Chapter 3. Misi Rahasia Nafa

Raka tengah bersama Tuan Taro dan bibinya mengurusi pemakaman ibunya. Ia pulang malam hari saat suasana hati Reina begitu membosankan untuk jalani sendiri. Raka meminta Tuan Taro agar menunggunya besok pagi di restoran.

Saat tiba di depan rumah, bibi Raka berkata saat melihat Reina terpulas di sofa, “Apa dia pacarmu?”

Raka bergidik, “Astaga bibi, Aku menemukan dia entah dari planet mana dan dia memilih ikut denganku dari Jakarta.”

“Serius? Lalu kamu percaya begitu saja?”

“Tenang saja, lagipula kita sudah meninggalkan dia seharian dan buktinya dia malah terpulas,” kata Raka sembari tertawa kecil.

“Ya sudah, bangunkan dia lalu ajak lagi ke rumahmu.”

“Apa sebaiknya di sini dulu sementara?” Raka sedikit bimbang.

“Kenapa?”

“Bibi lupa apa yang telah hilang dari rumahku itu?”

Bibi Raka memaknai ucapan Raka dan ia akhirnya sadar, kalau di rumah itu sudah tak ada ibu Raka. Maka otomatis rencananya berubah.

“Aku lupa, Raka. Kalau begitu biarkan saja dia menginap di rumahku dulu. Jika di rumahmu, kalian hanya berdua dan takutnya ada yang khilaf,” kata bibi Raka menahan tawa. “Bangunkan dia dan kita makan malam bersama. Baru setelah itu kamu pulang.”

Reina dibangunkan lembut oleh Raka. Wajah Reina terbangun dengan penuh tanda tanya. Ia tidak mengerti apa yang harus diucapkannya terlebih dulu. Raka lalu mengatakan pada Reina agar menginap di rumah bibinya dulu. Saat Reina bertanya, “Bukankah di rumahnya Mas ada ibu? Jadi aman, kan?”

Raka menjawab, “Tidak, ada hal yang belum bisa aku beritahukan sama kamu, Ren.”

Malam itu mereka makan malam bersama dengan pikirannya masing-masing. Raka pamit kembali dan berkata pada Reina, agar menunggu dijemput besok pagi ke restoran.

***

Lelaki berumur empat puluh tahun itu tengah merenung di ruangan pribadinya. Ia menunggu kedatangan seseorang. Matanya tak henti-henti memandang kertas-kertas yang bertumpuk-tumpuk rapi di depannya. Seseorang mengetuk pintu dari luar. Ia sudah menerima telepon dari Raka.

"Masuk," katanya mempersilahkan. "Akhirnya kamu datang juga. Aku sudah menunggu kamu sejak tadi, Raka."

"Tuan Taro," Raka memasang wajah lesu.

Tuan Taro berkata pelan, “Wajahmu itu, aku paham rasa sakit yang sedang kamu alami, Raka."

"Apa Anda memang sudah merencanakan semua ini dengan ibu saya?"

"Raka," Tuan Taro mencoba menenangkan. "Ini sudah semalam berlalu sejak ibumu meninggalkanmu."

"Tak usah membahas itu, Tuan Taro. Aku kemari datang dengan pertanyaan itu."

"Kamu akan tahu sendiri jika waktu sudah berjalan sebagaimana mestinya. Alasan ayahmu dan juga bisnis restoran Brielle Resto ini. Kamu akan jadi koki di sini. Kamu ingin mencoba resep itu sampai bisa?"

Raka tercenung. Ia meregam tangannya setengah kuat. Pandangannya begitu tajam dan seakan mati secara emosional. Raka kemudian mencoba menarik nafas pelan dan menerima kenyataan bahwa, semua akan terjawab manis pada waktunya.

“Aku akan menganggap semuanya sekarang adalah komedi. Apapun yang terjadi, aku percaya semuanya akan terjawab dan aku mau."

“Mau? Maksudku, kamu mau melakukannya?”

Raka mengangguk. Hatinya berdesir dengan mantap lalu berkata lagi, “Asalkan aku bisa tahu alasan di balik perpisahan ayah dan ibu, serta kerjasama diam-diam Anda dengan ibu saya dalam membangun restoran Brielle Resto ini. Apa semua tentang restoran sebetulnya adalah tentang ibu saya, Tuan Taro?”

Tuan Taro mengangguk, “Benar, pencetus awal dari keinginan kuat agar Brielle Resto dibangun adalah karena pemikiran ibumu. Dan sudah sebulan ini almarhum ibumu tidak memasak lagi di sini karena alasan penyakitnya. Ia memang sudah lama memendamnya.”

“Sudah, cukup. Aku mengerti. Aku paham mengenai itu, Tuan Taro. Aku akan belajar tentang resep itu. Yang aku butuhkan adalah supporting sistem darimu.”

Tuan Taro tersenyum lebar. Ia melihat Raka seperti seorang remaja yang baru tumbuh semakin matang oleh keadaan. Berbeda dari gadis bernama Reina, ia justru seakan baru memulai rasa sakit itu.

Raka kemudian menelepon Reina. Reina berkata kalau dirinya belum siap. Raka memutuskan esok harinya saja dan menutup teleponnya.

“Siapa, Raka? Apa itu yang bibi kamu ceritakan sebelumnya?” tanya Tuan Taro.

“Benar. Oh iya, besok aku akan membawanya kemari. Boleh, kan?”

“Tentu saja, jika semua sesuai dengan yang kamu ceritakan. Asalkan dia orang yang jujur.”

***

Di suatu ruangan di dalam Restoran Serunai, seorang perempuan tengah berbicara secara rahasia pada bosnya. Bolpoin ia pegang dan langsung menandatangani suatu kontrak. Bos si perempuan itu tersenyum lepas. Penuh kelicikan. Ada suatu akar masalah baru yang sebentar lagi akan tercipta.

“Kita akan menempatkanmu di bagian jembatan informasi. Kamu bisa sambil melayani pembeli jika mau, Nona Nafa,” ucap si bos.

“Apa maksud dari jembatan informasi itu adalah suatu istilah formalitas semata?”

“Tidak juga, kamu benar-benar akan menjadi mata-mata di restoran Brielle Resto. Lakukan tugasmu dengan baik dan berupaya lah tetap terlihat alami.

“Iya, baiklah. Aku akan mencobanya. Tapi satu...”

“Apa itu?”

“Tak perlu memanggilku Nona, Tuan Roy.”

“Baiklah, aku paham, Nafa. Begitu, panggilan yang kamu inginkan?”

Nafa mengangguk. Ia kemudian menuju tempat yang menjadi objek pekerjaan sekaligus misinya. Ketika ia berada di luar, ia melihat seorang gadis dengan tas dan gerak-gerik seolah ia adalah pegawai baru. Gadis itu berdiri di depan jalan memandangi Brielle Resto.

“Kenapa memandangi sebuah restoran sampai segitunya?” ujar Nafa.

Sementara di arah yang lain, seorang pria berpakaian robek dan semrawut berlari kencang dan menabraknya.

“Ah,” jerit kecil gadis yang ternyata adalah Reina itu terjatuh dan terduduk ke bawah. “Astaga, orang gila! Tidak punya sopan santun!"

“Pencopet!” seruan terdengar dari beberapa orang yang juga berlari.

Mereka kemudian berhenti tepat di hadapan Reina.

“Apa mbak melihat pencopet tadi lari lewat sini?” tanya salah seorang dari mereka.

“Aduh, mana saya tahu. Tapi tadi ada cowok pakai baju bolong lari. Dia yang menabrak saya,” jawab Reina ketus.

“Loh, ini apa? Ini kan dompetnya? Mbak sekongkol sama pencopet itu?”

Reina sontak terbelalak dan menjawab sinis, “Hei, mana ada seperti itu! Saya ini korban tahu!”

“Alah, kalau kami gak berhenti di sini, pasti dompet ini sudah kalian bawa. Udah sering nemu pencopet yang memakai trik seperti ini!”

“Enak saja nuduh-nuduh,” Reina semakin emosi.

Di sisi lain, Raka baru saja tiba di restoran dengan wajah bahagia dan siap menjalani hari pertama. Ia mencoba menelepon Reina karena belum juga membalas pesannya. Malah bibinya berkata kalau Reina sudah berjalan duluan ke Brielle Resto. Keinginannya untuk menelepon, sedikit tertunda karena ia melihat Reina yang sedang dikerumuni para pria pengejar copet tadi. Mereka masih belum percaya kalau Reina tidak melakukan persekongkolan seperti yang mereka sangka. Raka pun mendekati karena merasa tak asing dengan wajah itu. Namun, Raka seakan membaca situasi, ia seolah-olah berpura-pura tidak mengenali Reina demi menyelamatkannya dari keadaan tertekan itu.

“Reva?” panggil Raka ketika telah dekat dengan mereka semua.

“Loh, Mas Raka kok manggil-manggil aku Reva? Dia kayak lagi pura-pura baru kenal dan natapin aku, seperti saat malam-malam di Jakarta waktu itu,” ujar Reina dalam hati, membuat keheranan yang tidak kalah besar di wajah Raka.

Raka kemudian memberikan kode spontan pada Reina agar ia mengerti maksud sikap Raka.

“Ada masalah yang bikin aku harus kembali ke Madura, Reva,” lanjut Raka.

“Jadi, kamu tinggal di Madura?” tanya Reina yang akhirnya bersikap seperti yang diinginkan Raka.

“Eh, jadi gimana ini, Mbak? Jangan mengalihkan perhatian, ya? Atau Mas nya juga sekongkol sama mbak ini?” tanya salah seorang dari para pengejar copet itu.

“Eh, maksudnya apa, ya?” tanya Raka sewot. “Saya adalah koki di restoran itu.”

Semua menoleh ke arah Brielle Resto dan Raka melanjutkan ucapannya, “Dia ini kerabat saya, dia mau melamar kerja di restoran itu.”

“Coba berikan buktinya,” kata salah satu dari mereka.

Raka kemudian mengeluarkan kartu identitas yang berisi status pekerjaannya di Brielle Resto. Beruntung ia telah berada dalam lingkaran karirnya di bawah bimbingan Tuan Taro sehari sebelum menghadapi masalah, yang kini datang bagaikan komedi pertama di matanya.

“Ya sudah, kami minta maaf.”

“Ya, lain kali jangan asal nuduh ya, Mas? Wu!” ucap Reina sambil bersorak kecil ketika mereka semua berlalu pergi.

Setelahnya, Raka dan Reina menyambungkan awal masalah mereka yang tak sengaja itu.

“Terimakasih untuk yang barusan, Mas. Saya pikir akan langsung masuk penjara karena tuduhan konyol. Padahal kan aku baru nyampe di kota ini,” kata Reina membuka.

“Iya, sama-sama. Mbaknya yang waktu itu, kan?”

“Hei! Sudah bukan waktunya bersandiwara lagi, Mas Raka yang tampan,” kata Reina memotong ucapan Raka yang masih sempat berpura-pura tidak kenal seperti tadi.

“Haha, maaf, Ren. Kamu juga kenapa gak ke rumah aku dulu? Gak ngasih tahu kalau mau ke restoran duluan. Kan kamu jadi kena masalah kayak tadi. Tapi sudahlah, anggap aja karma kecil.”

“Ya, maaf,” Reina memasang wajah manyun.

“Aku juga minta maaf.”

“Maaf kenapa?”

“Maaf karena sudah bersikap dingin malam itu. Saat kita pertama kali bertemu di Jakarta malam itu. Aku cuman lagi banyak masalah."

“Oh, begitu. Ya, baiklah, kita jadi ke dalam, kan?”

Raka yang baru saja akan memulai hari pertamanya sebagai koki di Brielle Resto, dibuat berpikir lagi oleh Reina. Sikap Reina yang spontan dan langsung pada intinya itu, membuatnya menentukan langkah pertama saat bertemu Tuan Taro lagi.

Di sisi jalan lain, Nafa yang memperhatikan hal itu dan tak sengaja mendengar apa yang terjadi, spontan berujar sinis, “Jadi begitu, untung aku tak buru-buru masuk kesana. Jadi, Raka dan Reina, ya? Hum, menarik. Sepertinya aku akan sedikit diuntungkan dalam memulai pekerjaan ini. Tapi, Mas Raka itu tampan juga. Selain soal resep, aku sepertinya bisa mengambil hatinya juga.”

***

Di dalam restoran, Reina terpukau dengan gaya khas tata ruangan Brielle Resto. Ia seperti melihat dekorasi ala restoran Korea atau pun Cina.

“Bagus,” kata Reina. “Berbeda dari restoran-restoran di Jakarta yang terkesan kaku meskipun mewah. Sepertinya aku akan sangat menyukai tempat ini. Yah, itu pun kalau aku diterima kerja.”

“Reina, ayo masuk,” panggil Raka yang sudah berdiri di depan pintu ruangan Tuan Taro. Para rekan kerja yang lain melihat mereka berdua.

“Sepertinya dia mau melamar di sini.”

“Iya, benar.”

“Mungkin adiknya Pak Raka.”

Di dalam ruangan Tuan Taro, Raka menjelaskan apa yang terjadi padanya sebelum membawa masuk Reina bersamanya. Obrolan panjang tercipta. Reina yang malu-malu dan sedikit introvert dalam menjawab, disadari oleh Raka. Ia membantu Reina menjawab.

“Jadi, kamu cukup menjadi pelayan tamu saja, Mbak Reina?” tanya Tuan Taro.

“Panggil Reina saja, Pak. Ya, saya akan bekerja sebagai pelayan tamu."

Ketika Raka puas dengan hasil usahanya membantu Reina, pintu terketuk dan salah seorang pekerja masuk.

“Ada apa?” tanya Tuan Taro.

“Ini, di luar ada perempuan yang katanya mau ketemu sama Pak Raka,” kata seorang karyawan lain.

“Oh, apa kita suruh masuk saja?” tanya Raka pada Tuan Taro.

“Ya, suruh masuk saja.”

“Baik, saya akan suruh masuk,” ucap pekerja itu.

Raka melihat Reina menjadi gelisah wajahnya. Ia kembali mencoba menenangkan Reina yang di matanya, terlihat bagaikan seorang adik manis yang ia temukan di jalan.

“Tidak apa-apa, Reina. Kamu di sini saja dulu, ya?”

Reina tersenyum seraya setengah menunduk, “Iya.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!