Resep Cinta Chef Raka
Raka berada dalam titik awal dari semua kesedihannya. Suatu jalan yang penuh keramaian metropolitan, menciptakan lamunan sporadis di matanya sejak tadi. Mencari ayahnya. Menemukan alasan mengapa dan kenapa ibunya ditinggalkan. Raka sudah dua hari di Jakarta dan mencari tempat pekerjaan yang ibunya amanatkan.
Ayahnya pun tak kunjung didapati. Seorang gadis beraura dingin melewatinya dengan acuh. Raka melihat gadis itu seperti dirinya. Tak punya tujuan jelas, tak punya tempat pulang, dan pencarian yang melelahkan.
Gadis itu mengedarkan bola mata padanya. Seakan kosong dalam tatapan, Raka menuruti arah pandangan itu. Raka seolah terhipnotis untuk mendekat. Gadis itu melihat Raka berjalan ke arahnya, seperti manusia yang sedang bangun di tengah malam mencari-cari pawang hidupnya.
"Kenapa dia diam saja seperti itu? Mungkin aku bisa meminta bantuan padanya,” Raka berujar penasaran sambil tetap melangkahkan kakinya.
Gadis itu duduk di pinggiran jalan bersama minuman yang sudah ia beli. Ia menyadari kalau Raka memperhatikannya.
"Mas nya kenapa, ya? Gak pernah lihat perempuan cantik?" ketusnya pada Raka.
“Sa-saya,” Raka ragu melanjutkan ucapannya.
Gadis itu memberikan tekanan yang tak biasa. Dia menatap Raka dengan penuh tanya.
“Mbak kenapa malam-malam keluyuran begini? Saya sebenarnya cuman ingin numpang tanya,” Raka melanjutkan ucapannya tadi.
“Cuman mau numpang tanya saja pakai acara drama segala,” gadis itu kembali ketus.
“Drama gimana?”
“Maksud saya, mas nya langsung aja tanya, gak perlu ada tatapan serius seperti tadi.”
Raka bergidik, mencoba diam sebentar lalu berkata lagi, “Saya minta maaf.”
“Diterima,” jawab gadis itu datar. “Terus mau tanya apa?”
Raka menunjuk ke arah restoran di ujung jalan sambil menjelaskan, “Saya ingin melamar di sana, restoran itu apakah termasuk restoran...”
“Mending jangan deh, Mas,” potong gadis itu, belum selesai Raka menyelesaikan ujung kata- katanya.
“Kenapa?” Raka langsung terbelalak kecil.
“Itu restoran mahal, Mas. Karyawan sampai koki nya juga gak sembarangan. Lagipula, mungkin sudah gak ada lubang yang perlu diisi di restoran sekelas itu.”
Perkataan gadis itu memang ada benarnya, setidaknya begitu isi pikiran Raka. Ia mulai pesimis dan jika memutuskan balik ke Madura, tempat ibunya. Ia lebih baik mati jika harus bertemu lagi dengan ayahnya.
“Mas nya sendiri darimana?” tanya gadis itu lagi.
“Madura.”
“Emang di Madura gak ada restoran?”
Raka seketika teringat restoran ibunya, titik awal dari semua penyebab ibu dan ayahnya harus berpisah. Raka seketika bergerak ke arah belakang dan tanpa sadar meninggalkan gadis itu.
“Eh, jangan main ninggalin aja dong!” cegah gadis itu.
Ia bangkit dari duduknya dan menyusul Raka yang tidak menghiraukan panggilannya.
Raka yang awalnya merasa bisa saling membantu dengan perempuan itu, berubah jadi enggan dan menjauhi. Raka pergi tanpa menyadari bahwa plot ceritanya, benar-benar akan merubah takdirnya bersama gadis tadi di kemudian hari. Namun keputusan singkatnya itu berubah seketika saat gadis itu melewatinya dengan berlari kecil. Mencegah kepergiannya yang tanpa alasan tadi.
Raka mengangkat wajahnya dan bertanya normal, seolah-olah tidak ada obrolan apapun sebelumnya, “Ada apa lagi, Mbak?”
“Katanya mau melamar di restoran itu? Kok gak dilanjutin pertanyaannya?”
Pertanyaan gadis membuat Raka begitu terheran-heran. Bagaimana tidak, gadis itu mendadak muncul lagi bersama sikap kontras dari apa yang diucapkan sebelumnya. Raka dibuat pesimis dan sekarang datang lagi meminta optimisme dari Raka.
“Tadi katanya jangan di restoran itu?” tanya Raka agak sedih.
“Kenapa Mas nya jadi sedih gitu? Kebetulan restoran itu,” gadis itu tak melanjutkan perkataannya.
“Apa?”
“Gak apa-apa.”
Raka pun menuruti ucapan gadis itu dan menuju sebuah restoran besar yang terlihat sejauh mata memandang. Ia masuk ke dalam. Gadis tadi tidak ikut, dia berkata akan menunggu di tempat tadi.
“Kenapa dia memaksa sekali supaya aku tetap coba melamar di restoran itu?” ujar Raka sampai akhirnya berdiri di depan restoran.
