...Prolog...
Novel genre roman karya Bombin Stone yang berjudul mirrror love baru selesai Ruri baca. Ini pertama kalinya gadis berkacamata itu membaca novel berbau percintaan, sebelumnya sedikit pun dia tidak tertarik mengenai hal tersebut sampai dia bertemu seseorang.
Seseorang yang setiap kali netra mereka beradu, jantung Ruri selalu berdegup tak menentu. Suara seseorang itu mulai terdengar bak melodi yang membuatnya candu. Jika melihatnya, dunia di sekitar Ruri terlihat lebih berwarna, bahkan bersinar bak bintang di malam hari.
Ruri penasaran dengan apa yang dia rasakan. Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta? Atau ini hanya rasa senang semata? Rasa penasaran tersebut lah yang menuntunnya pada sebuah novel bergenre roman.
Di dalam novelnya Bombi Stone mengatakan, "Jatuh cinta dan rasa senang itu adalah dua hal yang berbeda. Kamu akan mengetahui jawabannya setelah sosok tersebut jauh di pelupuk matamu."
Di halaman berikutnya Ruri menemukan jawabannya. "Apa yang kamu rasakan? Apakah kamu merinduinya dan berharap dia selalu ada di dekatmu atau kamu hanya peduli jika dia ada di sebelahmu?"
Wajah Ruri langsung merona setelah membacanya, di balik selimut tebalnya gadis berkacamata itu menahan gejolak bahagia yang dia rasakan saat ini. Kacamata bingkai tipis yang dia kenakan nyaris terlepas saat dia memeluk guling erat-erat. Jatuh cinta membuatnya gila.
Ponsel Ruri bergetar, dia meraih benda tersebut di nakas. Sebuah pesan dari seseorang membuat Ruri bertambah bahagia, dia tidak menyangka sosok yang dia cintai mengirimnya pesan di saat begini. Sangat tepat dengan suasana hatinya yang tengah dilandai badai asmara.
[Ruri, aku mau kasih kamu sesuatu. Kita ketemuan di cafe shop fresh, ya.]
Emoji senyum mengakhiri pesan tersebut.
[Malas! Kenapa nggak kasih di sekolah aja. Emangnya mau kasih apaan?] balas Ruri dengan ketikan bernada dingin.
[Nggak enak di sekolah, suasananya terlalu formal. Aku maunya di kafe, suasana di sana membuat kita bisa lebih santai.]
[Ayoklah, nanti kita ketemuan di kafe, ya, Kacamata manis.] Mohonnya kembali.
[Bawel! Iya, nanti gue ke sana. Jam tujuh malam.] balasnya segera.
Setelah itu, si pengirim pesan mengirim emoji love di akhir percakapan mereka.
Ruri mengatur napas, matanya terpejam membayangkan pertemuannya dengan sosok laki-laki yang telah menggetarkan hatinya. Apakah akan sama dengan pertemuan tokoh utama dari novel roman yang baru selesai dia baca?
Bulan bersinar teramat terang di malam perjanjian mereka. Tokoh utama–si pria– memegang bunga, berdiri lama di depan sebuah kafe. Raut wajahnya grogi, takut dan bahagia bercampur menjadi satu hingga tanpa dia sadari wanita pujaan hatinya berdiri di seberang jalan menunggunya mengambil langkah.
Pemeran utama memantapkan hati sebelum melangkah, sedangkan si wanita menunggu laki-laki tersebut mengambil langkah, baru dia beranjak dari sana.
Mereka seperti gerbong kereta api yang tidak bisa berjalan beriringan. Saling menunggu satu sama lain. Namun, setelah melewati konflik yang panjang, akhirnya mereka bisa menjadi cermin yang saling memantulkan bayangan.
Jika saling bertatapan mereka akan melihat bayangan diri mereka sendiri. Saling melengkapi, layaknya raga dan bayangan pada cermin. Itulah kenapa novel tersebut diberi judul Mirror love. Ruri berkaca-kaca setelah membacanya.
"Ternyata ini yang dinamakan roman? Mengaduk perasaan yang paling dalam." Ruri bergumam kala itu.
Ruri berharap semoga dia dan laki-laki yang dicintainya menjadi seperti itu juga. Saling melengkapi. Jika hatinya adalah kapal, maka sosok laki-laki tersebut adalah pelabuhan yang menjadi tempat tinggalnya setelah lama berlabuh di laut.
Waktu perjanjian mereka pun tiba, bulan bersinar terang walau suasana malam itu sedikit berkabut. Ruri meminta sopir yang membawa mobil untuk berhenti di seberang kafe. Sengaja, dirinya masih meniru adegan dalam novel.
Matanya menelisik mencari sosok yang telah membuat janji. Namun, angin malam yang berembus waktu itu membawa kantuk pada wajah Ruri. Hanya selisih beberapa menit saat dia memejam mata sebelum dentuman keras memecah keheningan malam. Saat matanya menengok keluar jendela mobil, asap hitam sudah mengepul di udara. Suara jeritan pengunjung kafe menuntun matanya melihat seorang laki-laki tergeletak bersimbah darah.
Laki-laki itu terkapar tak bergerak sama sekali setelah terpental jauh menghantam pintu depan kafe. Dari seberang jalan Ruri tidak bisa melihatnya dengan jelas, tetapi salah satu temannya yang bekerja di kafe tersebut menjeritkan nama seseorang yang tidak asing baginya.
"Dion! Itu Dion! Cepat, siapa pun tolong telefon ambulans!" teriak Kagami, kegaduhan pun terjadi.
Ruri membeku, waktu di sekitarnya terasa berhenti. Dia menggeleng tidak percaya. Dion adalah sosok laki-laki yang telah membuat janji dengannya, tetapi entah apa yang terjadi saat mata Ruri tertutup beberapa menit lalu, sebuah insiden besar terjadi di dekatnya. Semua yang terlibat dalam kecelakaan itu tewas. Tak terkecuali Dion yang berakhir dalam koma.
Sudah empat tahun berlalu sejak kejadian mengerikan di malam perjanjian temu itu terjadi. Dion belum juga sadar dari komanya dan sampai saat ini juga Ruri tidak tahu apa yang ingin Dion berikan padanya waktu itu.
Menjalani hari dengan hati yang terluka teramat menyiksanya. Bagai ada rantai yang menjerat masa lalu di setiap langkahnya. Berat dan menyakitkan. Walaupun begitu Ruri tetap teguh menjalani hari, mengalami banyak macam kejadian sembari menunggu Dion sadar dari koma.
Bab 1 : Mirai
...(Arc 1 : Rera yang kejam)...
Kicauan burung terdengar samar-samar di balik jendela kelas yang saat ini sedang ricuh. Tak jauh dari jendela itu Ruri sedang fokus membaca sebuah novel, menciptakan dunianya sendiri, tidak peduli dengan sekitar.
"Ruri ... novel apa yang kamu baca kali ini?"
