Awan pagi berserakan di langit, menandakan berantakannya hati Raka yang harus memutuskan kembali ke Madura. Reina hanya memilih diam dan beristirahat di samping Raka. Ia seakan telah mengenal Raka ribuan tahun. Raka pun demikian, permasalahan pribadinya membuat ia memandang sikap orang yang baru dikenal seperti Reina jadi biasa saja.
“Kalau boleh tahu, kenapa Mas Raka sampai jauh-jauh ke Jakarta? Ada pertanyaan yang aku rasa belum dijawab waktu itu,” kata Reina membuka percakapan.
“Ada hal yang tidak bisa aku katakan padamu, Reina. Maaf soal itu, aku memang tidak bisa bekerja di restoran itu.”
“Restoran mana?”
“Brielle Resto. Hanya beberapa langkah dari rumahku.”
“Memangnya tidak bisa karena apa?”
Raka tak menjawab, ia hanya memberikan senyum.
“Ini persoalan masalah keluarga, restoran itu ada kaitannya. Aku tidak bisa mengatakannya padamu.”
Reina bersikap memaklumi kemudian.
“Kalau kamu sendiri?” giliran Raka bertanya.
“Aku kabur dari dunia yang tidak bisa mengerti aku,” Reina mendadak drama.
“Kenapa jadi puitis begitu? Biasa saja jawabnya,” Raka protes kecil.
“Ya memang adanya begitu, Mas. Ada hal yang tak bisa aku katakan juga.”
Pada akhirnya mereka akan saling mengetahui masalah masing-masing. Orbit kehidupan mereka berdua berada pada poros yang sama. Bertemu dengan takdir Tuhan yang tak bisa diubah seenaknya.
“Aku juga sempat melihat koran tentang restoran keren di Madura. Aku mau melamar kerja juga di sana nanti,” terang Reina lagi. “Tapi, kalau tidak salah Mas Raka nyebut nama restorannya apa?”
“Brielle Resto.”
Reina seketika teringat momen sebelum ia bertemu Raka malam tadi dan kabur dari rumah. Nama restoran yang Raka sebutkan, rasanya mirip dengan apa yang sudah tertulis dalam memori Reina. Reina lalu bercerita singkat pada Raka, tentang kejadian kecil setelah ia keluar dari rumahnya dan menemukan nama Brielle Resto.
Waktu itu, ia memandang cermin dengan sedih. Keputusan untuk pergi dari rumah mulai ia pikirkan secara matang. Tak ada yang bisa menghentikan seorang gadis yang telah tumbuh kecerdasan emosionalnya. Reina pun berbenah dan memasukkan beberapa pakaian cadangan ke dalam tas. Tak lupa juga sisa uang yang ia rasa cukup untuk seminggu.
Di luar, Reina menatap rumah mewah itu dengan tatapan kosong. Ada ucapan selamat tinggal yang terselip bersama tatapan itu. Dingin. Reina benar-benar menjadi gadis penuh drama hidup. Seorang penjual koran melintasi daerah depan rumahnya. Reina pun berpikir untuk langsung pergi setelah menutup pintu rumah. Ia berlari mengejar penjual koran itu.
“Pak, koran!” serunya.
Seruan penuh semangat Reina sanggup membuat telinga si penjual mendengar. Reina tertatih agak terengah-engah usai berhadapan dengan penjual koran itu.
“Ternyata masih ada mbak-mbak zaman sekarang yang butuh koran, ” kata si penjual koran semringah.
“Kalau di koran gini, ada informasi lowongan kerja gak, Pak?” Reina bertanya dengan sisa nafas ngos-ngosan.
“Coba aja cek, Neng. Perasaan ada deh di situ. Di kota mana ya, saya lupa. Coba di cek.”
“Iya, ini saya lagi cek.”
Reina melihat ke halaman tengah dan berujar, “Madura, Restoran Brielle Resto.”
“Nah, iya bener. Madura maksud saya. Hehe,” si penjual koran cengengesan. “Tapi kok Neng nyari pekerjaan? Kan rumahnya segede itu?” bapak penjual koran itu menunjuk rumah Reina.
