Part 2 - Mutualism

Aku baru saja menyelesaikan operasiku. Sungguh sebuah mukjizat, karena aku sempat tidak yakin operasinya akan berhasil.

“Selamat, Dokter. Anda hebat” kata Threz, seorang asistenku.

“Kalian juga hebat. Dan Tuhan lebih hebat, sebab sudah mempercayakan kita untuk melakukan pekerjaan kita dengan lancar” kataku sambil menepuk pundak Threz.

“Ini operasi kita yang terlama selama kita di sini. Dokter pasti sangat lelah, mau saya ambilkan kopi?” Threz terlihat mengantuk, berulang kali ia menguap. Tentu saja ia sangat lelah, operasi ini berlangsung selama hampir empat belas jam.

Aku mengangguk mengiyakan. Aku juga sangat mengantuk. Tubuhku rasanya ingin sekali berbaring di balik selimut hangat, lalu aku akan tertidur seharian penuh. Tidak, mungkin dua hari, atau bisa juga tiga hari. Rasa lelah dan lega sama-sama menghampiriku. Aku tidak pernah mengharapkan penghargaan. Bagiku, melihat senyum bahagia dari keluarga pasien karena operasinya berhasil, adalah hal yang sangat membahagiakan.

Aku menghela nafas panjang, sambil menatap ke luar jendela. Threz terlihat berjalan menuju kedai kopi yang ada di kantin rumah sakit. Tepat berada di belakang gedung operasi. Threz sudah cukup lama menjadi asistenku. Jika saja aku bisa menjadikannya menantuku, tentu rasanya sangat senang, punya seorang menantu dan rekan kerja yang kredibel seperti dia.

Aku tersenyum sendiri, membayangkan hal yang tidak mungkin. Waktu sudah menunjukan pukul satu pagi. Lagi-lagi aku menguap. Ah, sebaiknya aku berjalan-jalan, untuk menghilangkan rasa kantukku. Aku tidak bisa langsung pulang ke rumah, karena aku masih harus menyusun laporan medis pasien. Aku langsung mengambil ponselku, dan mengirimkan pesan kepada Threz.

“Aku berjalan-berjalan sebentar. Kau bisa menaruh kopiku di ruangan. Terima kasih.”

Aku memasukkan ponsel ke saku, dan melanjutkan langkahku dengan perlahan. Suasana rumah sakit saat dini hari begini, memang terasa agak berbeda. Tetapi, aku sangat menyukai suasana hening seperti ini. Tanpa terasa, aku sudah sampai di depan pintu IGD. Aku melihat ke sekeliling, beberapa orang co-ast menyapaku ramah.

Tiba-tiba, mobil ambulans berhenti di depanku. Dua orang perawat turun, dan langsung masuk ke dalam dengan tergopoh. Hal seperti ini biasa terjadi, tetapi entah mengapa, kali ini aku sangat penasaran. Aku bergerak mendekat ke arah pintu ambulans, diiringi dengan langkah dokter dan para perawat yang tergopoh membawa pasien ke luar ambulans dengan kereta dorong. Sepertinya, pasien ini adalah korban kecelakaan. Aku mengikuti mereka dari belakang.

“Denyut jantungnya normal, tetapi, pasien mengalami shock, sehingga dia pingsan. Tolong segera hubungi keluarganya” kata dokter Peter. Ya, aku tanda pengenal di jasnya. Sepertinya dia adalah dokter yang bertugas berjaga di IGD malam ini.

“Beliau tidak memiliki identitas, Dokter. Wajahnya juga sulit dikenali” kata salah seorang perawat.

“Lalu bagaimana? Apa tidak ada satupun tanda pengenal, nomor telepon keluarga, atau yang lainnya?” perawat yang lainnya ikut angkat bicara.

Perawat sebelumnya hanya menjawab dengan gelengan kepala. Aku bergerak mendekat. Dokter Peter dan kedua perawat itu membungkukan badannya, tanda memberi salam hormat kepadaku. Aku balas membungkukan badan. Perlahan aku mendekati pasien yang terbaring lemah tak berdaya itu. Seorang wanita, dan benar, wajahnya penuh luka, nyaris hancur. Cukup mengerikan, dan membuat yang melihatnya bergidik.

“Bisakah pasien ini masuk ke ruang rawat? Aku yang akan bertanggung jawab” kataku pada Dokter Peter dan kedua perawat itu. Mereka saling menatap. “Aku yang akan bicara kepada dokter penanggung jawab IGD. Bisakah kalian membawanya ke ruang rawat, dan berikan dia perawatan semaksimal mungkin. Dia butuh perawatan intensif” kataku lagi.

