Siluet bayangan tentang masa lalu terlintas di benaknya. Sudah dua minggu dirinya tidak pulang ke rumah. Angin menerpa anak rambutnya yang tidak terawat. Membawa tas baru dari pekerjaan serabutan yang diambilnya di luar kota, sebagai sales.
Dirinya ingin memeluk putranya, anak yang mandiri. Putranya memang aneh, dapat memasak dan mencuci piring di usia lima tahun, bahkan sudah dapat membaca dengan lancar, mengerjakan soal-soal matematika yang terbilang sulit. Wajah chubby dengan kulit putihnya, kata-kata dingin bagaikan orang dewasa. Dirinya merindukan putranya, Zeyan.
Resleting tas ransel putranya sudah jebol. Itulah yang diingatnya, berkutat dengan kemiskinan. Seorang anak yang dapat dikatakan genius kecil.
Sengaja akan menjemput langsung putranya di taman kanak-kanak. Wajah anak dengan senyuman manisnya itu terlihat. Seperti biasanya membawa gambar dengan arsiran pensil 2B hasil karyanya.
"Ini untuk ibu..." ucapnya memeluk sang ibu dengan wajah yang pucat. Tingginya hanya sepinggang Sesilia. Tubuh yang terlihat sehat, tapi tidak untuk hari ini setelah dua minggu dititipkannya pada tetangga.
Sisilia membuka buku gambar berukuran kecil. Bukan seperti gambar anak TK pada umumnya, benar-benar seperti lukisan menggunakan pensil arsir. Dirinya dan sang ibu, lukisan wajah yang benar-benar mirip dengan aslinya.
"Zeyan membuatnya sendiri?" tanya Sesilia pada putranya, tangannya gemetar anak secerdas ini adalah putranya. Tas ransel dengan banyak kancing pemberian anak tetangganya itu terlihat di punggung putranya.
Anak itu mengangguk, kemudian tersenyum.
"Zeyan g*mbel! Zeyan g*mbel!" Anak lain mengejek putranya, bahkan sedikit mendorongnya. Mungkin karena sepatu dan ransel anak itu yang merupakan sepatu bekas sudah koyak.
"Anak tidak berpendidikan!" Sesilia menarik tangan sang anak yang mendorong putranya.
"Ibu... tidak usah! Huk! Huk!" Suara batuk tiba-tiba terdengar dari mulut Zeyan. Gambar arsir dari pensil 2B yang tadinya ditunjukkan putranya terkena noda darah.
Darah benar-benar keluar dari batuk anak berusia lima tahun itu.
Bruk!
Tubuh kecil itu terjatuh tidak sadarkan diri."Zeyan! Bangun!" Sang ibu yang panik segera mengangkat tubuh putranya. Wanita yang belum sempat menunjukkan ransel baru yang dibelinya dari hasil bekerja serabutan di luar kota selama dua minggu.
Air matanya mengalir dalam kepanikan. Hanya Zeyan, putranya yang dimilikinya saat ini. Anak berusia lima tahun yang berfikir terlalu dewasa untuk anak seusianya.
*
"Leukimia?" Satu pertanyaan dari Sesilia kala mendengarkan keterangan dokter memastikan indra pendengarannya tidak salah. Tangannya benar-benar gemetar saat ini, anak sekecil itu harus menderita leukimia?
Matanya menatap ke arah putranya yang masih berada di atas ranjang rumah sakit. Anak yang telah sadarkan diri, bibirnya memutih, ikut mendengarkan apa yang dikatakan sang dokter.
Hanya senyuman yang terlihat di wajah putih pucat putranya."Ibu kenapa menangis? Dokter jangan berbuat jahat pada ibuku!" Ucap anak itu bagaikan ayam kecil yang ingin mematuk siapapun yang membuat ibunya menangis.
Bibir wanita itu bergetar menutup mulutnya sendiri. Begitu juga dengan sang dokter yang menitikan air matanya. Bagaimana bisa anak sekecil itu menderita penyakit mematikan? Anak itu bahkan belum paham apa itu leukimia.
