NovelToon NovelToon

Butterfly In You

PROLOG

Di malam hari tepatnya pukul 21.00 WITA, terdengar suara halus tengah menceritakan sebuah dongeng di salah satu kamar rumah milik investor asing--Shehan Murad.

"Akhirnya Pangeran dan Putri Salju hidup bahagia selamanya," tutur Lilis dengan intonasi yang lembut. Ia duduk di tepian ranjang seraya bersandar di kepala tempat tidur.

Ketika menoleh ke samping bawah, Lilis mendapati anak majikannya--Nurbanu, sudah tertidur pulas. Seketika senyum tipis Lilis mengembang, menambah aura manis di wajahnya yang bening.

Lantas Lilis bangkit, menarik selimut untuk menutupi tubuh mungil balita perempuan itu sampai ke batas dada. Tak lupa ia mematikan lampu utama kamar dan hanya membiarkan lampu tidur di atas nakas saja yang menyala.

Lilis berjalan sedikit berjingkat menuju pintu, takut kalau suara langkahnya bisa membangunkan anak majikannya. Ia juga membuka dan menutup pintu dengan hati-hati, agar tidak menimbulkan bunyi yang mengganggu.

"Aakh ...."

Sekonyong-konyong Lilis berdecak kaget. Dipegangnya dada. Betapa terperangah gadis itu tatkala menemukan majikannya--Shehan Murad, sudah berdiri tepat di belakangnya.

"Tu--an Murad ... maaf, aku tidak tahu kalau Tuan ada di sini," ujar Lilis sembari menurunkan tangan dari dada lalu menekuk sedikit wajahnya. Gadis polos itu bersikap rendah diri di hadapan sang majikan.

"Apa Nurbanu sudah tidur?" Suara bass lelaki itu mengudara.

"Iya sudah, Tuan." Lilis mengangguk singkat.

"Lilis, ayo, ikut aku! Ada hal penting yang ingin kubicarakan denganmu."

Shehan memandang serius baby sitter--anaknya. Tatapan tegas pria itu sontak membuat Lilis ikut berekspresi serius juga. Apalagi Shehan mengatakan ada sesuatu yang ingin dia katakan.  Kedua alis Lilis serta-merta mengernyit penasaran.

'Hal penting? Apa cara kerjaku ada yang salah? Jadi Tuan Murad mau memecatku?' batin Lilis sudah takut duluan.

"Kalau boleh tahu, hal penting apa itu, Tuan?"

"Mari kita bicara di ruang tengah saja."

"Baik, Tuan."

Shehan berjalan lebih dulu, diiringi Lilis yang mengikuti di belakangnya. Setibanya di ruang tengah, Shehan duduk tegak dengan kedua kaki agak terbuka. Sedangkan Lilis masih berdiri di samping. Ia adalah sosok yang tahu diri, sehingga tidak berani duduk di sofa sebelum disuruh.

"Duduklah, Lilis!" ajak Shehan sambil menunjuk sofa yang ada di depannya dengan gerakan tangan.

Sekilas Lilis melihat sofa itu. Sofa rumah yang sehari-hari dilihatnya ketika melintasi ruang tengah. Sofa itu tampak begitu nyaman dan mewah. Lilis berpikir harga sofa itu pastilah mahal. Ia pun tidak berani duduk di sana mengingat statusnya hanya seorang salah satu asisten rumah tangga.

"Maaf Tuan. Tidak apa-apa, aku berdiri di sini saja," tolak Lilis malu-malu.

Shehan mengerti mengapa sikap Lilis demikian. Dia tahu kalau gadis itu masih lugu dan selalu merasa segan bila berhadapan dengannya. Tak pelak jika Lilis menolak perintahnya duduk di sofa.

"Tidak apa-apa, Lilis. Duduk saja. Mungkin pembicaraan kita akan lama."

'Tuan Murad sudah mempersilakan aku duduk untuk yang kedua kali. Kalau aku menolak lagi, rasanya tidak enak.'

"Baik, Tuan."