“Apa gunanya punya rumah besar kalau tak ada kebahagiaan di dalamnya, Pak. Lagipula itu bukan rumah saya,” Reina berkata demikian seolah tanpa beban.
“Neng serius? Tapi pakaiannya Neng kok seperti," bapak penjual koran menampilkan wajah seperti sedang menerawang.
“Ah sudahlah, makasih ya, Pak. Saya pergi dulu."
Reina yang telah melangkah beberapa meter ke arah jalanan dan berniat menunggu bus, mendadak kembali menengok ke belakang. Ke arah penjual koran tadi.
“Loh, kenapa balik, Neng? Gak jadi pergi? Korannya sudah dibayar kok tadi.”
“Eh, anu. Saya mau tanya, kalau ke dari Jakarta ke Madura kira-kira cukup sehari gak nyampenya?”
Si penjual koran pun menyarankan Reina untuk menunggu hingga malam hari agar lebih cepat melalui jalur estafet.
“Oalah, kocak bener si Neng mah,” kata bapak penjual koran itu terpukau dengan sikap Reina.
“Saya pergi dulu ya, Pak.”
“Ya Neng, hati-hati.”
Dan memori itu lenyap meski belum benar-benar utuh. Raka hanya mengangguk datar beberapa kali selama Reina bercerita tadi. Reina sedikit dibuat kesal dengan sikapnya.
“Emang kamu bisa masak, mau kerja di restoran?” tanyanya.
“Gak sih, Mas. Bukan bagian memasak. Aku cuman ingin jadi pelayan biasa saja,” Reina tersenyum polos.
Raka sebetulnya heran alasan Reina memutuskan ikut dengannya dan meninggalkan Jakarta, kampung halaman Reina sendiri. Alasan Reina sangat tidak masuk akal baginya. Kepekaan Raka teruji di sini, karena Reina hanya menceritakan saat sebelum ia bertemu dengannya malam itu. Bukan penyebab ia meninggalkan rumahnya.
Semua analogi Reina masih lah tidak bisa menjelaskan latar belakangnya. Raka mencoba memahami Reina sebagai manusia betina yang sedang melarikan diri dari neraka di rumahnya. Mudah bagi Raka memahami itu tanpa harus diberitahu, sebab Raka pun sedang dalam penderitaan batin serupa. Meski ia tidak tahu jelas bentuk penderitaan yang Reina jalani sendiri.
Selang tujuh jam kemudian, di pagi yang tidak terlalu cerah ini, Raka telah kembali ke kampung halamannya. Reina yang baru ia kenal itu matanya berkaca-kaca melihat restoran bertuliskan 'Brielle Resto', terpampang jelas tak jauh dari depan rumah ibu Raka.
“Ren, kamu tunggu di sini ya?” kata Raka.
“Iya.”
Raka berlari ke dalam rumah tergopoh-gopoh dan menyisakan rindu yang menggebu. Ibu, jadi satu kata yang ia cari di dalam rumah kecilnya. Ia berseru berulang kali melebihi kebiasaannya saat pulang usai bepergian.
“Tidak ada jawaban. Apa ibu bersama Tuan Taro di restoran itu?" gumam Raka.
Pisau dapur tergeletak bebas di depan pintu dapur. Seakan sengaja dijatuhkan. Raka menelusuri. Ia bergerak seraya cemas. Pikirannya kemana-mana. Sosok tangan terkapar dan jadi sesuatu yang pertama terlihat. Raka langsung tahu tanpa ragu tangan milik siapa itu.
"Ibu!" Raka mulai panik dan segera menyadarkan ibunya yang pingsan. "Nadinya masih berdenyut, ibu hanya pingsan."
Di kamar setelah Raka menggendong ibunya, ia terduduk di kursi sempit sambil menunggu ibunya sadar. Ia keluar sebentar memanggil Reina. Reina terkesiap dan malu-malu masuk ke dalam.
“Apa tidak apa-apa?” tanya Reina sopan.
