Terjerat Masa Lalu
...Prolog...
Novel genre roman karya Bombin Stone yang berjudul mirrror love baru selesai Ruri baca. Ini pertama kalinya gadis berkacamata itu membaca novel berbau percintaan, sebelumnya sedikit pun dia tidak tertarik mengenai hal tersebut sampai dia bertemu seseorang.
Seseorang yang setiap kali netra mereka beradu, jantung Ruri selalu berdegup tak menentu. Suara seseorang itu mulai terdengar bak melodi yang membuatnya candu. Jika melihatnya, dunia di sekitar Ruri terlihat lebih berwarna, bahkan bersinar bak bintang di malam hari.
Ruri penasaran dengan apa yang dia rasakan. Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta? Atau ini hanya rasa senang semata? Rasa penasaran tersebut lah yang menuntunnya pada sebuah novel bergenre roman.
Di dalam novelnya Bombi Stone mengatakan, "Jatuh cinta dan rasa senang itu adalah dua hal yang berbeda. Kamu akan mengetahui jawabannya setelah sosok tersebut jauh di pelupuk matamu."
Di halaman berikutnya Ruri menemukan jawabannya. "Apa yang kamu rasakan? Apakah kamu merinduinya dan berharap dia selalu ada di dekatmu atau kamu hanya peduli jika dia ada di sebelahmu?"
Wajah Ruri langsung merona setelah membacanya, di balik selimut tebalnya gadis berkacamata itu menahan gejolak bahagia yang dia rasakan saat ini. Kacamata bingkai tipis yang dia kenakan nyaris terlepas saat dia memeluk guling erat-erat. Jatuh cinta membuatnya gila.
Ponsel Ruri bergetar, dia meraih benda tersebut di nakas. Sebuah pesan dari seseorang membuat Ruri bertambah bahagia, dia tidak menyangka sosok yang dia cintai mengirimnya pesan di saat begini. Sangat tepat dengan suasana hatinya yang tengah dilandai badai asmara.
[Ruri, aku mau kasih kamu sesuatu. Kita ketemuan di cafe shop fresh, ya.]
Emoji senyum mengakhiri pesan tersebut.
[Malas! Kenapa nggak kasih di sekolah aja. Emangnya mau kasih apaan?] balas Ruri dengan ketikan bernada dingin.
[Nggak enak di sekolah, suasananya terlalu formal. Aku maunya di kafe, suasana di sana membuat kita bisa lebih santai.]
[Ayoklah, nanti kita ketemuan di kafe, ya, Kacamata manis.] Mohonnya kembali.
[Bawel! Iya, nanti gue ke sana. Jam tujuh malam.] balasnya segera.
Setelah itu, si pengirim pesan mengirim emoji love di akhir percakapan mereka.
Ruri mengatur napas, matanya terpejam membayangkan pertemuannya dengan sosok laki-laki yang telah menggetarkan hatinya. Apakah akan sama dengan pertemuan tokoh utama dari novel roman yang baru selesai dia baca?
Bulan bersinar teramat terang di malam perjanjian mereka. Tokoh utama–si pria– memegang bunga, berdiri lama di depan sebuah kafe. Raut wajahnya grogi, takut dan bahagia bercampur menjadi satu hingga tanpa dia sadari wanita pujaan hatinya berdiri di seberang jalan menunggunya mengambil langkah.
Pemeran utama memantapkan hati sebelum melangkah, sedangkan si wanita menunggu laki-laki tersebut mengambil langkah, baru dia beranjak dari sana.
Mereka seperti gerbong kereta api yang tidak bisa berjalan beriringan. Saling menunggu satu sama lain. Namun, setelah melewati konflik yang panjang, akhirnya mereka bisa menjadi cermin yang saling memantulkan bayangan.
Jika saling bertatapan mereka akan melihat bayangan diri mereka sendiri. Saling melengkapi, layaknya raga dan bayangan pada cermin. Itulah kenapa novel tersebut diberi judul Mirror love. Ruri berkaca-kaca setelah membacanya.
"Ternyata ini yang dinamakan roman? Mengaduk perasaan yang paling dalam." Ruri bergumam kala itu.
Ruri berharap semoga dia dan laki-laki yang dicintainya menjadi seperti itu juga. Saling melengkapi. Jika hatinya adalah kapal, maka sosok laki-laki tersebut adalah pelabuhan yang menjadi tempat tinggalnya setelah lama berlabuh di laut.