Akhirnya Lilis menuruti perintah majikannya kali ini. Ia duduk di sofa yang berhadapan dengan Shehan. Kedua kaki Lilis merapat dan tangannya saling bertaut, bertumpu di atas lutut. Kelopak matanya sayu sebab menahan kantuk yang mendera sejak tadi.

Usai Lilis duduk, Shehan memimpin situasi. Dengan raut tegas, pria warga negara Turki itu memulai pembicaraan.

"Lilis, sebelumnya sudah kukatakan padamu kalau ada hal penting yang ingin kubicarakan."

"Iya, Tuan."

Lilis mendengarkan dengan seksama. Di dalam hati ia sudah was-was, berpikir kalau Shehan akan memecatnya lantaran kurang puas dengan cara kerjanya. Di satu sisi, Shehan sendiri juga merasa bimbang. Menerka apakah yang akan dia katakan akan menyinggung perasaan Lilis.

Namun, pria itu sudah memikirkan matang-matang jauh hari sebelum malam ini dan Shehan harus berterus-terang mengatakan niatnya pada Lilis sebab waktunya tidak banyak lagi. Ia pun menarik napas dalam sebelum bicara.

"Hal penting yang ingin kukatakan padamu adalah ...." Shehan jeda sejenak berusaha memantapkan hati, "Aku ingin menikah denganmu, Lilis."

"Hah, me-me-me-nikah ... de-de-denganku!"

Lilis terkejut setengah mati sampai tergagap-gagap. Tak bisa ia mengontrol mulutnya untuk tidak menganga. Mata Lilis pun melebar saking kagetnya. Rasa kantuk yang tadi luar biasa menerjang kini raib entah ke mana. Bagai tersambar petir di malam hari, pikiran Lilis berkecamuk seketika.

'Apa Tuan Murad salah makan? Atau sedang mabuk? Atau jangan-jangan kerasukan hantu?'

Perasaan Lilis berdebar-debar. Ini kali pertama ada seorang pria yang mengatakan ingin menikahinya. Bahkan, mantan pacar Lilis dulu tidak pernah mengajaknya menikah.

"Ya, Lilis. Aku mau menikah denganmu."

'Kalau dia menolak, akan kucari cara lain saja.' Shehan membatin. Manik coklat mudanya fokus melihat. Di dalam hati, ia juga menanti jawaban Lilis.

Lilis sendiri semakin buncah ditatap tanpa berkedip oleh lelaki rupawan itu.

"Ma--maaf, Tuan. Apa yang Tuan katakan barusan itu benar? Ah ... maksudku apa memang itu yang ingin Tuan katakan?"

Dada Shehan membusung lalu perlahan mengempis. Ia menghela napas panjang untuk merileksasikan diri. Sebenarnya hal ini juga meragukan baginya. Shehan berniat menikahi Lilis hanya demi kepentingan bisnis belaka.

Tetapi ia juga tidak mau merugikan Lilis. Sebagai gantinya, Shehan berniat akan membantu perekonomian keluarga Lilis yang dia tahu sedang berjuang mengumpulkan uang untuk membangun sebuah rumah.

"Ini ketiga kalinya aku mengatakan hal yang sama."

"Maaf, Tuan. Maksudku bukan apa-apa ...."

Buru-buru Lilis menyangkal, takut rasa ketidakpercayaannya menyinggung majikannya. Namun, belum siap ia bicara, Shehan sudah memotong.

"Ya, Lilis. Aku sungguh-sungguh mau menikah denganmu."

Mata keduanya saling beradu, memancarkan kebimbangan yang sama. Bimbang menunggu reaksi dari masing-masing pihak.

"Ta--tapi, umurku baru 22 tahun, Tuan." Lilis ragu-ragu.

"Bukannya kamu sudah cukup umur untuk menikah?"

"Maafkan kelancanganku, Tuan. Tapi kenapa kok tiba-tiba Tuan mengajakku menikah?"

Di benak gadis sederhana itu, menikah adalah rencana terbahagia sepasang kekasih yang saling mencintai dan pernah menjalani hubungan percintaan sebelumnya. Sudah cukup saling mengenal dan mendapat restu dari keluarga kedua belah pihak. Namun, sang majikan mendadak mengajaknya menikah.

