Raka berada dalam titik awal dari semua kesedihannya. Suatu jalan yang penuh keramaian metropolitan, menciptakan lamunan sporadis di matanya sejak tadi. Mencari ayahnya. Menemukan alasan mengapa dan kenapa ibunya ditinggalkan. Raka sudah dua hari di Jakarta dan mencari tempat pekerjaan yang ibunya amanatkan.
Ayahnya pun tak kunjung didapati. Seorang gadis beraura dingin melewatinya dengan acuh. Raka melihat gadis itu seperti dirinya. Tak punya tujuan jelas, tak punya tempat pulang, dan pencarian yang melelahkan.
Gadis itu mengedarkan bola mata padanya. Seakan kosong dalam tatapan, Raka menuruti arah pandangan itu. Raka seolah terhipnotis untuk mendekat. Gadis itu melihat Raka berjalan ke arahnya, seperti manusia yang sedang bangun di tengah malam mencari-cari pawang hidupnya.
"Kenapa dia diam saja seperti itu? Mungkin aku bisa meminta bantuan padanya,” Raka berujar penasaran sambil tetap melangkahkan kakinya.
Gadis itu duduk di pinggiran jalan bersama minuman yang sudah ia beli. Ia menyadari kalau Raka memperhatikannya.
"Mas nya kenapa, ya? Gak pernah lihat perempuan cantik?" ketusnya pada Raka.
“Sa-saya,” Raka ragu melanjutkan ucapannya.
Gadis itu memberikan tekanan yang tak biasa. Dia menatap Raka dengan penuh tanya.
“Mbak kenapa malam-malam keluyuran begini? Saya sebenarnya cuman ingin numpang tanya,” Raka melanjutkan ucapannya tadi.
“Cuman mau numpang tanya saja pakai acara drama segala,” gadis itu kembali ketus.
“Drama gimana?”
“Maksud saya, mas nya langsung aja tanya, gak perlu ada tatapan serius seperti tadi.”
Raka bergidik, mencoba diam sebentar lalu berkata lagi, “Saya minta maaf.”
“Diterima,” jawab gadis itu datar. “Terus mau tanya apa?”
Raka menunjuk ke arah restoran di ujung jalan sambil menjelaskan, “Saya ingin melamar di sana, restoran itu apakah termasuk restoran...”
“Mending jangan deh, Mas,” potong gadis itu, belum selesai Raka menyelesaikan ujung kata- katanya.
“Kenapa?” Raka langsung terbelalak kecil.
“Itu restoran mahal, Mas. Karyawan sampai koki nya juga gak sembarangan. Lagipula, mungkin sudah gak ada lubang yang perlu diisi di restoran sekelas itu.”
Perkataan gadis itu memang ada benarnya, setidaknya begitu isi pikiran Raka. Ia mulai pesimis dan jika memutuskan balik ke Madura, tempat ibunya. Ia lebih baik mati jika harus bertemu lagi dengan ayahnya.
“Mas nya sendiri darimana?” tanya gadis itu lagi.
“Madura.”
“Emang di Madura gak ada restoran?”
Raka seketika teringat restoran ibunya, titik awal dari semua penyebab ibu dan ayahnya harus berpisah. Raka seketika bergerak ke arah belakang dan tanpa sadar meninggalkan gadis itu.
“Eh, jangan main ninggalin aja dong!” cegah gadis itu.
Ia bangkit dari duduknya dan menyusul Raka yang tidak menghiraukan panggilannya.
Raka yang awalnya merasa bisa saling membantu dengan perempuan itu, berubah jadi enggan dan menjauhi. Raka pergi tanpa menyadari bahwa plot ceritanya, benar-benar akan merubah takdirnya bersama gadis tadi di kemudian hari. Namun keputusan singkatnya itu berubah seketika saat gadis itu melewatinya dengan berlari kecil. Mencegah kepergiannya yang tanpa alasan tadi.
Raka mengangkat wajahnya dan bertanya normal, seolah-olah tidak ada obrolan apapun sebelumnya, “Ada apa lagi, Mbak?”
“Katanya mau melamar di restoran itu? Kok gak dilanjutin pertanyaannya?”
Pertanyaan gadis membuat Raka begitu terheran-heran. Bagaimana tidak, gadis itu mendadak muncul lagi bersama sikap kontras dari apa yang diucapkan sebelumnya. Raka dibuat pesimis dan sekarang datang lagi meminta optimisme dari Raka.
“Tadi katanya jangan di restoran itu?” tanya Raka agak sedih.
“Kenapa Mas nya jadi sedih gitu? Kebetulan restoran itu,” gadis itu tak melanjutkan perkataannya.
“Apa?”
“Gak apa-apa.”
Raka pun menuruti ucapan gadis itu dan menuju sebuah restoran besar yang terlihat sejauh mata memandang. Ia masuk ke dalam. Gadis tadi tidak ikut, dia berkata akan menunggu di tempat tadi.
“Kenapa dia memaksa sekali supaya aku tetap coba melamar di restoran itu?” ujar Raka sampai akhirnya berdiri di depan restoran.