Waktu perjanjian mereka pun tiba, bulan bersinar terang walau suasana malam itu sedikit berkabut. Ruri meminta sopir yang membawa mobil untuk berhenti di seberang kafe. Sengaja, dirinya masih meniru adegan dalam novel.
Matanya menelisik mencari sosok yang telah membuat janji. Namun, angin malam yang berembus waktu itu membawa kantuk pada wajah Ruri. Hanya selisih beberapa menit saat dia memejam mata sebelum dentuman keras memecah keheningan malam. Saat matanya menengok keluar jendela mobil, asap hitam sudah mengepul di udara. Suara jeritan pengunjung kafe menuntun matanya melihat seorang laki-laki tergeletak bersimbah darah.
Laki-laki itu terkapar tak bergerak sama sekali setelah terpental jauh menghantam pintu depan kafe. Dari seberang jalan Ruri tidak bisa melihatnya dengan jelas, tetapi salah satu temannya yang bekerja di kafe tersebut menjeritkan nama seseorang yang tidak asing baginya.
"Dion! Itu Dion! Cepat, siapa pun tolong telefon ambulans!" teriak Kagami, kegaduhan pun terjadi.
Ruri membeku, waktu di sekitarnya terasa berhenti. Dia menggeleng tidak percaya. Dion adalah sosok laki-laki yang telah membuat janji dengannya, tetapi entah apa yang terjadi saat mata Ruri tertutup beberapa menit lalu, sebuah insiden besar terjadi di dekatnya. Semua yang terlibat dalam kecelakaan itu tewas. Tak terkecuali Dion yang berakhir dalam koma.
Sudah empat tahun berlalu sejak kejadian mengerikan di malam perjanjian temu itu terjadi. Dion belum juga sadar dari komanya dan sampai saat ini juga Ruri tidak tahu apa yang ingin Dion berikan padanya waktu itu.
Menjalani hari dengan hati yang terluka teramat menyiksanya. Bagai ada rantai yang menjerat masa lalu di setiap langkahnya. Berat dan menyakitkan. Walaupun begitu Ruri tetap teguh menjalani hari, mengalami banyak macam kejadian sembari menunggu Dion sadar dari koma.
Bab 1 : Mirai
...(Arc 1 : Rera yang kejam)...
Kicauan burung terdengar samar-samar di balik jendela kelas yang saat ini sedang ricuh. Tak jauh dari jendela itu Ruri sedang fokus membaca sebuah novel, menciptakan dunianya sendiri, tidak peduli dengan sekitar.
"Ruri ... novel apa yang kamu baca kali ini?"
Seorang gadis berikat kuda yang duduk di depan Ruri membalikkan badan, menatap sahabatnya yang saat ini tengah fokus membaca novel.
"Ruri ...." panggil Alita lagi, menggoyang pelan bahu gadis berkacamata di depannya.
Karena tidak terima kegiatannya diganggu, Ruri menutup novel yang dia baca, mendengkus kesal menatap Alita yang saat ini tampak tidak merasa bersalah.
"Lu mau gue tampol pake novel ini?"
Ruri mengangkat novelnya ke udara, bersiap membuktikan ancamannya barusan.
"Eh, jangan marah, Ruri, aku cuma iseng doang, kok." Alita cengengesan.
"Kamu juga salah, Alita. Udah tahu Ruri itu kalau lagi baca novel fokus banget. Makanya jangan diganggu."
Suara lembut seorang siswa laki-laki yang duduk di seberang meja Ruri memberi sahutan, membuat dia beralih menjadi pusat perhatian Alita dan Ruri.
Kagami Oved, siswa laki-laki yang barusan berkomentar. Dia memiliki bekas lebam di dahi, lebih tepatnya di bagian sudut di atas salah satu alis. Orang-orang menyebut lebam itu sebagai bekas luka yang menjadi ciri khasnya. Parasnya tampan disukai banyak gadis. Namun, dia bukan type pemuda yang gemar tebar pesona. Dia juga salah satu sahabat dekat Ruri, selain Alita, gadis yang barusan mengganggunya.
"Kamu sendiri lagi ngapain, Kagami? Nggak bosen apa dari tadi belum ada guru yang masuk." Alita kesal, masih dalam posisi membelakangi papan tulis.
Alita Puspita, gadis yang senantiasa kuncir satu itu duduk di bangku depan Ruri. Dia sahabat Ruri yang gemar membuatnya naik tengsi. Alita jahil. Banyak tingkah dan terkadang dia juga ikut menghasut Kagami untuk menjahili Ruri.