'Ada apa dengan Tuan Murad?'

"Apa Tuan selama ini DDS?"

"Hah ... apa itu DDS?" Shehan mengernyit bingung.

"Diam-diam suka?" jawab Lilis sambil senyum-senyum sendiri.

Shehan mendengus geli menanggapi kekonyolan Lilis.

"Lilis, dengarkan aku baik-baik. Aku akan bicara langsung ke intinya agar kamu lebih paham tujuanku mengajakmu menikah. Sebenarnya aku membutuhkanmu untuk mensponsori izin tinggalku di Indonesia."

Lilis pun terdiam, "Jadi ... kita menikah bukan karena cinta?"

"Bukan," jawab Shehan tegas dan singkat.

"Jadi ... pernikahan kita pernikahan apa?"

"Pernikahan kontrak. Kita akan menikah secara resmi, tapi sebelumnya kita harus membuat surat kontrak pernikahan yang cuma kita berdua dan pengacaraku saja yang tahu. Kamu membantuku dan aku akan membantumu."

"Tuan mau membantuku?"

"Ya, aku bisa membuatkanmu rumah untuk keluargamu tinggal dan juga membiayai uang kuliah adikmu sampai dia lulus sarjana."

Shehan pernah mendengar celotehan Lilis di dapur. Gadis itu mengeluhkan uang tabungannya yang belum cukup untuk membangun sebuah rumah layak huni untuk ibu dan adiknya. Bila ada uang lebih pun, Lilis akan memberikan uang itu untuk membantu biaya kuliah adiknya--Doni. Itu sebabnya uang tabungan Lilis tak pernah berhasil terkumpul banyak.

"Rumah ...."

"Ya, rumah. Aku juga menawarkan tunjangan biaya hidup untukmu. Kamu bisa berpikir sampai dua hari ke depan dan memberiku jawabannya. Tapi lebih cepat lebih baik, karena waktuku tidak banyak."

"Tapi kalau pernikahan kita hanya kontrak, sampai berapa lama kontrak pernikahan itu?"

"Sampai aku berhasil mendapatkan izin tinggal tetap dari pemerintah. Sekarang aku masih harus mengajukan perpanjangan kartu izin tinggal terbatas. Hanya tinggal setahun lagi. Lalu setelah itu aku bisa mengajukan permohonan izin tinggal tetap."

"Setahun lagi?" Intonasi alto Lilis meluncur menemani tatapannya yang meredup. Tidak seterang ketika ia berpikir kalau diam-diam majikannya menyukainya.

"Ya, setahun lagi. Itu artinya kita hanya akan melangsungkan pernikahan kontrak selama setahun saja. Setelah itu kita bisa berpisah secara baik-baik dan aku akan memberikan uang sejumlah yang kukatakan padamu tadi."

Sesaat Lilis bungkam. Tidak tahu harus membalas apa tentang rencana Shehan yang sepertinya sudah pria itu atur sedetail mungkin. Ingin menolak mentah-mentah saat itu juga, rasanya tidak sopan.

"Baiklah Tuan. Akan kupikirkan dulu apa yang Tuan katakan barusan. Aku juga belum memberitahu Ibu."

"Ya, kamu bisa memberitahu Ibumu besok karena sekarang sudah malam. Tapi jangan beritahu kalau kita menikah kontrak. Bilang saja kalau ada laki-laki yang mau melamarmu. Istirahatlah dan pikirkan tentang ini baik-baik."

"Ya, Tuan. Aku pamit, permisi!"

Lilis bangkit dari duduknya, mengangguk singkat lalu pergi meninggalkan ruang tengah dengan perasaan bimbang masih memenuhi hatinya. Sementara Shehan yang masih duduk di sofa, terus melihat punggung gadis itu sampai menghilang di balik tikungan tembok.

***

BERSAMBUNG...

Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita. Itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

Bab 1 : Keputusan Lilis

Lilis terus-menerus bergerak gelisah di atas ranjang. Bentangan selimut yang menutupi setengah tubuhnya pun dapat merasakan kegalauannya, lantaran ikut menjadi korban rasa uring-uringan Lilis. Tertarik ke sana-sini tak tentu arah.

Bila selimut itu dapat bicara, sudah pasti dia akan mengeluh, "Tidurlah, Lilis! Kami amat lelah mengikuti suasana hatimu."

Lilis juga sudah setengah mati berusaha untuk tidur. Dari mulai berlatih yoga sampai menghitung domba sudah dia lakukan, tetapi tak kunjung berhasil.

"Uh ... kenapa dari tadi tidak bisa tidur! Sekarang sudah jam dua belas malam, aku takut besok bangun terlambat, huhuhu!" gerutunya sebal memperagakan orang menangis.

Matanya yang tadi meminta untuk dipejamkan, kini sama sekali tidak bisa terpejam barang sedetik saja. Pikiran Lilis terus terusik oleh ajakan menikah dari majikannya. Ditambah lagi bayangan wajah Shehan terus bergelayutan di otak Lilis.

Shehan Murad, warga negara asing asal Turki berumur 32 tahun. Ia menanamkan modalnya di Indonesia dengan membuka sebuah resor di wilayah Badung, provinsi Bali.

Shehan sendiri tergolong pria cakap nan rupawan. Ia tinggi tegap dengan kulit terang khas orang Turki. Rambut coklatnya selalu klimis, tersisir rapi pula. Bila Lilis mendapati majikannya baru bangun tidur sekalipun, rambut Shehan tidak pernah terlihat berantakan.

Pria itu gemar berolahraga, tampak jelas dari pahatan tubuhnya yang proporsional. Memiliki kepribadian tegas, disiplin dan serius, Shehan menjelma menjadi sosok yang berwibawa, disegani rekan bisnis serta karyawannya. Ia juga menguasai tiga bahasa yaitu Turki, Inggris dan Indonesia.

Dua tahun Shehan tinggal di Bali dengan menggunakan KITAS (Kartu Izin Tinggal Terbatas) investor. Tak lama, KITAS itu beralih menjadi KITAS sponsor istri lantaran ia menikahi Sarah Agatha. Kekasih pujaan hatinya yang merupakan seorang WNI (Warga Negara Indonesia).

Hasil dari pernikahan itu, keduanya dikaruniai seorang putri cantik bernama Nurbanu. Usai dua setengah tahun usia pernikahannya, Shehan berkeinginan untuk mengubah KITAS menjadi KITAP (Kartu Izin Tinggal Tetap).

Namun, keinginannya selalu ditunda-tunda oleh istrinya sendiri. Alhasil, dua tahun kemudian pernikahan mereka malah berujung pada perceraian karena Sarah--istri Shehan, memiliki seorang pria idaman lain. Jody Abraham--kekasih gelap Sarah yang berprofesi sebagai penyanyi di Ibukota.

Setelah perceraiannya dengan Sarah, Shehan berniat menikahi Lilis agar izin tinggalnya dapat disponsori oleh gadis itu. Untuk memuluskan rencana, Shehan pun menawarkan bantuan akan membangunkan rumah untuk Lilis di kampung halamannya.

Lilis sebenarnya memang bercita-cita ingin membangun rumah karena selama ini, Lilis, ibu serta adik laki-lakinya--Doni tinggal di rumah kontrakan yang harganya terus naik setiap pergantian tahun.

Akan tetapi, gadis itu bingung memikirkan bagaimana jadinya menjalani biduk rumah tangga tanpa cinta. Apalagi pernikahan yang ditawarkan oleh Shehan hanya sekadar pernikahan kontrak. Setahun kemudian mereka akan berpisah dan pastinya, Lilis akan menjadi seorang janda di usia yang masih sangat belia.

Belum lagi kondisi hati. Lilis baru saja putus hubungan dengan pacarnya terdahulu. Pria itu bernama Hendra Wahyudi. Hendra adalah tetangga Lilis di kampung. Pria itu bekerja sebagai pegawai negeri sipil.