Seorang gadis berikat kuda yang duduk di depan Ruri membalikkan badan, menatap sahabatnya yang saat ini tengah fokus membaca novel.
"Ruri ...." panggil Alita lagi, menggoyang pelan bahu gadis berkacamata di depannya.
Karena tidak terima kegiatannya diganggu, Ruri menutup novel yang dia baca, mendengkus kesal menatap Alita yang saat ini tampak tidak merasa bersalah.
"Lu mau gue tampol pake novel ini?"
Ruri mengangkat novelnya ke udara, bersiap membuktikan ancamannya barusan.
"Eh, jangan marah, Ruri, aku cuma iseng doang, kok." Alita cengengesan.
"Kamu juga salah, Alita. Udah tahu Ruri itu kalau lagi baca novel fokus banget. Makanya jangan diganggu."
Suara lembut seorang siswa laki-laki yang duduk di seberang meja Ruri memberi sahutan, membuat dia beralih menjadi pusat perhatian Alita dan Ruri.
Kagami Oved, siswa laki-laki yang barusan berkomentar. Dia memiliki bekas lebam di dahi, lebih tepatnya di bagian sudut di atas salah satu alis. Orang-orang menyebut lebam itu sebagai bekas luka yang menjadi ciri khasnya. Parasnya tampan disukai banyak gadis. Namun, dia bukan type pemuda yang gemar tebar pesona. Dia juga salah satu sahabat dekat Ruri, selain Alita, gadis yang barusan mengganggunya.
"Kamu sendiri lagi ngapain, Kagami? Nggak bosen apa dari tadi belum ada guru yang masuk." Alita kesal, masih dalam posisi membelakangi papan tulis.
Alita Puspita, gadis yang senantiasa kuncir satu itu duduk di bangku depan Ruri. Dia sahabat Ruri yang gemar membuatnya naik tengsi. Alita jahil. Banyak tingkah dan terkadang dia juga ikut menghasut Kagami untuk menjahili Ruri.
"Aku tadi termenung jauh memikirkan masa depan. Siapa tahu aku benar-benar bisa menjadi idol," jawab Kagami melirik ke arah gadis yang barusan bertanya.
Ruri geleng-geleng mendengar khayalan Kagami. Sahabatnya yang satu ini memang pintar dalam segi akademik, tapi dia cukup bodoh mengenal dirinya sendiri.
"Mimpi lu ketinggian, Kagami! Boro-boro jadi idol, nyanyi aja lu nggak pantes. Terakhir kali gue inget banget saat lu nyanyi di depan kelas. Pelajaran praktik. Astaga, kuping gue panas dengarnya!" ejek Ruri, komentarnya mendapat tawa lepas dari Alita.
"Jangan diingetin, Ruri! Aku juga malu dengarnya!" timpal Alita. Kagami merah padam menahan malu.
Memang benar yang dikata dua gadis itu mengenai suaranya. Disebut pas-pasan pun tak bisa. Suara Kagami benar-benar membuat alunan lirik indah yang seharusnya menghibur banyak orang beralih menjadi ancaman. Kagami tak pernah marah jika dia mendapat ejekan dari sahabatnya. Karena dia sendiri pun tahu akan kekurangannya. Namun, satu hal yang pasti. Cita-cita Kagami untuk menghibur banyak orang, membuat banyak orang terpukau dan bahagia olehnya tak akan pernah sirna. Entah bagaimana caranya, mungkin suatu hari nanti dia akan menemukan takdirnya sendiri.
Suasana kelas mereka semakin ramai. Hari masih pagi dan seharusnya jam pelajaran pertama telah dimulai sejak lima belas menit lalu. Namun, selama itu juga guru mata pelajaran yang seharusnya mengajar tak menampakkan wajahnya. Ketua kelas beserta murid lain acuh tak acuh. Mereka memilih menikmati jam kosong ini dengan bercakap-cakap hingga suasana di dalam kelas 2A benar-benar ricuh. Ruri yang semula berniat kembali membaca novel pun terhenti, moodnya menghilang.
"Ke mana kita akan berlabuh setelah tamat menyelesaikan pendidikan SMA ini, ya? Apa kita bisa mengapai masa depan yang kita inginkan?" Alita berkata, dalam ricuhnya suasana kelas gadis berikat satu itu memandang lugu pada Ruri, kemudian beralih menatap Kagami.
Wajah Kagami mendadak sendu. Pertanyaan barusan tanpa sengaja membuka luka hati yang telah lama dia miliki. Luka karena dia tak mengingat siapa dirinya sendiri.
Berbeda dengan Ruri yang menangapinya enteng. Walau sebenarnya dia juga membawa luka lain di hatinya. Jika membahas soal masa depan, dia selalu menoleh sebentar ke belakang, melihat sosok Dion yang koma empat tahun silam. Tak terasa, begitu cepat waktu berlalu dan sampai saat ini pun Dion tak kunjung bangun dari tidur panjangnya itu.
"Masa depan itu misteri. Masa sekarang adalah penentu kepingan misteri tersebut." Ruri mulai berujar, mengusir gusar di wajah dua sahabatnya. "Maka dari itu, gue saranin kalian jangan over thingking yang terlalu sangat. Jika dirasa di masa depan ingin sukses, maka jangan bermalas-malasan di masa kini!" Dia melotot galak kepada Alita, gadis kuncir kuda itu menyengir jahil. Dia tahu maksud perkataan Ruri barusan.
"Berhenti menjahili gue dan berhenti melakukan hal konyol, ingat itu?!" ancam Ruri lagi, menunjuk wajah Kagami yang nampak menahan tawa.
Ancaman Ruri pada Kagami membuat tawa lolos dari bibir Alita. Gadis itu sebenarnya berniat menjahili Ruri lewat pertanyaan sendu yang dia layangkan barusan. Sengaja. Agar Ruri memberikan penjelasan panjang lebar, lalu dalam penjelasan itu nantinya Kagami maupun Alita akan terus bertanya sampai Ruri muak dan kesal sendiri.
Sayangnya kejahilan itu dimengerti oleh Ruri hingga pancingan mereka gagal total.
"Lu pikir kejahilan kek gini masih berlaku sama gue, ha? Lu pikir udah berapa kali gue termakan rencana bodong kalian ini?" Ruri langsung memukul Alita dan Kagami mengunakan novel yang tadi dia pegang. Kemudian gadis berkacamata itu menyeringai puas melihat dua sahabatnya meringis sakit. Terutama pada Kagami.
"Habisnya, seru banget jahilin kamu, Ruri. Walau logatmu kasar, sikapmu acuh tapi kamu baik. Mau berbagi pengetahuan walau sebenarnya kami menjahilimu!" Bukannya kapok, Alita malah semakin keras tertawa dan dari bangku seberang suara tawa Kagami menimpalinya.