"Aku tadi termenung jauh memikirkan masa depan. Siapa tahu aku benar-benar bisa menjadi idol," jawab Kagami melirik ke arah gadis yang barusan bertanya.
Ruri geleng-geleng mendengar khayalan Kagami. Sahabatnya yang satu ini memang pintar dalam segi akademik, tapi dia cukup bodoh mengenal dirinya sendiri.
"Mimpi lu ketinggian, Kagami! Boro-boro jadi idol, nyanyi aja lu nggak pantes. Terakhir kali gue inget banget saat lu nyanyi di depan kelas. Pelajaran praktik. Astaga, kuping gue panas dengarnya!" ejek Ruri, komentarnya mendapat tawa lepas dari Alita.
"Jangan diingetin, Ruri! Aku juga malu dengarnya!" timpal Alita. Kagami merah padam menahan malu.
Memang benar yang dikata dua gadis itu mengenai suaranya. Disebut pas-pasan pun tak bisa. Suara Kagami benar-benar membuat alunan lirik indah yang seharusnya menghibur banyak orang beralih menjadi ancaman. Kagami tak pernah marah jika dia mendapat ejekan dari sahabatnya. Karena dia sendiri pun tahu akan kekurangannya. Namun, satu hal yang pasti. Cita-cita Kagami untuk menghibur banyak orang, membuat banyak orang terpukau dan bahagia olehnya tak akan pernah sirna. Entah bagaimana caranya, mungkin suatu hari nanti dia akan menemukan takdirnya sendiri.
Suasana kelas mereka semakin ramai. Hari masih pagi dan seharusnya jam pelajaran pertama telah dimulai sejak lima belas menit lalu. Namun, selama itu juga guru mata pelajaran yang seharusnya mengajar tak menampakkan wajahnya. Ketua kelas beserta murid lain acuh tak acuh. Mereka memilih menikmati jam kosong ini dengan bercakap-cakap hingga suasana di dalam kelas 2A benar-benar ricuh. Ruri yang semula berniat kembali membaca novel pun terhenti, moodnya menghilang.
"Ke mana kita akan berlabuh setelah tamat menyelesaikan pendidikan SMA ini, ya? Apa kita bisa mengapai masa depan yang kita inginkan?" Alita berkata, dalam ricuhnya suasana kelas gadis berikat satu itu memandang lugu pada Ruri, kemudian beralih menatap Kagami.
Wajah Kagami mendadak sendu. Pertanyaan barusan tanpa sengaja membuka luka hati yang telah lama dia miliki. Luka karena dia tak mengingat siapa dirinya sendiri.
Berbeda dengan Ruri yang menangapinya enteng. Walau sebenarnya dia juga membawa luka lain di hatinya. Jika membahas soal masa depan, dia selalu menoleh sebentar ke belakang, melihat sosok Dion yang koma empat tahun silam. Tak terasa, begitu cepat waktu berlalu dan sampai saat ini pun Dion tak kunjung bangun dari tidur panjangnya itu.
"Masa depan itu misteri. Masa sekarang adalah penentu kepingan misteri tersebut." Ruri mulai berujar, mengusir gusar di wajah dua sahabatnya. "Maka dari itu, gue saranin kalian jangan over thingking yang terlalu sangat. Jika dirasa di masa depan ingin sukses, maka jangan bermalas-malasan di masa kini!" Dia melotot galak kepada Alita, gadis kuncir kuda itu menyengir jahil. Dia tahu maksud perkataan Ruri barusan.
"Berhenti menjahili gue dan berhenti melakukan hal konyol, ingat itu?!" ancam Ruri lagi, menunjuk wajah Kagami yang nampak menahan tawa.
Ancaman Ruri pada Kagami membuat tawa lolos dari bibir Alita. Gadis itu sebenarnya berniat menjahili Ruri lewat pertanyaan sendu yang dia layangkan barusan. Sengaja. Agar Ruri memberikan penjelasan panjang lebar, lalu dalam penjelasan itu nantinya Kagami maupun Alita akan terus bertanya sampai Ruri muak dan kesal sendiri.
Sayangnya kejahilan itu dimengerti oleh Ruri hingga pancingan mereka gagal total.
"Lu pikir kejahilan kek gini masih berlaku sama gue, ha? Lu pikir udah berapa kali gue termakan rencana bodong kalian ini?" Ruri langsung memukul Alita dan Kagami mengunakan novel yang tadi dia pegang. Kemudian gadis berkacamata itu menyeringai puas melihat dua sahabatnya meringis sakit. Terutama pada Kagami.
