Hukuman

Sikap lembut Tirta yang terlihat ketika dia membalut luka Alita dengan telaten menciptakan keheningan yang canggung. Semua orang dibuat terpana, berikut dengan Ruri yang masih terduduk di lantai, setelah terlepas tiba-tiba dari cekaman Tirta.

Usai berhasil menghentikan aliran darah di telapak tangan Alita, Tirta dicecar pertanyaan berulang dari Alita, mengenai siapa orang itu yang dia katakan barusan. Namun, pemuda itu hanya diam dan cepat memasang muka kesal.

"Lu enggak perlu tahu," gumamnya pelan dan didengar jelas oleh Alita.

Ruri menghela lelah melihatnya, perlahan berensot menuju dinding sembari menutup dadanya—dua kancing seragam atasnya terlepas akibat cekaman Tirta tadi dan membuatnya kewalahan.

"Ruri, kamu baik-baik saja?"

Usai diabaikan Tirta, Alita langsung memastikan keadaan Ruri, berjongkok di sebelah gadis berkacamata itu sambil menatap sedih.

"Lu enggak usah peduli in gue, lihat aja tangan lu sendiri," ketus Ruri sambil melirik Kagami dan Tirta yang tampak berbicara lewat mata. Satu lagi masih dengan wajah garangnya sedangkan satu lagi seolah lega dan berterima kasih karena telah membalut luka Alita.

Kemudian, Ruri juga melihat wajah pucat pasi Mirai di belakang Kagami, sedang memegang pisau lipat yang Alita lemparkan spontan ke arahnya tadi. Dengan begitu keadaan kondusif dan perkelahian pun terhenti. Walau nekat dan terlihat bodoh, tapi Ruri tidak bisa mengelak jika Alita lah pahlawan di sini.

"Minggir kaliaaan! Beri gue jalan untuk lewat"

Belum lama Ruri merasa lega, suara nyaring seorang gadis barusan yang mengetuk gendang telinganya kembali membuat atmosfer di sana mengeruh. Gadis yang datang dengan deruan napas dangkal yang tidak sabar-sabar itu adalah Rera. Dia berhasil menembus kerumunan di depan kelas 2A dan masuk ke dalam bergabung dengan Ruri cs.

Raut syok Rera setelah melihat pemandangan di depannya jatuh begitu lama pada Tirta. Dia berdecit melihat wajah pemuda tersebut, mengepal geram lalu menamparnya tanpa aba-aba.

Suara telapak tangan yang bertemu cepat dengan pipi itu menggema sebanyak dua kali. Rera tidak main-main dan berhasil membuat dua pipi Tirta berubah merah selagi pemuda tersebut diam dengan patuh.

"Menyebalkan! Lu menyebalkan, Tirta!" pekik Rera, sudut bibirnya bergetar. "Berhenti ikut campur urusan gue! Lu bukan siapa-siapa gue, dasar berengsek!" Tunjuknya galak dan menangis.

Tirta tidak juga bergeming. Dia benar-benar memilih patuh tanpa membela diri hingga tidak ada satu kata pun keluar dari bibirnya.

Rera mengatur napas sejenak, beralih menatap Kagami dengan tataan iba. Meski kondisi pakaian Tirta jauh lebih kacau dari Kagami, tetapi tetap saja bagi Rera Kagami adalah segalanya baginya. Perempuan itu pun melangkah menuju Kagami, tetapi baru sampai langkah keempat dia sudah tertolak.

"Berhenti di sana dan jangan bergerak lebih jauh." kagami menunjuk dengan wajah datar. Rera diam dan menurut. "Sekarang semuanya telah selesai. Lu yang menjadi dalangnya sebaiknya pergi dari sini dan jangan buat suasana kembali keruh," tegas Kagami, membuat Rera kembali berkaca-kaca.

"Dan ... " Kagami mengantung kalimatnya, menatap Ruri dengan baju robeknya, Mirai dengan wajah pucatnya serta Alita dengan perban di telapak tangannya. "Gue enggak mau ada yang terluka lagi," ujarnya sayu, memandang lama pada Alita.