Ruri bertambah geram. Berniat memukul dua sahabatnya dengan novel sekali lagi. Akan tetapi, tindakannya terhenti oleh kehadiran Buk Sani, wali kelas mereka.
Alita gegabah kembali ke posisi duduk yang benar. Ruri juga begitu, murid-murid lain pun sama. Mereka kocar-kacir bersikap baik, duduk dengan tenang ketika Buk Sani tiba-tiba masuk.
Semua pasang mata dalam keheningan mendadak itu tertuju pada satu arah. Yaitu kepada gadis berambut pendek yang mengekori Buk Sani. Gadis itu memakai seragam berbeda dengan mereka—jas coklat, berdasi merah serta rok pendek kotak-kotak coklat. Dilihat dari gayanya, sepertinya gadis itu adalah murid baru. Parasnya cantik. Namun, sedari menginjakkan kaki ke kelas, dia terus menunduk.
"Emblem di seragamnya nampak tak asing, ya?" Salah seorang murid berkomentar, berbisik pada teman di belakangnya.
"Benar. Gue harap tebakan gue salah, sih. Tapi memang benar begitu, gadis ini pindahan dari sekolah elit!"
Suasana kelas ricuh sejenak. Mereka membicarakan seragam yang dipakai murid asing itu. Dilihat dari sudut mana pun, mereka semua bisa menebaknya, karena hanya ada satu sekolah elit di kota ini yang memiliki seragam begitu. SMA 4 Tirta Negara. Sekolah impian banyak orang.
"Ruri! Lihat, murid dari sekolah elit itu berada di depan mata kita!" Alita antusias, menoleh ke belakang.
Celoteh Alita membuat Ruri kesal. Tanpa diberi tahu pun Ruri sudah bisa melihatnya, dia tidak buta. Akhirnya dia menendang kursi Alita, meminta sahabatnya itu diam.
Bukannya langsung menghadap ke depan, tepat setelah mendapat tendangan dari Ruri, Alita malah beralih berkata hal serupa kepada Kagami. Respon yang dia dapat dari pemuda itu jauh berbeda dengan Ruri. Kagami mengangguk antusias, seraya memandang lembut padanya.
Buk Sani bertepuk tangan, meminta semua peserta didiknya diam. Setelah suasana kelas kembali hening, guru berbadan tambun itu memulai perkataannya. "Guru biologi yang seharusnya mengajar di jam pertama mendadak sakit, maaf baru memberitahunya sekarang, karena tadi posisinya ibuk juga sedang mengajar di kelas lain." Suaranya mengisi ke setiap ceruk kelas.
Buk Sani menatap lamat-lamat barisan murid di hadapannya, berujar lagi "Untuk itu, kalian dititipkan tugas." Suaranya mendapat helaan pasrah dari para murid. "Ketua kelas, saya percayakan keamanan kelas padamu," titahnya lagi memandang ketua kelas.
Kemudian, tak berselang lama setelah perintah pertama itu Buk Sani menjelaskan jika mulai hari ini mereka kedatangan siswi baru. Menunjuk gadis berambut pendek di sebelahnya. Moment yang ditunggu-tunggu para laki-laki yang berada di kelas itu pun akhirnya terjadi. Mereka tak sabar mendengar suara siswi pindahan tersebut.
"Perkenalkan dirimu, Nak," kata Buk Sani, gadis di sebelahnya perlahan mendongkak. Ketika matanya beradu dengan murid lain di depannya, gadis itu mendapat banyak tatapan kagum. Wajahnya sangat mempesona.
"Imut banget! Potongan rambutnya lucu. Benar, kan, Kagami?" Alita antusias lagi, tapi Kagami hanya menangapinya santai. Dia tak tertarik sama sekali dengan siswi baru itu.
"Dia type orang yang bakal dikerumuni banyak penjilat. Lihat saja nanti." Ruri menimpali. Alita melengos, kembali menghadap ke depan.
Tatapan kagum yang diarahkan kepadanya membuat siswi baru itu bertambah gugup. Dia mencoba mengatur napas, mengepal tangan seraya melirik satu persatu murid lain di depannya. Namun, ketika tanpa sengaja tatapan matanya bertemu dengan tatapan galak milik Ruri, gadis berambut pendek itu mendadak gemetar. Dia cepat memaling wajah, kemudian berujar sesingkat mungkin.
"Perkenalkan, nama saya Mirai Arinda. Panggil saja Mirai. Pindahan dari SMA 4 Tirta Negara. Salam kenal semuanya."
Akhirnya siswi bernama Mirai itu bersuara. Perkenalannya mendapat sambutan gemuruh dari siswa laki-laki yang terpesona akan suaranya yang gemulai, syahdu menyapa gendang telinga. Beberapa dari mereka bahkan bertepuk tangan. Alita juga ikut-ikutan, walau niat kagumnya berbeda dari kelompok laki-laki.
"Potongan rambutnya lucu," gumam Alita, untuk kedua kalinya dia suka dengan potongan rambut Mirai. Pendek sebahu, ditutup poni tipis yang menyamping di bagian dahi.
Buk Sani berkata lagi dengan nada tinggi, memecah di antara gemuruh tepuk tangan di dalam kelasnya.
"Berteman baiklah dengan Mirai, ya! Jangan ada pembulian di kelas ini. Ibu tak mau itu. Walau Mirai pindahan dari sekolah elit, jangan ada yang saling membedakan. Semuanya sama. Di sini kalian belajar, menimba ilmu. Ingat itu?!"
Sebagian murid serempak mengiyakan. Beberapa dari mereka ada pula yang mulai bertanya-tanya, kenapa murid baru yang berasal dari sekolah elit itu mau pindah ke sekolah biasa tempat mereka menimba ilmu. Pertanyaan itu juga muncul di benak Alita. Hanya satu orang yang dia rasa bisa memberinya jawabaan, yaitu Ruri. Jadi, untuk kedua kalinya, tanpa kapok dan takut Alita menoleh ke belakang, meminta jawaban pada gadis yang duduk di sana.
"Goblok!" Sekali lagi Ruri menendang kursi Alita. Dia benar-benar kesal sekarang. Tendangannya kali ini lebih keras dari sebelumnya "Gue bukan emak dia, jangan tanya gue kenapa!" berangnya, menghela ketus. Alita menyengir dan kembali ke posisinya lagi.
Sesi perkenalan telah selesai. Dirasa tak ada lagi yang mau disampaikan, Buk Sani pun akhirnya meminta Mirai menepati bangku kosong di belakang Kagami. Gadis berambut pendek itu mengangguk. Begitu pelan langkah ragunya melewati beberapa bangku, menyisiri lorong tempat Ruri berada.
Sesampainya di bangku kosong tersebut Mirai menepuk-nepuk sedikit debu yang berada di sana, setelahnya dia duduk, mulai secara pelan membiasakan diri dengan sekitar. Walau sebenarnya dia masih gugup memandang siapa pun.