Raka masuk. Orang-orang yang sedang makan di dalamnya terlihat berpenampilan sesuai dengan kemewahan restoran. Memang restoran itu bukan tempat yang cocok untuk Raka. Begitu pikirnya pribadi. Namun Raka tak ingin langsung beranjak pergi, ia memilih menemui ketua restoran dan melamar pekerjaan. Raka dipersilahkan ke ruangan.
"Apa yang bisa kamu tawarkan pada kami?" ucap manager restoran itu.
Raka membisu sepersekian detik. Ia tak menyangka pertanyaannya akan seperti itu. Di pikirannya, biasanya pelamar akan ditanyai tentang pengalaman kerja sebelumnya dan tidak ada kaitannya dengan resep.
"Mas nya melamar di sebuah restoran, bukan perusahaan. Jadi wajar saya menanyakan itu," ketua itu menjelaskan maksud pertanyaan sebelumnya yang sempat ditanyakan alasannya oleh Raka.
"Saya mengerti. Apa saya bisa diberikan kesempatan bereksperimen dan menciptakan menu baru yang hebat di restoran ini?" Raka menawari.
"Maaf, itu bukan jawaban yang saya inginkan. Saya belum bisa menerima Anda bekerja di sini. Semoga Mas nya mengerti."
Raka yang tak mengerti tentang maksud manager itu, memutuskan tetap diam dan menerima. Ia pamit dan keluar. Di luar ia merenungi maksud perkataan manager itu. Ia pun melihat ke arah sembarang karena sudah tak tahu harus kemana.
Sampai di luar, Raka dikejutkan oleh panggilan yang tidak asing. Yah, gadis itu telah berada lebih dekat dari posisi ia menunggu sebelumnya. Melihat Raka dengan tatapan berkaca-kaca yang tanpa penyebab pastinya.
“Dia benar-benar masih menunggu?” batin Raka.
Raka menghampiri.
“Bagaimana?” tanya gadis itu.
Raka belum mau menjawab.
Sepersekian detik berjalan sampai akhirnya gadis itu berkata lagi, “Tidak perlu dijawab, aku sudah tahu bisa menebak dari wajahnya Mas.”
“Panggil Raka saja,” kata Raka sekedarnya saja.
“Mas Raka,” gadis itu menyodorkan tangannya. “Reina.”
“Oh, Reina,” Raka tersenyum seraya menerima sodoran tangan dari gadis bernama Reina itu.
Raka dan Reina, pertemuan alami yang tidak disadari keduanya. Bahkan Raka tidak sadar dirinya seakan begitu mudah dibuat menurut, oleh gadis yang baru ia kenal itu. Begitu juga Reina, ia pun tidak mengerti bagaimana Raka yang tidak terlalu banyak bicara, bisa membuatnya terbuka lebih jauh.
"Aku pulang saja, Reina. Aku tidak enak terlalu lama meninggalkan ibu aku di kampung," kata Raka sembari melepas tangannya pelan dari Reina.
“Mas Raka mau langsung balik ke Madura malam-malam begini?” Reina menunjukkan kepeduliannya yang samar. Entah apa alasannya.
Raka hanya memberi anggukkan pelan dan menjawab, “Iya.”
“Kalau begitu aku ikut ya, Mas Raka?”
Raka tersengat pertanyaan Reina, “Ke Madura? Ngapain? Kamu kan tinggal di sini? Kamu gak dicari sama orangtua kamu? Nanti aku disangka penculik terus masuk koran gimana?”
Reina malah tertawa kecil merespon pertanyaan alami dari Raka, “Mas, gak apa-apa. Panjang ceritanya. Aku juga sudah gak mau ada di kota ini. Kalau ada pekerjaan di Madura, nanti kita melamar sama-sama, ya? Pokoknya Mas Raka harus selamatkan aku dari kota ini.”
Raka terperangah kecil, dipikirannya timbul pertanyaan ada apa dengan Reina? Ia merasa Reina memiliki masalah yang juga belum bisa diceritakan sama seperti dirinya. Mereka lalu menaiki bus trans sementara. Raka yang sudah memutuskan pulang dan mengiyakan permintaan Reina yang tanpa alasan itu, mendadak dihentikan oleh penglihatannya sendiri. Ia melihat sosok yang dikenal dan dicari. Dari kejauhan pikirannya terbuka lebar.
"Apa itu ayah?" tanya Raka dalam batin. "Rasanya bukan. Tapi kenapa aku merasa yakin?"
Karena masih ragu, Raka mendekati dan memutuskan turun lagi dari bus trans.
“Loh, bus nya kan sudah mau jalan, Mas!” Reina berseru panik.
“Sebentar, Ren!”
Ketika akan menyeru pria yang ia sangka ayahnya itu, bus trans lain yang dinaiki pria tadi terlanjur berjalan. Raka pasrah atas kegagalannya. Ia pun melanjutkan niat sebelumnya untuk kembali ke Madura dan duduk berdekatan dengan Reina, yang tidak ia sangka akan hadir dalam hidupnya dengan cara seperti itu.
