Butterfly In You
Di malam hari tepatnya pukul 21.00 WITA, terdengar suara halus tengah menceritakan sebuah dongeng di salah satu kamar rumah milik investor asing--Shehan Murad.
"Akhirnya Pangeran dan Putri Salju hidup bahagia selamanya," tutur Lilis dengan intonasi yang lembut. Ia duduk di tepian ranjang seraya bersandar di kepala tempat tidur.
Ketika menoleh ke samping bawah, Lilis mendapati anak majikannya--Nurbanu, sudah tertidur pulas. Seketika senyum tipis Lilis mengembang, menambah aura manis di wajahnya yang bening.
Lantas Lilis bangkit, menarik selimut untuk menutupi tubuh mungil balita perempuan itu sampai ke batas dada. Tak lupa ia mematikan lampu utama kamar dan hanya membiarkan lampu tidur di atas nakas saja yang menyala.
Lilis berjalan sedikit berjingkat menuju pintu, takut kalau suara langkahnya bisa membangunkan anak majikannya. Ia juga membuka dan menutup pintu dengan hati-hati, agar tidak menimbulkan bunyi yang mengganggu.
"Aakh ...."
Sekonyong-konyong Lilis berdecak kaget. Dipegangnya dada. Betapa terperangah gadis itu tatkala menemukan majikannya--Shehan Murad, sudah berdiri tepat di belakangnya.
"Tu--an Murad ... maaf, aku tidak tahu kalau Tuan ada di sini," ujar Lilis sembari menurunkan tangan dari dada lalu menekuk sedikit wajahnya. Gadis polos itu bersikap rendah diri di hadapan sang majikan.
"Apa Nurbanu sudah tidur?" Suara bass lelaki itu mengudara.
"Iya sudah, Tuan." Lilis mengangguk singkat.
"Lilis, ayo, ikut aku! Ada hal penting yang ingin kubicarakan denganmu."
Shehan memandang serius baby sitter--anaknya. Tatapan tegas pria itu sontak membuat Lilis ikut berekspresi serius juga. Apalagi Shehan mengatakan ada sesuatu yang ingin dia katakan. Kedua alis Lilis serta-merta mengernyit penasaran.
'Hal penting? Apa cara kerjaku ada yang salah? Jadi Tuan Murad mau memecatku?' batin Lilis sudah takut duluan.
"Kalau boleh tahu, hal penting apa itu, Tuan?"
"Mari kita bicara di ruang tengah saja."
"Baik, Tuan."
Shehan berjalan lebih dulu, diiringi Lilis yang mengikuti di belakangnya. Setibanya di ruang tengah, Shehan duduk tegak dengan kedua kaki agak terbuka. Sedangkan Lilis masih berdiri di samping. Ia adalah sosok yang tahu diri, sehingga tidak berani duduk di sofa sebelum disuruh.
"Duduklah, Lilis!" ajak Shehan sambil menunjuk sofa yang ada di depannya dengan gerakan tangan.
Sekilas Lilis melihat sofa itu. Sofa rumah yang sehari-hari dilihatnya ketika melintasi ruang tengah. Sofa itu tampak begitu nyaman dan mewah. Lilis berpikir harga sofa itu pastilah mahal. Ia pun tidak berani duduk di sana mengingat statusnya hanya seorang salah satu asisten rumah tangga.
"Maaf Tuan. Tidak apa-apa, aku berdiri di sini saja," tolak Lilis malu-malu.
Shehan mengerti mengapa sikap Lilis demikian. Dia tahu kalau gadis itu masih lugu dan selalu merasa segan bila berhadapan dengannya. Tak pelak jika Lilis menolak perintahnya duduk di sofa.
"Tidak apa-apa, Lilis. Duduk saja. Mungkin pembicaraan kita akan lama."
'Tuan Murad sudah mempersilakan aku duduk untuk yang kedua kali. Kalau aku menolak lagi, rasanya tidak enak.'
"Baik, Tuan."
Akhirnya Lilis menuruti perintah majikannya kali ini. Ia duduk di sofa yang berhadapan dengan Shehan. Kedua kaki Lilis merapat dan tangannya saling bertaut, bertumpu di atas lutut. Kelopak matanya sayu sebab menahan kantuk yang mendera sejak tadi.