Sang anak yang melompat dari ranjang, dengan selang infus yang masih terhubung pada tangannya. Memeluk sang ibu erat."Ibu jangan menangis. Apa ibu menangis karena lukisanku tidak bagus? Atau karena paman dokter menolak untuk menjadi ayahku?"
Pertanyaan yang sejatinya mengalihkan perhatian. Sang ibu sedikit tersenyum, menitikkan air matanya, berlutut di hadapan sang putra. Memeluk tubuh kecil itu erat.
Surga merupakan tempat bagi para malaikat kecil. Malaikat-malaikat manis yang dimiliki oleh Tuhan. Mereka cerdas dan berhati tulus seperti putranya. Apa Tuhan akan mengambilnya sebagai malaikat?
Tidak, dirinya serakah, biarlah dirinya serakah. Malaikat kecil ini adalah miliknya. Satu-satunya miliknya."Zeyan, dengar! Ibu akan menemanimu kemanapun kamu melangkah. Tidak akan pernah melepaskan tangan Zeyan...." Senyuman dipaksakan dari wanita itu, masih berurai airmata.
Hanya jemari tangan kecil yang menghapusnya."Mata ibu bocor, seperti atap rumah kita..."
Cup!
Satu ciuman dari malaikat kecilnya yang cerdas. Mengecup keningnya, tidak ada kata yang terucap. Hanya hati yang merasa begitu sakit.
Jemari tangan anak itu mengepal, sejatinya dirinya mengetahui apa itu leukimia. Tapi tidak rela meninggalkan Sesilia dengan cara seperti ini. Ingin tetap menjaga ibunya.
"Ibu...jika jalan kita berbeda. Ibu harus tetap tersenyum dan hidup dengan baik." Hanya itulah kalimat yang diucapkan oleh Zeyan. Mengetahui cepat atau lambat dirinya tidak akan ada di dunia ini lagi.
Zeyan hanya tersenyum memeluk ibunya. Sementara punggung wanita itu gemetar, menahan segalanya. Hanya isakan tangis yang terasa. Mata anak laki-laki dengan pipi chubby dan potongan rambut mangkok itu menatap ke arah jendela berembun. Tidak ada yang dapat menghapus jejak seorang anak di hati ibunya.
Tangan kecil yang mencengkeram punggung pakaian ibunya erat."Aku ingin hidup... untuk ibu ..." batinnya dengan setetes air mata yang mengalir.
*
Ini hari ketiga dirinya di rumah sakit. Menyelinap keluar adalah keahliannya. Kaki kecil pendek tanpa alas, berjalan menelusuri lorong. Membawa tongkat berisikan infusnya.
"Dek, kamu sedang apa disini?" tanya seorang perawat wanita.
"Aku? Aku sedang latihan bola." Jawaban acuh darinya. Tapi wajah tampan dan pipi chubbynya, menbuat sang suster tiba-tiba menarik kedua pipi Zeyan gemas.
"Jangan bohong! Kamu mau kemana?" tanya sang suster dengan wajah memerah, kembali menoel-noel pipi tembem sang anak.
"Aku jujur saja, aku ingin meretas jaringan komputer pasar gelap perdagangan sumsum tulang belakang kalau ada. Tapi untuk sementara waktu ini, meretas jaringan komputer rumah sakit ini dulu. Aku ingin bertahan hidup..." Kalimat darinya dengan bibir kecilnya yang cerewet nan manis.
Jujur saja sang suster dari tadi tidak konsentrasi mendengarkan kalimat dari sang anak. Hanya pipi chubbynya, wajah tampan, dan bibirnya yang komat-kamit cerewet hal yang diamatinya.
"Aku ingin memasukkan anak ini ke dalam karung dan membawanya pulang..." batin sang perawat masih tersenyum cerah, menahan rasa gemasnya. Bagaikan mendengarkan penuturan dari mata-mata pinguin yang berasal dari Madagaskar.
