Chapter 4

Reina di dalam ruangan itu, kontras dari kepribadiannya ketika berada di rumah dan menjadi seorang pebisnis dengan karyawan yang banyak. Ia rela meninggalkan bisnisnya dan para karyawan ayahnya tanpa pemberitahuan, demi meninggalkan rasa sakit yang membelenggunya.

Perubahan sikap ayahnya benar-benar membuatnya tidak merasa bersalah meninggalkan rumah itu. Andai ayahnya tak berubah sikap padanya, ia mungkin masih di Jakarta sekarang.

Beberapa detik dari setiap perjalanannya dari Jakarta ke Madura saat itu, Reina merasa agak menyesal. Ia mengingat lembaran memori saat ibunya menawarkannya untuk ikut. Selalu dalam hatinya berujar sesekali, andai dia menyambut ajakan ibunya untuk pergi. Namun rasa penyesalan itu sedikit terobati karena ia bertemu dengan pria baik seperti Raka, yang memudahkan niat awalnya meninggalkan rumah.

“Permisi,” ucap seorang yang adalah Nafa.

Ia jadi orang yang tadi dikatakan pekerja lain ingin bertemu Raka.

“Ya, silahkan,” ucap Tuan Taro.

“Ada keperluan apa, Nona?” tanya Tuan Taro. “Kenapa kamu mencari Pak Raka? Apa Nona mengenal Pak Raka sebelumnya?”

“Tidak, saya hanya tak sengaja mendengarnya tadi di luar. Tadi di luar ada sedikit keributan. Lalu saya tak sengaja mendengar nama Pak Raka. Katanya di restoran ini menjual Jajangmyeon. Makanan jenis apa itu? Saya jadi tertarik bekerja di sini,” terang Nafa.

Raka yang adalah pria pemikir sebelum berucap, memutuskan untuk mengecek kebenaran ucapan Nafa. Ia berlari keluar.

“Tunggu di sini, Tuan Taro,” katanya.

Di luar memang ada orang-orang yang menyebut nama Raka berkali-kali. Raka yang heran alasannya, memutuskan untuk bertanya pada orang-orang itu.

“Maaf, kalian baca apa ya?”

“Ini, Pak,” seorang ibu paruh tua menunjuk nama di bagian gambar para pekerja restoran. Ada nama Raka dengan menu baru bernama, Jajangmyeon. Raka jadi mengerti apa yang terjadi. Ia tak sempat melihat perubahan tulisan itu ketika pertama kali masuk hari ini. Mungkin kefokusannya teralihkan oleh Reina dan masalah sebelumnya. Raka pun kembali masuk ke dalam. Ia melangkah gesit sembari tersenyum.

Saat sudah memasuki ruangan, ia mendapati Nafa berjabat tangan dengan Tuan Taro. Reina lebih dulu menyadari kedatangan Raka kembali karena tak sempat menutup pintu ruangan saat keluar tadi.

“Oh, Raka, bagaimana? Kamu sudah lihat? Aku sebenarnya sudah tahu apa yang dimaksud Nona Nafa tadi. Aku ingin kamu melihatnya sendiri dan aku berharap ada senyum di wajahmu.”

“Jadi, Anda sudah memakainya langsung?”

“Tentu saja, untuk apa berlama-lama. Bukankah kamu sudah menyiapkan memang menunya cukup banyak kemarin? Kamu lupa? Kamu menaruhnya di kulkas dapur kita. Aku kemudian mencoba menyiapkannya sendiri pada beberapa pelanggan dan menawari mereka Jajangmyeon secara langsung.”

“Anda sendiri yang menawarinya?”

“Ya, bahkan aku menyiapkannya khusus pertama kali agar mudah melihat dan menilai kepuasan pelanggan. Mereka menyukainya, Raka. Aku menyiapkannya seperti caramu kemarin, itu lah alasanku tak langsung pulang. Ditambah bekal pengalaman resep yang sama dengan mendiang ibumu dulu, aku jadi tidak terlalu kesusahan.”

“Hum,” Raka mengangguk. “Baguslah, Pak Taro. Aku senang semuanya sesuai harapan. Jadi, Nona ini bernama Nafa?”

“Ya, benar. Dia melamar posisi yang sama dengan Reina. Itu akan memudahkan pekerja lain di bagian peralatan dan bagian penyiapan bahan. Tidak mungkin mereka akan terus- menerus bekerja bolak-balik, sambil mengantarkan menu pesanan pada para pelanggan. Tidak mungkin juga itu dilakukan oleh bagian penerima tamu dan juga pembersih peralatan restoran.”