Dari bangkunya Kagami memutar badan, berkata pelan pada Mirai.
"Hai. Perkenalkan, namaku Kagami Oved. Panggil saja Kagami. Kalau ada yang mau ditanyakan, jangan sungkan, ya," terangnya, tersenyum ramah.
Mirai tersipu malu mendengar laki-laki asing di depannya memperkenalkan diri terlebih dahulu. Secara ragu dia mengangguk pelan, menyahut perkataan Kagami dengan perkenalan juga.
"S–salam kenal, Kagami."
Dari tempat duduknya Ruri mengerling ke arah Mirai—mengabaikan Buk Sani yang sedang memberi arahan di depan kelas. Ruri berekspresi begitu karena entah kenapa tatapan mata Mirai membuatnya dejavu. Seolah-olah dia dan Mirai pernah bertemu sebelumnya. Namun, sekeras apa pun Ruri mencoba mengingatnya, gadis berambut pendek itu tetaplah orang asing di matanya.
"Ruri Nagemi! Ke mana matamu memandang? Apa yang kamu lihat di belakang sana? Saya di depan!" sentak Buk Sani, membuat Ruri gegabah memperbaiki posisi. Sial, dia ketahuan.
###
Revisi : 28 Februari 2024
Bel istirahat berteriak kencang memenuhi segala ceruk sekolah SMA Hiro jaya. Banggunan sekolah berlantai dua itu pun dalam sekejap menghamburkan murid dari setiap kelas, berlarian tak sabar menuju kantin, taman sekolah atau kegiatan lain.
Ini adalah bel pertama bagi Mirai. Setelah mengikuti dua sesi pelajaran, dia tak memiliki semangat sama sekali menantikan jam istirahat, karena tak memiliki tujuan sekaligus teman. Mirai pun memilih untuk tetap duduk di bangkunya, sesekali menatap murid lain yang tengah bersiap meninggalkan kelas.
"Halooo! Mirai Arinda!"
Mirai terkejut. Dari arah yang tak dia perhatikan seorang gadis berkuncir satu menghampirinya. Gadis itu tersenyum lebar, kemudian tanpa aba-aba menyalami tangannya.
"Perkenalkan, namaku Alita Puspita. Panggil aja Alita!" ujarnya memperkenalkan diri.
Gengaman Alita sangat erat dan kuat, sampai Mirai meringis merasakan persalaman di awal jumpanya dengan gadis itu cukup mengejutkan sekaligus menyakitkan.
"Tanganmu terlalu erat, Alita. Longgarkan sedikit. Kasihan dia," timpal Kagami, bangkit dari kursi.
Alita terkekeh. Meminta maaf kepada Mirai.
"Ini Kagami sahabatku juga. Sedangkan ini ..." Alita memutar badan, mencari keberadaan Ruri. Ternyata gadis berkacamata itu telah lebih dulu berdiri di sebelahnya. "Ini Ruri, juara kelas sekaligus sahabatku yang paling baik!" lanjut Alita lagi.
Ruri berdecih. Melepas rangkulan Alita. Dari balik kacamatanya Ruri memindai wajah Mirai lebih dekat untuk memastikan bahwa dejavunya tadi salah. Namun, setelah dilihat dari dekat, penampilan, suara maupun wajah Mirai tetap saja asing di matanya. Tak ada secuil ingatan pun di otak Ruri mengenai gadis ini.
"Ruri, tatapanmu membuat Mirai takut." Alita mengingatkan. Ruri melengos, tak peduli.
"Mirai walau Ruri ini terlihat galak, tapi sebenarnya dia baik, kok. Ayo, berteman dengan kami!" tawar Alita, tanpa menunggu persetujuan dari Ruri dan Kagami, dia sudah menarik gadis berambut pendek itu, mengajaknya ikut serta ke kantin.
Mirai pasrah dalam tarikan Alita. Gadis kuncir kuda ini terlalu bersemangat, hingga dia tak sempat memberi komentar apa pun. Dalam perjalanan menuju kantin, Mirai sempat melirik samar ke arah Ruri sekali lagi. Walau gadis berkacamata itu tak lagi memandangnya dengan sinis seperti tadi, tapi tetap saja Mirai sudah mendapat penilaian sendiri tentang tiga remaja yang menariknya ke circle mereka. Kagami adalah pemuda yang penuh perhatian. Alita gadis yang sangat periang. Sedangkan Ruri adalah gadis yang berwatak garang. Begitu lah Mirai menilai mereka di awal jumpa.
***
Sesampainya di kantin mereka berhasil menempati meja kosong yang ada. Setelah mereka berempat duduk di sana, tak ada seorang pun dari mereka yang bersuara untuk beberapa menit. Mirai dilanda gundah. Suasana canggung yang tercipta tanpa alasan itu membuatnya resah.
Tiba-tiba saja dalam suasana hening di antara mereka itu Alita menepuk meja kantin. Keributan yang dia buat sontak mengejutkan Mirai.
"Hari ini kamu yang memesan, Ruri!" seru Alita sambil menunjuk ke arah Ruri.
Kagami mengacung tangan, kemudian ikut menepuk meja kantin seperti yang Alita lakukan. "Aku setuju! Ruri, hari ini giliranmu, kan?" Dia menoleh pada gadis berkacamata di sebelahnya.
Ruri bersidekap. Mencebik protes. "Gue nggak mau!" tentangnya, membuat Alita cemberut dan Kagami berpikir keras mencari solusi.
Mirai tak tahu apa yang tiga teman barunya ini bicarakan. Dia hanya bisa diam, menyimak kemudian menafsirkan ekspresi mereka untuk membaca situasi dengan cepat.
"Pokoknya sekarang giliranmu, Ruri!" desak Alita lagi, diikuti oleh anggukan kepala Kagami.
Merasa kalah suara dan tak bisa berkilah lagi, Ruri melirik Mirai, tercentus sebuah ide di benaknya.
"Karena Mirai murid baru dan suasana sekolah ini masih asing dengannya, maka suruh dia saja yang memesan makanan. Itung-itung sebagai perkenalan. Betul, nggak?" tawar Ruri, langsung mendapat persetujuan dari Alita dan Kagami. Itu ide yang tak terlalu buruk bagi mereka.
Alita dan Kagami langsung mengeluarkan uang receh, mengumpulkannya ke depan Mirai. Gadis berambut pendek itu gelabah, dia tak tahu apa-apa, tapi tiba-tiba saja tiga teman barunya meletak uang ke hadapannya.
"U–uang? Buat apa?" tanyanya penasaran, gugup.
"Buat pesan makanan. Karena lu anak baru di sini, jadi lu yang pergi memesan," terang Ruri, masih dengan tatapan mengintimasi yang dia layangkan.
"Ta–tapi, ak—"
"Pesan bakso tiga mangkok dan es jeruk tiga."