Usai Lilis duduk, Shehan memimpin situasi. Dengan raut tegas, pria warga negara Turki itu memulai pembicaraan.
"Lilis, sebelumnya sudah kukatakan padamu kalau ada hal penting yang ingin kubicarakan."
"Iya, Tuan."
Lilis mendengarkan dengan seksama. Di dalam hati ia sudah was-was, berpikir kalau Shehan akan memecatnya lantaran kurang puas dengan cara kerjanya. Di satu sisi, Shehan sendiri juga merasa bimbang. Menerka apakah yang akan dia katakan akan menyinggung perasaan Lilis.
Namun, pria itu sudah memikirkan matang-matang jauh hari sebelum malam ini dan Shehan harus berterus-terang mengatakan niatnya pada Lilis sebab waktunya tidak banyak lagi. Ia pun menarik napas dalam sebelum bicara.
"Hal penting yang ingin kukatakan padamu adalah ...." Shehan jeda sejenak berusaha memantapkan hati, "Aku ingin menikah denganmu, Lilis."
"Hah, me-me-me-nikah ... de-de-denganku!"
Lilis terkejut setengah mati sampai tergagap-gagap. Tak bisa ia mengontrol mulutnya untuk tidak menganga. Mata Lilis pun melebar saking kagetnya. Rasa kantuk yang tadi luar biasa menerjang kini raib entah ke mana. Bagai tersambar petir di malam hari, pikiran Lilis berkecamuk seketika.
'Apa Tuan Murad salah makan? Atau sedang mabuk? Atau jangan-jangan kerasukan hantu?'
Perasaan Lilis berdebar-debar. Ini kali pertama ada seorang pria yang mengatakan ingin menikahinya. Bahkan, mantan pacar Lilis dulu tidak pernah mengajaknya menikah.
"Ya, Lilis. Aku mau menikah denganmu."
'Kalau dia menolak, akan kucari cara lain saja.' Shehan membatin. Manik coklat mudanya fokus melihat. Di dalam hati, ia juga menanti jawaban Lilis.
Lilis sendiri semakin buncah ditatap tanpa berkedip oleh lelaki rupawan itu.
"Ma--maaf, Tuan. Apa yang Tuan katakan barusan itu benar? Ah ... maksudku apa memang itu yang ingin Tuan katakan?"
Dada Shehan membusung lalu perlahan mengempis. Ia menghela napas panjang untuk merileksasikan diri. Sebenarnya hal ini juga meragukan baginya. Shehan berniat menikahi Lilis hanya demi kepentingan bisnis belaka.
Tetapi ia juga tidak mau merugikan Lilis. Sebagai gantinya, Shehan berniat akan membantu perekonomian keluarga Lilis yang dia tahu sedang berjuang mengumpulkan uang untuk membangun sebuah rumah.
"Ini ketiga kalinya aku mengatakan hal yang sama."
"Maaf, Tuan. Maksudku bukan apa-apa ...."
Buru-buru Lilis menyangkal, takut rasa ketidakpercayaannya menyinggung majikannya. Namun, belum siap ia bicara, Shehan sudah memotong.
"Ya, Lilis. Aku sungguh-sungguh mau menikah denganmu."
Mata keduanya saling beradu, memancarkan kebimbangan yang sama. Bimbang menunggu reaksi dari masing-masing pihak.
"Ta--tapi, umurku baru 22 tahun, Tuan." Lilis ragu-ragu.
"Bukannya kamu sudah cukup umur untuk menikah?"
"Maafkan kelancanganku, Tuan. Tapi kenapa kok tiba-tiba Tuan mengajakku menikah?"
Di benak gadis sederhana itu, menikah adalah rencana terbahagia sepasang kekasih yang saling mencintai dan pernah menjalani hubungan percintaan sebelumnya. Sudah cukup saling mengenal dan mendapat restu dari keluarga kedua belah pihak. Namun, sang majikan mendadak mengajaknya menikah.