“Ya, kedengarannya bagus. Aku juga akan menjelaskan resep itu pada dua koki yang lain.”

“Kalau begitu ajaklah Reina, kamu yang mengajaknya kemari. Jadi, kamu yang bertanggungjawab menjelaskan apa-apa yang menjadi pekerjaannya.”

“Lalu, Nafa?”

“Biar aku yang mengurusnya. Aku masih ingin memberinya beberapa pertanyaan lagi.”

“Baiklah kalau begitu. Saya ke ruangan dulu. Ayo Reina,” Raka tanpa sadar menarik pergelangan tangan Reina.

Reina yang pasrah sedari awal, hanya bisa menuruti perkataan Raka. Ia memandangi punggung Raka dengan tatapan hangat. Seakan ada tulisan di punggung Raka dengan tulisan, ‘Ikutlah selalu bersamaku.’

“Astaga, pria ini benar-benar tipe lelaki yang spontan seperti ini, ya? Apa dia tidak pernah memikirkan sebab akibat dari semua bentuk emosional manusia?” ujar Reina dalam batin. “Aku sebaiknya mengikuti saja lah apa tindak tanduk Mas Raka, lagipula dia pria yang baik.

Banyak hal di dalam kepala Reina yang menjadi sebuah misteri kecil, yang disebabkan oleh Raka tanpa sengaja. Semoga saja pertanyaan-pertanyaan itu tidak menjadi beban hidup yang baru bagi Reina.

Raka pun meminta Reina duduk lebih dulu di kursi pelanggan bersamanya. Ia menjelaskan apa saja yang menjadi tugas seorang pelayan restoran. Ia kemudian meminta Reina berkenalan dengan para rekan kerja lainnya. Meminta Reina juga untuk melakukan uji coba pertama. Piring-piring dikeluarkan dari dapur. Sabun, pembersih, dan peralatan makan minum, diserahkan pada Reina secara profesional.

“Jika masih ada yang ingin kamu tanyakan, silahkan saja, Reina. Akan sangat bagus kalau kamu langsung bekerja hari ini untuk memudahkan pekerja lainnya,” ucap Raka setelah melihat percobaan Reina saat mengantarkan makanan ke seorang pembeli tadi. “Lain kali, kamu harus menambah sedikit senyuman yang manis dan tulus. Kamu harus menganggap pembeli adalah seorang manusia yang membutuhkan pertolongan berupa makanan. Kamu harus menganggap mereka seperti teman atau kerabat yang sedang datang bertamu, lalu kamu memberikan pelayanan berupa air atau makanan.”

Reina mengangguk pelan dan tersenyum, ia memandangi Raka dengan tatapan merah muda, “Raka, dia ini pria yang lucu tapi tidak perlu melucu. Bisa-bisanya di Madura ada pria semenarik ini. Kenapa di Jakarta tidak ada yang seperti ini, sih? Kaku-kaku semua,” katanya dalam hati.

“Reina, bagaimana? Kok bengong?” tanya Raka memecah lamunan Reina.

“Eh, enggak, Pak Raka,” Reina menggaruk kepalanya yang tidak ada rasa gatal sama sekali.

“Panggil Chef Raka saja kalau lagi di restoran. Di sini semua pekerja saling bersaudara.

“Oh, iya, Chef Raka. Baik, siap laksanakan!” Reina memberi hormat pada Raka dan tingkahnya itu membuat Raka dan pekerja lainnya tersenyum sambil mengurusi pekerjaan mereka.

Reina kemudian bergegas, namun sontak ia berjalan seperti seorang yang baru saja mabuk berat. Ia tergelincir sepatunya sendiri.

“Reina, hati-hati!” dengan gesit, Raka menangkap punggung Reina dan terjadi aksi tatap-menatap secara alami di sana.

***

Di Jakarta, di rumah Reina, ayahnya sedari tadi telah marah besar pada dirinya sendiri. Ia melempar telepon rumah, membanting cermin, dan menghancurkan vas bunga di kamar Reina.

“Dasar tidak tahu terimakasih! Aku sudah mengajarkan tentang bisnis tapi dia malah meninggalkannya begitu saja. Reina, kamu dan ibumu sama saja. Papi gak akan tinggal diam. Papi akan cari kamu, Reina!”

Reina menerima telepon dari ayahnya, namun ia buru-buru mematikannya.

“Besok aku harus ganti kartu seluler sepertinya,” katanya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!