Awan pagi berserakan di langit, menandakan berantakannya hati Raka yang harus memutuskan kembali ke Madura. Reina hanya memilih diam dan beristirahat di samping Raka. Ia seakan telah mengenal Raka ribuan tahun. Raka pun demikian, permasalahan pribadinya membuat ia memandang sikap orang yang baru dikenal seperti Reina jadi biasa saja.
“Kalau boleh tahu, kenapa Mas Raka sampai jauh-jauh ke Jakarta? Ada pertanyaan yang aku rasa belum dijawab waktu itu,” kata Reina membuka percakapan.
“Ada hal yang tidak bisa aku katakan padamu, Reina. Maaf soal itu, aku memang tidak bisa bekerja di restoran itu.”
“Restoran mana?”
“Brielle Resto. Hanya beberapa langkah dari rumahku.”
“Memangnya tidak bisa karena apa?”
Raka tak menjawab, ia hanya memberikan senyum.
“Ini persoalan masalah keluarga, restoran itu ada kaitannya. Aku tidak bisa mengatakannya padamu.”
Reina bersikap memaklumi kemudian.
“Kalau kamu sendiri?” giliran Raka bertanya.
“Aku kabur dari dunia yang tidak bisa mengerti aku,” Reina mendadak drama.
“Kenapa jadi puitis begitu? Biasa saja jawabnya,” Raka protes kecil.
“Ya memang adanya begitu, Mas. Ada hal yang tak bisa aku katakan juga.”
Pada akhirnya mereka akan saling mengetahui masalah masing-masing. Orbit kehidupan mereka berdua berada pada poros yang sama. Bertemu dengan takdir Tuhan yang tak bisa diubah seenaknya.
“Aku juga sempat melihat koran tentang restoran keren di Madura. Aku mau melamar kerja juga di sana nanti,” terang Reina lagi. “Tapi, kalau tidak salah Mas Raka nyebut nama restorannya apa?”
“Brielle Resto.”
Reina seketika teringat momen sebelum ia bertemu Raka malam tadi dan kabur dari rumah. Nama restoran yang Raka sebutkan, rasanya mirip dengan apa yang sudah tertulis dalam memori Reina. Reina lalu bercerita singkat pada Raka, tentang kejadian kecil setelah ia keluar dari rumahnya dan menemukan nama Brielle Resto.
Waktu itu, ia memandang cermin dengan sedih. Keputusan untuk pergi dari rumah mulai ia pikirkan secara matang. Tak ada yang bisa menghentikan seorang gadis yang telah tumbuh kecerdasan emosionalnya. Reina pun berbenah dan memasukkan beberapa pakaian cadangan ke dalam tas. Tak lupa juga sisa uang yang ia rasa cukup untuk seminggu.
Di luar, Reina menatap rumah mewah itu dengan tatapan kosong. Ada ucapan selamat tinggal yang terselip bersama tatapan itu. Dingin. Reina benar-benar menjadi gadis penuh drama hidup. Seorang penjual koran melintasi daerah depan rumahnya. Reina pun berpikir untuk langsung pergi setelah menutup pintu rumah. Ia berlari mengejar penjual koran itu.
“Pak, koran!” serunya.
Seruan penuh semangat Reina sanggup membuat telinga si penjual mendengar. Reina tertatih agak terengah-engah usai berhadapan dengan penjual koran itu.
“Ternyata masih ada mbak-mbak zaman sekarang yang butuh koran, ” kata si penjual koran semringah.
“Kalau di koran gini, ada informasi lowongan kerja gak, Pak?” Reina bertanya dengan sisa nafas ngos-ngosan.
“Coba aja cek, Neng. Perasaan ada deh di situ. Di kota mana ya, saya lupa. Coba di cek.”
“Iya, ini saya lagi cek.”
Reina melihat ke halaman tengah dan berujar, “Madura, Restoran Brielle Resto.”
“Nah, iya bener. Madura maksud saya. Hehe,” si penjual koran cengengesan. “Tapi kok Neng nyari pekerjaan? Kan rumahnya segede itu?” bapak penjual koran itu menunjuk rumah Reina.
“Apa gunanya punya rumah besar kalau tak ada kebahagiaan di dalamnya, Pak. Lagipula itu bukan rumah saya,” Reina berkata demikian seolah tanpa beban.
“Neng serius? Tapi pakaiannya Neng kok seperti," bapak penjual koran menampilkan wajah seperti sedang menerawang.
“Ah sudahlah, makasih ya, Pak. Saya pergi dulu."
Reina yang telah melangkah beberapa meter ke arah jalanan dan berniat menunggu bus, mendadak kembali menengok ke belakang. Ke arah penjual koran tadi.
“Loh, kenapa balik, Neng? Gak jadi pergi? Korannya sudah dibayar kok tadi.”
“Eh, anu. Saya mau tanya, kalau ke dari Jakarta ke Madura kira-kira cukup sehari gak nyampenya?”
Si penjual koran pun menyarankan Reina untuk menunggu hingga malam hari agar lebih cepat melalui jalur estafet.
“Oalah, kocak bener si Neng mah,” kata bapak penjual koran itu terpukau dengan sikap Reina.
“Saya pergi dulu ya, Pak.”