“Baiklah, tetapi, kami harus membersihkan lukanya dulu” kata Dokter Peter.

Aku mengangguk, dan mundur perlahan, memberikan ruang kepada mereka untuk melakukan tugas mereka. Entah apa yang aku lakukan, kenapa aku ingin sekali menolong gadis itu, padahal aku tidak mengenalnya sama sekali?

“Dokter” panggil salah satu perawat tadi.

Aku menoleh dan dengan sigap menghampirinya. “Bagaimana?” tanyaku.

“Kami sudah membersihkan lukanya, dan kami akan membawanya ke ruang rawat pasien. Kondisinya sangat lemah, sepertinya akan butuh waktu untuknya sampai dia siuman”

“Tolong berikan perawatan terbaik. Aku akan segera menemui dokter penanggung jawab. Terima kasih atas bantuannnya” kataku lagi.

Aku yakin, aku tidak melakukan suatu yang salah. Aku merasa gadis itu sedang bicara padaku, dan memohon pertolonganku. Pasti ada suatu hal yang membawa kami, sehingga kami bisa bertemu. Perlahan aku membuka pintu ruang kerjaku, Threz sudah berada di sana.

“Anda darimana? Kopinya hampir dingin” katanya, sambil menyeruput segelas kopi di tangannya.

“Hanya berjalan-jalan, mencari angin” jawabku sambil tersenyum, dan meraih kopi yang tersaji di atas meja. Aku meneguknya dengan perlahan. Pikiranku masih terbayang pada gadis tadi. Usianya mungkin sama dengan putriku. Perawakan mereka pun mirip. Saat aku melihatnya dibawa turun dari ambulans, aku seperti merasakan de javu. Seperti itulah yang aku rasakan, ketika melihat putriku dulu. Ya, sekarang aku tahu, kenapa aku menolongnya. Semua itu karena aku merasa iba padanya, di saat keadaannya seperti itu, tidak ada satupun keluarganya yang mendampinginya. Kasihan sekali.

“Dokter...Anda baik-baik saja?” pertanyaan Threz barusan, membuatku sedikit terkejut. Ternyata, aku cukup lama melamun. “Anda bisa pulang sekarang, jika Anda merasa lelah. Untuk laporan operasi hari ini, biar saya yang selesaikan” kata Threz.

Aku menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Aku hanya teringat pada putriku. Aku belum melihat keadaanya hari ini” kataku lagi.

Threz terdiam. Mungkin ia bingung harus berkata apa, sebab pertanyaan mengenai putriku, saat ini merupakan hal yang sensitif. Aku hampir putus asa dengan keadaannya. Bahkan dokter sudah menyarankan untuk mencabut semua alat bantu medis, karena kondisinya tidak ada kemajuan sama sekali. Tetapi, aku masih belum mau berpasrah, dan aku belum siap jika harus kehilangan.

“Mari kita selesaikan laporan hari ini, setelah itu, kita bisa beristirahat. Kau pasti sangat lelah” kataku pada Threz. Aku harus segera menyelesaikan pekerjaanku. Setelah itu, aku bisa menemuiku putriku. Aku sangat merindukannya, meski aku tidak bisa melihatnya tersenyum seperti dahulu, tetapi paling tidak, aku masih bisa melihat wajahnya, walaupun ia hanya bisa diam tanpa menunjukan ekspresi apapun.

Wajah itu, terlihat pucat dan tirus. Sudah terlalu lama ia di sini, dan tidak ada perkembangan sama sekali. Mungkin aku egois, karena memaksanya untuk tetap bertahan.

“Hai, putri cantikku. Bagaimana kabarmu hari ini?” Tanpa terasa, air mata ini kembali menetes. Rasa bersalah kembali menghampiriku. Maafkan aku Tuhan. Aku masih belum sanggup melepasnya. Ini sangat berat. Biarkan aku memeluknya lebih lama lagi.

\*\*\*\*\*\*\*

Aku memandang wajah gadis di depanku lekat-lekat. Kasihan sekali. Usianya masih muda, namun mengalami hal yang seberat ini. Dalam kondisi separah ini, tidak ada satupun keluarganya yang mendampinginya. Apakah ia memang hidup sebatang kara?

