Sikap lembut Tirta yang terlihat ketika dia membalut luka Alita dengan telaten menciptakan keheningan yang canggung. Semua orang dibuat terpana, berikut dengan Ruri yang masih terduduk di lantai, setelah terlepas tiba-tiba dari cekaman Tirta.
Usai berhasil menghentikan aliran darah di telapak tangan Alita, Tirta dicecar pertanyaan berulang dari Alita, mengenai siapa orang itu yang dia katakan barusan. Namun, pemuda itu hanya diam dan cepat memasang muka kesal.
"Lu enggak perlu tahu," gumamnya pelan dan didengar jelas oleh Alita.
Ruri menghela lelah melihatnya, perlahan berensot menuju dinding sembari menutup dadanya—dua kancing seragam atasnya terlepas akibat cekaman Tirta tadi dan membuatnya kewalahan.
"Ruri, kamu baik-baik saja?"
Usai diabaikan Tirta, Alita langsung memastikan keadaan Ruri, berjongkok di sebelah gadis berkacamata itu sambil menatap sedih.
"Lu enggak usah peduli in gue, lihat aja tangan lu sendiri," ketus Ruri sambil melirik Kagami dan Tirta yang tampak berbicara lewat mata. Satu lagi masih dengan wajah garangnya sedangkan satu lagi seolah lega dan berterima kasih karena telah membalut luka Alita.
Kemudian, Ruri juga melihat wajah pucat pasi Mirai di belakang Kagami, sedang memegang pisau lipat yang Alita lemparkan spontan ke arahnya tadi. Dengan begitu keadaan kondusif dan perkelahian pun terhenti. Walau nekat dan terlihat bodoh, tapi Ruri tidak bisa mengelak jika Alita lah pahlawan di sini.
"Minggir kaliaaan! Beri gue jalan untuk lewat"
Belum lama Ruri merasa lega, suara nyaring seorang gadis barusan yang mengetuk gendang telinganya kembali membuat atmosfer di sana mengeruh. Gadis yang datang dengan deruan napas dangkal yang tidak sabar-sabar itu adalah Rera. Dia berhasil menembus kerumunan di depan kelas 2A dan masuk ke dalam bergabung dengan Ruri cs.
Raut syok Rera setelah melihat pemandangan di depannya jatuh begitu lama pada Tirta. Dia berdecit melihat wajah pemuda tersebut, mengepal geram lalu menamparnya tanpa aba-aba.
Suara telapak tangan yang bertemu cepat dengan pipi itu menggema sebanyak dua kali. Rera tidak main-main dan berhasil membuat dua pipi Tirta berubah merah selagi pemuda tersebut diam dengan patuh.
"Menyebalkan! Lu menyebalkan, Tirta!" pekik Rera, sudut bibirnya bergetar. "Berhenti ikut campur urusan gue! Lu bukan siapa-siapa gue, dasar berengsek!" Tunjuknya galak dan menangis.
Tirta tidak juga bergeming. Dia benar-benar memilih patuh tanpa membela diri hingga tidak ada satu kata pun keluar dari bibirnya.
Rera mengatur napas sejenak, beralih menatap Kagami dengan tataan iba. Meski kondisi pakaian Tirta jauh lebih kacau dari Kagami, tetapi tetap saja bagi Rera Kagami adalah segalanya baginya. Perempuan itu pun melangkah menuju Kagami, tetapi baru sampai langkah keempat dia sudah tertolak.
"Berhenti di sana dan jangan bergerak lebih jauh." kagami menunjuk dengan wajah datar. Rera diam dan menurut. "Sekarang semuanya telah selesai. Lu yang menjadi dalangnya sebaiknya pergi dari sini dan jangan buat suasana kembali keruh," tegas Kagami, membuat Rera kembali berkaca-kaca.
"Dan ... " Kagami mengantung kalimatnya, menatap Ruri dengan baju robeknya, Mirai dengan wajah pucatnya serta Alita dengan perban di telapak tangannya. "Gue enggak mau ada yang terluka lagi," ujarnya sayu, memandang lama pada Alita.
Mendapati perhatian Kagami lagi-lagi tumpah pada Alita, hati Rera mendidih. Kerlingan mata elangnya cepat dia berikan kepada gadis itu, tetapi pemandangan yang dia dapatkan di sana hanyalah raut mengejek dari Ruri. Alita berekspresi biasa dan hanya fokus pada kondisi Ruri, memeriksa apakah temannya terluka.
"Ppffft ..! Malu-maluin, sumpah!" Ruri bersuara setelah lama mendekam tawanya.
Rera melotot galak, mukanya bersemu malu. "Dasar iblis jelek! Urus aja, tuh, baju compang-camping lu!" hinanya, tak mau kalah.