“Ya Neng, hati-hati.”
Dan memori itu lenyap meski belum benar-benar utuh. Raka hanya mengangguk datar beberapa kali selama Reina bercerita tadi. Reina sedikit dibuat kesal dengan sikapnya.
“Emang kamu bisa masak, mau kerja di restoran?” tanyanya.
“Gak sih, Mas. Bukan bagian memasak. Aku cuman ingin jadi pelayan biasa saja,” Reina tersenyum polos.
Raka sebetulnya heran alasan Reina memutuskan ikut dengannya dan meninggalkan Jakarta, kampung halaman Reina sendiri. Alasan Reina sangat tidak masuk akal baginya. Kepekaan Raka teruji di sini, karena Reina hanya menceritakan saat sebelum ia bertemu dengannya malam itu. Bukan penyebab ia meninggalkan rumahnya.
Semua analogi Reina masih lah tidak bisa menjelaskan latar belakangnya. Raka mencoba memahami Reina sebagai manusia betina yang sedang melarikan diri dari neraka di rumahnya. Mudah bagi Raka memahami itu tanpa harus diberitahu, sebab Raka pun sedang dalam penderitaan batin serupa. Meski ia tidak tahu jelas bentuk penderitaan yang Reina jalani sendiri.
Selang tujuh jam kemudian, di pagi yang tidak terlalu cerah ini, Raka telah kembali ke kampung halamannya. Reina yang baru ia kenal itu matanya berkaca-kaca melihat restoran bertuliskan 'Brielle Resto', terpampang jelas tak jauh dari depan rumah ibu Raka.
“Ren, kamu tunggu di sini ya?” kata Raka.
“Iya.”
Raka berlari ke dalam rumah tergopoh-gopoh dan menyisakan rindu yang menggebu. Ibu, jadi satu kata yang ia cari di dalam rumah kecilnya. Ia berseru berulang kali melebihi kebiasaannya saat pulang usai bepergian.
“Tidak ada jawaban. Apa ibu bersama Tuan Taro di restoran itu?" gumam Raka.
Pisau dapur tergeletak bebas di depan pintu dapur. Seakan sengaja dijatuhkan. Raka menelusuri. Ia bergerak seraya cemas. Pikirannya kemana-mana. Sosok tangan terkapar dan jadi sesuatu yang pertama terlihat. Raka langsung tahu tanpa ragu tangan milik siapa itu.
"Ibu!" Raka mulai panik dan segera menyadarkan ibunya yang pingsan. "Nadinya masih berdenyut, ibu hanya pingsan."
Di kamar setelah Raka menggendong ibunya, ia terduduk di kursi sempit sambil menunggu ibunya sadar. Ia keluar sebentar memanggil Reina. Reina terkesiap dan malu-malu masuk ke dalam.
“Apa tidak apa-apa?” tanya Reina sopan.
“Ya, anggap saja rumah di sini," Raka meminta Reina menunggu di ruang tamu.
Raka kembali ke ibunya. Ia memilih tidak mengatakan apa yang terjadi pada Reina. Karena dirasa ibunya baik-baik saja. Seketika Raka berniat ingin mengambil segelas air putih, tangan itu menahan lajunya.
"Ibu sudah sadar," ucap Raka lalu duduk kembali. Ia meraih telapak tangan ibunya, menciumnya, dan menggenggamnya lembut. "Ibu kenapa tidak bilang kalau obatnya habis? Kan aku bisa belikan dulu sebelum ke Jakarta waktu itu?"
Ibunya tersenyum, bibirnya bergerak untuk menjawab, "Tidak apa-apa. Kamu kenapa cepat pulang lagi, Nak? Sudah ketemu ayahmu?"
"Belum. Aku malah nyaris mendapatkan pekerjaan di restoran mewah, namun gagal karena bingung dengan pertanyaannya."
"Pertanyaan seperti apa?"
"Manajernya bertanya apakah aku memiliki resep hebat yang bisa membuat restorannya semakin besar? Padahal restoran itu sendiri sudah ramai pengunjung."
"Mungkin managernya merasa kamu mempunyai bekal pengetahuan dan resep sendiri, sehingga berani melamar jadi koki."
"Bagaimana ibu bisa tahu?"
"Ibu hafal dengan pertanyaan manajer itu. Dia adalah rekan bisnis ayahmu. Jika kamu mengatakan kalau pertanyaan yang diberikan seperti itu, maka sudah tidak salah lagi kalau yang memberi pertanyaan itu adalah dia.”
Raka terdiam. Informasi itu membuatnya mengingat kejadian malam itu. Ia merasa kalau yang dilihatnya waktu itu memanglah ayahnya. Apalagi ibunya mengatakan kalau restoran itu adalah restoran bisnis ayahnya. Dan kebetulan ia bertemu ayahnya tak jauh dari restoran itu.
“Apa itu sebuah kebetulan atau memang, ah,” Raka tak meneruskan ucapannya.
“Kenapa, Nak? Apa lagi yang kamu lihat di sana?” potong ibu Raka.
"Ibu," sebut Raka pelan pada ibunya lagi.