Raka masuk. Orang-orang yang sedang makan di dalamnya terlihat berpenampilan sesuai dengan kemewahan restoran. Memang restoran itu bukan tempat yang cocok untuk Raka. Begitu pikirnya pribadi. Namun Raka tak ingin langsung beranjak pergi, ia memilih menemui ketua restoran dan melamar pekerjaan. Raka dipersilahkan ke ruangan.
"Apa yang bisa kamu tawarkan pada kami?" ucap manager restoran itu.
Raka membisu sepersekian detik. Ia tak menyangka pertanyaannya akan seperti itu. Di pikirannya, biasanya pelamar akan ditanyai tentang pengalaman kerja sebelumnya dan tidak ada kaitannya dengan resep.
"Mas nya melamar di sebuah restoran, bukan perusahaan. Jadi wajar saya menanyakan itu," ketua itu menjelaskan maksud pertanyaan sebelumnya yang sempat ditanyakan alasannya oleh Raka.
"Saya mengerti. Apa saya bisa diberikan kesempatan bereksperimen dan menciptakan menu baru yang hebat di restoran ini?" Raka menawari.
"Maaf, itu bukan jawaban yang saya inginkan. Saya belum bisa menerima Anda bekerja di sini. Semoga Mas nya mengerti."
Raka yang tak mengerti tentang maksud manager itu, memutuskan tetap diam dan menerima. Ia pamit dan keluar. Di luar ia merenungi maksud perkataan manager itu. Ia pun melihat ke arah sembarang karena sudah tak tahu harus kemana.
Sampai di luar, Raka dikejutkan oleh panggilan yang tidak asing. Yah, gadis itu telah berada lebih dekat dari posisi ia menunggu sebelumnya. Melihat Raka dengan tatapan berkaca-kaca yang tanpa penyebab pastinya.
“Dia benar-benar masih menunggu?” batin Raka.
Raka menghampiri.
“Bagaimana?” tanya gadis itu.
Raka belum mau menjawab.
Sepersekian detik berjalan sampai akhirnya gadis itu berkata lagi, “Tidak perlu dijawab, aku sudah tahu bisa menebak dari wajahnya Mas.”
“Panggil Raka saja,” kata Raka sekedarnya saja.
“Mas Raka,” gadis itu menyodorkan tangannya. “Reina.”
“Oh, Reina,” Raka tersenyum seraya menerima sodoran tangan dari gadis bernama Reina itu.
Raka dan Reina, pertemuan alami yang tidak disadari keduanya. Bahkan Raka tidak sadar dirinya seakan begitu mudah dibuat menurut, oleh gadis yang baru ia kenal itu. Begitu juga Reina, ia pun tidak mengerti bagaimana Raka yang tidak terlalu banyak bicara, bisa membuatnya terbuka lebih jauh.
"Aku pulang saja, Reina. Aku tidak enak terlalu lama meninggalkan ibu aku di kampung," kata Raka sembari melepas tangannya pelan dari Reina.
“Mas Raka mau langsung balik ke Madura malam-malam begini?” Reina menunjukkan kepeduliannya yang samar. Entah apa alasannya.
Raka hanya memberi anggukkan pelan dan menjawab, “Iya.”
“Kalau begitu aku ikut ya, Mas Raka?”
Raka tersengat pertanyaan Reina, “Ke Madura? Ngapain? Kamu kan tinggal di sini? Kamu gak dicari sama orangtua kamu? Nanti aku disangka penculik terus masuk koran gimana?”
Reina malah tertawa kecil merespon pertanyaan alami dari Raka, “Mas, gak apa-apa. Panjang ceritanya. Aku juga sudah gak mau ada di kota ini. Kalau ada pekerjaan di Madura, nanti kita melamar sama-sama, ya? Pokoknya Mas Raka harus selamatkan aku dari kota ini.”
Raka terperangah kecil, dipikirannya timbul pertanyaan ada apa dengan Reina? Ia merasa Reina memiliki masalah yang juga belum bisa diceritakan sama seperti dirinya. Mereka lalu menaiki bus trans sementara. Raka yang sudah memutuskan pulang dan mengiyakan permintaan Reina yang tanpa alasan itu, mendadak dihentikan oleh penglihatannya sendiri. Ia melihat sosok yang dikenal dan dicari. Dari kejauhan pikirannya terbuka lebar.
"Apa itu ayah?" tanya Raka dalam batin. "Rasanya bukan. Tapi kenapa aku merasa yakin?"
Karena masih ragu, Raka mendekati dan memutuskan turun lagi dari bus trans.
“Loh, bus nya kan sudah mau jalan, Mas!” Reina berseru panik.
“Sebentar, Ren!”
Ketika akan menyeru pria yang ia sangka ayahnya itu, bus trans lain yang dinaiki pria tadi terlanjur berjalan. Raka pasrah atas kegagalannya. Ia pun melanjutkan niat sebelumnya untuk kembali ke Madura dan duduk berdekatan dengan Reina, yang tidak ia sangka akan hadir dalam hidupnya dengan cara seperti itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
Rahma Inayah
mampir thor
2023-08-26
0
Bunga Syakila
menyimak
2023-08-15
0