Astaga! Betapa manisnya anak ini.
"Jadi ada yang bisa aku bantu?" tanya sang suster, berfikir mungkin anak ini perlu bantuan menemukan orang tuanya. Atau tersesat mencari jalan ke ruang rawatnya.
"Ada, aku ingin mencari jalan menuju laboratorium." Ucap sang anak serius.
"Apa ibumu ada di laboratorium?" tanya sang perawat dijawab dengan anggukan oleh sang anak.
"Tapi cium pipiku. Maka akan aku antar!" Ucap sang perawat.
Sang anak mengenyitkan keningnya."Orang dewasa memang sebagian besar memuakkan," batinnya.
Cup!
Pada akhirnya ciuman didaratkannya menbuat sang perawat wanita menjerit. Kemudian kembali mencubit pipi Zeyan.
Pada akhirnya sang perawatlah yang mengantarkan anak ber-IQ tinggi itu menuju laboratorium rumah sakit.
*
Tangan Sesilia gemetar kala hasil tes keluar. Mungkin hanya kemoterapi harapan putranya untuk hidup. Sumsum tulang belakangnya sama sekali tidak cocok.
Menepuk-nepuk dadanya yang terasa benar-benar sesak. Apa benar Tuhan begitu mengasihi putranya hingga ingin mengambil tangan mungil itu dari sisinya.
Malaikat yang dikirimkan Tuhan padanya, akan diambil kembali. Kemoterapi? Berapa besar kemungkinan anak berusia lima tahun akan selamat dari penyakit mematikan?
"Seharusnya aku mencintainya lebih banyak lagi, menghabiskan waktu bersamanya. Memberikan ransel baru lebih awal. Agar tidak ada yang mencemoohnya." Bibirnya gemetar, kakinya lemas. Hingga hanya dapat terduduk di lantai.
"Ayah kandung anak ini, dapat melakukan pemeriksaan juga. Memang kecil kemungkinannya. Tapi ada harapan sumsum tulang belakang mereka akan cocok." Kalimat yang diucapkan sang dokter memberi harapan selain kemoterapi yang akan tetap dilakukan.
Sesilia hanya tertunduk, tidak dapat menemui ayah Zeyan. Yang bahkan identitasnya tidak diketahuinya.
"Apa itu ibumu?" tanya sang perawat.
"Kak Suster! Perlu berapa orang dokter untuk mengoperasi paksa seorang pria dewasa agar menyerahkan sum-sum tulang belakangnya?" tanya Zeyan menatap ibunya dari jauh. Mulut kecil itu mengucapkan kata-kata layaknya seorang psikopat. Tapi tetap saja sang perawat menggendong dan mencubit pipinya gemas.
...Kasih ibu bagaikan sayap kupu-kupu...
...Berusaha kuat kala sayap rapuh itu melawan badai, melawan kematian terbang berhati-hati....
...Kasih ibu bagaikan sayap kupu-kupu....
...Kala sayap itu mengepak, itulah kesabaran untuk membesarkan anaknya. Tidak peduli setiap lembaran sayapnya terkoyak. Tapi dirinya harus tetap terbang untuk bertahan....
...Kasih ibu bagaikan sayap kupu-kupu...
...Aku melihat sayap itu robek, jatuh ke dalam air. Mati tidak berdaya. Namun, dalam hatinya ada kebanggaan, telah mengerahkan jiwanya terbang menyapu angin... hanya untuk dapat bertelur, memastikan anaknya tumbuh dan memakan daun terbaik......
...Kasih ibu bagaikan sayap kupu-kupu......
...Karena terlalu hangat, untuk tidak dirindukan......
Zeyan.
Jemari tangan kecilnya gemetar harapan hidup satu-satunya hanya sang ayah yang tidak bersedia bertanggung jawab. Otak kecil dari wajah rupawan, manis itu mulai berfikir. Dirinya harus membuat ayahnya tidak sadarkan diri, kemudian mengambil sum-sum tulang belakangnya.