"Ya?"
"Aku memang seperti melihat ayah malam dari bus trans, tapi aku masih ragu. Posisiku saat itu tidak jauh dari restoran. Kenapa ibu tidak berkata tujuan aku menemui ayah di sana adalah restoran itu?"
"Ibu dan ayahmu bertengkar, Raka."
"Apa?"
"Ibu sudah meninggalkan resep pada Tuan Taro."
"Ibu, aku tidak tahu apa yang ibu bicarakan? Resep apa? Dan kenapa ayah membangun bisnis restoran di Jakarta tanpa sepengetahuan kita? Atau ibu banyak menyembunyikan hal padaku?"
"Menurutmu bagaimana, Raka? Apa yang bisa kamu nilai sekarang? Ibu rasa kamu sudah bisa peka. Ibu terjatuh juga bukan karena pingsan," lagi-lagi ibu Raka memotong.
"Apa yang ibu pikirkan? Apa ada masalah besar? Ayah pergi pasti karena alasan, kan? Ibu berbohong soal kerjasama bisnis restoran dengan ayah?"
Ibu Raka tak langsung menjawab, ia nampak semakin lesu seakan waktunya di dunia tak diizinkan berlama-lama. Sementara Reina masih duduk di ruang tamu tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Raka bahkan lupa mengatakan kalau ia membawa tamu.
"Kenapa ibu diam saja? Apa ayah ada hubungannya dengan kondisi ibu sekarang?"
Raka terus saja memberi tekanan pada ibunya. Ia merasa semua intuisinya sungguh adalah sebuah kebenaran. Ibunya kemudian menunjuk ke arah samping, ke arah sebuah lemari.
"Lemari?" Raka kembali dibuat heran.
"Buka lemari itu, Raka. Di bawah baju pertengahan, ada selembar kertas di dalam kotak hitam kecil. Keluarkan dulu kotaknya."
Raka yang sudah penuh dengan rasa penasaran, tak berpikir panjang lagi dan memilih bangkit dari tempat duduknya. Lemari itu dibuka. Kotak hitam kecil dikeluarkan. Raka tak langsung membukanya, ia lebih memilih mengedarkan pandangan kembali kepada si ibu.
"Lihatlah, Nak," kata ibunya.
"Aku belum ingin membuka kotak ini, Bu. Aku khawatir."
"Tak usah terlalu mengkhawatirkan hidup, putraku. Ada hal yang ibu belum bisa beritahu padamu. Disitu ada keterangan tentang semua resep yang harus kau kembangkan bersama Tuan Taro," jelas si ibu memotong perkataan anaknya.
Raka menangis. Air mata itu akhirnya kalah oleh ucapan yang bisa dirasakan maksudnya. Si ibu, singkatnya telah menitipkan suatu misteri sekaligus jawaban dari kepergian cepatnya.
Raka keluar kamar dan menemui Reina di ruang tamu sambil menangis. Meski sudah mengelap air matanya berkali-kali, sisa noda sedihnya masih bisa dibaca oleh Reina. Reina bertanya apa yang terjadi, namun Raka berpikir untuk tidak memberitahu apa-apa pada Reina. Ia lalu mengajak Reina ke tempat yang seharusnya.
“Loh, kata Mas ibunya ada di rumah? Apa yang terjadi sih?”
Raka tak menggubris pertanyaan itu. Ia meminta agar Reina menginap dulu di rumah bibinya. Besok pagi baru ia akan mengajak Reina ke restoran itu. Reina hanya berusaha menyetujui dan menuruti apa yang diucapkan Raka. Raka sendiri tidak begitu terlalu memikirkan alasan, mengapa Reina begitu menurut padanya. Ia sendiri sedang menahan kesedihannya yang luar biasa.
Di rumah bibi Raka, ia memperkenalkan Reina dan menjelaskan apa yang terjadi sebelumnya. Ia menarik pergelangan tangan bibinya. Mencoba menjauhi Reina sebentar. Reina tak curiga. Ia hanya duduk manis. Raka membawa bibinya keluar dan bercerita tentang ibunya dengan cara berbisik. Dan air mata itu membulir lepas, namun Raka menahan kepanikan bibinya dengan meminta agar tidak usah memberitahu Reina.
“Kita langsung ke sana, hubungi Tuan Taro juga. Biarkan saja gadis itu beristirahat, aku yang akan tunjukkan kamarnya. Nanti aku menyusul. Bibi pergi lebih dulu saja,” kata Raka.
Ia menghampiri Reina, melakukan apa yang ia katakan tadi pada bibinya, lalu memberikan makanan yang bisa dimakan oleh Reina sampai nanti siang. Reina merasa aneh dengan sikap Raka.
“Kenapa gak makan bareng aja, Mas Raka? Emang mau kemana kok ninggalin aku sampai siang banget?”
Raka mencoba berpikir cepat dan selamat dari pertanyaan alami Reina. Ia berkata, “Aku mau menemui Tuan Taro dulu. Aku akan katakan padanya kalau kita mau bekerja di Brielle Resto.”