Setelah dua tahun kebersamaan, hubungan Lilis dan Hendra harus putus di tengah jalan. Sampai saat ini, hati Lilis belum bisa berpaling dari sang mantan kekasih. Sementara itu, di kamarnya Shehan ternyata juga sedang memikirkan keputusan yang telah dia ambil untuk mengajak Lilis menikah kontrak.

Kenapa Shehan memilih Lilis? Gadis yang sudah pasti bukan kriteria wanita idamannya untuk menggantikan Sarah-mantan istri Shehan dulu. Bila dibandingkan dari segi penampilan, Lilis dan Sarah sangatlah bertolak belakang.

Sarah adalah wanita modis, memiliki karier cemerlang sebagai desainer juga seorang sosialita kelas atas. Tubuhnya molek, anggun serta cantik. Sedangkan Lilis, gadis sederhana yang datang dari kampung, pemalu dan masih lugu.

Keluguannya itu yang membuat Shehan memilih Lilis untuk menjadikannya istri kontrak. Shehan berpikir Lilis akan menjadi sosok penurut bila menjadi istrinya. Tidak banyak tingkah, tidak pula akan meminta hal yang aneh-aneh.

**

Keesokan hari.

Shehan sudah pergi bekerja sejak lima menit yang lalu dan Lilis baru saja mengantar Nurbanu naik bus TK. Beberapa kali ia melambaikan tangan pada anak majikannya yang duduk di dekat jendela.

"Semangat belajar, ya!" seru Lilis dari luar bus, berdiri di trotoar jalan.

"Iya, Kakak!"

Nurbanu juga membalas lambaian tangan Lilis seraya tersenyum lebar. Setelah bus melaju pergi menuju TK Bunga Matahari, barulah Lilis masuk ke dalam rumah.

Selain merawat dan mengasuh Nurbanu, biasanya Lilis akan membantu Mbok Tum membereskan pekerjaan rumah. Tuminah atau kerap disapa Mbok Tum adalah asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Shehan sejak pria itu masih menikah dengan Sarah.

Pagi ini tidak ada tugas rumah yang harus Lilis kerjakan. Lantas, ia menyempatkan diri untuk menelpon ibunya--Nining Prameswari. Ingin bertanya kabar sekaligus menceritakan tentang lamaran Shehan padanya tadi malam.

Ddrrtt ... Ddrrtt ... Ddrrtt ....

Tiga kali dering telepon mengudara, barulah ibu Lilis menjawab panggilan telepon itu.

"Halo Lis."

"Halo, Bu. Ibu, bagaimana kabarnya?"

"Ibu baik, Lis. Pagi-pagi sudah telepon, lagi tidak ada kerjaan ya, Lis?"

"Iya, Bu. Tadi habis mengantar anak Tuan Murad naik bus TK, aku ke dapur mau membantu Mbok Tum. Tapi Mbok Tum bilang tinggal pekerjaan mencuci piring saja jadi aku disuruh istirahat."

"Oh ... begitu."

"Bagaimana kabar Doni, Bu?"

"Doni baik, Lis. Barusan dia pergi ke toko fotokopi, katanya ada tugas kuliah yang mau difotokopi. Kamu sehat kan, Lis?"

"Sehat, Bu."

"Lis, Si Hendra mantan pacarmu dulu mau menikah minggu depan."

"Hendra! Minggu depan?" Intonasi Lilis meninggi. Ia terkejut mengetahui mantan kekasihnya tiba-tiba akan melangsungkan pernikahan, Minggu depan pula.

"Iya, Lis. Dia mau menikah sama anak Pak Samad yang perawat itu."

"Oh ...."

Keterkejutan Lilis berkurang sekarang. Ia tahu Hendra dan calon istrinya memang sudah berhubungan sejak lama. Bahkan, sebab itu pula hubungan Lilis dan Hendra berakhir. Hendra berselingkuh dengan anak gadis Pak Samad. Tetangga mereka juga bernama Tina Yulianti. Tina bekerja sebagai perawat di rumah sakit terkenal.

"Dia memang bukan jodohmu, Lis. Yang sabar ya, Nak." Nining mencoba menyemangati anaknya dari seberang.