“Kondisinya sudah cukup membaik, mungkin sebentar lagi dia akan siuman” kata Dokter Joseph, dokter yang menangani gadis malang ini.

“Bagaimana dengan tubuh dan wajahnya?” tanyaku dengan sedikit khawatir.

“Wajahnya mengalami luka yang cukup serius, aku belum bisa memastikan, apakah bisa ditangani dengan tindakan bedah plastik. Ada beberapa tulang yang retak, mungkin sementara waktu, pasien akan mengalami kesulitan berjalan. Aku akan terus memantaunya, sampai ia benar-benar pulih, Anda tenang saja” jawab dokter Joseph.

“Baiklah, terima kasih atas bantuan Anda” kataku seraya mengantar Dokter Joseph menuju pintu keluar, kemudian berbalik menuju sofa yang ada di samping ranjang pasien. Rasanya sangat lelah, aku bahkan belum tidur sama sekali. Aku berusaha menahan rasa kantukku, tetapi rasanya sangat sulit, hingga akhirnya aku benar-benar tertidur.

“Gubrak...”

Suara benda jatuh yang cukup keras, membangunkanku dari tidur. Aku langsung bangkit, dan mendapati gadis yang tadi terbaring lemah di ranjang pasien, sudah berpindah ke lantai dan sedang terus berusaha untuk berdiri.

Dengan sigap aku langsung menghampirinya, perlahan membantunya untuk berdiri. Tetapi ia justru mengibaskan tanganku, lalu mundur ke sudut ranjang. Ia seperti ketakutan, dan terus menutupi wajahnya sambil menangis.

“Kau tidak perlu takut. Kenalkan, aku Lauricie, aku adalah seorang dokter. Aku tidak akan menyakitimu” kataku dengan perlahan, sambil bergerak mendekatinya yang terus menangis. Aku berusaha memeluknya, meski ada kemungkinan ia akan menepisku lagi, namun ternyata tidak. Ia membiarkanku memeluknya, meski tangisnya belum berhenti.

“Kau aman di sini. Tenanglah, aku akan menjagamu” kataku lagi, kali ini tangisnya perlahan mereda. Aku membopongnya, dan kembali membawanya ke ranjang. “Kau mau air?” tanyaku lagi.

Gadis itu mengangguk perlahan. Aku tidak berani mengatakan hal apapun, ia pasti akan sangat terkejut melihat perban yang hampir menutupi seluruh luka di wajahnya, dan tentunya akan lebih menyakitkan lagi, saat ia menyadari bahwa keadaan wajahnya benar-benar parah.

“Terimakasih sudah menolongku, Dokter” katanya dengan lemah, setelah menelan dua teguk air. Kali ini ia sudah tampak sedikit tenang.

“Aku hanya melakukan hal yang seharusnya aku lakukan. Bolehkah aku bertanya, siapa namamu?” tanyaku dengan sedikit ragu.

“Monn, namaku Monnaire”

\*\*\*\*\*\*\*\*

Hari ini, Monnaire sudah diizinkan pulang, kondisi sudah amat sangat jauh lebih baik dari sebelumnya, hanya saja, ia masih harus dibantu kruk untuk berjalan. Dilihat dari perawakannya, Monnaire benar-benar mirip dengan putriku, sehingga membuatku semakin rindu dengan saat-saat kebersamaan kami dahulu, sebelum peristiwa itu membuatnya mengalami kondisi seperti saat ini.

Aku memutuskan untuk merawat Monnaire, dan memantau perkembangan kesehatannya, sehingga menurutku, akan lebih baik jika Monnaire tinggal bersamaku.

“Saya sudah banyak merepotkan Anda” katanya dengan sungkan.

Aku menggeleng pelan. “Pertemuan kita, sudah diatur oleh takdir” ucapku perlahan.

Monnaire manarik nafas panjang, dan terdiam cukup lama. “Suatu saat, ya, suatu saat, saya akan membalas kebaikan Anda” katanya memecah keheningan.

Aku berjibaku dengan pikiranku, antara perasaan iba dan tega, namun perasaan ini benar-benar tidak tertahan. Dengan sedikit dorongan dari hatiku, akhirnya aku berani mengatakannya.

“Bagaimana kalau aku meminta balasannya sekarang?”

Monnaire tampak terperangah. Ia seperti sedang menelaah maksud dari perkataan orang gila yang ada di hadapannya. Orang yang baru ia kenal, tetapi sudah lancang meminta sesuatu yang bahkan di luar nalar.