Anak yang licik? Itulah dirinya. Namun, wajahnya menegang kala melihat Sesilia menghapus air matanya, menyadari keberadaan Zeyan.
Bertingkah manis? Itulah yang dilakukan olehnya sebagai anak yang benar-benar normal. Lebih tepatnya iblis berwajah malaikat dengan jemari tangan dan kaki kecilnya yang berkulit putih tipis nan lembut.
"Ibu!" Ucapnya tersenyum, masih membawa tongkat besi dengan infus yang tergantung.
Sesilia menghapus air matanya, dirinya berusaha tegar sebisa mungkin. Dirinya tidak mengetahui siapa sebenarnya pria yang menghamilinya. Benar-benar tidak mengetahui, enam tahun lalu dirinya masih mengalami kebutaan akibat kecelakaan.
Kala itulah ada seorang pria yang melecehkannya. Almarhum kakaknya Triton yang menjaganya. Seorang detektif swasta yang genius, tapi sayangnya Triton meninggal saat menjalankan misi, kala dirinya melahirkan Zeyan. Triton, sang kakak yang sudah meninggal lah, pada akhirnya menjadi donor kornea baginya.
Kini dirinya benar-benar sendiri dengan Zeyan, mengapa Tuhan begitu tidak berwelas asih padanya? Setelah kakaknya Triton, satu-satunya anggota keluarganya yang masih hidup meninggal. Kini putranya akan menyusul.
Tidak ada harapan, dirinya menyadari itu. Apa tubuh kecil putranya akan bertahan dengan proses kemoterapi yang begitu menyakitkan? Jikapun bertahan, apa ada kemungkinan sembuh? Atau mungkin tubuh putranya hanya akan semakin lemah.
Sesilia berjalan menghampiri putranya."Kamu ingin makan sesuatu!? Biar ibu belikan ya?" Ucap Sisilia antusias. Jika difikir-fikir untuk membeli susu UHT kemasan kecil dengan harga 3000 rupiah di warung saja, terkadang dirinya enggan dan berfikir untuk lebih baik membeli sepapan tempe. Tapi kini tidak, hidup putranya terlalu singkat, putranya berhak tersenyum bahagia.
Jemari kecil itu bergerak kemudian, wajahnya tersenyum, membelai pipi ibunya."Aku ingin pepaya. Kita bisa memotongnya dan makan bersama." Kalimat dari mulut kecil putranya, membuat sang ibu semakin terisak.
"Tidak mau susu, kue atau mainan?" tanya sang ibu lagi.
Zeyan menggeleng."Aku ingin pepaya dari rumah pak Subroto (tetangga Sesilia). Nanti bisa disimpan untuk beberapa hari, pak Subroto sudah berjanji akan memberikan pepayanya kalau aku bisa membantu anaknya mengerjakan tugas kuliah." Ucap Zeyan serius.
Tapi tidak dengan Sesilia, anak pak Subroto seorang mahasiswa jurusan hukum. Tidak mungkin Zeyan membantunya mengerjakan tugas kuliah bukan? Hanya menghela napasnya. Menyiapkan uang 20.000, mungkin pak Subroto akan bersedia menjual pepaya untuknya.
"Iya! Tapi kamu tidak apa-apa ibu tinggal sendiri?" tanya sang ibu dijawab dengan anggukan oleh Zeyan. Anak berwajah pucat, dengan rupa yang benar-benar manis itu hanya tersenyum.
"Ibu tidak ada wanita yang bisa menolak pesonaku, ada banyak wanita yang menjagaku," ucapnya.
Entah kenapa Sesilia merasa terhibur. Kata-kata narsis yang biasa diucapkan almarhum kakaknya Triton, sang kakak yang berumur pendek. Mungkin sifat yang ditularkan pada keponakannya.
"Ibu pergi, nanti kalau infusnya habis..." Kalimat sang ibu disela.