“Jadi, Mas kemakan omongan sendiri dong,” kekeh Reina, ia malah tertawa. “Mas bilang gak mau kerja di restoran tanah kelahiran Mas sendiri. Jadi intinya, Tuhan itu mengirim Mas ke Jakarta cuman buat menjemput aku.”
“Hum,” Raka mengeluh kecil. “Nanti saja bahas itu ya, Ren. Intinya kamu tunggu saja di sini dulu.”
Reina memegang ucapan Raka yang mengatakan akan kembali siang hari, namun nyatanya Raka tak kembali sampai sore hari. Ia menerima pesan maaf dari Raka beberapa kali dan juga pemberitahuan, agar Reina mengambil makanan sendiri saja di dapur atau pun di kulkas jika dia merasa lapar.
Raka tengah bersama Tuan Taro dan bibinya mengurusi pemakaman ibunya. Ia pulang malam hari saat suasana hati Reina begitu membosankan untuk jalani sendiri. Raka meminta Tuan Taro agar menunggunya besok pagi di restoran.
Saat tiba di depan rumah, bibi Raka berkata saat melihat Reina terpulas di sofa, “Apa dia pacarmu?”
Raka bergidik, “Astaga bibi, Aku menemukan dia entah dari planet mana dan dia memilih ikut denganku dari Jakarta.”
“Serius? Lalu kamu percaya begitu saja?”
“Tenang saja, lagipula kita sudah meninggalkan dia seharian dan buktinya dia malah terpulas,” kata Raka sembari tertawa kecil.
“Ya sudah, bangunkan dia lalu ajak lagi ke rumahmu.”
“Apa sebaiknya di sini dulu sementara?” Raka sedikit bimbang.
“Kenapa?”
“Bibi lupa apa yang telah hilang dari rumahku itu?”
Bibi Raka memaknai ucapan Raka dan ia akhirnya sadar, kalau di rumah itu sudah tak ada ibu Raka. Maka otomatis rencananya berubah.
“Aku lupa, Raka. Kalau begitu biarkan saja dia menginap di rumahku dulu. Jika di rumahmu, kalian hanya berdua dan takutnya ada yang khilaf,” kata bibi Raka menahan tawa. “Bangunkan dia dan kita makan malam bersama. Baru setelah itu kamu pulang.”
Reina dibangunkan lembut oleh Raka. Wajah Reina terbangun dengan penuh tanda tanya. Ia tidak mengerti apa yang harus diucapkannya terlebih dulu. Raka lalu mengatakan pada Reina agar menginap di rumah bibinya dulu. Saat Reina bertanya, “Bukankah di rumahnya Mas ada ibu? Jadi aman, kan?”
Raka menjawab, “Tidak, ada hal yang belum bisa aku beritahukan sama kamu, Ren.”
Malam itu mereka makan malam bersama dengan pikirannya masing-masing. Raka pamit kembali dan berkata pada Reina, agar menunggu dijemput besok pagi ke restoran.
***
Lelaki berumur empat puluh tahun itu tengah merenung di ruangan pribadinya. Ia menunggu kedatangan seseorang. Matanya tak henti-henti memandang kertas-kertas yang bertumpuk-tumpuk rapi di depannya. Seseorang mengetuk pintu dari luar. Ia sudah menerima telepon dari Raka.
"Masuk," katanya mempersilahkan. "Akhirnya kamu datang juga. Aku sudah menunggu kamu sejak tadi, Raka."
"Tuan Taro," Raka memasang wajah lesu.
Tuan Taro berkata pelan, “Wajahmu itu, aku paham rasa sakit yang sedang kamu alami, Raka."
"Apa Anda memang sudah merencanakan semua ini dengan ibu saya?"
"Raka," Tuan Taro mencoba menenangkan. "Ini sudah semalam berlalu sejak ibumu meninggalkanmu."
"Tak usah membahas itu, Tuan Taro. Aku kemari datang dengan pertanyaan itu."
"Kamu akan tahu sendiri jika waktu sudah berjalan sebagaimana mestinya. Alasan ayahmu dan juga bisnis restoran Brielle Resto ini. Kamu akan jadi koki di sini. Kamu ingin mencoba resep itu sampai bisa?"
Raka tercenung. Ia meregam tangannya setengah kuat. Pandangannya begitu tajam dan seakan mati secara emosional. Raka kemudian mencoba menarik nafas pelan dan menerima kenyataan bahwa, semua akan terjawab manis pada waktunya.
“Aku akan menganggap semuanya sekarang adalah komedi. Apapun yang terjadi, aku percaya semuanya akan terjawab dan aku mau."
“Mau? Maksudku, kamu mau melakukannya?”
Raka mengangguk. Hatinya berdesir dengan mantap lalu berkata lagi, “Asalkan aku bisa tahu alasan di balik perpisahan ayah dan ibu, serta kerjasama diam-diam Anda dengan ibu saya dalam membangun restoran Brielle Resto ini. Apa semua tentang restoran sebetulnya adalah tentang ibu saya, Tuan Taro?”