“Saya tidak punya apa-apa saat ini. Jika Anda meminta uang, saya tidak bisa memberikannya” kata Monnaire.

Aku langsung menyanggah kalimatnya. “Bukan, aku sama sekali tidak meminta uang. Bukan itu yang aku inginkan. Aku menginginkan hal lain”

“Hal lain?” tanya Monnaire dengan nada heran.

“Bisakah kau menjadi putriku?” kataku dengan terbata. Ada sedikit pikiran ragu diantaranya. “Aku tidak tahu, apa yang menyebabkan keadaanmu seperti ini, tetapi aku yakin, kita bisa saling membantu” kataku lagi.

Monnaire kembali terdiam. “Kenapa aku harus melakukannya?” tanyanya lagi.

“Putriku, dia adalah korban percobaan pembunuhan. Sayangnya, aku belum bisa mendapatkan buktinya. Hingga saat ini, kecelakaan yang melibatkan putriku, dianggap sebagai kelalainnya sendiri. Orang-orang itu bilang, kecelakaan itu terjadi, karena putriku mengonsumsi narkoba sebelum mengemudi” kataku sambil berusaha menahan tangisku yang hampir pecah.

“Bagaimana Anda bisa tahu, kalau itu adalah pembunuhan?” Monairre seperti penasaran.

“Saat putriku mengalami kecelakaan, dokter di rumah sakit menyatakan bahwa putriku positif mengonsumsi benzodiazepin. Tetapi, ada hal janggal terjadi, kecelakaan itu sudah berlangsung beberapa jam, namun, penyerapan zat dari obat itu, baru berlangsung selama tiga puluh menit”

“Jadi maksud Anda, ada orang yang dengan sengaja memberikan obat itu, ketika putri Anda sudah tidak sadar?”

“Ya, tetapi, aku tidak dapat membuktikannya, karena rekam medis itu tiba-tiba saja hilang, dan aku juga sudah tidak pernah lagi melihat dokter yang pertama kali menangani putriku”

“Jadi, Anda ingin saya melakukan apa?”

“Kau mau membantuku?”

“Ehm, bagaimana ya, saya tidak yakin. Tetapi, saya ingin mempertimbangkannya” kata Monnaire. Aku seperti melihat setitik harapan.

“Aku...” berulang kali aku menarik nafas, mencoba mengumpulkan keberanianku untuk menyampaikan tujuanku pada Monnaire. Ada sedikit kekhawatiran, ia tidak akan setuju.

“Aku, akan mengubah wajahmu, menjadi wajah putriku, dan aku ingin kau membantuku mengungkap kebenarannya. Mereka, harus mendapatkan hukuman atas perbuatan mereka” kataku dengan bergetar. Aku tahu, akan berat baginya menjalani hidup dengan wajah orang lain, tetapi entah mengapa, aku yakin, cara ini juga akan membantunya. Entah bagaimana nanti jalannya.

Monnaire tampak ragu, ada kegelisahan terpancar dari wajahnya. “Biarkan aku mempertimbangkannya. Sekarang, bolehkah aku beristirahat?” pinta Monnaire.

“Silahkan. Beritahu aku, apapun keputusanmu” kataku dengan sedikit berharap.

Monnaire berpamitan padaku, sambil perlahan berjalan dengan kruk di kedua lengannya. Aku tidak akan bertanya tentang apa yang sudah membuatnya seperti itu. Aku yakin, ketika ia siap, ia akan menceritakan semuanya padaku. Seperti yang aku katakan sebelumnya, pertemuan kami sudah diatur oleh takdir. Kami bisa saling membantu, bahkan mungkin saling menguntungkan. Mutualisme.