Belum selesai Mirai membela diri, Ruri kembali mendesaknya. Dengan rasa takut akan tatapan tajam yang Ruri layangkan kepadanya untuk yang entah keberapa kali tatapan itu membuat nyali Mirai menciut, akhirnya tanpa banyak protes lagi dia memungut uang receh yang telah disodorkan. Menguatkan pijakan, beranjak dari kursi kantin yang dia duduki.
Sebelum Mirai berjalan jauh dari mereka, Kagami tidak lupa memberi arahan sedikit kepadanya. Mengenai bagaimana caranya memesan dan penjual mana yang harus dia hampiri. Gadis berambut pendek itu cepat mengerti, dengan gerakan lambat dia manut-manut.
***
Sudah seperempat langkah Mirai meninggalkan tiga teman barunya. Kini dia benar-benar membaur dalam keramaian kantin. Seragam yang dia kenakan berbeda dari murid lain, jadi walau berada dalam keramaian dia tetap saja mencolok. Beberapa pasang mata pun turut mengarah kepadanya. Ada pula yang berbisik-bisik sambil meliriknya. Semua yang berada di dekatnya saat ini membuat Mirai merasa tidak nyaman, di dalam hati dia terus merapalkan doa agar semuanya berjalan baik-baik saja.
Mirai hanya harus pergi ke penjual bakso. Memesan empat mangkok bakso—untuknya juga, dan empat es jeruk. Jika dibayangkan mungkin ini bukan tugas yang sulit. Namun, siapa sangka jika stan penjual bakso di sekolah itu penuh sesak oleh antrian pembeli. Mirai pun akhirnya ikut mengantri, dia berada di barisan paling belakang.
Selagi Mirai mengantri, Alita di kursinya duduk dengan gelisah. Entah berapa kali gadis kuncir kuda itu berdiri dari kursi, kemudian mendudukinya tak lama setelah itu. Lalu gerakan yang sama terus terjadi berulang kali dalam seperkian detik saja.
"Lu laper banget sampai nggak sabaran nunggu Mirai kembali?" ungkap Ruri, bertopang dagu, mengalihkan matanya dari novel yang dia bawa ke arah Alita—gadis itu duduk di depannya.
Alita menggeleng. Masih dengan raut cemas, dia memberi penjelasan. "Aku takut Mirai kenapa-napa. Secara, kan, sebagai murid baru, pindahan dari sekolah elit pula. Pasti Rera tak akan diam saja. Rera cs si pembuli pasti sudah menargetkan Mirai!"
Mendengar nama Rera disebutkan, Kagami langsung berdiri dari kursinya. Dengan pandangan mantap, dia mengatakan jika akan menyusul Mirai.
Rera adalah salah satu murid di SMA Hirojaya. Dia biasa dipanggil Rera cs karena gadis pembuli itu ke mana-mana selalu diikuti tiga temannya yang lain. Mereka adalah sekelompok gadis yang gemar membuli murid lemah. Apalagi Mirai, gadis itu masih linglung dengan sekolah baru ini. Rera pasti akan menargetkannya cepat atau lambat.
Ruri menutup novelnya, menarik seragam Kagami, mencegah sahabatnya itu menyusul Mirai.
"Biar gue saja yang menyusulnya. Secara, kan, sedari awal gue yang kuat mendesak dia buat pergi memesan makanan. Tadinya bukan karena gue nggak mau, tapi gue hanya ingin melihat dia beradaptasi lebih cepat dengan sekolah ini." Ruri perlahan bangkit dari kursinya. "Soal Rera jangan dikhawatirkan. Gue yang akan mengurusnya." Gadis berkacamata itu menyengir. Kepergiannya tak bisa dicegah lagi oleh Alita maupun Kagami. Dua remaja itu akhirnya patuh—untuk menunggu Ruri dan Mirai kembali dari memesan makanan.
Antrian di depannya perlahan berkurang. Mirai benar-benar merasa sedikit lega sekarang. Hanya tinggal tiga murid lagi, lalu setelah itu adalah gilirannya untuk memesan empat mangkok bakso. Namun, kebahagiaan yang Mirai rasakan mendadak sirna, setelah secara tiba-tiba dari titik butanya datang seorang gadis, lalu gadis tersebut menariknya keluar dari antrian. Gerakan tiba-tiba itu membuat Mirai terhuyung, tidak dapat berpijak sempurna, akhirnya dia terjerembab ke keramik kantin. Uang receh digenggamannya terburai di lantai.
Mirai meringis, lututnya mendapat benturan paling keras—terasa nyeri. Masih dalam posisi duduk, dia cepat berpaling ke belakang, memastikan siapa yang barusan menariknya. Kemudian saat mata kuyunya beradu dengan gadis yang berdiri di belakangnya, Mirai mendadak pucat, matanya membesar, tubuhnya lemas dan tak bisa bergerak banyak. Gadis yang barusan menarik dirinya adalah Rera. Tatapan jahat milik gadis itu membawa Mirai kembali ke masa lalu. Tatapan jahat yang telah lama Mirai lupakan, kini bertemu lagi di tempat yang tidak dia duga.
"R–Re–Rera?" Lidah Mirai benar-benar kelu untuk berkata dengan lancar.
Gadis yang merasa namanya dipanggil itu menyeringai. Sambil bersidekap bangga, dia berujar kepada Mirai, "Lu masih inget gue? Bagus, dong. Kalau gitu gue nggak perlu lagi basa-basi!" terangnya, dengan tega lagi menginjak tangan Mirai hingga gadis tersebut kesakitan.
Mirai menjerit tanpa suara, diiringi kekehan dari tiga teman Rera yang mengelilinginya. Bukan hanya sampai di situ, mereka bahkan sampai bersorak senang melihat Rera beralih mencekam rahang Mirai sekuat mungkin, menumpahkan semua emosi serta dendam lamanya di menit itu juga.
Penjual makanan di kantin serta murid lain yang berlalu lalang melihat aksi Rera tak ada yang berani ikut campur membela Mirai. Mereka tahu siapa Rera, statusnya sebagai anak kepala sekolah membuat gadis itu benar-benar bebas berkuasa, membuli hingga bahkan berani melukai temannya yang lain. Gadis itu kebal hukuman. Palingan jika dihukum, ayahnya akan mencabut hukuman itu secepat mungkin. Itulah Rera Reswara, gadis cantik, tapi berhati iblis. Lalu tiga teman yang senantiasa mengikutinya adalah Ambar, Yuki dan Sisil.
Dalam cekaman rahang yang semakin diperkuat itu Mirai berkaca-kaca, matanya perih, bersiap menumpahkan air mata dari rasa sakit yang Rera berikan kepadanya. Mirai benar-benar pasrah. Di benaknya tak terlintas wajah seseorang pun untuk dimintai tolong. Dia orang asing. Mustahil ada yang mau membantunya, ditambah lagi gadis yang dihadapi saat ini adalah Rera Reswara. Dia benar-benar terpojok takut.