'Ada apa dengan Tuan Murad?'
"Apa Tuan selama ini DDS?"
"Hah ... apa itu DDS?" Shehan mengernyit bingung.
"Diam-diam suka?" jawab Lilis sambil senyum-senyum sendiri.
Shehan mendengus geli menanggapi kekonyolan Lilis.
"Lilis, dengarkan aku baik-baik. Aku akan bicara langsung ke intinya agar kamu lebih paham tujuanku mengajakmu menikah. Sebenarnya aku membutuhkanmu untuk mensponsori izin tinggalku di Indonesia."
Lilis pun terdiam, "Jadi ... kita menikah bukan karena cinta?"
"Bukan," jawab Shehan tegas dan singkat.
"Jadi ... pernikahan kita pernikahan apa?"
"Pernikahan kontrak. Kita akan menikah secara resmi, tapi sebelumnya kita harus membuat surat kontrak pernikahan yang cuma kita berdua dan pengacaraku saja yang tahu. Kamu membantuku dan aku akan membantumu."
"Tuan mau membantuku?"
"Ya, aku bisa membuatkanmu rumah untuk keluargamu tinggal dan juga membiayai uang kuliah adikmu sampai dia lulus sarjana."
Shehan pernah mendengar celotehan Lilis di dapur. Gadis itu mengeluhkan uang tabungannya yang belum cukup untuk membangun sebuah rumah layak huni untuk ibu dan adiknya. Bila ada uang lebih pun, Lilis akan memberikan uang itu untuk membantu biaya kuliah adiknya--Doni. Itu sebabnya uang tabungan Lilis tak pernah berhasil terkumpul banyak.
"Rumah ...."
"Ya, rumah. Aku juga menawarkan tunjangan biaya hidup untukmu. Kamu bisa berpikir sampai dua hari ke depan dan memberiku jawabannya. Tapi lebih cepat lebih baik, karena waktuku tidak banyak."
"Tapi kalau pernikahan kita hanya kontrak, sampai berapa lama kontrak pernikahan itu?"
"Sampai aku berhasil mendapatkan izin tinggal tetap dari pemerintah. Sekarang aku masih harus mengajukan perpanjangan kartu izin tinggal terbatas. Hanya tinggal setahun lagi. Lalu setelah itu aku bisa mengajukan permohonan izin tinggal tetap."
"Setahun lagi?" Intonasi alto Lilis meluncur menemani tatapannya yang meredup. Tidak seterang ketika ia berpikir kalau diam-diam majikannya menyukainya.
"Ya, setahun lagi. Itu artinya kita hanya akan melangsungkan pernikahan kontrak selama setahun saja. Setelah itu kita bisa berpisah secara baik-baik dan aku akan memberikan uang sejumlah yang kukatakan padamu tadi."
Sesaat Lilis bungkam. Tidak tahu harus membalas apa tentang rencana Shehan yang sepertinya sudah pria itu atur sedetail mungkin. Ingin menolak mentah-mentah saat itu juga, rasanya tidak sopan.
"Baiklah Tuan. Akan kupikirkan dulu apa yang Tuan katakan barusan. Aku juga belum memberitahu Ibu."
"Ya, kamu bisa memberitahu Ibumu besok karena sekarang sudah malam. Tapi jangan beritahu kalau kita menikah kontrak. Bilang saja kalau ada laki-laki yang mau melamarmu. Istirahatlah dan pikirkan tentang ini baik-baik."
"Ya, Tuan. Aku pamit, permisi!"
Lilis bangkit dari duduknya, mengangguk singkat lalu pergi meninggalkan ruang tengah dengan perasaan bimbang masih memenuhi hatinya. Sementara Shehan yang masih duduk di sofa, terus melihat punggung gadis itu sampai menghilang di balik tikungan tembok.
***
BERSAMBUNG...
Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita. Itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
martina melati
hahaha... br tahu nih thor... diam2 sukaaa
2024-10-02
0
apel_12345
Lilis Ekawati, kanapa namanya hampir miri denganku🤭🫰
2023-02-28
0
Sri Wahyuni
tata bahasa dan diksinya bagus
2023-01-03
0