"Iya, Bu. Aku tidak apa-apa, kok."

"Ibu selalu berdoa supaya kamu mendapatkan calon suami yang baik dan menerima kondisi kita apa adanya."

"Bu, aku juga mau menikah, Bu."

Tiba-tiba gadis itu nekad, memberanikan diri mengatakan tawaran Shehan tadi malam. Entah karena cemburu sebab mantan pacarnya akan menikah Minggu depan atau bukan, yang jelas perkataan Lilis barusan spontan membuat Nining terkejut bukan main.

"Hah, yang benar kamu, Nak? Kamu mau menikah sama siapa toh, Lis?"

"Sama Bapaknya--anak asuhku, Bu."

"Hah, sama majikanmu yang duda itu?" Kini Nining lebih terkejut lagi.

"Iya, Bu."

"Yang benar kamu, Lis? Kenapa mendadak begini?"

"Majikanku sudah lama suka samaku, Bu." Lilis terpaksa berbohong karena takut ibunya akan kecewa dan tidak merestui niatannya.

"Kok kamu baru sekarang cerita, Lis?"

"Karena aku takut mengumbar hubungan, Bu. Tahunya tidak jadi lagi seperti kemarin."

"Jadi kamu sudah tahu keluarganya, Lis?"

"Sudah, Bu. Pas Tuan Murad sama anaknya video call ke Turki. Aku juga ada di situ. Dikenali juga sama keluarganya."

"Jadi kamu bicara pakai bahasa Inggris, Lis?"

"Sedikit-sedikit, Bu. Diajari sama Tuan Murad."

"Kalau memang majikanmu itu serius sama kamu, suruh temui Ibu. Ngomong langsung sama Ibu. Ibu mau lihat orangnya bagaimana. Baru Ibu bisa putuskan, merestui atau tidak."

"Baik, Bu. Nanti aku bilang sama Tuan Murad."

"Jaga kesehatan ya, Nak. Jangan terlalu hemat. Ibu dan Doni masih punya cukup uang."

"Ibu juga, kalau ingin sesuatu bilang saja. Jangan dipendam dalam hati."

"Iya, Nak."

"Sudah dulu ya, Bu. Aku mau ke dapur lagi."

"Iya, Lis."

Tut ... Tut ... Tut ....

Percakapan ibu dan anak melalui sambungan telepon pun terputus.

***

BERSAMBUNG...

Bagaimana kelanjutannya? Apakah ibu Lilis akan merestui?

Bab 2 : Rumah

Jari-jemari Lilis yang bertumpu pada masing-masing lututnya sesekali meremas pelan. Kedua kakinya rapat. Kepalanya juga tertekuk dalam. Di dalam hati, gugup sungguh tak bisa Lilis redam. Rasa-rasanya telapak tangannya yang bersembunyi di balik punggung tangan pun sudah basah karena keringat dingin.

"Jadi apa keputusanmu, Lilis?"

Shehan bertanya dari sofa yang berada di seberang. Tatapan iris coklat mudanya intens membuat Lilis semakin canggung. Hari ini atau lebih tepatnya malam ini, sudah dua hari terlewati sejak Shehan menawarkan pernikahan kontrak pada Lilis dan sekarang adalah waktu bagi gadis itu untuk memberi keputusan.

Apakah Lilis akan menerima atau menolak lamaran Shehan?

Sambil malu-malu Lilis mengangkat kepala. "Eum ... Ibu bilang kalau Tuan mau menikahiku, Tuan harus bertemu dan bicara langsung sama Ibu." Usai mengatakan itu, cepat-cepat Lilis menunduk lagi.

"Apa itu saja yang dikatakan Ibumu?"

Dalam tunduknya, Lilis menggeleng lemah.

"Lalu, apalagi yang dikatakan Ibumu?"

Tidak langsung menjawab, Lilis menghirup dua tarikan napas dalam untuk mendinginkan rongga dadanya yang serasa panas berkecamuk. Sudah dua hari ini Lilis merasa begitu dan malam ini adalah puncaknya.

