendampinginya. Apakah ia memang hidup sebatang kara?

“Kondisinya sudah cukup membaik, mungkin sebentar lagi dia akan siuman” kata Dokter Joseph, dokter yang menangani gadis malang ini.

“Bagaimana dengan tubuh dan wajahnya?” tanyaku dengan sedikit khawatir.

“Wajahnya mengalami luka yang cukup serius, aku belum bisa memastikan, apakah bisa ditangani dengan tindakan bedah plastik. Ada beberapa tulang yang retak, mungkin sementara waktu, pasien akan mengalami kesulitan berjalan. Aku akan terus memantaunya, sampai ia benar-benar pulih, Anda tenang saja” jawab dokter Joseph.

“Baiklah, terima kasih atas bantuan Anda” kataku seraya mengantar Dokter Joseph menuju pintu keluar, kemudian berbalik menuju sofa yang ada di samping ranjang pasien. Rasanya sangat lelah, aku bahkan belum tidur sama sekali. Aku berusaha menahan rasa kantukku, tetapi rasanya sangat sulit, hingga akhirnya aku benar-benar tertidur.

“Gubrak...”

Suara benda jatuh yang cukup keras, membangunkanku dari tidur. Aku langsung bangkit, dan mendapati gadis yang tadi terbaring lemah di ranjang pasien, sudah berpindah ke lantai dan sedang terus berusaha untuk berdiri.

Dengan sigap aku langsung menghampirinya, perlahan membantunya untuk berdiri. Tetapi ia justru mengibaskan tanganku, lalu mundur ke sudut ranjang. Ia seperti ketakutan, dan terus menutupi wajahnya sambil menangis.

“Kau tidak perlu takut. Kenalkan, aku Lauricie, aku adalah seorang dokter. Aku tidak akan menyakitimu” kataku dengan perlahan, sambil bergerak mendekatinya yang terus menangis. Aku berusaha memeluknya, meski ada kemungkinan ia akan menepisku lagi, namun ternyata tidak. Ia membiarkanku memeluknya, meski tangisnya belum berhenti.

“Kau aman di sini. Tenanglah, aku akan menjagamu” kataku lagi, kali ini tangisnya perlahan mereda. Aku membopongnya, dan kembali membawanya ke ranjang. “Kau mau air?” tanyaku lagi.

Gadis itu mengangguk perlahan. Aku tidak berani mengatakan hal apapun, ia pasti akan sangat terkejut melihat perban yang hampir menutupi seluruh luka di wajahnya, dan tentunya akan lebih menyakitkan lagi, saat ia menyadari bahwa keadaan wajahnya benar-benar parah.

“Terimakasih sudah menolongku, Dokter” katanya dengan lemah, setelah menelan dua teguk air. Kali ini ia sudah tampak sedikit tenang.

“Aku hanya melakukan hal yang seharusnya aku lakukan. Bolehkah aku bertanya, siapa namamu?” tanyaku dengan sedikit ragu.

“Monn, namaku Monnaire”

\*\*\*\*\*\*\*\*

Hari ini, Monnaire sudah diizinkan pulang, kondisi sudah amat sangat jauh lebih baik dari sebelumnya, hanya saja, ia masih harus dibantu kruk untuk berjalan. Dilihat dari perawakannya, Monnaire benar-benar mirip dengan putriku, sehingga membuatku semakin rindu dengan saat-saat kebersamaan kami dahulu, sebelum peristiwa itu membuatnya mengalami kondisi seperti saat ini.

Aku memutuskan untuk merawat Monnaire, dan memantau perkembangan kesehatannya, sehingga menurutku, akan lebih baik jika Monnaire tinggal bersamaku.

“Saya sudah banyak merepotkan Anda” katanya dengan sungkan.

Aku menggeleng pelan. “Pertemuan kita, sudah diatur oleh takdir” ucapku perlahan.

Monnaire manarik nafas panjang, dan terdiam cukup lama. “Suatu saat, ya, suatu saat, saya akan membalas kebaikan Anda” katanya memecah keheningan.