Ruri menyeringai. "Kalau gue iblis, terus lu apa? Hewan?"
Perkataan spontan barusan membuat Rera kehabisan kata-kata, mukanya berkerut oleh amarah. Anak kepala sekolah itu akhirnya secara impulsif bergerak cepat menuju Ruri, sambil mengangkat tangan dan berancang-ancang memberi gadis kacamata itu tamparan. Namun, tindakannya terhenti ketika mendengar keributan dari luar kelas—kerumunan murid di sana bubar pontang-panting dengan wajah panik.
Tidak mengerti apa yang terjadi, Ruri cs serta Rera diam melihat ambang pintu. Di sana pandangan mereka terkunci, sebelum akhirnya membola ketika seorang pria berseragam dinas muncul. Dia adalah Reswara, kepala sekolah sekaligus ayah Rera.
"Diam di tempat!" sergah Reswara. Di luar bel masuk akhirnya berbunyi. Mengiringi pelototan marahnya pada teman-teman Ruri beserta Tirta yang sudah terdiam kalut.
Tatapan tegasnya memindai seisi kelas 2A. Kursi meja terjungkal bagai kelopak bunga yang tertiup angin, lalu jatuh ke tanah. Beberapa dari perabotan sekolah itu bahkan ada yang patah. Sebagai kepala sekolah, dia langsung memerintahkan dua guru lain yang dia bawa ke lokasi perkelahian untuk memeriksa berapa banyak perabotan yang rusak. Lalu setelahnya semua nama yang terseret perkelahian dimintai berbaris.
"Dalam hitungan ketiga, jika tidak berbaris rapi maka semuanya akan saya skors!" sergah Pak Reswara tiba-tiba. Matanya menyiratkan emosi yang makin kentara, tetapi secara sengaja dia alihkan pandangan itu dari Rera, ketika sang anak kedapatan memandangnya dengan mata takut.
"Kecuali kamu, Rera. Tetap diam di sana," pintanya membela sang anak dan membuat Ruri berdecap. Ini bukan pemandangan pertama baginya.
Tirta bergerak duluan membentuk barisan. Berikutnya Mirai mendekat dengan takut. Sementara itu Alita kepayahan memapah Ruri, karena satu tangan gadis berkacamata itu memegang seragam atasnya yang terbuka.
"Pakai jaketku, Ruri." Kagami menyempatkan diri meminjamkan jaketnya kepada Ruri, sebelum dia menyusul dalam barisan Mirai dan Tirta.
"Thanks," balas Ruri, memakai jaket pinjaman dari Kagami dan mulai melangkah dengan nyaman ke dalam barisan 'murid bermasalah'.
Selagi Ruri cs serta Tirta bergerak menuju ruang kepala sekolah, Rera dan trionya dimintai kembali ke kelas. Dan dalam langkah menuju ke sana, Ambar curi-curi pandang mengamati Tirta dan Kagami. Di dalam hati dia berseru senang, karena berteman dengan Rera juga memberinya efek kebal hukum. Hal ini membuatnya ikut selamat dari masalah dan akhirnya sampai kapan pun tidak akan ada yang peduli serta tahu, bahwa sebenarnya dialah pengadu domba dibalik perkelahian hari ini.
***
Di ruang 10×10 meter persegi dengan dinding berwarna cokelat. Murid bermasalah yang telah digiring masuk ke sana berdiri menghadap Pak Reswara.
Pria paruh baya bejengot tipis itu menghela napas kasar, sekalian mata tuanya menelisik penampilan Ruri cs dan Tirta. Tiga di antara mereka compang-camping.
"Letakkan pisaunya di sini." Dia mulai bersuara, memerintah kepada Mirai sambil menunjuk meja kayu jati di depannya.
Mirai berjalan dengan takut. Gemetaran tangan dinginnya meletak benda yang dimaksud ke tempat yang diminta. Setelah meletakkan benda tajam yang sedari tadi dia pegang, terasa impitan sesak di dadanya sedikit berkurang. Namun, itu hanya sekejap. Rasa takut kembali menyelimutinya saat Pak Reswara bersuara lagi.
"Siapa yang berani membawa benda ini ke sekolah?"
Pertanyaan bernada dingin itu mengunci mulut Ruri, Kagami, Alita dan Mirai. Mereka yang tahu jawabannya enggan menjawab.
"Saya," ujar Tirta singkat dan tiba-tiba. Keberaniannya mengakui tanpa ditunjuk membuat perhatian tertuju kepadanya.