"Jika makanannya datang, aku akan habiskan. Jika Infusnya habis, tinggal katakan pada suster yang ada di ujung lorong." Ucap sang anak mandiri itu sungguh-sungguh.
"Pintar!" Sesilia tersenyum, mengecup kening putranya. Sebuah keberuntungan baginya mendapatkan putra semandiri dan secerdas ini.
Tapi apa benar? Wajah anak itu diam-diam tersenyum bagaikan iblis dalam pelukan ibunya. Sama sekali tidak disandari oleh Sesilia.
*
Dan benar saja, waktu sudah diukur oleh Zeyan semenjak kepergian ibunya. Setidaknya diperlukan waktu sekitar tiga jam untuk ibunya kembali. Segala rencana disusunnya.
Berpura-pura tertidur hal yang pertama dilakukannya. Wajah imut dengan pipi putih chubby itu terlihat menggemaskan dengan matanya yang tertutup. Sang suster segera meninggalkannya, hanya menatap kagum pada anak laki-laki yang tertidur bagaikan malaikat.
Kala itulah anak itu bangkit, tersenyum layaknya iblis kecil yang lucu.
Srash!
Jarum infus dicabutnya paksa. Menyiapkan alkohol, perban dan kapas untuk membalut kembali lukanya, hal yang didapatkannya setelah mencuri beberapa benda stok rumah sakit. Tujuannya? Tentu saja untuk menemukan ayah br*ngseknya. Tangan kecil itu cekatan membalut luka di pergelangan tangannya. Mengganti baju pasien yang dikenakannya.
Memakai ransel dan topi, anak yang keren, benar-benar keren. Jika dia orang dewasa mungkin akan membuat para wanita tergila-gila. Tapi walaupun anak-anak wajahnya saja dapat membuat wanita dewasa tergila-gila saking manis dan imutnya.
Mengendap-endap bagaikan tokoh mata-mata pinguin di film tentang pinguin yang tinggal di Madagaskar. Anak manis dengan wajah serius, berjalan mengenakan topi menelusuri lorong.
Kini saatnya mencari warnet terdekat. Untuk apa? Tentu saja untuk meretas jaringan komputer perusahaan milik ayah kandungnya. Anak yang bagaikan seorang detektif, sudah mengetahui siapa sebenarnya ayah kandungnya.
Cukup mudah untuknya menemukan ayahnya dengan IQ-nya yang dipastikan di atas 190. Anak yang tersenyum menyeringai, menghela napas kasar, mendekati seorang petugas kepolisian yang berada di sekitar area rumah sakit.
"Pak! Saya tersesat..." ucapnya menangis dengan akting yang mempuni. Entah makan apa anak ini, mungkinkah anak ini tidak sengaja menelan piala Oscar hingga dapat berakting sesempurna ini.
"Tersesat? Orang tuamu siapa dan dimana?" tanya sang petugas kepolisian iba, pada anak yang mengeluarkan aura semanis permen ini.
"Tidak ingat, tapi ayah menitipkan saya pada kakak penjaga warnet. Warnetnya dekat sini, saya lupa jalannya..." teriaknya menangis semakin kencang.
Pada akhirnya petugas kepolisian itu menggendongnya."Biar bapak antar ya? Jangan menangis...." Ucap sang petugas kepolisian tidak tega.
Sedangkan senyuman menyeringai di wajah sang anak dalam gendongan petugas kepolisian."Tumpangan gratis," batinnya yang tentunya tidak ingin berjalan kaki.
*
Benar-benar anak berusia lima tahun, bahkan dirinya kesulitan untuk naik ke kursi warnet."Kak! Bantu aku naik!" ucapnya pada penjaga warnet, yang dari tadi mengambil gambar anak manis itu. Mungkin akan menjadi video lucu viral dimana seorang anak dengan kelucuan tingkat tinggi kesulitan menaiki kursi.
Namun diluar dugaan, setelah dibantu untuk naik ke kursi. Tangan anak berwajah pucat itu bergerak dengan cepat. Earphone terpasang di telinganya. Layar komputer warnet memperlihatkan beberapa hal yang aneh. Gila! Anak ini seorang hacker.