Aku berjibaku dengan pikiranku, antara perasaan iba dan tega, namun perasaan ini benar-benar tidak tertahan. Dengan sedikit dorongan dari hatiku, akhirnya aku berani mengatakannya.

“Bagaimana kalau aku meminta balasannya sekarang?”

Monnaire tampak terperangah. Ia seperti sedang menelaah maksud dari perkataan orang gila yang ada di hadapannya. Orang yang baru ia kenal, tetapi sudah lancang meminta sesuatu yang bahkan di luar nalar.

“Saya tidak punya apa-apa saat ini. Jika Anda meminta uang, saya tidak bisa memberikannya” kata Monnaire.

Aku langsung menyanggah kalimatnya. “Bukan, aku sama sekali tidak meminta uang. Bukan itu yang aku inginkan. Aku menginginkan hal lain”

“Hal lain?” tanya Monnaire dengan nada heran.

“Bisakah kau menjadi putriku?” kataku dengan terbata. Ada sedikit pikiran ragu diantaranya. “Aku tidak tahu, apa yang menyebabkan keadaanmu seperti ini, tetapi aku yakin, kita bisa saling membantu” kataku lagi.

Monnaire kembali terdiam. “Kenapa aku harus melakukannya?” tanyanya lagi.

“Putriku, dia adalah korban percobaan pembunuhan. Sayangnya, aku belum bisa mendapatkan buktinya. Hingga saat ini, kecelakaan yang melibatkan putriku, dianggap sebagai kelalainnya sendiri. Orang-orang itu bilang, kecelakaan itu terjadi, karena putriku mengonsumsi narkoba sebelum mengemudi” kataku sambil berusaha menahan tangisku yang hampir pecah.

“Bagaimana Anda bisa tahu, kalau itu adalah pembunuhan?” Monairre seperti penasaran.

“Saat putriku mengalami kecelakaan, dokter di rumah sakit menyatakan bahwa putriku positif mengonsumsi benzodiazepin. Tetapi, ada hal janggal terjadi, kecelakaan itu sudah berlangsung beberapa jam, namun, penyerapan zat dari obat itu, baru berlangsung selama tiga puluh menit”

“Jadi maksud Anda, ada orang yang dengan sengaja memberikan obat itu, ketika putri Anda sudah tidak sadar?”

“Ya, tetapi, aku tidak dapat membuktikannya, karena rekam medis itu tiba-tiba saja hilang, dan aku juga sudah tidak pernah lagi melihat dokter yang pertama kali menangani putriku”

“Jadi, Anda ingin saya melakukan apa?”

“Kau mau membantuku?”

“Ehm, bagaimana ya, saya tidak yakin. Tetapi, saya ingin mempertimbangkannya” kata Monnaire. Aku seperti melihat setitik harapan.

“Aku...” berulang kali aku menarik nafas, mencoba mengumpulkan keberanianku untuk menyampaikan tujuanku pada Monnaire. Ada sedikit kekhawatiran, ia tidak akan setuju.

“Aku, akan mengubah wajahmu, menjadi wajah putriku, dan aku ingin kau membantuku mengungkap kebenarannya. Mereka, harus mendapatkan hukuman atas perbuatan mereka” kataku dengan bergetar. Aku tahu, akan berat baginya menjalani hidup dengan wajah orang lain, tetapi entah mengapa, aku yakin, cara ini juga akan membantunya. Entah bagaimana nanti jalannya.

Monnaire tampak ragu, ada kegelisahan terpancar dari wajahnya. “Biarkan aku mempertimbangkannya. Sekarang, bolehkah aku beristirahat?” pinta Monnaire.

“Silahkan. Beritahu aku, apapun keputusanmu” kataku dengan sedikit berharap.

Monnaire berpamitan padaku, sambil perlahan berjalan dengan kruk di kedua lengannya. Aku tidak akan bertanya tentang apa yang sudah membuatnya seperti itu. Aku yakin, ketika ia siap, ia akan menceritakan semuanya padaku. Seperti yang aku katakan sebelumnya, pertemuan kami sudah diatur oleh takdir. Kami bisa saling membantu, bahkan mungkin saling menguntungkan. Mutualisme.

\*\*\*\*\*\*

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!