Puas dengan cekaman rahangnya, Rera beristirahat sejenak, melemas jemarinya. Masih sambil menyeringai, dia menyapu pandangan pada teman-temannya.
"Bawa dia ke gudang atau di sini aja?" tanya Rera. Pertanyaannya membuat Mirai melotot. Dengan cepat gadis itu bersimpuh, memohon ampun kepada Rera. Namun, gadis pembuli itu mengabaikannya. Tubuh Mirai didorong lagi ke belakang, selagi Mirai mencoba bangkit, di detik-detik menentukan itu juga Rera mengayun tangannya ke udara, berniat menampar Mirai.
Mirai benar-benar tak berkutik, dia memejam mata ketika Rera berancang-ancang menamparnya. Namun, dalam gelapnya debaran takut yang dia lihat, Mirai tak kunjung merasakan pipinya tertampar oleh tangan Rera. Karena penasaran, dengan sedikit keberanian yang ada dia membuka mata. Pemandangan yang dia lihat saat ini membuat mulutnya mengganga.
Ruri dengan senyuman yang tak kalah licik dari Rera berhasil mencegah gadis pembuli itu menampar Mirai, dengan meremas pergelangan tangan Rera selagi tangannya berayun di udara.
Aksi cepat dari Ruri membuat Rera cs terkejut sekaligus tak ada yang berani berkutik.
"Lu kalau bosan hidup bilang aja. Gue bisa rekomendasikan beberapa racun yang bagus untuk lu minum," hina Ruri sembari memperkuat cekalan tangannya.
Ada satu hal yang Rera cs lupakan ketika mereka kesenangan membuli Mirai, adalah keberadaan Ruri. Satu-satunya gadis yang berani menentang tindakan mereka. Berani membela dan berani membalas tindakan Rera dengan sama persisnya.
Jika Rera menampar, maka Ruri akan mendorong. Jika Rera mencubit, maka Ruri akan menjambak. Kedua gadis ini bagai bumi dan langit. Terlepas dari abjad nama mereka yang hampir sama.
Ruri dibesarkan di lingkungan hukum. Ayahnya adalah seorang pengacara. Sejak kecil dia telah didik untuk berani membela kebenaran, walau pun perbuatannya tak bisa mengubah keadaan dengan banyak. Sedangkan Rera dibesarkan dengan cara dimanja, dipuja-puja hingga gadis itu benar-benar tumbuh menjadi pribadi yang semena-mena.
Satu hal lagi, Ruri dan Rera sama-sama memiliki paras yang cantik, rambut mereka senantiasa tergerai panjang sepinggang dan hanya satu hal yang membedakan mereka dari segi penampilan adalah kacamata. Ruri memakainya, sedangkan Rera tidak.
Ruri tahu langkahnya menyelamatkan Mirai terlambat, itu karena di jam istirahat seperti ini kantin penuh sesak. Banyak yang hilir mudik membawa nampan makanan. Ruri berkelit dari satu murid ke murid yang lain, selagi matanya memindai keberadaan Mirai. Di stan penjual bakso tak ada, Ruri sudah mencarinya. Namun, tak beranjak jauh dari tempatnya berdiri, Ruri melihat Rera cs sedang mengelilingi seseorang. Tak perlu lama-lama lagi, Ruri sudah tahu siapa yang Rera cs kerumuni. Jas coklat yang Mirai kenakan memberinya jawaban.
Ruri pun bergerak cepat dari titik buta Rera, dengan sedikit mendorong gadis itu, Ruri berhasil mencekal pergelangan tangan yang Rera ayun selagi di udara. Akhirnya Rera pias melihat Ruri. Sedangkan Ruri berbalik menyeringai kepadanya.
Tak ada yang berani menghentikan Ruri. Ambar, Yuki dan Sisil, giliran mereka yang dibuat tak berkutik. Demi mencari aman, tiga pengikut Rera itu memilih berdiri di belakang bos mereka, selagi menunggu perintah.
"Sebutkan, Rera. Mau direqomendasikan racun yang bagus, tidak?" Ruri mengulang pertanyaannya, menatap hina kepada gadis yang ditanya.
Rera tak peduli dengan pertanyaan itu, yang ada di dalam benaknya saat ini adalah bagaimana caranya terlepas dari cekalan Ruri. Cekalan itu terasa semakin erat, perlahan membuat pergelangannya memerah. Rautnya bertambah pias menahan sakit.
Di dalam kegusaran itu, Rera tiba-tiba ditimpa masalah lagi—Alita dan Kagami datang, ikut membantu Ruri. Kedua remaja itu semula berniat duduk diam saja di meja kantin. Namun, karena Ruri dan Mirai tak kunjung juga kembali, akhirnya mereka memutuskan untuk menyusul dan pemandangan yang mereka dapat adalah di luar dugaan. Mirai terduduk di lantai menahan sakit, matanya sembab. Sedangkan Rera gelisah mencoba melepaskan diri dari cekaman Ruri.
Alita langsung menarik Mirai menjauh, membawa gadis berambut pendek tak berdaya itu ke pelukannya. Selagi memberi Mirai pelukan hangat yang menenangkan, selama itu juga Alita terus mengusap surai teman barunya.
"Ma–maaf. Uangnya jatuh, berserakan di lantai dan belum aku punggut," adu Mirai di dekapan Alita.
Secara lembut Alita menjawab. "Tidak apa, Mirai. Jangan dipikirkan. Sekarang kamu sudah aman. Tenang saja," ujarnya, membuat hati Mirai benar-benar tenang.
Kagami pasang badan di depan Ruri, menjadi pemisah antara Ruri dengan Rera. Selagi itu tatapan datarnya terus mengarah pada Rera dengan hina dan geli.
"Apa?! Aku nggak salah, Ruri yang mencekal pergelanganku duluan!" Rera mengadu pada tatapan aneh yang Kagami layangkan padanya. Aduaan yang tentu saja tak akan digubris oleh Kagami. Dia hanya mempermalu dirinya sendiri.
"Minggir, Kagami. Gue baru mencekal pergelangan tangannya. Dia pantas dijambak atau nggak ditinju!"
Dari belakang Kagami, Ruri memperotes. Namun, apa pun yang gadis berkacamata itu ingin lakukan terhahap Rera, gerakannya benar-benar sudah terhalang oleh badan kekar Kagami.
Ini sekolah, bukan gelanggang gelut. Apa pun masalahnya, Kagami sebagai satu-satunya laki-laki di circle perteman mereka, tentu tak ingin sahabatnya mendapat masalah yang lebih dari ini hanya karena emosi semata. Maka dari itu, tindakannya menjadi pemisah antara Ruri dengan Rera adalah agar tidak ada yang emosi maupun terpancing emosi lagi.
"Sehari aja tanpa membuli orang. Bisa, nggak, Rera?" tanya Kagami, dingin.
Rera terdiam. Dia tak berani menjawab maupun membantah. Di depan Kagami dia berlagak lemah, seperti tikus yang terpojok. Semua ini karena gadis itu telah lama mencintai Kagami. Teramat suka hingga dia tidak peduli apa pun kondisinya, dia akan tetap berusaha mencari perhatian Kagami. Seperti saat ini. Dia malah tersenyum centil pada Kagami setelah beberapa detik terdiam oleh pertanyaan pemuda itu.
Ruri yang geram melihat senyuman di muka Rera naik pitam. Tanpa memperdulikan Kagami yang masih pasang badan di depannya, Ruri langsung mengangkat tangan ke udara, bersiap melayangkan sebuah tamparan telak untuk Rera. Namun, Kagami dengan gerak refleknya berhasil mencegah tindakan Ruri. Kemudian mendorong pelan tubuh sahabatnya itu, menciptakan jarak aman yang lebih jauh lagi dari jangkauan Rera.
"Berengsek! Masih sempat-sempatnya lu senyum, ha?!" geram Ruri, setelah gerakannya tertahan oleh Kagami.
Rera tidak peduli dengan makian barusan.
"Lu kalau gangguin teman gue sekali lagi lagi, jangan harap gue bakal bersikap lembut sama lo!" gertak Ruri, menunjuk wajah Rera.
Rera dengan gerakan khasnya—mencak-mencak di tempat, menjulurkan lidah pada Ruri. Ikut berteriak, membela dirinya sekali lagi sebelum berniat pergi.
"Coba aja kalau bisa! Gue nggak takut!" sentaknya, kemudian Rera berlalu dari sana, membawa serta kekalahannya karena gagal membuli Mirai.
Masih di dekapan Alita. Mirai samar-samar mendengar Ruri berteriak membelanya dari Rera. Dia juga menyebut Mirai sebagai 'teman gue'. Walau penilaian Mirai mengenai Ruri yang galak dan menakutkan belum berubah, tapi pembelaaan barusan entah kenapa memberi Mirai harapan di hatinya. Apa dia akan memiliki teman yang seutuhnya, sekarang?
"Biar aku yang pergi membeli makanannya. Kalian kembalilah ke meja," kata Kagami, seraya memunggut uang receh di lantai yang tak sempat dipunggut oleh Mirai.
Membawa perasaan bersalahnya, Mirai berniat untuk ikut memungut uang di lantai bersama Kagami. Walau bagaimana pun, dia lah yang salah karena tidak becus mengemban tugas. Namun, tindakannya cepat dihentikan oleh Ruri. Walau masih beraut tegang karena emosi, gadis berkacamata itu berujar kepadanya. Kali ini dengan nada yang lebih lembut. Tidak ngegas seperti sebelumnya.
"Biar gue dan Kagami yang pergi membeli. Kalian kembalilah ke meja kita tadi. Walau bagaimana pun juga, gue yang salah. Maaf," tutur Ruru, membuat Mirai terhenyak.
Gadis berkacamata itu mengatakan 'maaf' kepadanya? Mirai tak menyangka, ternyata hati Ruri tak sekusut rautnya.
"Alamak! Kita semua di sini. Pasti meja yang kita tempati tadi sudah diisi orang lain!" Alita panik, menyadari satu hal penting.
"Eh, benar. Alita! Tugas besar ini kuberikan kepadamu!" Kagami juga ikutan panik.
Dengan mandat besar di bahunya untuk mengambil kembali meja tempat mereka duduk tadi, Alita pun berjalan cepat seraya mengandeng tangan Mirai yang masih kedinginan, takut. Mereka membelah kerumunan siswa, brranjak dari stan penjual bakso. Selagi itu, Ruri masih dengan raut kesalnya memandang arah pergi Rera. Dia tahu sekali, gadis berhati iblis itu tak akan insaf begitu saja. Otak busuknya selalu menyiapkan banyak rencana.
###
Walau kegiatan makan di jam istirahat mereka sempat terganggu oleh kehadiran Rera, tapi itu tak berlangsung lama, sekarang keempat remaja itu bukan hanya berhasil merebut meja mereka kembali. Masing-masing dari mereka juga telah menghadap seporsi bakso.
Alita dan Kagami langsung menyambar makanan mereka dengan lahap. Sedangkan Ruri dengan gerakan lambat, membelah bulatan bakso itu menjadi beberapa bagian, agar nanti ketika dimakan dia tak perlu kerepotan. Berbeda halnya dengan Mirai yang masih termenung melihat semangkok bakso di depan mata. Sedari tadi dia hanya mengaduk makanan tersebut, beberapa detik hingga hitungan menit, tak kunjung juga dia makan.
"Kenapa, Mirai? Makanannya nggak sesuai selera kamu? Anak orang kaya sepertimu pasti sulit menyesuaikan diri dengan makanan di sekolah ini, ya?" Alita berkomentar. Suaranya membuat Kagami dan Ruri ikut memandang Mirai.
Mirai mengeleng lemah. Bukan itu yang membuatnya belum kunjung memakan bakso di depan mata. Akan tetapi, ada alasan lain yang membuatnya ragu jika dituturkan.
"Lu nggak suka bakso?"
Tebakkan Ruri langsung mengenai sasaran. Memang benar, Mirai tidak menyukai bakso. Jika makanan itu ada di mangkoknya, maka selera makan Mirai akan mendadak hilang. Itulah yang membuatnya sedari tadi hanya mengaduk makanan tersebut tanpa berniat memakannya.
"Eh, seriusan?" Kagami terkejut mendengar pengakuan Mirai untuk tebakan Ruri, karena sejauh ini yang dia tahu anak perempuan paling gemar dengan bakso.
"Maaf. Aku merepotkan kalian. Sekali lagi aku minta maaf. Padahal aku sudah melibatkan kalian dengan Rera tadi, kini aku juga membuat kalian merasa tak enakan karena sebenarnya aku sejak awal terpaksa memilih makanan ini," jelas Mirai. Mukanya menunduk, menyembunyikan takut. Dia bisa membayangkan, hanya tinggal hitungan detik lagi pasti Ruri dan dua temannya yang lain akan memarahinya karena telah membuang-buang makanan.
Namun, respon yang didapatnya lagi dan lagi diluar prediksi. Siapa sangka pengakuannya barusan membuat Alita, Kagami bahkan Ruri sumringah. Mereka saling bertatapan, kemudian dipersekian detik itu juga mereka berebut mengambil bakso di mangkok Mirai. Ludes tak tersisa.
"Asyik! Dapat tiga bakso tambahan!" seru Ruri, meledek Alita dan Kagami yang kalah cepat dengannya.
Kagami nampak mengalah, sedangkan Alita yang tak terima akan kekalahannya melayangkan protes.
"Huuu! Seharunya biar Mirai yang bagi, biar adil. Iya, nggak, Mirai?"
Gadis berambut pendek itu perlahan mendongkak. Wajah ketiga temannya setelah mengambil bakso dari mangkoknya benar-benar berseri. Sesuatu yang tak pernah Mirai harapkan terjadi. Sekarang, setelah sekumpulan bakso itu menghilang, Mirai bisa menyantap mie yang tersisa.
"Terima kasih Ruri, Kagami dan Alita."
"Lu seharusnya sejak awal bilang saja jika tidak suka bakso. Di sini ada dinosaurus yang siap menjilat mangkok lu," cibir Ruri, melirik Alita. Gadis yang dia bicarakan mengerjap binggung. Mirai tersenyum meresonnya.
"Apa yang lu suka, katakan. Apa yang nggak lu suka, juga katakan. Lu berhak membela diri lu sendiri. Jangan manut-manut seperti kerbau dicocok hidungnya!"
Ruri memberi nasehat lagi. Kali ini bukan dengan tatapan tajam seperti sebelumnya, melainkan dengan senyuum lembut yang mana inilah senyuman pertama di wajah Ruri yang Mirai lihat. Hati gadis berambut pendek itu menghangat melihatnya. Secara pelan dia mulai merasa nyaman dengan teman barunya. Di dalam hati Mirai berujar lagi untuk yang kedua kali, apa mungkin dia benar-benar akan memiliki teman sekarang?
"Iya. Aku akan coba melakukannya," respon Mirai, mulai menyantap makanan.
***
Rera merapikan baju serta rambutnya yang sedikit berantakan di dalam toilet. Di depan wastafel, gadis dengan rambut panjang terurai itu masih saja mengentakkan kaki karena kesal setiap kali mengingat kejadian tadi.
"Awas lu, Ruri! Gue pasti bakal balas perbuatan lu hari ini! Kagami juga, ngapa nggak bela gue, sih!" rengeknya sendirian di dalam sana.
Ketiga temannya yang sengaja menunggu di luar pun turut mendengar gerutuan Rera dengan jelas.
"Kayaknya Rera kesel banget, nih."
Yuki, salah satu teman Rera bersuara, memecah keheningan di antara dua pengikut Rera yang lain.
"Wajarlah, gue juga kesel sama si Ruri!" jawab Ambar, bersandar di tembok.
"Ruri sok-sok-an. Mentang-mentang ayahnya pengacara, berlagu banget!"
Di dalam obrolan ringan bernada kesal itu, tiba-tiba saja mereka bertiga dikagetkan oleh kehadiran seorang murid laki-laki di sekitar toilet wanita.
"Apa yang terjadi? Kenapa Rera mengerutu kesal sedari tadi?" tanya laki-laki yang baru muncul, suaranya berat bernada datar. Tatapannya tajam memandang tiga gadis di depannya, mengintimidasi.
Sejak Rera mencak-mencak dengan raut masam menuju toilet, sejak itu juga siswa laki-laki yang barusan menampakkan dirinya di hadapan tiga teman Rera mengikutinya. Laki-laki tersebut bernama Tirta. Dia sekelas dengan Rera cs—kelas 2B. Tubuhnya tinggi, 170 cm. Badannya tegap, mirip seperti seorang polisi. Terlepas dari raut yang cukup tampan dia miliki, tiga teman Rera paham sekali maksud pertanyaan yang Tirta layangkan barusan.
Pemuda itu menyukai Rera sejak lama, walau sering diacuhkan Tirta tetap setia dengan cintanya kepada Rera. Rasa cinta yang pemuda itu miliki untuk Rera pun akhirnya dimanfaatkan oleh salah satu Rera cs, yaitu Ambar. Gadis itu menceritakan fakta sebaliknya kepada Tirta. Karangan cerita, bahwa Rera barusan dibuat kesal oleh pemuda kelas sebelah yang bernama Kagami.
Tanpa menunggu lama, usai mendapat penjelasan bohong itu, Tirta pun bergerak cepat menuju kelas 2A, tempat pemuda bernama Kagami berada.
Mereka seangkatan dan saling kenal nama. Walau tak pernah bertutur kata sebelumnya, tapi Tirta paham sekali sosok pemuda bernama Kagami ini adalah orang dengan wajah seperti apa. Karena hanya ada satu laki-laki yang memiliki bekas lebam di jidat, di SMA Hiro jaya, yaitu Kagami Oved.
***
Seusai dari kantin, membawa perut kenyang dengan hati yang telah tenang, Ruri dan teman-temanya kembali ke kelas. Terhitung, sisa waktu istirahat mereka tinggal sepuluh menit lagi. Maka dari itu, untuk menunggu bel pelajaran selanjutnya berbunyi, Ruri menyibukkan diri dengan membaca novel yang belum selesai dia baca sedari tadi.
Sedangkan Kagami di bangku seberang Ruri, sedang menyibukkan diri dengan mempelajari lagu beserta tangga nadanya yang tertulis di sebuah buku not lagu usang, yang dilihat dari tampilannya buku itu tak layak lagi dibawa ke mana-mana. Namun, Kagami menyukai buku tersebut. Entah apa alasannya, dia sendiri pun tidak tahu. Yang jelas, lagu-lagu tradisional yang tertulis di dalam sana, mengelitik rasa penasarannya untuk dipelajari lebih lanjut.
Beda halnya dengan Ruri dan Kagami. Alita malah keluyuran ke bangku Mirai. Di sana gadis ikat satu itu menceritakan banyak hal yang dia ketahui tentang sekolah ini kepada murid baru itu. Kurang lebihnya, pengetahuan yang Alita miliki mungkin bermanfaat untuk Mirai agar gadis tersebut bisa beradaptasi lebih cepat dengan sekolah barunya. Celoteh Alita pun disambut baik oleh Mirai, sedikit banyaknya dia terbantu oleh cerita random tersebut.
Di luar kelas. Di koridor yang penuh sesak oleh murid sekolah yang masih berkeliaran di sana, Tirta dengan tangan mengepal terus membelah kerumunan. Di dalam pikirannya saat ini hanya ada satu hal, yaitu meninju wajah Kagami, apa pun alasan pemuda itu nantinya, Tirta tak peduli, tangannya sudah sangat gatal ingin meninju bekas lebam di dahi Kagami.
Bagai banteng yang lepas kendali. Tirta langsung menyeruduk masuk ke dalam kelas Kagami. Tatapan kaget dari murid kelas itu yang mendapati kehadiran secara tiba-tiba darinya, diabaikan. Tirta langsung bergerak cepat ke arah Kagami yang saat ini tengah duduk di bangkunya. Di sana Tirta kemudian mendorong meja Kagami kuat-kuat, hingga pemuda yang tengah membaca buku usang itu terjepit di antara meja dan kursi. Tidak sampai di situ, setelah berhasil mengunci pergerakan Kagami, Tirta lekas menarik kerah baju laki-laki itu segenap emosinya.
"Lu apain Rera tadi, ha?" sergah Tirta.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!