Ada satu hal yang Rera cs lupakan ketika mereka kesenangan membuli Mirai, adalah keberadaan Ruri. Satu-satunya gadis yang berani menentang tindakan mereka. Berani membela dan berani membalas tindakan Rera dengan sama persisnya.
Jika Rera menampar, maka Ruri akan mendorong. Jika Rera mencubit, maka Ruri akan menjambak. Kedua gadis ini bagai bumi dan langit. Terlepas dari abjad nama mereka yang hampir sama.
Ruri dibesarkan di lingkungan hukum. Ayahnya adalah seorang pengacara. Sejak kecil dia telah didik untuk berani membela kebenaran, walau pun perbuatannya tak bisa mengubah keadaan dengan banyak. Sedangkan Rera dibesarkan dengan cara dimanja, dipuja-puja hingga gadis itu benar-benar tumbuh menjadi pribadi yang semena-mena.
Satu hal lagi, Ruri dan Rera sama-sama memiliki paras yang cantik, rambut mereka senantiasa tergerai panjang sepinggang dan hanya satu hal yang membedakan mereka dari segi penampilan adalah kacamata. Ruri memakainya, sedangkan Rera tidak.
Ruri tahu langkahnya menyelamatkan Mirai terlambat, itu karena di jam istirahat seperti ini kantin penuh sesak. Banyak yang hilir mudik membawa nampan makanan. Ruri berkelit dari satu murid ke murid yang lain, selagi matanya memindai keberadaan Mirai. Di stan penjual bakso tak ada, Ruri sudah mencarinya. Namun, tak beranjak jauh dari tempatnya berdiri, Ruri melihat Rera cs sedang mengelilingi seseorang. Tak perlu lama-lama lagi, Ruri sudah tahu siapa yang Rera cs kerumuni. Jas coklat yang Mirai kenakan memberinya jawaban.
Ruri pun bergerak cepat dari titik buta Rera, dengan sedikit mendorong gadis itu, Ruri berhasil mencekal pergelangan tangan yang Rera ayun selagi di udara. Akhirnya Rera pias melihat Ruri. Sedangkan Ruri berbalik menyeringai kepadanya.
Tak ada yang berani menghentikan Ruri. Ambar, Yuki dan Sisil, giliran mereka yang dibuat tak berkutik. Demi mencari aman, tiga pengikut Rera itu memilih berdiri di belakang bos mereka, selagi menunggu perintah.
"Sebutkan, Rera. Mau direqomendasikan racun yang bagus, tidak?" Ruri mengulang pertanyaannya, menatap hina kepada gadis yang ditanya.
Rera tak peduli dengan pertanyaan itu, yang ada di dalam benaknya saat ini adalah bagaimana caranya terlepas dari cekalan Ruri. Cekalan itu terasa semakin erat, perlahan membuat pergelangannya memerah. Rautnya bertambah pias menahan sakit.
Di dalam kegusaran itu, Rera tiba-tiba ditimpa masalah lagi—Alita dan Kagami datang, ikut membantu Ruri. Kedua remaja itu semula berniat duduk diam saja di meja kantin. Namun, karena Ruri dan Mirai tak kunjung juga kembali, akhirnya mereka memutuskan untuk menyusul dan pemandangan yang mereka dapat adalah di luar dugaan. Mirai terduduk di lantai menahan sakit, matanya sembab. Sedangkan Rera gelisah mencoba melepaskan diri dari cekaman Ruri.
Alita langsung menarik Mirai menjauh, membawa gadis berambut pendek tak berdaya itu ke pelukannya. Selagi memberi Mirai pelukan hangat yang menenangkan, selama itu juga Alita terus mengusap surai teman barunya.
"Ma–maaf. Uangnya jatuh, berserakan di lantai dan belum aku punggut," adu Mirai di dekapan Alita.