Mendapati perhatian Kagami lagi-lagi tumpah pada Alita, hati Rera mendidih. Kerlingan mata elangnya cepat dia berikan kepada gadis itu, tetapi pemandangan yang dia dapatkan di sana hanyalah raut mengejek dari Ruri. Alita berekspresi biasa dan hanya fokus pada kondisi Ruri, memeriksa apakah temannya terluka.

"Ppffft ..! Malu-maluin, sumpah!" Ruri bersuara setelah lama mendekam tawanya.

Rera melotot galak, mukanya bersemu malu. "Dasar iblis jelek! Urus aja, tuh, baju compang-camping lu!" hinanya, tak mau kalah.

Ruri menyeringai. "Kalau gue iblis, terus lu apa? Hewan?"

Perkataan spontan barusan membuat Rera kehabisan kata-kata, mukanya berkerut oleh amarah. Anak kepala sekolah itu akhirnya secara impulsif bergerak cepat menuju Ruri,  sambil mengangkat tangan dan berancang-ancang memberi gadis kacamata itu tamparan. Namun, tindakannya terhenti ketika mendengar keributan dari luar kelas—kerumunan murid di sana bubar pontang-panting dengan wajah panik.

Tidak mengerti apa yang terjadi, Ruri cs serta Rera diam melihat ambang pintu. Di sana pandangan mereka terkunci, sebelum akhirnya membola ketika seorang pria berseragam dinas muncul. Dia adalah Reswara, kepala sekolah sekaligus ayah Rera.

"Diam di tempat!" sergah Reswara. Di luar bel masuk akhirnya berbunyi. Mengiringi pelototan marahnya pada teman-teman Ruri beserta Tirta yang sudah terdiam kalut.

Tatapan tegasnya memindai seisi kelas 2A. Kursi meja terjungkal bagai kelopak bunga yang tertiup angin, lalu jatuh ke tanah. Beberapa dari perabotan sekolah itu bahkan ada yang patah. Sebagai kepala sekolah, dia langsung memerintahkan dua guru lain yang dia bawa ke lokasi perkelahian untuk memeriksa berapa banyak perabotan yang rusak. Lalu setelahnya semua nama yang terseret perkelahian dimintai berbaris.

"Dalam hitungan ketiga, jika tidak berbaris rapi maka semuanya akan saya skors!" sergah Pak Reswara tiba-tiba. Matanya menyiratkan emosi yang makin kentara, tetapi secara sengaja dia alihkan pandangan itu dari Rera, ketika sang anak kedapatan memandangnya dengan mata takut.

"Kecuali kamu, Rera. Tetap diam di sana," pintanya membela sang anak dan membuat Ruri berdecap. Ini bukan pemandangan pertama baginya.

Tirta bergerak duluan membentuk barisan. Berikutnya Mirai mendekat dengan takut. Sementara itu Alita kepayahan memapah Ruri, karena satu tangan gadis berkacamata itu memegang seragam atasnya yang terbuka.

"Pakai jaketku, Ruri." Kagami menyempatkan diri meminjamkan jaketnya kepada Ruri, sebelum dia menyusul dalam barisan Mirai dan Tirta.

"Thanks," balas Ruri, memakai jaket pinjaman dari Kagami dan mulai melangkah dengan nyaman ke dalam barisan 'murid bermasalah'.

Selagi Ruri cs serta Tirta bergerak menuju ruang kepala sekolah, Rera dan trionya dimintai kembali ke kelas. Dan dalam langkah menuju ke sana, Ambar curi-curi pandang mengamati Tirta dan Kagami. Di dalam hati dia berseru senang, karena berteman dengan Rera juga memberinya efek kebal hukum. Hal ini membuatnya ikut selamat dari masalah dan akhirnya sampai kapan pun tidak akan ada yang peduli serta tahu, bahwa sebenarnya dialah pengadu domba dibalik perkelahian hari ini.