Kening Pak Reswara berkerut, mukanya bertambah masam. "Berdiri di sini," tirahnya kepada Tirta. Pemuda itu pun memisahkan diri dari barisan Ruri cs—ke sudut meja Reswara.
Helaan napas berat terdengar lagi. Reswara memijit kening, rautnya masamnya memudar secara pelan. Sambil bersandar di kursi, dia mulai menginterogasi murid bermasalah di hadapannya.
Pertanyaannya dimulai dari Ruri. Gadis berkacamata itu terlihat mencolok karena menggunakan jaket.
"Kerah seragam saya robek beserta tiga kancing bagian atas terlepas. Semua akibat Tirta yang sempat mencekau di sana dan membuat tubuh saya berjinjit sakit." Ruri menjelaskan, setelah dimintai alasannya mengenakan jaket.
Pak Reswara menyengir lelah, dia menggeleng dengan samar, lalu bertepuk tangan mengejek penjelasan barusan. "Luar biasa sekali!" serunya, memandang tajam. Ruri menunduk lagi.
Interogasi berikutnya beralih pada Alita. Perban seadanya dengan bercak darah yang jelas tampak di telapak tangannya, menggelitik rasa penasaran Pak Reswara sedari tadi.
"Saya menarik paksa pisau dari tangan Tirta, ketika dia berkelahi dan mulai mengancam dengan benda tersebut. Luka ini didapat karena saya menggenggam bagian tajam pisau itu ketika menariknya." Penjelasan Alita membuat Reswara menggeleng ngilu.
"Lalu, sepertinya kamu murid baru di sini, ya? Pindahan dari sekolah elite itu?" Pertanyaan interogasi berikutnya tertuju pada Mirai. Gadis yang memakai seragam berbeda itu langsung menggigil mendapati Reswara memandangnya.
Mirai hanya bisa mengangguk. Lidahnya terlalu kelu untuk berkata.
"Kenapa pisau ini bisa berada di tanganmu?" tanya Reswara dengan nada curiga.
Mirai memandang Alita sejenak. Teman barunya itu tersenyum, mencoba memberinya kekuatan untuk menjelaskan.
"S–s–saya mengamankannya setelah Alita merebutnya dari Tirta, Pak." Walau pelan, Mirai berhasil memberi jawabannya.
Isi kepala Reswara semakin kacau. Sejauh ini murid bermasalah di depannya memiliki alasan masing-masing kenapa mereka bisa berdiri di sana. Dia sekali lagi menghela lelah, memijit kening semakin kencang.
"Dan kamu Kagami? Apa alasan seragammu berantakan sekali?" Kini dia beralih pada Kagami. Pemuda itu menjawab dengan enteng.
"Saya berkelahi dengan Tirta, membela diri, karena dia mulai melempar kursi ke arah sahabat saya. Bukan hanya itu, dia juga telah membuat Alita terluka," jelasnya, menyorot tajam pada Tirta sejenak untuk kalimat terakhir yang dia ucapkan.
Tirta melengos. Tidak peduli.
Setelah mengetahui garis besar cerita di balik perkelahian yang terjadi. Reswara menggeser duduknya, sengaja menyamping agar menghadap langsung pada Tirta yang berdiri di sudut meja kerjanya.
"Sudah empat murid yang bapak tanyai. Dan keempatnya menyebut namamu di dalam jawaban mereka," tekannya dengan wajah yang perlahan tenang. "Jadi, apa alasanmu hingga menjadi sumbu perkelahian hari ini, Tirta?" tebak Reswara, tepat sasaran.
Reswara menduduki jabatan sebagai kepala sekolah tentu bukan tanpa alasan. Selain memenuhi kriteria yang dibutuhkan, dia juga memiliki insting yang kuat. Menangani murid bermasalah seperti sekarang bukanlah hal yang sulit baginya. Ruri pun mengakui kemampuan pria tua itu, hanya saja selama pengalamannya menjadi pelajar di sana, Ruri juga tahu jika sikap profesional Pak Reswara jarang berlangsung lama.
"Iya, Pak, saya bersalah," ungkap Tirta tanpa ragu, tak lama setelah ditanyai kepala sekolah.
Reswara menajam pendengarannya, menanti kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut Tirta. Jemarinya bermain di permukaan meja.
"Awalnya ini hanya urusan kecil yang harus saya selesaikan dengan kagami. Namun, karena teman-temannya menghalangi, secara tidak sengaja mereka ikut terlibat," terang Tirta, membuat Ruri menyipit geli mendengarnya.
"Urusan apa itu?" Reswara masih menyelidik.
Untuk pertanyaan kali ini Tirta tampak gelisah untuk menjawab, jakunnya turun naik berulang kali sebelum kemudian bibirnya kembali berucap.