Secara lembut Alita menjawab. "Tidak apa, Mirai. Jangan dipikirkan. Sekarang kamu sudah aman. Tenang saja," ujarnya, membuat hati Mirai benar-benar tenang.
Kagami pasang badan di depan Ruri, menjadi pemisah antara Ruri dengan Rera. Selagi itu tatapan datarnya terus mengarah pada Rera dengan hina dan geli.
"Apa?! Aku nggak salah, Ruri yang mencekal pergelanganku duluan!" Rera mengadu pada tatapan aneh yang Kagami layangkan padanya. Aduaan yang tentu saja tak akan digubris oleh Kagami. Dia hanya mempermalu dirinya sendiri.
"Minggir, Kagami. Gue baru mencekal pergelangan tangannya. Dia pantas dijambak atau nggak ditinju!"
Dari belakang Kagami, Ruri memperotes. Namun, apa pun yang gadis berkacamata itu ingin lakukan terhahap Rera, gerakannya benar-benar sudah terhalang oleh badan kekar Kagami.
Ini sekolah, bukan gelanggang gelut. Apa pun masalahnya, Kagami sebagai satu-satunya laki-laki di circle perteman mereka, tentu tak ingin sahabatnya mendapat masalah yang lebih dari ini hanya karena emosi semata. Maka dari itu, tindakannya menjadi pemisah antara Ruri dengan Rera adalah agar tidak ada yang emosi maupun terpancing emosi lagi.
"Sehari aja tanpa membuli orang. Bisa, nggak, Rera?" tanya Kagami, dingin.
Rera terdiam. Dia tak berani menjawab maupun membantah. Di depan Kagami dia berlagak lemah, seperti tikus yang terpojok. Semua ini karena gadis itu telah lama mencintai Kagami. Teramat suka hingga dia tidak peduli apa pun kondisinya, dia akan tetap berusaha mencari perhatian Kagami. Seperti saat ini. Dia malah tersenyum centil pada Kagami setelah beberapa detik terdiam oleh pertanyaan pemuda itu.
Ruri yang geram melihat senyuman di muka Rera naik pitam. Tanpa memperdulikan Kagami yang masih pasang badan di depannya, Ruri langsung mengangkat tangan ke udara, bersiap melayangkan sebuah tamparan telak untuk Rera. Namun, Kagami dengan gerak refleknya berhasil mencegah tindakan Ruri. Kemudian mendorong pelan tubuh sahabatnya itu, menciptakan jarak aman yang lebih jauh lagi dari jangkauan Rera.
"Berengsek! Masih sempat-sempatnya lu senyum, ha?!" geram Ruri, setelah gerakannya tertahan oleh Kagami.
Rera tidak peduli dengan makian barusan.
"Lu kalau gangguin teman gue sekali lagi lagi, jangan harap gue bakal bersikap lembut sama lo!" gertak Ruri, menunjuk wajah Rera.
Rera dengan gerakan khasnya—mencak-mencak di tempat, menjulurkan lidah pada Ruri. Ikut berteriak, membela dirinya sekali lagi sebelum berniat pergi.
"Coba aja kalau bisa! Gue nggak takut!" sentaknya, kemudian Rera berlalu dari sana, membawa serta kekalahannya karena gagal membuli Mirai.
Masih di dekapan Alita. Mirai samar-samar mendengar Ruri berteriak membelanya dari Rera. Dia juga menyebut Mirai sebagai 'teman gue'. Walau penilaian Mirai mengenai Ruri yang galak dan menakutkan belum berubah, tapi pembelaaan barusan entah kenapa memberi Mirai harapan di hatinya. Apa dia akan memiliki teman yang seutuhnya, sekarang?
"Biar aku yang pergi membeli makanannya. Kalian kembalilah ke meja," kata Kagami, seraya memunggut uang receh di lantai yang tak sempat dipunggut oleh Mirai.
Membawa perasaan bersalahnya, Mirai berniat untuk ikut memungut uang di lantai bersama Kagami. Walau bagaimana pun, dia lah yang salah karena tidak becus mengemban tugas. Namun, tindakannya cepat dihentikan oleh Ruri. Walau masih beraut tegang karena emosi, gadis berkacamata itu berujar kepadanya. Kali ini dengan nada yang lebih lembut. Tidak ngegas seperti sebelumnya.
"Biar gue dan Kagami yang pergi membeli. Kalian kembalilah ke meja kita tadi. Walau bagaimana pun juga, gue yang salah. Maaf," tutur Ruru, membuat Mirai terhenyak.
Gadis berkacamata itu mengatakan 'maaf' kepadanya? Mirai tak menyangka, ternyata hati Ruri tak sekusut rautnya.
"Alamak! Kita semua di sini. Pasti meja yang kita tempati tadi sudah diisi orang lain!" Alita panik, menyadari satu hal penting.
"Eh, benar. Alita! Tugas besar ini kuberikan kepadamu!" Kagami juga ikutan panik.
Dengan mandat besar di bahunya untuk mengambil kembali meja tempat mereka duduk tadi, Alita pun berjalan cepat seraya mengandeng tangan Mirai yang masih kedinginan, takut. Mereka membelah kerumunan siswa, brranjak dari stan penjual bakso. Selagi itu, Ruri masih dengan raut kesalnya memandang arah pergi Rera. Dia tahu sekali, gadis berhati iblis itu tak akan insaf begitu saja. Otak busuknya selalu menyiapkan banyak rencana.
###
Walau kegiatan makan di jam istirahat mereka sempat terganggu oleh kehadiran Rera, tapi itu tak berlangsung lama, sekarang keempat remaja itu bukan hanya berhasil merebut meja mereka kembali. Masing-masing dari mereka juga telah menghadap seporsi bakso.
Alita dan Kagami langsung menyambar makanan mereka dengan lahap. Sedangkan Ruri dengan gerakan lambat, membelah bulatan bakso itu menjadi beberapa bagian, agar nanti ketika dimakan dia tak perlu kerepotan. Berbeda halnya dengan Mirai yang masih termenung melihat semangkok bakso di depan mata. Sedari tadi dia hanya mengaduk makanan tersebut, beberapa detik hingga hitungan menit, tak kunjung juga dia makan.
"Kenapa, Mirai? Makanannya nggak sesuai selera kamu? Anak orang kaya sepertimu pasti sulit menyesuaikan diri dengan makanan di sekolah ini, ya?" Alita berkomentar. Suaranya membuat Kagami dan Ruri ikut memandang Mirai.
Mirai mengeleng lemah. Bukan itu yang membuatnya belum kunjung memakan bakso di depan mata. Akan tetapi, ada alasan lain yang membuatnya ragu jika dituturkan.
"Lu nggak suka bakso?"
Tebakkan Ruri langsung mengenai sasaran. Memang benar, Mirai tidak menyukai bakso. Jika makanan itu ada di mangkoknya, maka selera makan Mirai akan mendadak hilang. Itulah yang membuatnya sedari tadi hanya mengaduk makanan tersebut tanpa berniat memakannya.
"Eh, seriusan?" Kagami terkejut mendengar pengakuan Mirai untuk tebakan Ruri, karena sejauh ini yang dia tahu anak perempuan paling gemar dengan bakso.
"Maaf. Aku merepotkan kalian. Sekali lagi aku minta maaf. Padahal aku sudah melibatkan kalian dengan Rera tadi, kini aku juga membuat kalian merasa tak enakan karena sebenarnya aku sejak awal terpaksa memilih makanan ini," jelas Mirai. Mukanya menunduk, menyembunyikan takut. Dia bisa membayangkan, hanya tinggal hitungan detik lagi pasti Ruri dan dua temannya yang lain akan memarahinya karena telah membuang-buang makanan.