"Habisnya, seru banget jahilin kamu, Ruri. Walau logatmu kasar, sikapmu acuh tapi kamu baik. Mau berbagi pengetahuan walau sebenarnya kami menjahilimu!" Bukannya kapok, Alita malah semakin keras tertawa dan dari bangku seberang suara tawa Kagami menimpalinya.
Ruri bertambah geram. Berniat memukul dua sahabatnya dengan novel sekali lagi. Akan tetapi, tindakannya terhenti oleh kehadiran Buk Sani, wali kelas mereka.
Alita gegabah kembali ke posisi duduk yang benar. Ruri juga begitu, murid-murid lain pun sama. Mereka kocar-kacir bersikap baik, duduk dengan tenang ketika Buk Sani tiba-tiba masuk.
Semua pasang mata dalam keheningan mendadak itu tertuju pada satu arah. Yaitu kepada gadis berambut pendek yang mengekori Buk Sani. Gadis itu memakai seragam berbeda dengan mereka—jas coklat, berdasi merah serta rok pendek kotak-kotak coklat. Dilihat dari gayanya, sepertinya gadis itu adalah murid baru. Parasnya cantik. Namun, sedari menginjakkan kaki ke kelas, dia terus menunduk.
"Emblem di seragamnya nampak tak asing, ya?" Salah seorang murid berkomentar, berbisik pada teman di belakangnya.
"Benar. Gue harap tebakan gue salah, sih. Tapi memang benar begitu, gadis ini pindahan dari sekolah elit!"
Suasana kelas ricuh sejenak. Mereka membicarakan seragam yang dipakai murid asing itu. Dilihat dari sudut mana pun, mereka semua bisa menebaknya, karena hanya ada satu sekolah elit di kota ini yang memiliki seragam begitu. SMA 4 Tirta Negara. Sekolah impian banyak orang.
"Ruri! Lihat, murid dari sekolah elit itu berada di depan mata kita!" Alita antusias, menoleh ke belakang.
Celoteh Alita membuat Ruri kesal. Tanpa diberi tahu pun Ruri sudah bisa melihatnya, dia tidak buta. Akhirnya dia menendang kursi Alita, meminta sahabatnya itu diam.
Bukannya langsung menghadap ke depan, tepat setelah mendapat tendangan dari Ruri, Alita malah beralih berkata hal serupa kepada Kagami. Respon yang dia dapat dari pemuda itu jauh berbeda dengan Ruri. Kagami mengangguk antusias, seraya memandang lembut padanya.
Buk Sani bertepuk tangan, meminta semua peserta didiknya diam. Setelah suasana kelas kembali hening, guru berbadan tambun itu memulai perkataannya. "Guru biologi yang seharusnya mengajar di jam pertama mendadak sakit, maaf baru memberitahunya sekarang, karena tadi posisinya ibuk juga sedang mengajar di kelas lain." Suaranya mengisi ke setiap ceruk kelas.
Buk Sani menatap lamat-lamat barisan murid di hadapannya, berujar lagi "Untuk itu, kalian dititipkan tugas." Suaranya mendapat helaan pasrah dari para murid. "Ketua kelas, saya percayakan keamanan kelas padamu," titahnya lagi memandang ketua kelas.
Kemudian, tak berselang lama setelah perintah pertama itu Buk Sani menjelaskan jika mulai hari ini mereka kedatangan siswi baru. Menunjuk gadis berambut pendek di sebelahnya. Moment yang ditunggu-tunggu para laki-laki yang berada di kelas itu pun akhirnya terjadi. Mereka tak sabar mendengar suara siswi pindahan tersebut.
"Perkenalkan dirimu, Nak," kata Buk Sani, gadis di sebelahnya perlahan mendongkak. Ketika matanya beradu dengan murid lain di depannya, gadis itu mendapat banyak tatapan kagum. Wajahnya sangat mempesona.
"Imut banget! Potongan rambutnya lucu. Benar, kan, Kagami?" Alita antusias lagi, tapi Kagami hanya menangapinya santai. Dia tak tertarik sama sekali dengan siswi baru itu.
"Dia type orang yang bakal dikerumuni banyak penjilat. Lihat saja nanti." Ruri menimpali. Alita melengos, kembali menghadap ke depan.