***

Di ruang 10×10 meter persegi dengan dinding berwarna cokelat. Murid bermasalah yang telah digiring masuk ke sana berdiri menghadap Pak Reswara.

Pria paruh baya bejengot tipis itu menghela napas kasar, sekalian mata tuanya menelisik penampilan Ruri cs dan Tirta. Tiga di antara mereka compang-camping.

"Letakkan pisaunya di sini." Dia mulai bersuara, memerintah kepada Mirai sambil menunjuk meja kayu jati di depannya.

Mirai berjalan dengan takut. Gemetaran tangan dinginnya meletak benda yang dimaksud ke tempat yang diminta. Setelah meletakkan benda tajam yang sedari tadi dia pegang, terasa impitan sesak di dadanya sedikit berkurang. Namun, itu hanya sekejap. Rasa takut kembali menyelimutinya saat Pak Reswara bersuara lagi.

"Siapa yang berani membawa benda ini ke sekolah?"

Pertanyaan bernada dingin itu mengunci mulut Ruri, Kagami, Alita dan Mirai. Mereka yang tahu jawabannya enggan menjawab.

"Saya," ujar Tirta singkat dan tiba-tiba. Keberaniannya mengakui tanpa ditunjuk membuat perhatian tertuju kepadanya.

Kening Pak Reswara berkerut, mukanya bertambah masam. "Berdiri di sini," tirahnya kepada Tirta. Pemuda itu pun memisahkan diri dari barisan Ruri cs—ke sudut meja Reswara.

Helaan napas berat terdengar lagi. Reswara memijit kening, rautnya masamnya memudar secara pelan. Sambil bersandar di kursi, dia mulai menginterogasi murid bermasalah di hadapannya.

Pertanyaannya dimulai dari Ruri. Gadis berkacamata itu terlihat mencolok karena menggunakan jaket.

"Kerah seragam saya robek beserta tiga kancing bagian atas terlepas. Semua akibat Tirta yang sempat mencekau di sana dan membuat tubuh saya berjinjit sakit." Ruri menjelaskan, setelah dimintai alasannya mengenakan jaket.

Pak Reswara menyengir lelah, dia menggeleng dengan samar, lalu bertepuk tangan mengejek penjelasan barusan. "Luar biasa sekali!" serunya, memandang tajam. Ruri menunduk lagi.

Interogasi berikutnya beralih pada Alita. Perban seadanya dengan bercak darah yang jelas tampak di telapak tangannya, menggelitik rasa penasaran Pak Reswara sedari tadi.

"Saya menarik paksa pisau dari tangan Tirta, ketika dia berkelahi dan mulai mengancam dengan benda tersebut. Luka ini didapat karena saya menggenggam bagian tajam pisau itu ketika menariknya." Penjelasan Alita membuat Reswara menggeleng ngilu.

"Lalu, sepertinya kamu murid baru di sini, ya? Pindahan dari sekolah elite itu?" Pertanyaan interogasi berikutnya tertuju pada Mirai. Gadis yang memakai seragam berbeda itu langsung menggigil mendapati Reswara memandangnya.

Mirai hanya bisa mengangguk. Lidahnya terlalu kelu untuk berkata.

"Kenapa pisau ini bisa berada di tanganmu?" tanya Reswara dengan nada curiga.

Mirai memandang Alita sejenak. Teman barunya itu tersenyum, mencoba memberinya kekuatan untuk menjelaskan.

"S–s–saya mengamankannya setelah Alita merebutnya dari Tirta, Pak." Walau pelan, Mirai berhasil memberi jawabannya.

Isi kepala Reswara semakin kacau. Sejauh ini murid bermasalah di depannya memiliki alasan masing-masing kenapa mereka bisa berdiri di sana. Dia sekali lagi menghela lelah, memijit kening semakin kencang.

"Dan kamu Kagami? Apa alasan seragammu berantakan sekali?" Kini dia beralih pada Kagami. Pemuda itu menjawab dengan enteng.

"Saya berkelahi dengan Tirta, membela diri, karena dia mulai melempar kursi ke arah sahabat saya. Bukan hanya itu, dia juga telah membuat Alita terluka," jelasnya, menyorot tajam pada Tirta sejenak untuk kalimat terakhir yang dia ucapkan.

Tirta melengos. Tidak peduli.

Setelah mengetahui garis besar cerita di balik perkelahian yang terjadi. Reswara menggeser duduknya, sengaja menyamping agar menghadap langsung pada Tirta yang berdiri di sudut meja kerjanya.

"Sudah empat murid yang bapak tanyai. Dan keempatnya menyebut namamu di dalam jawaban mereka," tekannya dengan wajah yang perlahan tenang. "Jadi, apa alasanmu hingga menjadi sumbu perkelahian hari ini, Tirta?" tebak Reswara, tepat sasaran.

Reswara menduduki jabatan sebagai kepala sekolah tentu bukan tanpa alasan. Selain memenuhi kriteria yang dibutuhkan, dia juga memiliki insting yang kuat. Menangani murid bermasalah seperti sekarang bukanlah hal yang sulit baginya. Ruri pun mengakui kemampuan pria tua itu, hanya saja selama pengalamannya menjadi pelajar di sana, Ruri juga tahu jika sikap profesional Pak Reswara jarang berlangsung lama.

"Iya, Pak, saya bersalah," ungkap Tirta tanpa ragu, tak lama setelah ditanyai kepala sekolah.

Reswara menajam pendengarannya, menanti kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut Tirta. Jemarinya bermain di permukaan meja.

"Awalnya ini hanya urusan kecil yang harus saya selesaikan dengan kagami. Namun, karena teman-temannya menghalangi, secara tidak sengaja mereka ikut terlibat," terang Tirta, membuat Ruri menyipit geli mendengarnya.

"Urusan apa itu?" Reswara masih menyelidik.

Untuk pertanyaan kali ini Tirta tampak gelisah untuk menjawab, jakunnya turun naik berulang kali sebelum kemudian bibirnya kembali berucap.

"Saya hanya ingin membalas kekesalan Rera yang telah mereka perbuat." Tirta menjawab dengan malu-malu, mukanya memerah dan cepat menunduk dalam-dalam, menyembunyikannya perasaan kacaunya saat ini.

Siapa yang menyangka, sekali nama anaknya disebut itu membuat amarah Reswara pecah. Gejolak yang sedari tadi dia tahan kini tumpah lewat gebrakan meja yang dia perbuat. Pukulan kencang itu mengagetkan semua orang yang berada di dalam ruangan tersebut.

"Hanya karena hal sepele itu kalian berkelahi sampai begini?!" sergahnya, melotot pada wajah kalut di depannya.

Ruri berdecak di dalam hati. Mendumel. Memang benar awal dari semua perkelahian hari ini adalah karena hal sepele itu. Jika diingat lagi, rasanya Ruri geli sekali karena telah terlibat di dalamnya. Namun, bukan itu inti yang membuat dia kesal. Justru akibat dari hal sepele itulah yang tidak bisa diremehkan. Dia tidak terima dan dengan berani menyela dalam amarah itu.

"Sejak awal jika Rera tidak membuli Mirai, maka perkara ini tidak akan terjadi, Pak." Ruri mulai merangkai kalimatnya, Reswara memandangnya dalam-dalam. "Di awal Bapak tampak berwibawa dengan menginterogasi kami, tetapi setelah mendengar nama Rera kami sebut, Bapak langsung memutus penjelasan dan menganggap seolah-olah sudah tahu akar permasalahan kami. Bahkan Bapak menganggap ini perkara sepele? Menindas itu bukan masalah sepele, Pak!" tegasnya, sorot mata meminta keadilannya menusuk nyali Reswara.

"Jika saja Rera tidak terus-terusan Bapak bela, mungkin dia tidak akan semena-mena seperti ini, Pak! Jika saja Bapak mengerti peran Bapak sebagai orang tua—"

"Diam kamu, Nagemi!" Reswara cepat memotong suara Ruri. "Jangan berlagak mengajari saya. Walau kamu berdarah hukum sekali pun, kamu tetap tidak punya bukti dari perkataanmu barusan, kan? Karena saya lihat, Mirai baik-baik saja." Reswara menyeringai, pembelaannya membuat Ruri terdiam. Benar yang dikatakan Reswara, gadis bersurai panjang itu memang tidak bisa membuktikan ucapannya. Namun, yang membuat hatinya bertambah jengkel adalah kalimat yang dia dengar barusan sama persis dengan kata-kata yang dilayangkan seseorang kepadanya empat tahun silam. Kalimat yang membungkam egonya sekaligus menoreh luka terdalam di hatinya.

Bibir Ruri bergetar tak terima kalah begitu saja, mati-matian dia menahan ngilu di hati selagi pikirannya merangai kata lagi untuk menyerang. Namun, Mirai yang berada di sebelahnya cepat mencegah dengan menyentuh kepalan gadis kacamata itu.

"Lupakan saja, Ruri. Aku baik-baik saja," bisiknya lembut disertai senyum.

Ruri tidak mengerti, kenapa gadis berambut pendek itu tersenyum, padahal jelas-jelas dia tidak mendapat keadilan di sini. Rera harus ikut serta dihukum. Kalau bisa dia harus dihukum lebih berat. Bukan, kah, begitu? Namun, ego Ruri sekali lagi melemah, ketika dari arah lain Alita ikut menggenggam tangannya.

"Tenang, Ruri. Kami bersamamu." Tutur penenang dari Alita membuat Ruri ikut pasrah dengan keadaan. Tak lagi membela diri sampai Reswara selesai mencoret kertas di depannya.

"Kalian semua saya jemur di lapangan sampai jam pelajaran selesai," kata Reswara kembali. Lirikan matanya berhenti lama kepada Tirta. "Dan kamu, Tirta. Sebagai hukuman tambahan, saya memberimu skors selama seminggu."

Lengkap sudah sekelumit masalah mereka hari itu. Hukuman barusan adalah kata terakhir yang menjadi penutup pertengkaran sekaligus penyelesaian yang mereka dapatkan.

Tirta dengan muka pasrahnya berjalan terlebih dahulu menuju lapangan sekolah yang sedang terik disiram cahaya matahari. Sementara, Ruri yang masih belum ikhlas dengan keadaan bergerak pelan membawa ragunya.

"Aku tahu apa yang kamu pikirkan, Ruri. Untuk saat ini mengalah adalah cara terbaik supaya kita menang," ujar Kagami, menyetarakan langkahnya dengan Ruri.

Episodes
1 Mirai
2 Kantin
3 Rera
4 Ancaman
5 Hukuman
6 Terlambat
7 Ganti Rugi
8 Kejadian tidak terduga
9 Pandangan Pertama
10 Kesepakatan
11 Secarik Kertas
12 Emosi
13 Kagami
14 Mencari Masalah
15 Rencana Baru
16 Si Misterius
17 Sakit Yang Dirahasiakan
18 Bunyi Yang Tidak Asing
19 Berseteru
20 Sosok Pengganti
21 Kelelahan
22 Rencana Balasan
23 Dia Berbahaya
24 Bazar Sekolah
25 Balas Dendam Rera
26 Kode Pertolongan
27 Surat Ancaman
28 Kabar Angin Baru
29 Pengakuan Kagami
30 Kepingan Misteri
31 Warna Merah?
32 Pria Tua
33 Akordeon
34 Bakat
35 Rencana Weekend
36 Keanehan Pada Teman
37 Sanggar Musik
38 Kenalan Baru
39 Keinginan Sendiri
40 Teman dan Rival
41 Kedatangan Seseorang
42 Buku Not Lagu
43 Psikiater
44 Rindu
45 Sakit
46 Ponsel berdering
47 Kenangan Lama
48 Kendali Gagas
49 Sebuah Rahasia
50 Trauma Yang Menghantui
51 Mahasiswa Magang
52 Jaket Kagami
53 Resep Nasi Goreng
54 Bukan Kertas Biasa
55 Pita dan Mirai
56 Meminta Izin
57 Membuka Kasus
58 Sisi Lain Roland
59 Pundak Yang Lebar
60 Berjalan Selangkah
61 Maju Dua langkah
62 Kebun Bunga
63 Cincin Emas
64 Tanpa Ampun
65 Mimpi Alita
66 Tidak Terduga
67 Ruri Menangis
68 Teriakan Mirai
69 Tembok
70 Dalam Bahaya
71 Menjalani Operasi
72 Serpihan Memori
73 Terbangun
74 Akhirnya Jujur
75 Saling Melihat
76 Jangan Membuka Luka
77 Bencana Alam
78 Tamu Tak Diundang
79 Belum Memaafkan
80 Cerita Lama
81 Menemukan Petunjuk
82 Mirai Melawan
83 Juara Bertahan
84 Pertemuan Tak terduga
85 Membuntuti
86 Lidah Terpeleset
87 Menggambar
88 Lesung Pipi
89 Matahari Tengelam
90 Kacamata Manis
91 Tragedi
92 Terguncang
93 Suster Hana
94 Saling Bicara
95 Awal Sebuah Ambisi
96 Makan Siang Bersama
97 Playboy?
98 Saudara Sedarah?
99 Tertolak
100 Lebih Tua?
101 Penyesalan
102 Berdebat
103 Kembali
104 Kabar Sebenarnya
105 Sebuah Janji
106 Hati yang Cemas
107 Tangisan Pertama
108 Memori Musik
109 Malam Pahit
110 Jerit Kehilangan
111 Pertemuan Dua Keluarga
112 Lahir Kembali
113 Pilihan Masa Depan
114 Seorang Monster
115 Saksi dan Kenangan
116 Dua Ego
117 Rasa Kehilangan
118 Meminjam Pundak
119 Dua Hari Lalu
120 Rencana Akhir
121 Pencarian
122 Terjerat Masa Lalu
123 Dering Ponsel
124 Pahlawan
125 Usapan Kepala
126 Aroma Parfum
127 Pencuri Ulung
128 Bagian yang hilang
129 Taktik Merry
130 Rencana dalam rencana
131 Beradu Akting
132 Bukti dan saksi
133 Memaknai hidup
134 Foto lawas
135 Kaca Kafe
136 Kejahatan
137 Keluarga random : Keracunan
138 Keluarga Random : Bentakan
139 Keluarga Random : Syanala
140 Keluarga Random : Venya
141 Keluarga Random : Taktik Calon Keluarga
142 Keluarga Random : Memanjat Pohon
143 Keluarga Random : Dilema Rindu
144 Keluarga Random : Toko Buku
145 Keluarga Random : Bahtera
146 Karma
147 Oleh-Oleh
148 Jepit Rambut
149 Pernyataan Menohok
150 Reuni Teman
151 Barang Dion
152 Selembar Foto
153 Kartu Izin
154 Perosotan
155 Vikram
156 Membuat Cromboloni
157 Labuh ragu dua hati
158 Gosip Baru
159 Sidang
160 Keputusan Sidang
161 Kejutan Gagas
Episodes

Updated 161 Episodes

1
Mirai
2
Kantin
3
Rera
4
Ancaman
5
Hukuman
6
Terlambat
7
Ganti Rugi
8
Kejadian tidak terduga
9
Pandangan Pertama
10
Kesepakatan
11
Secarik Kertas
12
Emosi
13
Kagami
14
Mencari Masalah
15
Rencana Baru
16
Si Misterius
17
Sakit Yang Dirahasiakan
18
Bunyi Yang Tidak Asing
19
Berseteru
20
Sosok Pengganti
21
Kelelahan
22
Rencana Balasan
23
Dia Berbahaya
24
Bazar Sekolah
25
Balas Dendam Rera
26
Kode Pertolongan
27
Surat Ancaman
28
Kabar Angin Baru
29
Pengakuan Kagami
30
Kepingan Misteri
31
Warna Merah?
32
Pria Tua
33
Akordeon
34
Bakat
35
Rencana Weekend
36
Keanehan Pada Teman
37
Sanggar Musik
38
Kenalan Baru
39
Keinginan Sendiri
40
Teman dan Rival
41
Kedatangan Seseorang
42
Buku Not Lagu
43
Psikiater
44
Rindu
45
Sakit
46
Ponsel berdering
47
Kenangan Lama
48
Kendali Gagas
49
Sebuah Rahasia
50
Trauma Yang Menghantui
51
Mahasiswa Magang
52
Jaket Kagami
53
Resep Nasi Goreng
54
Bukan Kertas Biasa
55
Pita dan Mirai
56
Meminta Izin
57
Membuka Kasus
58
Sisi Lain Roland
59
Pundak Yang Lebar
60
Berjalan Selangkah
61
Maju Dua langkah
62
Kebun Bunga
63
Cincin Emas
64
Tanpa Ampun
65
Mimpi Alita
66
Tidak Terduga
67
Ruri Menangis
68
Teriakan Mirai
69
Tembok
70
Dalam Bahaya
71
Menjalani Operasi
72
Serpihan Memori
73
Terbangun
74
Akhirnya Jujur
75
Saling Melihat
76
Jangan Membuka Luka
77
Bencana Alam
78
Tamu Tak Diundang
79
Belum Memaafkan
80
Cerita Lama
81
Menemukan Petunjuk
82
Mirai Melawan
83
Juara Bertahan
84
Pertemuan Tak terduga
85
Membuntuti
86
Lidah Terpeleset
87
Menggambar
88
Lesung Pipi
89
Matahari Tengelam
90
Kacamata Manis
91
Tragedi
92
Terguncang
93
Suster Hana
94
Saling Bicara
95
Awal Sebuah Ambisi
96
Makan Siang Bersama
97
Playboy?
98
Saudara Sedarah?
99
Tertolak
100
Lebih Tua?
101
Penyesalan
102
Berdebat
103
Kembali
104
Kabar Sebenarnya
105
Sebuah Janji
106
Hati yang Cemas
107
Tangisan Pertama
108
Memori Musik
109
Malam Pahit
110
Jerit Kehilangan
111
Pertemuan Dua Keluarga
112
Lahir Kembali
113
Pilihan Masa Depan
114
Seorang Monster
115
Saksi dan Kenangan
116
Dua Ego
117
Rasa Kehilangan
118
Meminjam Pundak
119
Dua Hari Lalu
120
Rencana Akhir
121
Pencarian
122
Terjerat Masa Lalu
123
Dering Ponsel
124
Pahlawan
125
Usapan Kepala
126
Aroma Parfum
127
Pencuri Ulung
128
Bagian yang hilang
129
Taktik Merry
130
Rencana dalam rencana
131
Beradu Akting
132
Bukti dan saksi
133
Memaknai hidup
134
Foto lawas
135
Kaca Kafe
136
Kejahatan
137
Keluarga random : Keracunan
138
Keluarga Random : Bentakan
139
Keluarga Random : Syanala
140
Keluarga Random : Venya
141
Keluarga Random : Taktik Calon Keluarga
142
Keluarga Random : Memanjat Pohon
143
Keluarga Random : Dilema Rindu
144
Keluarga Random : Toko Buku
145
Keluarga Random : Bahtera
146
Karma
147
Oleh-Oleh
148
Jepit Rambut
149
Pernyataan Menohok
150
Reuni Teman
151
Barang Dion
152
Selembar Foto
153
Kartu Izin
154
Perosotan
155
Vikram
156
Membuat Cromboloni
157
Labuh ragu dua hati
158
Gosip Baru
159
Sidang
160
Keputusan Sidang
161
Kejutan Gagas

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!