Cinta Dan Benci

Cinta Dan Benci

1. SURYA & SEKAR

"Buka matamu."

Gadis cantik itu segera membuka mata begitu mendengar ucapan pria yang berada di hadapannya. Betapa ia terkejut sekaligus terharu saat melihat sebongkah cincin emas yang berada di tangan kekasihnya tersebut.

"Menikahlah denganku, Sekar. Aku ingin hidup, menua, dan mati bersamamu." Surya, mengatakannya dengan segenap hati.

Begitu bahagianya Sekar ,hingga tanpa terasa airmata menetes ke pipinya. Airmata bahagia.

Tapi sesaat kemudian, kesedihan muncul diwajahnya. "Bagaimana dengan orangtuamu, Mas? Apakah mereka setuju jika kau menikah denganku? Sedangkan semua orang tau jika aku bukan berasal dari keluarga baik-baik.

Ayahku seorang pembunuh yang sekarang sedang menjalani masa tahanan karena telah membunuh pemerkosa ibuku. Kau tahu itu kan Mas?"

Surya tersenyum lalu membelai lembut pipi Sekar. "Aku tahu. Dan aku yakin orang tuaku tidak akan mempermasalahkan hal itu. Bagi mereka, kebahagiaan seorang anak lebih penting dari segalanya. Jadi kamu tidak usah khawatir Sekar."

Tapi Sekar masih belum yakin, "Benar? Mas tidak bohong kan?"

"Yasudah, Minggu depan, aku akan membawamu ke rumahku untuk bertemu orang tuaku. Dan nanti, akan ku beritahu niatku untuk segera menikahimu. Jadi aku mohon, terima lamaranku ini , Sekar."

Akhirnya Sekar bersedia dan langsung mengangguk pertanda setuju. Tanpa menunggu lama, Surya segera memakaikan cincin itu ke jari manis Sekar.

Setelah itu, keduanya berpeluk mesra dan larut dalam kebahagiaan.

"Aku mencintaimu Sekar.. Aku mencintaimu.."

**

Setibanya di rumah, Surya segera mencari Ibunya. Ia berniat menyampaikan rencananya menikahi Sekar saat itu juga.

Namun apa yang ia lihat? Ibunya tergeletak tak sadarkan diri dalam kamarnya.

"IBU!!"

Berkali-kali Surya mencoba membangunkan ibunya yang pingsan, namun nihil. Akhirnya ia langsung membawanya ke Rumah sakit terdekat.

Setelah memeriksa keadaan Ibu Surya, Dokter keluar dari ruang pemeriksaan.

Surya segera menghampirinya. "Dok, bagaimana keadaan Ibu saya?"

"Tumor otaknya sudah semakin parah dan harus segera di operasi. Jika tidak, Ibu Fatimah bisa meninggal."

Geruduggg.. Bagai dijatuhi batu satu truk Surya mendengarnya. Tumor otak? Bagaimana mungkin?

Surya pun kemudian pergi ke wartel untuk memberitahu hal itu pada ayahnya yang kini sedang merantau di Jakarta.

**

Sementara itu, seorang gadis menuruni tangga rumahnya dengan perasaan was-was. Pikirannya dipenuhi pertanyaan, ada apakah gerangan orang tuanya tiba-tiba memanggil?

"Pah..."

Pria paruh baya berbadan tinggi besar yang semula berdiri membelakangi tangga, kini berbalik. Ia tatap mata Putri keduanya dengan tajam, kemudian menunjukkan sesuatu.

Sesuatu yang membuat gadis berusia 20 tahun itu seketika tercengang.

"Ini punyamu?"

Gadis itu tak berani menjawab. Ia hanya menunduk dengan perasaan takut yang teramat sangat.

"JAWAB MARINKA!" Emosi pria itu tak terbendung lagi. "KAU HAMIL?!"

Akhirnya gadis itu mengangguk pasrah, biarlah ia mati saat itu juga.

Sang Ayah pun sudah hampir menamparnya jika saja istrinya tidak menahannya.

"Jangan Pah! Kasihan Marinka.. Jangan pukul dia."

"Kasihan? Untuk apa Mamah mengasihani anak set*n seperti dia? Bisanya hanya membuat malu keluarga!"

Marinka hanya diam. Karena ia sadar, ia bersalah.

Sementara ibunya menangis. Ia mendekat dan mengguncang tubuh Marinka dengan lemas.

"Kenapa Nak? Kenapa kamu bisa seperti ini?"

"Maafkan Marinka Mah." Suara Marinka hampir tak terdengar. Hanya kata maaflah yang mampu ia ucapkan saat ini.

"Siapa ayahnya?" Tanya sang Ayah kemudian.

Dan gelengan kepala Marinka membuat Ayahnya terkejut sekaligus heran. Apa maksudnya?

"Marinka melakukannya bukan hanya dengan 1 pria, jadi Marinka tidak tahu persis siapa Ayahnya."

Sang Ayah kehabisan kata-kata.

***

Beberapa hari kemudian..

Ayah Marinka tengah berbincang dengan istrinya di kursi depan rumah mereka yang megah bak istana.

"Kita harus segera menikahkan Marinka, sebelum orang-orang tahu dia hamil," tegas Ayah Marinka.

"Pertanyaannya, dengan siapa kita akan menikahkannya? Sedangkan dia sendiri tidak tahu siapa yang menghamilinya, " ucap sang Istri.

Ayah Marinka menunduk dan menghela nafas panjang. Itulah masalahnya. Siapa yang mau bertanggung jawab dan menikahi putrinya?

Disaat seperti itu, sopir pribadi Ayah Marinka baru muncul setelah sebelumnya pulang kampung.

"Permisi Tuan, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan pada Tuan."

Setelah mempersilahkan pria bertubuh kurus itu duduk, Ayah Marinka bertanya,"Ada Apa Bambang?"

"Istri saya sakit di kampung. Dia mengidap tumor otak dan harus segera di operasi. Jadi saya memohon kemurahan hati Tuan untuk meminjamkan saya uang."

Orang tua Marinka langsung bertukar pandang.

Sebelum kemudian Ayah Marinka bertanya, "Berapa biaya operasinya?"

"10 juta Tuan," jawab Pak Bambang tanpa berani menatap Ayah Marinka. Hatinya tak berhenti berdoa agar pria di hadapannya mau berbaik hati menolongnya.

Kali ini Ayah Marinka tak menjawab. Beliau malah tampak memikirkan sesuatu. Sesuatu yang dirasa menjadi jawaban atas kebingungannya.

"Saya berjanji akan mengembalikannya bagaimanapun caranya Tuan. Bahkan jika Tuan meminta saya bekerja disini seumur hidup, saya tidak keberatan." Pak Bambang terus meyakinkan Ayah Marinka.

"Baiklah," Ayah Marinka memutuskan. "Aku akan memberimu uang itu. Bahkan kau tidak perlu menggantinya."

Tentu saja Pak Bambang terkejut sekaligus tak mengerti. "Maksudnya, Tuan memberikan secara cuma-cuma?"

"Tentu saja tidak..

Kau pernah bilang punya anak lelaki yang sudah dewasa kan?"

Pak Bambang mengangguk ragu. Perasaannya mulai tidak enak.

"Nikahkan dia dengan puteriku." Ibu Marinka terkejut dan langsung menatap suaminya. Sungguh ide yang gila. Tapi beliau tidak berkata apapun.

"Maksud Tuan dengan Nona Marinka? Tuan tidak salah?"

"Tidak Bambang. Bahkan aku berjanji akan memberikan salah satu perusahaanku untuk Surya jika dia bersedia menikahi Marinka."

Pak Bambang benar-benar bingung. "Tunggu.. tunggu.. Tuan sedang tidak bercanda kan? Surya tidak pantas-"

"Marinka hamil," potong Ayah Marinka. "Dan harus ada seseorang yang bertanggung jawab demi menyelamatkan nama baik keluarga ini."

Pak Bambang shock mendengarnya. Bagaimana tidak? Putranya diminta bertanggung jawab atas sesuatu yang tidak pernah ia lakukan.

"Jadi maksud Tuan.. Surya yang harus bertanggung jawab menikahi Nona Marinka?"

"Iyah.. Apa salahnya? Tidak ada yang dirugikan dalam hal ini."

Pak Bambang tidak habis pikir. Tidak ada yang dirugikan? Bagaimana dengan Surya? Jika ia benar-benar menikah dengan Marinka, ia harus berkorban perasaan.

Namun Pak Bambang sadar, ia tidak bisa menolak jika ingin menyelamatkan nyawa istrinya.

"Pikirkan baik-baik Bambang. Tidak semua orang mempunyai kesempatan emas seperti ini.

Dan aku yakin, putramu tidak akan keberatan jika harus berkorban demi ibunya."

**

Begitu melihat kedatangan Ayahnya, Surya yang semula duduk sambil menatap ibunya yang masih belum sadar, seketika bangkit.

"Ayah.. Bagaimana? Ayah sudah mendapatkan uangnya?"

Dan yang terjadi kemudian, Pak Bambang menyerahkan amplop tebal berwarna coklat pada Surya.

Surya tersenyum senang tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Kemudian Surya dibuat heran oleh Ayahnya yang tiba-tiba menangis. "Ayah.. Ayah kenapa?"

"Maafkan Ayah Surya.." Pak Bambang terisak. Andai Surya tahu jika uang itu seharga pengorbanannya, mungkin Surya pun akan menangis.