Tuan Taro mengangguk, “Benar, pencetus awal dari keinginan kuat agar Brielle Resto dibangun adalah karena pemikiran ibumu. Dan sudah sebulan ini almarhum ibumu tidak memasak lagi di sini karena alasan penyakitnya. Ia memang sudah lama memendamnya.”
“Sudah, cukup. Aku mengerti. Aku paham mengenai itu, Tuan Taro. Aku akan belajar tentang resep itu. Yang aku butuhkan adalah supporting sistem darimu.”
Tuan Taro tersenyum lebar. Ia melihat Raka seperti seorang remaja yang baru tumbuh semakin matang oleh keadaan. Berbeda dari gadis bernama Reina, ia justru seakan baru memulai rasa sakit itu.
Raka kemudian menelepon Reina. Reina berkata kalau dirinya belum siap. Raka memutuskan esok harinya saja dan menutup teleponnya.
“Siapa, Raka? Apa itu yang bibi kamu ceritakan sebelumnya?” tanya Tuan Taro.
“Benar. Oh iya, besok aku akan membawanya kemari. Boleh, kan?”
“Tentu saja, jika semua sesuai dengan yang kamu ceritakan. Asalkan dia orang yang jujur.”
***
Di suatu ruangan di dalam Restoran Serunai, seorang perempuan tengah berbicara secara rahasia pada bosnya. Bolpoin ia pegang dan langsung menandatangani suatu kontrak. Bos si perempuan itu tersenyum lepas. Penuh kelicikan. Ada suatu akar masalah baru yang sebentar lagi akan tercipta.
“Kita akan menempatkanmu di bagian jembatan informasi. Kamu bisa sambil melayani pembeli jika mau, Nona Nafa,” ucap si bos.
“Apa maksud dari jembatan informasi itu adalah suatu istilah formalitas semata?”
“Tidak juga, kamu benar-benar akan menjadi mata-mata di restoran Brielle Resto. Lakukan tugasmu dengan baik dan berupaya lah tetap terlihat alami.
“Iya, baiklah. Aku akan mencobanya. Tapi satu...”
“Apa itu?”
“Tak perlu memanggilku Nona, Tuan Roy.”
“Baiklah, aku paham, Nafa. Begitu, panggilan yang kamu inginkan?”
Nafa mengangguk. Ia kemudian menuju tempat yang menjadi objek pekerjaan sekaligus misinya. Ketika ia berada di luar, ia melihat seorang gadis dengan tas dan gerak-gerik seolah ia adalah pegawai baru. Gadis itu berdiri di depan jalan memandangi Brielle Resto.
“Kenapa memandangi sebuah restoran sampai segitunya?” ujar Nafa.
Sementara di arah yang lain, seorang pria berpakaian robek dan semrawut berlari kencang dan menabraknya.
“Ah,” jerit kecil gadis yang ternyata adalah Reina itu terjatuh dan terduduk ke bawah. “Astaga, orang gila! Tidak punya sopan santun!"
“Pencopet!” seruan terdengar dari beberapa orang yang juga berlari.
Mereka kemudian berhenti tepat di hadapan Reina.
“Apa mbak melihat pencopet tadi lari lewat sini?” tanya salah seorang dari mereka.
“Aduh, mana saya tahu. Tapi tadi ada cowok pakai baju bolong lari. Dia yang menabrak saya,” jawab Reina ketus.
“Loh, ini apa? Ini kan dompetnya? Mbak sekongkol sama pencopet itu?”
Reina sontak terbelalak dan menjawab sinis, “Hei, mana ada seperti itu! Saya ini korban tahu!”
“Alah, kalau kami gak berhenti di sini, pasti dompet ini sudah kalian bawa. Udah sering nemu pencopet yang memakai trik seperti ini!”
“Enak saja nuduh-nuduh,” Reina semakin emosi.
Di sisi lain, Raka baru saja tiba di restoran dengan wajah bahagia dan siap menjalani hari pertama. Ia mencoba menelepon Reina karena belum juga membalas pesannya. Malah bibinya berkata kalau Reina sudah berjalan duluan ke Brielle Resto. Keinginannya untuk menelepon, sedikit tertunda karena ia melihat Reina yang sedang dikerumuni para pria pengejar copet tadi. Mereka masih belum percaya kalau Reina tidak melakukan persekongkolan seperti yang mereka sangka. Raka pun mendekati karena merasa tak asing dengan wajah itu. Namun, Raka seakan membaca situasi, ia seolah-olah berpura-pura tidak mengenali Reina demi menyelamatkannya dari keadaan tertekan itu.
“Reva?” panggil Raka ketika telah dekat dengan mereka semua.
“Loh, Mas Raka kok manggil-manggil aku Reva? Dia kayak lagi pura-pura baru kenal dan natapin aku, seperti saat malam-malam di Jakarta waktu itu,” ujar Reina dalam hati, membuat keheranan yang tidak kalah besar di wajah Raka.
Raka kemudian memberikan kode spontan pada Reina agar ia mengerti maksud sikap Raka.
“Ada masalah yang bikin aku harus kembali ke Madura, Reva,” lanjut Raka.
“Jadi, kamu tinggal di Madura?” tanya Reina yang akhirnya bersikap seperti yang diinginkan Raka.