"Saya hanya ingin membalas kekesalan Rera yang telah mereka perbuat." Tirta menjawab dengan malu-malu, mukanya memerah dan cepat menunduk dalam-dalam, menyembunyikannya perasaan kacaunya saat ini.
Siapa yang menyangka, sekali nama anaknya disebut itu membuat amarah Reswara pecah. Gejolak yang sedari tadi dia tahan kini tumpah lewat gebrakan meja yang dia perbuat. Pukulan kencang itu mengagetkan semua orang yang berada di dalam ruangan tersebut.
"Hanya karena hal sepele itu kalian berkelahi sampai begini?!" sergahnya, melotot pada wajah kalut di depannya.
Ruri berdecak di dalam hati. Mendumel. Memang benar awal dari semua perkelahian hari ini adalah karena hal sepele itu. Jika diingat lagi, rasanya Ruri geli sekali karena telah terlibat di dalamnya. Namun, bukan itu inti yang membuat dia kesal. Justru akibat dari hal sepele itulah yang tidak bisa diremehkan. Dia tidak terima dan dengan berani menyela dalam amarah itu.
"Sejak awal jika Rera tidak membuli Mirai, maka perkara ini tidak akan terjadi, Pak." Ruri mulai merangkai kalimatnya, Reswara memandangnya dalam-dalam. "Di awal Bapak tampak berwibawa dengan menginterogasi kami, tetapi setelah mendengar nama Rera kami sebut, Bapak langsung memutus penjelasan dan menganggap seolah-olah sudah tahu akar permasalahan kami. Bahkan Bapak menganggap ini perkara sepele? Menindas itu bukan masalah sepele, Pak!" tegasnya, sorot mata meminta keadilannya menusuk nyali Reswara.
"Jika saja Rera tidak terus-terusan Bapak bela, mungkin dia tidak akan semena-mena seperti ini, Pak! Jika saja Bapak mengerti peran Bapak sebagai orang tua—"
"Diam kamu, Nagemi!" Reswara cepat memotong suara Ruri. "Jangan berlagak mengajari saya. Walau kamu berdarah hukum sekali pun, kamu tetap tidak punya bukti dari perkataanmu barusan, kan? Karena saya lihat, Mirai baik-baik saja." Reswara menyeringai, pembelaannya membuat Ruri terdiam. Benar yang dikatakan Reswara, gadis bersurai panjang itu memang tidak bisa membuktikan ucapannya. Namun, yang membuat hatinya bertambah jengkel adalah kalimat yang dia dengar barusan sama persis dengan kata-kata yang dilayangkan seseorang kepadanya empat tahun silam. Kalimat yang membungkam egonya sekaligus menoreh luka terdalam di hatinya.
Bibir Ruri bergetar tak terima kalah begitu saja, mati-matian dia menahan ngilu di hati selagi pikirannya merangai kata lagi untuk menyerang. Namun, Mirai yang berada di sebelahnya cepat mencegah dengan menyentuh kepalan gadis kacamata itu.
"Lupakan saja, Ruri. Aku baik-baik saja," bisiknya lembut disertai senyum.
Ruri tidak mengerti, kenapa gadis berambut pendek itu tersenyum, padahal jelas-jelas dia tidak mendapat keadilan di sini. Rera harus ikut serta dihukum. Kalau bisa dia harus dihukum lebih berat. Bukan, kah, begitu? Namun, ego Ruri sekali lagi melemah, ketika dari arah lain Alita ikut menggenggam tangannya.
"Tenang, Ruri. Kami bersamamu." Tutur penenang dari Alita membuat Ruri ikut pasrah dengan keadaan. Tak lagi membela diri sampai Reswara selesai mencoret kertas di depannya.
"Kalian semua saya jemur di lapangan sampai jam pelajaran selesai," kata Reswara kembali. Lirikan matanya berhenti lama kepada Tirta. "Dan kamu, Tirta. Sebagai hukuman tambahan, saya memberimu skors selama seminggu."
Lengkap sudah sekelumit masalah mereka hari itu. Hukuman barusan adalah kata terakhir yang menjadi penutup pertengkaran sekaligus penyelesaian yang mereka dapatkan.
Tirta dengan muka pasrahnya berjalan terlebih dahulu menuju lapangan sekolah yang sedang terik disiram cahaya matahari. Sementara, Ruri yang masih belum ikhlas dengan keadaan bergerak pelan membawa ragunya.
"Aku tahu apa yang kamu pikirkan, Ruri. Untuk saat ini mengalah adalah cara terbaik supaya kita menang," ujar Kagami, menyetarakan langkahnya dengan Ruri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 161 Episodes
Comments