“Ya, anggap saja rumah di sini," Raka meminta Reina menunggu di ruang tamu.
Raka kembali ke ibunya. Ia memilih tidak mengatakan apa yang terjadi pada Reina. Karena dirasa ibunya baik-baik saja. Seketika Raka berniat ingin mengambil segelas air putih, tangan itu menahan lajunya.
"Ibu sudah sadar," ucap Raka lalu duduk kembali. Ia meraih telapak tangan ibunya, menciumnya, dan menggenggamnya lembut. "Ibu kenapa tidak bilang kalau obatnya habis? Kan aku bisa belikan dulu sebelum ke Jakarta waktu itu?"
Ibunya tersenyum, bibirnya bergerak untuk menjawab, "Tidak apa-apa. Kamu kenapa cepat pulang lagi, Nak? Sudah ketemu ayahmu?"
"Belum. Aku malah nyaris mendapatkan pekerjaan di restoran mewah, namun gagal karena bingung dengan pertanyaannya."
"Pertanyaan seperti apa?"
"Manajernya bertanya apakah aku memiliki resep hebat yang bisa membuat restorannya semakin besar? Padahal restoran itu sendiri sudah ramai pengunjung."
"Mungkin managernya merasa kamu mempunyai bekal pengetahuan dan resep sendiri, sehingga berani melamar jadi koki."
"Bagaimana ibu bisa tahu?"
"Ibu hafal dengan pertanyaan manajer itu. Dia adalah rekan bisnis ayahmu. Jika kamu mengatakan kalau pertanyaan yang diberikan seperti itu, maka sudah tidak salah lagi kalau yang memberi pertanyaan itu adalah dia.”
Raka terdiam. Informasi itu membuatnya mengingat kejadian malam itu. Ia merasa kalau yang dilihatnya waktu itu memanglah ayahnya. Apalagi ibunya mengatakan kalau restoran itu adalah restoran bisnis ayahnya. Dan kebetulan ia bertemu ayahnya tak jauh dari restoran itu.
“Apa itu sebuah kebetulan atau memang, ah,” Raka tak meneruskan ucapannya.
“Kenapa, Nak? Apa lagi yang kamu lihat di sana?” potong ibu Raka.
"Ibu," sebut Raka pelan pada ibunya lagi.
"Ya?"
"Aku memang seperti melihat ayah malam dari bus trans, tapi aku masih ragu. Posisiku saat itu tidak jauh dari restoran. Kenapa ibu tidak berkata tujuan aku menemui ayah di sana adalah restoran itu?"
"Ibu dan ayahmu bertengkar, Raka."
"Apa?"
"Ibu sudah meninggalkan resep pada Tuan Taro."
"Ibu, aku tidak tahu apa yang ibu bicarakan? Resep apa? Dan kenapa ayah membangun bisnis restoran di Jakarta tanpa sepengetahuan kita? Atau ibu banyak menyembunyikan hal padaku?"
"Menurutmu bagaimana, Raka? Apa yang bisa kamu nilai sekarang? Ibu rasa kamu sudah bisa peka. Ibu terjatuh juga bukan karena pingsan," lagi-lagi ibu Raka memotong.
"Apa yang ibu pikirkan? Apa ada masalah besar? Ayah pergi pasti karena alasan, kan? Ibu berbohong soal kerjasama bisnis restoran dengan ayah?"
Ibu Raka tak langsung menjawab, ia nampak semakin lesu seakan waktunya di dunia tak diizinkan berlama-lama. Sementara Reina masih duduk di ruang tamu tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Raka bahkan lupa mengatakan kalau ia membawa tamu.
"Kenapa ibu diam saja? Apa ayah ada hubungannya dengan kondisi ibu sekarang?"
Raka terus saja memberi tekanan pada ibunya. Ia merasa semua intuisinya sungguh adalah sebuah kebenaran. Ibunya kemudian menunjuk ke arah samping, ke arah sebuah lemari.
"Lemari?" Raka kembali dibuat heran.