"Minta maaf untuk apa?"

Pak Bambang pun mengajak Surya duduk. Kemudian beliau menceritakan semuanya pada Surya.

Surya tertegun. Airmatanya mengalir perlahan.

Haruskah takdir hidupnya berjalan seperti ini? Tuhan.. Kenapa kau begitu kejam?

"Kau boleh membenci Ayah, Surya. Ayah tidak peduli. Karena bagi Ayah, yang terpenting adalah ibumu sehat kembali."

Surya tidak berkata apa-apa. Ia malah bangkit dan berjalan dengan tatapan kosong. Entah kemana ia akan pergi.

**

"Mas Surya?" Sekar terkejut melihat kedatangan Surya. Yang lebih mengejutkan, matanya terlihat sembab seperti habis menangis.

"Ada apa Mas? Mas baik-baik aja kan?"

"Ada yang ingin kutanyakan padamu Sekar."

"Apa?"

"Jika kau disuruh memilih antara aku atau ibumu, siapa yang akan kau pilih?"

Sekar tertegun. Pilihan yang sulit. Tapi kemudian ia menjawab, "Aku akan memlihmu, Mas."

Surya seketika galau mendengarnya. "Alasannya?"

"Karena ibuku sudah meninggal. Jadi tentu saja aku akan memilihmu."

"Seandainya ibumu masih hidup?"

"Tentu saja aku akan memilih ibuku. Karena tanpanya, aku tidak akan ada di dunia ini."

Baiklah. Surya mengerti. Sekarang ia tahu, keputusan apa yang harus ia ambil.

**

Terhitung seminggu sejak Surya melamarnya, dan berjanji akan mengenalkan Sekar pada orangtuanya. Hari itu Sekar menunggu kedatangan Surya dengan tidak sabar.

Dia berdandan dengan sangat cantik demi menyambut kedatangan kekasih hatinya.

Begitu sosok Surya muncul, senyum Sekar merekah seketika.

"Mas.. Hari ini jadi kan? Mas sudah berjanji akan mengenalkan aku pada orangtua Mas."

Surya tak menjawab. Ia malah menyerahkan selembar kertas undangan pada Sekar.

Sekar menerimanya dengan perasaan bingung.

Plas.. Serasa nyawanya hampir terlepas saat melihat nama yang tertera di surat undangan tersebut.

Surya & Marinka

"Ini.. Surya mana ya Mas? Bukan Surya kamu kan?" Tanya Sekar dengan suara bergetar.

Surya menutup mata, seiring airmatanya yang jatuh mengalir deras.

"Maafkan aku, Sekar.. Maafkan aku.."

Sekar langsung mengeluarkan surat undangan itu dari dalam plastik bening yang membungkusnya, dan segera membukanya.

Menikah

Surya Prakoso

&

Marinka Atmaja

Akad nikah : 17 Mei 2001

"Haaah..." Marinka menutup mulut dan mencoba menahan tangisnya yang serasa ingin meledak.

Ia tatap Surya dengan matanya yang basah.

"Mas, apa kau sedang mencoba membunuhku secara perlahan? Bukan begini caranya Mas."

"Maaf Sekar.." Surya menangis tersedu-sedu. "Aku tidak punya pilihan lain."

"Apa maksudmu?"

Akhirnya Surya menjelaskan semuanya pada Sekar. Kali ini Sekar terdiam. Jadi itu alasannya, tempo hari Surya bertanya siapa yang akan ia pilih antara Surya dan ibunya.

"Kau boleh membenciku seumur hidupmu, tapi satu hal yang harus kau tahu, hanya kau satu-satunya wanita yang kucintai di dunia ini setelah ibuku."

**

17 Mei 2001

Pagi itu, Sekar berjalan menyusuri jembatan dengan langkah gontai. Harapan hidupnya seolah sirna. Ia rasa dunia tidak pernah berpihak padanya. Disaat ia yakin Surya bisa menjadi penyembuh bagi lukanya, justru ternyata pria itu malah menoreh luka baru di hatinya.

'Sekarang aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Ibu yang kucintai telah meninggal. Ayah tempatku bercerita sudah bukan orang yang sama. Dan lelaki yang kucintai kini sudah menjadi suami wanita lain..

Lalu apa gunanya aku hidup? Untuk siapa aku hidup? Haruskah aku lompat dari jembatan? Atau menabrakan diri ke arah mobil?' suara hati Sekar yang sudah sangat putus asa.

Pada akhirnya, ia berjalan mendekati jembatan dan...

"Ibu.. Aku datang.. Aku akan segera menyusulmu.."

Bersambung..

Terpopuler

Comments

Cicih Sophiana

Cicih Sophiana

semangat Sekar masih ada bahagia menanti mu... jangan putus asa

2023-08-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!