\*\*\*\*\*\*

Terpopuler

Comments

Carnatia Orchidia

Carnatia Orchidia

terimakasih kakak

2023-10-06

1

Alfan

Alfan

tetap semangat ya kak, karya kakak bagus👍👍👍

2023-10-06

0

lihat semua
Episodes
1 Prolog
2 Part 1 - Legacy
3 Part 2 - Mutualism
4 Part 3 - Taken (1)
5 Part 3 - Taken (2)
6 Part 3 - Taken (3)
7 Part 3 - Taken (4)
8 Part 3 - Taken (5)
9 Part 3 - Taken (6)
10 Part 3 - Taken (End)
11 Part 4 - Pengkhianat (1)
12 Part 4 - Pengkhianat (2)
13 Part 4 - Pengkhianat (3)
14 Part 4 - Pengkhianat (End)
15 Part 5 - Aku Yang Baru (1)
16 Part 5 - Aku Yang Baru (2)
17 Part 5 - Aku Yang Baru (3)
18 Part 5 - Aku Yang Baru (4)
19 Part 5 - Aku Yang Baru (5)
20 Part 5 - Aku Yang Baru (End)
21 Special Part
22 Part 6 - Parhelion
23 Part 7 - Iblis Yang Sebenarnya (1)
24 Part 7 - Iblis Yang Sebenarnya (2)
25 Part 7 - Iblis Yang Sebenarnya (3)
26 Part 7 - Iblis Yang Sebenarnya (4)
27 Part 7 - Iblis Yang Sebenarnya (End)
28 Part 8 - Orang Yang Dipercaya
29 Part 9 - Kebetulan dan Keberuntungan
30 Part 10 - Teman?
31 Part 11 - Sekutu Yang Dipaksa (1)
32 Part 11 - Sekutu Yang Dipaksa (2)
33 Part 11 - Sekutu Yang Dipaksa (3)
34 Part 11 - Sekutu Yang Dipaksa (End)
35 Part 12 - Cepat Atau Lambat
36 Part 13 - Kehidupan dan Kematian
37 Part 14 - The War (1)
38 Part 14 - The War (2)
39 Part 14 - The War (3)
40 Part 14 - The War (4)
41 Part 14 - The War (End)
42 ucapan Terimakasih dan dukungan
43 Part 15 - Yang Tersembunyi (1)
44 Part 15 - Yang Tersembunyi (2)
45 Part 15 - Yang Tersembunyi (3)
46 Part 15 - Yang Tersembunyi (4)
47 Part 15 - Yang Tersembunyi (End)
48 Part 16 - Planning (1)
49 Part 16 - Planning (2)
50 Part 16 - Planning (3)
51 permohonan maaf
52 Mohon maaf sekali lagi
Episodes

Updated 52 Episodes

1
Prolog
2
Part 1 - Legacy
3
Part 2 - Mutualism
4
Part 3 - Taken (1)
5
Part 3 - Taken (2)
6
Part 3 - Taken (3)
7
Part 3 - Taken (4)
8
Part 3 - Taken (5)
9
Part 3 - Taken (6)
10
Part 3 - Taken (End)
11
Part 4 - Pengkhianat (1)
12
Part 4 - Pengkhianat (2)
13
Part 4 - Pengkhianat (3)
14
Part 4 - Pengkhianat (End)
15
Part 5 - Aku Yang Baru (1)
16
Part 5 - Aku Yang Baru (2)
17
Part 5 - Aku Yang Baru (3)
18
Part 5 - Aku Yang Baru (4)
19
Part 5 - Aku Yang Baru (5)
20
Part 5 - Aku Yang Baru (End)
21
Special Part
22
Part 6 - Parhelion
23
Part 7 - Iblis Yang Sebenarnya (1)
24
Part 7 - Iblis Yang Sebenarnya (2)
25
Part 7 - Iblis Yang Sebenarnya (3)
26
Part 7 - Iblis Yang Sebenarnya (4)
27
Part 7 - Iblis Yang Sebenarnya (End)
28
Part 8 - Orang Yang Dipercaya
29
Part 9 - Kebetulan dan Keberuntungan
30
Part 10 - Teman?
31
Part 11 - Sekutu Yang Dipaksa (1)
32
Part 11 - Sekutu Yang Dipaksa (2)
33
Part 11 - Sekutu Yang Dipaksa (3)
34
Part 11 - Sekutu Yang Dipaksa (End)
35
Part 12 - Cepat Atau Lambat
36
Part 13 - Kehidupan dan Kematian
37
Part 14 - The War (1)
38
Part 14 - The War (2)
39
Part 14 - The War (3)
40
Part 14 - The War (4)
41
Part 14 - The War (End)
42
ucapan Terimakasih dan dukungan
43
Part 15 - Yang Tersembunyi (1)
44
Part 15 - Yang Tersembunyi (2)
45
Part 15 - Yang Tersembunyi (3)
46
Part 15 - Yang Tersembunyi (4)
47
Part 15 - Yang Tersembunyi (End)
48
Part 16 - Planning (1)
49
Part 16 - Planning (2)
50
Part 16 - Planning (3)
51
permohonan maaf
52
Mohon maaf sekali lagi

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!