"Buka lemari itu, Raka. Di bawah baju pertengahan, ada selembar kertas di dalam kotak hitam kecil. Keluarkan dulu kotaknya."
Raka yang sudah penuh dengan rasa penasaran, tak berpikir panjang lagi dan memilih bangkit dari tempat duduknya. Lemari itu dibuka. Kotak hitam kecil dikeluarkan. Raka tak langsung membukanya, ia lebih memilih mengedarkan pandangan kembali kepada si ibu.
"Lihatlah, Nak," kata ibunya.
"Aku belum ingin membuka kotak ini, Bu. Aku khawatir."
"Tak usah terlalu mengkhawatirkan hidup, putraku. Ada hal yang ibu belum bisa beritahu padamu. Disitu ada keterangan tentang semua resep yang harus kau kembangkan bersama Tuan Taro," jelas si ibu memotong perkataan anaknya.
Raka menangis. Air mata itu akhirnya kalah oleh ucapan yang bisa dirasakan maksudnya. Si ibu, singkatnya telah menitipkan suatu misteri sekaligus jawaban dari kepergian cepatnya.
Raka keluar kamar dan menemui Reina di ruang tamu sambil menangis. Meski sudah mengelap air matanya berkali-kali, sisa noda sedihnya masih bisa dibaca oleh Reina. Reina bertanya apa yang terjadi, namun Raka berpikir untuk tidak memberitahu apa-apa pada Reina. Ia lalu mengajak Reina ke tempat yang seharusnya.
“Loh, kata Mas ibunya ada di rumah? Apa yang terjadi sih?”
Raka tak menggubris pertanyaan itu. Ia meminta agar Reina menginap dulu di rumah bibinya. Besok pagi baru ia akan mengajak Reina ke restoran itu. Reina hanya berusaha menyetujui dan menuruti apa yang diucapkan Raka. Raka sendiri tidak begitu terlalu memikirkan alasan, mengapa Reina begitu menurut padanya. Ia sendiri sedang menahan kesedihannya yang luar biasa.
Di rumah bibi Raka, ia memperkenalkan Reina dan menjelaskan apa yang terjadi sebelumnya. Ia menarik pergelangan tangan bibinya. Mencoba menjauhi Reina sebentar. Reina tak curiga. Ia hanya duduk manis. Raka membawa bibinya keluar dan bercerita tentang ibunya dengan cara berbisik. Dan air mata itu membulir lepas, namun Raka menahan kepanikan bibinya dengan meminta agar tidak usah memberitahu Reina.
“Kita langsung ke sana, hubungi Tuan Taro juga. Biarkan saja gadis itu beristirahat, aku yang akan tunjukkan kamarnya. Nanti aku menyusul. Bibi pergi lebih dulu saja,” kata Raka.
Ia menghampiri Reina, melakukan apa yang ia katakan tadi pada bibinya, lalu memberikan makanan yang bisa dimakan oleh Reina sampai nanti siang. Reina merasa aneh dengan sikap Raka.
“Kenapa gak makan bareng aja, Mas Raka? Emang mau kemana kok ninggalin aku sampai siang banget?”
Raka mencoba berpikir cepat dan selamat dari pertanyaan alami Reina. Ia berkata, “Aku mau menemui Tuan Taro dulu. Aku akan katakan padanya kalau kita mau bekerja di Brielle Resto.”
“Jadi, Mas kemakan omongan sendiri dong,” kekeh Reina, ia malah tertawa. “Mas bilang gak mau kerja di restoran tanah kelahiran Mas sendiri. Jadi intinya, Tuhan itu mengirim Mas ke Jakarta cuman buat menjemput aku.”
“Hum,” Raka mengeluh kecil. “Nanti saja bahas itu ya, Ren. Intinya kamu tunggu saja di sini dulu.”
Reina memegang ucapan Raka yang mengatakan akan kembali siang hari, namun nyatanya Raka tak kembali sampai sore hari. Ia menerima pesan maaf dari Raka beberapa kali dan juga pemberitahuan, agar Reina mengambil makanan sendiri saja di dapur atau pun di kulkas jika dia merasa lapar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments