Anak Genius: Memburu Ayah Konglomerat

Anak Genius: Memburu Ayah Konglomerat

Berharap Mimpi

Siluet bayangan tentang masa lalu terlintas di benaknya. Sudah dua minggu dirinya tidak pulang ke rumah. Angin menerpa anak rambutnya yang tidak terawat. Membawa tas baru dari pekerjaan serabutan yang diambilnya di luar kota, sebagai sales.

Dirinya ingin memeluk putranya, anak yang mandiri. Putranya memang aneh, dapat memasak dan mencuci piring di usia lima tahun, bahkan sudah dapat membaca dengan lancar, mengerjakan soal-soal matematika yang terbilang sulit. Wajah chubby dengan kulit putihnya, kata-kata dingin bagaikan orang dewasa. Dirinya merindukan putranya, Zeyan.

Resleting tas ransel putranya sudah jebol. Itulah yang diingatnya, berkutat dengan kemiskinan. Seorang anak yang dapat dikatakan genius kecil.

Sengaja akan menjemput langsung putranya di taman kanak-kanak. Wajah anak dengan senyuman manisnya itu terlihat. Seperti biasanya membawa gambar dengan arsiran pensil 2B hasil karyanya.

"Ini untuk ibu..." ucapnya memeluk sang ibu dengan wajah yang pucat. Tingginya hanya sepinggang Sesilia. Tubuh yang terlihat sehat, tapi tidak untuk hari ini setelah dua minggu dititipkannya pada tetangga.

Sisilia membuka buku gambar berukuran kecil. Bukan seperti gambar anak TK pada umumnya, benar-benar seperti lukisan menggunakan pensil arsir. Dirinya dan sang ibu, lukisan wajah yang benar-benar mirip dengan aslinya.

"Zeyan membuatnya sendiri?" tanya Sesilia pada putranya, tangannya gemetar anak secerdas ini adalah putranya. Tas ransel dengan banyak kancing pemberian anak tetangganya itu terlihat di punggung putranya.

Anak itu mengangguk, kemudian tersenyum.

"Zeyan g*mbel! Zeyan g*mbel!" Anak lain mengejek putranya, bahkan sedikit mendorongnya. Mungkin karena sepatu dan ransel anak itu yang merupakan sepatu bekas sudah koyak.

"Anak tidak berpendidikan!" Sesilia menarik tangan sang anak yang mendorong putranya.

"Ibu... tidak usah! Huk! Huk!" Suara batuk tiba-tiba terdengar dari mulut Zeyan. Gambar arsir dari pensil 2B yang tadinya ditunjukkan putranya terkena noda darah.

Darah benar-benar keluar dari batuk anak berusia lima tahun itu.

Bruk!

Tubuh kecil itu terjatuh tidak sadarkan diri."Zeyan! Bangun!" Sang ibu yang panik segera mengangkat tubuh putranya. Wanita yang belum sempat menunjukkan ransel baru yang dibelinya dari hasil bekerja serabutan di luar kota selama dua minggu.

Air matanya mengalir dalam kepanikan. Hanya Zeyan, putranya yang dimilikinya saat ini. Anak berusia lima tahun yang berfikir terlalu dewasa untuk anak seusianya.

*

"Leukimia?" Satu pertanyaan dari Sesilia kala mendengarkan keterangan dokter memastikan indra pendengarannya tidak salah. Tangannya benar-benar gemetar saat ini, anak sekecil itu harus menderita leukimia?

Matanya menatap ke arah putranya yang masih berada di atas ranjang rumah sakit. Anak yang telah sadarkan diri, bibirnya memutih, ikut mendengarkan apa yang dikatakan sang dokter.

Hanya senyuman yang terlihat di wajah putih pucat putranya."Ibu kenapa menangis? Dokter jangan berbuat jahat pada ibuku!" Ucap anak itu bagaikan ayam kecil yang ingin mematuk siapapun yang membuat ibunya menangis.

Bibir wanita itu bergetar menutup mulutnya sendiri. Begitu juga dengan sang dokter yang menitikan air matanya. Bagaimana bisa anak sekecil itu menderita penyakit mematikan? Anak itu bahkan belum paham apa itu leukimia.

Sang anak yang melompat dari ranjang, dengan selang infus yang masih terhubung pada tangannya. Memeluk sang ibu erat."Ibu jangan menangis. Apa ibu menangis karena lukisanku tidak bagus? Atau karena paman dokter menolak untuk menjadi ayahku?"

Pertanyaan yang sejatinya mengalihkan perhatian. Sang ibu sedikit tersenyum, menitikkan air matanya, berlutut di hadapan sang putra. Memeluk tubuh kecil itu erat.

Surga merupakan tempat bagi para malaikat kecil. Malaikat-malaikat manis yang dimiliki oleh Tuhan. Mereka cerdas dan berhati tulus seperti putranya. Apa Tuhan akan mengambilnya sebagai malaikat?

Tidak, dirinya serakah, biarlah dirinya serakah. Malaikat kecil ini adalah miliknya. Satu-satunya miliknya."Zeyan, dengar! Ibu akan menemanimu kemanapun kamu melangkah. Tidak akan pernah melepaskan tangan Zeyan...." Senyuman dipaksakan dari wanita itu, masih berurai airmata.

Hanya jemari tangan kecil yang menghapusnya."Mata ibu bocor, seperti atap rumah kita..."

Cup!

Satu ciuman dari malaikat kecilnya yang cerdas. Mengecup keningnya, tidak ada kata yang terucap. Hanya hati yang merasa begitu sakit.

Jemari tangan anak itu mengepal, sejatinya dirinya mengetahui apa itu leukimia. Tapi tidak rela meninggalkan Sesilia dengan cara seperti ini. Ingin tetap menjaga ibunya.

"Ibu...jika jalan kita berbeda. Ibu harus tetap tersenyum dan hidup dengan baik." Hanya itulah kalimat yang diucapkan oleh Zeyan. Mengetahui cepat atau lambat dirinya tidak akan ada di dunia ini lagi.

Zeyan hanya tersenyum memeluk ibunya. Sementara punggung wanita itu gemetar, menahan segalanya. Hanya isakan tangis yang terasa. Mata anak laki-laki dengan pipi chubby dan potongan rambut mangkok itu menatap ke arah jendela berembun. Tidak ada yang dapat menghapus jejak seorang anak di hati ibunya.

Tangan kecil yang mencengkeram punggung pakaian ibunya erat."Aku ingin hidup... untuk ibu ..." batinnya dengan setetes air mata yang mengalir.

*

Ini hari ketiga dirinya di rumah sakit. Menyelinap keluar adalah keahliannya. Kaki kecil pendek tanpa alas, berjalan menelusuri lorong. Membawa tongkat berisikan infusnya.

"Dek, kamu sedang apa disini?" tanya seorang perawat wanita.

"Aku? Aku sedang latihan bola." Jawaban acuh darinya. Tapi wajah tampan dan pipi chubbynya, menbuat sang suster tiba-tiba menarik kedua pipi Zeyan gemas.

"Jangan bohong! Kamu mau kemana?" tanya sang suster dengan wajah memerah, kembali menoel-noel pipi tembem sang anak.

"Aku jujur saja, aku ingin meretas jaringan komputer pasar gelap perdagangan sumsum tulang belakang kalau ada. Tapi untuk sementara waktu ini, meretas jaringan komputer rumah sakit ini dulu. Aku ingin bertahan hidup..." Kalimat darinya dengan bibir kecilnya yang cerewet nan manis.

Jujur saja sang suster dari tadi tidak konsentrasi mendengarkan kalimat dari sang anak. Hanya pipi chubbynya, wajah tampan, dan bibirnya yang komat-kamit cerewet hal yang diamatinya.

"Aku ingin memasukkan anak ini ke dalam karung dan membawanya pulang..." batin sang perawat masih tersenyum cerah, menahan rasa gemasnya. Bagaikan mendengarkan penuturan dari mata-mata pinguin yang berasal dari Madagaskar.

Astaga! Betapa manisnya anak ini.

"Jadi ada yang bisa aku bantu?" tanya sang suster, berfikir mungkin anak ini perlu bantuan menemukan orang tuanya. Atau tersesat mencari jalan ke ruang rawatnya.

"Ada, aku ingin mencari jalan menuju laboratorium." Ucap sang anak serius.

"Apa ibumu ada di laboratorium?" tanya sang perawat dijawab dengan anggukan oleh sang anak.

"Tapi cium pipiku. Maka akan aku antar!" Ucap sang perawat.

Sang anak mengenyitkan keningnya."Orang dewasa memang sebagian besar memuakkan," batinnya.

Cup!

Pada akhirnya ciuman didaratkannya menbuat sang perawat wanita menjerit. Kemudian kembali mencubit pipi Zeyan.

Pada akhirnya sang perawatlah yang mengantarkan anak ber-IQ tinggi itu menuju laboratorium rumah sakit.

*

Tangan Sesilia gemetar kala hasil tes keluar. Mungkin hanya kemoterapi harapan putranya untuk hidup. Sumsum tulang belakangnya sama sekali tidak cocok.

Menepuk-nepuk dadanya yang terasa benar-benar sesak. Apa benar Tuhan begitu mengasihi putranya hingga ingin mengambil tangan mungil itu dari sisinya.

Malaikat yang dikirimkan Tuhan padanya, akan diambil kembali. Kemoterapi? Berapa besar kemungkinan anak berusia lima tahun akan selamat dari penyakit mematikan?

"Seharusnya aku mencintainya lebih banyak lagi, menghabiskan waktu bersamanya. Memberikan ransel baru lebih awal. Agar tidak ada yang mencemoohnya." Bibirnya gemetar, kakinya lemas. Hingga hanya dapat terduduk di lantai.

"Ayah kandung anak ini, dapat melakukan pemeriksaan juga. Memang kecil kemungkinannya. Tapi ada harapan sumsum tulang belakang mereka akan cocok." Kalimat yang diucapkan sang dokter memberi harapan selain kemoterapi yang akan tetap dilakukan.

Sesilia hanya tertunduk, tidak dapat menemui ayah Zeyan. Yang bahkan identitasnya tidak diketahuinya.

"Apa itu ibumu?" tanya sang perawat.

"Kak Suster! Perlu berapa orang dokter untuk mengoperasi paksa seorang pria dewasa agar menyerahkan sum-sum tulang belakangnya?" tanya Zeyan menatap ibunya dari jauh. Mulut kecil itu mengucapkan kata-kata layaknya seorang psikopat. Tapi tetap saja sang perawat menggendong dan mencubit pipinya gemas.

Terpopuler

Comments

Sulaiman Efendy

Sulaiman Efendy

SEMOGA GK BNYK BAWANG MERAH, MSKI TAMPANG PREMAN, MNTAN NAPI SLAMA 3 TH KRN BUAT ORG LUMPUH SEUMUR HIDUP, KOMA 1 BULAN DN HAMPIR MATI, TTPI HATIKU TTP SLEMBUT HELLO KITTY...😢😢😢😢😢

2024-01-28

0

𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕💕

𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕💕

awal yg menarik 👍👍👍

2023-12-03

1

sssstttttttttt!!!!!!!!!!!!!!!!

sssstttttttttt!!!!!!!!!!!!!!!!

skipper ya thor 😁😁😉😉

2023-11-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!