Senyuman mengembang di wajahnya, data informasi lengkap tentang ayah kandung dan perusahaan milik ayahnya terlihat. Senyuman yang benar-benar dingin. Seorang anak yang ingin hidup bahagia dengan ibunya. Akan melakukan apapun, untuk bertahan, bahkan jika harus mencuri sumsum tulang belakang ayahnya. Anak manis, cerdas yang bar-bar dan sadis bukan?
"Ada virus yang masuk! Seluruh jaringan komputer kita lumpuh!" Ucap salah seorang ahli IT, memakai earphone. Jemari tangannya bergerak cepat, benar-benar cepat.
Ketegangan yang benar-benar terjadi. Banyak data perusahaan yang dapat diakses oleh sang hacker. Tapi apa tujuan hacker ini?
Benar-benar panik, tidak ada yang tidak panik. Seluruh tim IT dikerahkan, termasuk menghubungi tim IT bayaran. Sungguh tindakan gila, sudah satu jam berlangsung namun keadaan tidak dapat diatasi belasan orang dewasa dengan pendidikan dan pengalaman puluhan tahun.
Lumpuh, itulah kondisi seluruh jaringan komputer di perusahaan ini. Tidak ada karyawan yang dapat bekerja. Data diakses, oleh sang hacker profesional.
Seperti apa wujud sang hacker? Semua orang penasaran, tapi dapat mereka bayangkan. Mungkin yang mereka hadapi adalah tim hacker yang menggunakan teknologi canggih.
Tidak menyadari hanya jari kecil dengan komputer warnet yang lemot mereka hadapi. Suara game terdengar, setengah komputer warnet mengalami kelambanan akses. Karena siapa? Tentu saja karena Zeyan yang memerlukan kecepatan akses yang tinggi.
"Nak sudah satu jam." Ucap sang penjaga warnet. Tapi tangan kecil Zeyan memberikan beberapa lembar uang lima ribuan lagi.
"Sebentar lagi, Zeyan sedang bermain game." Kalimat yang terucap dari sang pemilik pipi tembem super manis.
"Nak, sepertinya kamu salah tekan. Biar aku keluarkan ya?" Ucap sang penjaga warnet menatap layar monitor, tidak mengerti dengan apa yang dilakukan sang anak.
"Tidak! Tidak boleh! Ini game!" dusta Zeyan, memeluk monitor komputer erat.
Sang penjaga warnet hanya dapat menghela napasnya sembari menahan tawa. Pria yang kembali duduk di kursinya bermain mobile legend tidak mempedulikan apa yang dilakukan sang anak.
*
Bip!
'Internal server eror!'
Seluruh komputer terdapat tulisan yang sama.
Seorang pria berjalan menelusuri lobby melihat karyawan-karyawannya ada dalam kepanikan. Memberi salam padanya terburu-buru, suara mesin printer terdengar tanpa henti. Mencetak dokumen melalui komputer yang masih berfungsi. Walaupun tidak banyak, harus ada copy salinan data.
Ini gila, benar-benar sebuah kegilaan. Pria yang cukup tinggi, bentuk tubuh proporsional, memiliki wajah rupawan tanpa senyuman itu berjalan. Pemilik sekaligus CEO perusahaan ini, Fabian, itulah namanya. Seorang pemuda berusia 28 tahun.
Memakai setelan jas hitam yang terkesan modern, beberapa karyawan yang berpapasan dengannya menunduk memberi hormat.
"Tuan..." Seseorang membukakan pintu untuknya. Sekretarisnya, seorang pria berusia 50 tahun, Cakra itulah namanya.
"Apa yang terjadi!?" satu pertanyaan keluar dari mulut Fabian pada salah seorang ahli IT bayaran.
"Bos! Keamanan perusahaan kita dibobol seseorang!" Jawaban dari sang ahli IT.