Namun, respon yang didapatnya lagi dan lagi diluar prediksi. Siapa sangka pengakuannya barusan membuat Alita, Kagami bahkan Ruri sumringah. Mereka saling bertatapan, kemudian dipersekian detik itu juga mereka berebut mengambil bakso di mangkok Mirai. Ludes tak tersisa.
"Asyik! Dapat tiga bakso tambahan!" seru Ruri, meledek Alita dan Kagami yang kalah cepat dengannya.
Kagami nampak mengalah, sedangkan Alita yang tak terima akan kekalahannya melayangkan protes.
"Huuu! Seharunya biar Mirai yang bagi, biar adil. Iya, nggak, Mirai?"
Gadis berambut pendek itu perlahan mendongkak. Wajah ketiga temannya setelah mengambil bakso dari mangkoknya benar-benar berseri. Sesuatu yang tak pernah Mirai harapkan terjadi. Sekarang, setelah sekumpulan bakso itu menghilang, Mirai bisa menyantap mie yang tersisa.
"Terima kasih Ruri, Kagami dan Alita."
"Lu seharusnya sejak awal bilang saja jika tidak suka bakso. Di sini ada dinosaurus yang siap menjilat mangkok lu," cibir Ruri, melirik Alita. Gadis yang dia bicarakan mengerjap binggung. Mirai tersenyum meresonnya.
"Apa yang lu suka, katakan. Apa yang nggak lu suka, juga katakan. Lu berhak membela diri lu sendiri. Jangan manut-manut seperti kerbau dicocok hidungnya!"
Ruri memberi nasehat lagi. Kali ini bukan dengan tatapan tajam seperti sebelumnya, melainkan dengan senyuum lembut yang mana inilah senyuman pertama di wajah Ruri yang Mirai lihat. Hati gadis berambut pendek itu menghangat melihatnya. Secara pelan dia mulai merasa nyaman dengan teman barunya. Di dalam hati Mirai berujar lagi untuk yang kedua kali, apa mungkin dia benar-benar akan memiliki teman sekarang?
"Iya. Aku akan coba melakukannya," respon Mirai, mulai menyantap makanan.
***
Rera merapikan baju serta rambutnya yang sedikit berantakan di dalam toilet. Di depan wastafel, gadis dengan rambut panjang terurai itu masih saja mengentakkan kaki karena kesal setiap kali mengingat kejadian tadi.
"Awas lu, Ruri! Gue pasti bakal balas perbuatan lu hari ini! Kagami juga, ngapa nggak bela gue, sih!" rengeknya sendirian di dalam sana.
Ketiga temannya yang sengaja menunggu di luar pun turut mendengar gerutuan Rera dengan jelas.
"Kayaknya Rera kesel banget, nih."
Yuki, salah satu teman Rera bersuara, memecah keheningan di antara dua pengikut Rera yang lain.
"Wajarlah, gue juga kesel sama si Ruri!" jawab Ambar, bersandar di tembok.
"Ruri sok-sok-an. Mentang-mentang ayahnya pengacara, berlagu banget!"
Di dalam obrolan ringan bernada kesal itu, tiba-tiba saja mereka bertiga dikagetkan oleh kehadiran seorang murid laki-laki di sekitar toilet wanita.
"Apa yang terjadi? Kenapa Rera mengerutu kesal sedari tadi?" tanya laki-laki yang baru muncul, suaranya berat bernada datar. Tatapannya tajam memandang tiga gadis di depannya, mengintimidasi.
Sejak Rera mencak-mencak dengan raut masam menuju toilet, sejak itu juga siswa laki-laki yang barusan menampakkan dirinya di hadapan tiga teman Rera mengikutinya. Laki-laki tersebut bernama Tirta. Dia sekelas dengan Rera cs—kelas 2B. Tubuhnya tinggi, 170 cm. Badannya tegap, mirip seperti seorang polisi. Terlepas dari raut yang cukup tampan dia miliki, tiga teman Rera paham sekali maksud pertanyaan yang Tirta layangkan barusan.