“Eh, jadi gimana ini, Mbak? Jangan mengalihkan perhatian, ya? Atau Mas nya juga sekongkol sama mbak ini?” tanya salah seorang dari para pengejar copet itu.
“Eh, maksudnya apa, ya?” tanya Raka sewot. “Saya adalah koki di restoran itu.”
Semua menoleh ke arah Brielle Resto dan Raka melanjutkan ucapannya, “Dia ini kerabat saya, dia mau melamar kerja di restoran itu.”
“Coba berikan buktinya,” kata salah satu dari mereka.
Raka kemudian mengeluarkan kartu identitas yang berisi status pekerjaannya di Brielle Resto. Beruntung ia telah berada dalam lingkaran karirnya di bawah bimbingan Tuan Taro sehari sebelum menghadapi masalah, yang kini datang bagaikan komedi pertama di matanya.
“Ya sudah, kami minta maaf.”
“Ya, lain kali jangan asal nuduh ya, Mas? Wu!” ucap Reina sambil bersorak kecil ketika mereka semua berlalu pergi.
Setelahnya, Raka dan Reina menyambungkan awal masalah mereka yang tak sengaja itu.
“Terimakasih untuk yang barusan, Mas. Saya pikir akan langsung masuk penjara karena tuduhan konyol. Padahal kan aku baru nyampe di kota ini,” kata Reina membuka.
“Iya, sama-sama. Mbaknya yang waktu itu, kan?”
“Hei! Sudah bukan waktunya bersandiwara lagi, Mas Raka yang tampan,” kata Reina memotong ucapan Raka yang masih sempat berpura-pura tidak kenal seperti tadi.
“Haha, maaf, Ren. Kamu juga kenapa gak ke rumah aku dulu? Gak ngasih tahu kalau mau ke restoran duluan. Kan kamu jadi kena masalah kayak tadi. Tapi sudahlah, anggap aja karma kecil.”
“Ya, maaf,” Reina memasang wajah manyun.
“Aku juga minta maaf.”
“Maaf kenapa?”
“Maaf karena sudah bersikap dingin malam itu. Saat kita pertama kali bertemu di Jakarta malam itu. Aku cuman lagi banyak masalah."
“Oh, begitu. Ya, baiklah, kita jadi ke dalam, kan?”
Raka yang baru saja akan memulai hari pertamanya sebagai koki di Brielle Resto, dibuat berpikir lagi oleh Reina. Sikap Reina yang spontan dan langsung pada intinya itu, membuatnya menentukan langkah pertama saat bertemu Tuan Taro lagi.
Di sisi jalan lain, Nafa yang memperhatikan hal itu dan tak sengaja mendengar apa yang terjadi, spontan berujar sinis, “Jadi begitu, untung aku tak buru-buru masuk kesana. Jadi, Raka dan Reina, ya? Hum, menarik. Sepertinya aku akan sedikit diuntungkan dalam memulai pekerjaan ini. Tapi, Mas Raka itu tampan juga. Selain soal resep, aku sepertinya bisa mengambil hatinya juga.”
***
Di dalam restoran, Reina terpukau dengan gaya khas tata ruangan Brielle Resto. Ia seperti melihat dekorasi ala restoran Korea atau pun Cina.
“Bagus,” kata Reina. “Berbeda dari restoran-restoran di Jakarta yang terkesan kaku meskipun mewah. Sepertinya aku akan sangat menyukai tempat ini. Yah, itu pun kalau aku diterima kerja.”
“Reina, ayo masuk,” panggil Raka yang sudah berdiri di depan pintu ruangan Tuan Taro. Para rekan kerja yang lain melihat mereka berdua.
“Sepertinya dia mau melamar di sini.”
“Iya, benar.”
“Mungkin adiknya Pak Raka.”
Di dalam ruangan Tuan Taro, Raka menjelaskan apa yang terjadi padanya sebelum membawa masuk Reina bersamanya. Obrolan panjang tercipta. Reina yang malu-malu dan sedikit introvert dalam menjawab, disadari oleh Raka. Ia membantu Reina menjawab.
“Jadi, kamu cukup menjadi pelayan tamu saja, Mbak Reina?” tanya Tuan Taro.
“Panggil Reina saja, Pak. Ya, saya akan bekerja sebagai pelayan tamu."
Ketika Raka puas dengan hasil usahanya membantu Reina, pintu terketuk dan salah seorang pekerja masuk.
“Ada apa?” tanya Tuan Taro.
“Ini, di luar ada perempuan yang katanya mau ketemu sama Pak Raka,” kata seorang karyawan lain.
“Oh, apa kita suruh masuk saja?” tanya Raka pada Tuan Taro.
“Ya, suruh masuk saja.”
“Baik, saya akan suruh masuk,” ucap pekerja itu.
Raka melihat Reina menjadi gelisah wajahnya. Ia kembali mencoba menenangkan Reina yang di matanya, terlihat bagaikan seorang adik manis yang ia temukan di jalan.
“Tidak apa-apa, Reina. Kamu di sini saja dulu, ya?”
Reina tersenyum seraya setengah menunduk, “Iya.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!