Tatapan kagum yang diarahkan kepadanya membuat siswi baru itu bertambah gugup. Dia mencoba mengatur napas, mengepal tangan seraya melirik satu persatu murid lain di depannya. Namun, ketika tanpa sengaja tatapan matanya bertemu dengan tatapan galak milik Ruri, gadis berambut pendek itu mendadak gemetar. Dia cepat memaling wajah, kemudian berujar sesingkat mungkin.
"Perkenalkan, nama saya Mirai Arinda. Panggil saja Mirai. Pindahan dari SMA 4 Tirta Negara. Salam kenal semuanya."
Akhirnya siswi bernama Mirai itu bersuara. Perkenalannya mendapat sambutan gemuruh dari siswa laki-laki yang terpesona akan suaranya yang gemulai, syahdu menyapa gendang telinga. Beberapa dari mereka bahkan bertepuk tangan. Alita juga ikut-ikutan, walau niat kagumnya berbeda dari kelompok laki-laki.
"Potongan rambutnya lucu," gumam Alita, untuk kedua kalinya dia suka dengan potongan rambut Mirai. Pendek sebahu, ditutup poni tipis yang menyamping di bagian dahi.
Buk Sani berkata lagi dengan nada tinggi, memecah di antara gemuruh tepuk tangan di dalam kelasnya.
"Berteman baiklah dengan Mirai, ya! Jangan ada pembulian di kelas ini. Ibu tak mau itu. Walau Mirai pindahan dari sekolah elit, jangan ada yang saling membedakan. Semuanya sama. Di sini kalian belajar, menimba ilmu. Ingat itu?!"
Sebagian murid serempak mengiyakan. Beberapa dari mereka ada pula yang mulai bertanya-tanya, kenapa murid baru yang berasal dari sekolah elit itu mau pindah ke sekolah biasa tempat mereka menimba ilmu. Pertanyaan itu juga muncul di benak Alita. Hanya satu orang yang dia rasa bisa memberinya jawabaan, yaitu Ruri. Jadi, untuk kedua kalinya, tanpa kapok dan takut Alita menoleh ke belakang, meminta jawaban pada gadis yang duduk di sana.
"Goblok!" Sekali lagi Ruri menendang kursi Alita. Dia benar-benar kesal sekarang. Tendangannya kali ini lebih keras dari sebelumnya "Gue bukan emak dia, jangan tanya gue kenapa!" berangnya, menghela ketus. Alita menyengir dan kembali ke posisinya lagi.
Sesi perkenalan telah selesai. Dirasa tak ada lagi yang mau disampaikan, Buk Sani pun akhirnya meminta Mirai menepati bangku kosong di belakang Kagami. Gadis berambut pendek itu mengangguk. Begitu pelan langkah ragunya melewati beberapa bangku, menyisiri lorong tempat Ruri berada.
Sesampainya di bangku kosong tersebut Mirai menepuk-nepuk sedikit debu yang berada di sana, setelahnya dia duduk, mulai secara pelan membiasakan diri dengan sekitar. Walau sebenarnya dia masih gugup memandang siapa pun.
Dari bangkunya Kagami memutar badan, berkata pelan pada Mirai.
"Hai. Perkenalkan, namaku Kagami Oved. Panggil saja Kagami. Kalau ada yang mau ditanyakan, jangan sungkan, ya," terangnya, tersenyum ramah.
Mirai tersipu malu mendengar laki-laki asing di depannya memperkenalkan diri terlebih dahulu. Secara ragu dia mengangguk pelan, menyahut perkataan Kagami dengan perkenalan juga.
"S–salam kenal, Kagami."
Dari tempat duduknya Ruri mengerling ke arah Mirai—mengabaikan Buk Sani yang sedang memberi arahan di depan kelas. Ruri berekspresi begitu karena entah kenapa tatapan mata Mirai membuatnya dejavu. Seolah-olah dia dan Mirai pernah bertemu sebelumnya. Namun, sekeras apa pun Ruri mencoba mengingatnya, gadis berambut pendek itu tetaplah orang asing di matanya.
"Ruri Nagemi! Ke mana matamu memandang? Apa yang kamu lihat di belakang sana? Saya di depan!" sentak Buk Sani, membuat Ruri gegabah memperbaiki posisi. Sial, dia ketahuan.
###
Revisi : 28 Februari 2024
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 159 Episodes
Comments
larasatiayu
openignya menarik wis gebrak smangat jg yah
2024-10-24
0
Muhammad Ali
Mantap, Kak..../Good//Good/
2024-02-14
1
Seastarme
Mampir jugaa 🙌
2023-08-20
0