"Kalian ada belasan orang! Kenapa hanya mengatasi seorang hacker saja tidak bisa!?" Satu pertanyaan dingin tanpa ekspresi dari Fabian.
Benar-benar kesal rasanya melihat sampah-sampah ini. Data perusahaan senilai puluhan miliar bisa saja diakses bebas oleh sang hacker saat ini.
Tapi apa tujuannya? Itulah yang ada dalam fikiran Fabian saat ini. Apa mafia? Mungkin perusahaan musuh? Bukan satu orang, mungkin satu tim IT lainnya yang membuat orang-orang profesional kelabakan seperti ini.
"M*mpus! Dia mengirimkan virus lagi!" Salah seorang ahli IT berteriak kesal, menjambak rambutnya frustasi, tangan pria itu kembali bergerak cepat.
CEO perusahaan besar, itulah dirinya. Tidak pernah menghadapi situasi mengerikan seperti ini.
"Cakra! Selidiki perusahaan dan jaringan mafia yang memiliki teknologi dan sumber daya manusia dalam bidang IT yang melebihi kita." Ucap Fabian memijit pelipisnya sendiri.
Satu virus berhasil diatasi, maka dua virus lainnya akan dikirimkan. Ini bukan orang sembarangan, yang dihadapi olehnya mungkin saja dapat menghancurkan perusahaannya dalam beberapa jam. Jika data perusahaannya dikirimkan pada perusahaan pesaing.
*
Huk! Huk!
Wajah pucat Zeyan terlihat, menutup mulut dan hidungnya sendiri. Tapi tetap saja darah itu mengalir dari tangan kecilnya. Sang anak yang memasukkan flashdisk pada CPU. Mengirimkan virus yang lebih sulit diatasi. Kemudian pergi ke kamar mandi. Guna mengganti bajunya yang telah berlumuran darah.
Beberapa menit kemudian sang anak keluar menggunakan pakaian taman kanak-kanak. Senyuman terlihat di wajahnya menatap ke arah monitor komputer warnet. Mereka belum bisa mengatasinya, bahkan mengalahkan seorang anak yang tengah sakit parah saja mereka tidak mampu.
Anak yang memang berniat berbicara baik-baik dengan ayah kandungnya. Ada cara tersendiri sang anak dapat mengetahui dan menyelidiki siapa ayah kandungnya. Padahal ibunya sendiri tidak mengetahui wajah orang yang melecehkannya sekitar 6 tahun lalu. Tapi itu adalah rahasia dari anak dengan IQ tinggi ini.
"Kak bantu aku naik!" Ucap Zeyan masih berusaha naik ke atas kursi plastik warnet yang tinggi.
Bukannya membantu, sang penjaga warnet malah merekam bagaimana sang anak kembali kesulitan untuk naik. Mungkin akan dibuatnya viral sebagai anak imut yang kesulitan naik tapi bisa turun sendiri.
"Iya! Kakak bantu, tapi cium dulu!" Penjaga warnet menyodorkan pipinya.
Kesal? Itulah perasaan Zeyan saat ini."Aku memang tampan dan manis, tapi bukan jeruk makan jeruk," batinnya tapi menurut, dengan wajah cemberut yang manis bagaikan Donal duck.
Seperti yang dibayangkan sang penjaga warnet yang sejatinya memiliki anak seumuran Zeyan. Sedikit mencubit pipi Zeyan, barulah membantu sang anak baik ke atas kursi.
Anak berpakaian taman kanak-kanak, mengetik dengan cepat menulis pesan yang akan dikirimkannya ke kantor perusahaan milik sang ayah.
'Ayah br*ngsek! Aku akan mengambil sumsum tulang belakang milikmu!' Itulah pesan yang dikirimkan oleh jari kecil anak itu, anak berusia lima tahun yang tersenyum menyeringai dengan kulit putih pucat.
*
Kala kepanikan terjadi gerakan tangan beberapa ahli IT terhenti. Virus yang dikirimkan hacker terhenti, jaringan komputer kembali seperti semula. Tapi E-mail terkirim dalam semua komputer di tempat ini.