Pemuda itu menyukai Rera sejak lama, walau sering diacuhkan Tirta tetap setia dengan cintanya kepada Rera. Rasa cinta yang pemuda itu miliki untuk Rera pun akhirnya dimanfaatkan oleh salah satu Rera cs, yaitu Ambar. Gadis itu menceritakan fakta sebaliknya kepada Tirta. Karangan cerita, bahwa Rera barusan dibuat kesal oleh pemuda kelas sebelah yang bernama Kagami.
Tanpa menunggu lama, usai mendapat penjelasan bohong itu, Tirta pun bergerak cepat menuju kelas 2A, tempat pemuda bernama Kagami berada.
Mereka seangkatan dan saling kenal nama. Walau tak pernah bertutur kata sebelumnya, tapi Tirta paham sekali sosok pemuda bernama Kagami ini adalah orang dengan wajah seperti apa. Karena hanya ada satu laki-laki yang memiliki bekas lebam di jidat, di SMA Hiro jaya, yaitu Kagami Oved.
***
Seusai dari kantin, membawa perut kenyang dengan hati yang telah tenang, Ruri dan teman-temanya kembali ke kelas. Terhitung, sisa waktu istirahat mereka tinggal sepuluh menit lagi. Maka dari itu, untuk menunggu bel pelajaran selanjutnya berbunyi, Ruri menyibukkan diri dengan membaca novel yang belum selesai dia baca sedari tadi.
Sedangkan Kagami di bangku seberang Ruri, sedang menyibukkan diri dengan mempelajari lagu beserta tangga nadanya yang tertulis di sebuah buku not lagu usang, yang dilihat dari tampilannya buku itu tak layak lagi dibawa ke mana-mana. Namun, Kagami menyukai buku tersebut. Entah apa alasannya, dia sendiri pun tidak tahu. Yang jelas, lagu-lagu tradisional yang tertulis di dalam sana, mengelitik rasa penasarannya untuk dipelajari lebih lanjut.
Beda halnya dengan Ruri dan Kagami. Alita malah keluyuran ke bangku Mirai. Di sana gadis ikat satu itu menceritakan banyak hal yang dia ketahui tentang sekolah ini kepada murid baru itu. Kurang lebihnya, pengetahuan yang Alita miliki mungkin bermanfaat untuk Mirai agar gadis tersebut bisa beradaptasi lebih cepat dengan sekolah barunya. Celoteh Alita pun disambut baik oleh Mirai, sedikit banyaknya dia terbantu oleh cerita random tersebut.
Di luar kelas. Di koridor yang penuh sesak oleh murid sekolah yang masih berkeliaran di sana, Tirta dengan tangan mengepal terus membelah kerumunan. Di dalam pikirannya saat ini hanya ada satu hal, yaitu meninju wajah Kagami, apa pun alasan pemuda itu nantinya, Tirta tak peduli, tangannya sudah sangat gatal ingin meninju bekas lebam di dahi Kagami.
Bagai banteng yang lepas kendali. Tirta langsung menyeruduk masuk ke dalam kelas Kagami. Tatapan kaget dari murid kelas itu yang mendapati kehadiran secara tiba-tiba darinya, diabaikan. Tirta langsung bergerak cepat ke arah Kagami yang saat ini tengah duduk di bangkunya. Di sana Tirta kemudian mendorong meja Kagami kuat-kuat, hingga pemuda yang tengah membaca buku usang itu terjepit di antara meja dan kursi. Tidak sampai di situ, setelah berhasil mengunci pergerakan Kagami, Tirta lekas menarik kerah baju laki-laki itu segenap emosinya.
"Lu apain Rera tadi, ha?" sergah Tirta.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 161 Episodes
Comments
Kruzery
Ada yang masih kangen sama aku, yaitu chapter selanjutnya. Update lah thor!
2023-08-02
1