'Ayah br*ngsek! Aku akan mengambil sumsum tulang belakang milikmu!'
Pesan yang terlihat dalam semua layar membuat semua orang tertegun. Termasuk pemilik perusahaan, seorang pria yang menelan ludahnya sendiri.
"Tuan?" Ucap Cakra padanya.
"Apa ayahku memiliki anak lain?" tanya Fabian pada Cakra.
"Tidak, anda anak tunggal. Ayah anda saya pastikan tidak pernah berselingkuh." Itulah jawaban dari Cakra, menunduk menuangkan teh pada tuannya."Apa anda memiliki anak?" lanjutnya.
"A...aku? Anak?" Fabian menelan ludahnya. CEO cerdas dalam dunia bisnis itu mencoba mengingat segalanya. Dirinya hanya pernah tidur dengan satu wanita, enam tahun lalu. Seorang wanita buta yang bekerja di toko bunga. Wanita yang memberinya tempat berteduh.
"Tidak tahu..." jawaban darinya penuh rasa bersalah. Apa dirinya memiliki anak? Jikapun ada, bukankah anak itu baru berusia sekitar lima tahun?
Tidak mungkin dapat menjadi hacker. Sesuatu yang mustahil, selain itu selama enam tahun ini dirinya memang dibayangi rasa bersalah. Tidak dapat melupakan wanita buta yang ditidurinya. Atau lebih tepatnya merindukannya? Ketakutan karena tidak berani bertanggung jawab saat itu. Meninggalkan sang wanita buta dengan tubuh dipenuhi bekas kebrutalannya. Hanya menghapus bekas air mata dan mengecup keningnya.
"Sial!" gumamnya mengingat masa lalunya.
Sementara di tempat lain, Zeyan turun dari kursi. Setelah menghilangkan semua jejak. Wajahnya tersenyum, berjalan pergi sambil bernyanyi lagu pelangi-pelangi dan balonku. Sesekali melompat-lompat senang seperti anak sebayanya. Sekarang tinggal menjadi anak yang baik, kembali ke rumah sakit memakan buah pepaya yang dibawakan ibunya.
*
Sesilia, seseorang wanita yang ada dalam ingatan Fabian kini tengah berada dalam kepanikan, mencari keberadaan Zeyan. Putra tunggalnya, hingga anak itu terlihat memakai seragam taman kanak-kanak memasuki lobby rumah sakit.
"Ibu!" teriaknya memeluk Sesilia. Sang ibu yang menangis memeluk putranya, ada rasa takut. Tidak ingin kehilangan malaikat manis yang dititipkan Tuhan padanya.
"Ibu, besok aku ingin sarang madu..." Pinta sang anak dengan mata berkaca-kaca. Sesuatu yang akan membuat ibunya pergi ke luar kota, mungkin memerlukan waktu setengah hari untuk kembali.
"Ta...tapi..." Sang ibu terlihat ragu.
"Ibu tidak mau mengabulkan keinginanku?" tanya Zeyan lagi, sedikit merungut.
Pada akhirnya wanita itu mengangguk, berusaha tersenyum. Kebahagiaan anaknya adalah prioritasnya saat ini."Tapi Zeyan kemana saja?"
"Memberi pelajaran pada harimau..." Candaan Zeyan.
"Lain kali jangan membuatku ibu cemas ya?" pinta sang ibu, dijawab dengan anggukan oleh sang anak.
*
Tapi apa benar? Matahari telah terbit. Kala sang ibu tengah mencari pinjaman untuk membelikannya sarang madu di luar kota, anak itu mendatangi perusahaan ayahnya diantar oleh mobil polisi.
Trik yang sama, anak berusia lima tahun berpura-pura tersesat. Tapi apa yang dilakukannya di gedung ini? Tentu saja mencari cara untuk mencuri sum-sum tulang belakang ayahnya. Anak bar-bar yang ingin hidup untuk melindungi ibunya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!