Bukan hanya rongga dada saja yang berkecamuk, hati Lilis juga berdebar-debar meski ia tahu bahwa pria yang ada di hadapannya saat ini, melamarnya untuk sebuah pernikahan kontrak. "Ibu bilang setelah bertemu Tuan dan Tuan bicara langsung sama Ibu, baru Ibu bisa putuskan akan merestui atau tidak."

"Hhmm ... begitu ...." Shehan mengangguk beberapa kali tanda mengerti. Ia paham kecemasan yang dirasakan oleh ibu Lilis karena dia sendiri juga orang tua yang memiliki satu orang putri.

"Baiklah, kebetulan besok pekerjaanku di kantor tidak banyak. Jadi kita bisa pergi mengunjungi Ibumu di Banyuwangi. Tapi maaf, aku tidak bisa menginap di sana. Jadi kita akan pulang lagi ke Bali saat sore."

"Ya Tuan, tidak apa-apa. Tuan memang sibuk karena pekerjaan Tuan banyak. Lagipula kasihan Nurbanu kalau ditinggal sendirian."

"Tapi sebelum aku bicara dengan Ibumu, aku mau bertanya dulu padamu. Kalau dari hatimu sendiri, apa kamu bersedia menikah denganku?"

Lilis yang tadi mengangkat kepalanya sebentar lalu menunduk lagi, kini kembali bersitatap muka dengan majikannya dalam kurun waktu yang cukup lama. Dalam diam, Lilis menatap lelaki dewasa itu dalam-dalam.

Umur Lilis dan Shehan sudah jelas terpaut cukup jauh, yakni sepuluh tahun. Meskipun begitu, Shehan tetaplah rupawan di mata Lilis. Terlebih lagi, pria itu memang terlahir tampan. Penampilannya rapi dan wangi. Pakaian-pakaian yang Shehan kenakan juga tidak sembarangan. Bila dilihat dari belakang pun, sudah kentara kalau Shehan adalah pria mahal.

"Ya Tuan ... aku bersedia."

'Apa benar begitu?' Shehan mengerutkan alis meski Lilis tampak begitu polos mengutarakan jawabannya. Agaknya jawaban Lilis belum membuat Shehan puas. Ia kembali mencecar Lilis dengan pertanyaan yang lebih mendetail.

"Lilis, kamu tahu aku seorang duda dengan satu anak. Umur kita juga tidak sebaya. Sebenarnya apa yang membuatmu bersedia menikah denganku?"

Seketika Lilis termangu bersemuka dengan majikannya. Menjawab pertanyaan Shehan yang pertama saja sudah membuat Lilis grogi bukan main. Apalagi pertanyaan kedua, sungguh Lilis buncah sekarang. Manik matanya bergerak gelisah mengitari paras Shehan. Bibir keringnya membisu belum bisa berucap sepatah kata pun.

"Aku tidak mau ada dusta di antara kita," lanjut Shehan lagi, "Aku juga jujur padamu kalau niatku mengajakmu menikah untuk kepentingan izin tinggalku di Indonesia saja. Jadi apa alasan yang akan kamu katakan, aku pasti akan mengerti."

'Bagaimana ini? Aku malu kalau mengatakan alasan yang sebenarnya. Tapi aku juga tidak bisa berbohong pada Tuan Murad. Bagaimana ini?'

Beberapa detik lamanya Lilis bungkam sembari terus menatap Shehan yang terlihat sabar menanti jawabannya.

'Ah, untuk apa aku malu. Toh, Tuan Murad juga terbuka padaku. Pernikahan kami hanya untuk bekerjasama menguntungkan kedua belah pihak. Lagipula setelah setahun menikah kami akan bercerai,' batin Lilis memantapkan hati.

"Alasanku mau menikah dengan Tuan ... karena rumah." Suara Lilis menguar pelan karena sebenarnya ia masih malu bila harus berkata jujur.

"Rumah?" Shehan malah meneleng bingung.

"Ya, Tuan. Alasannya karena rumah. Tuan pernah bilang akan membangunkan sebuah rumah kalau aku mau menikah dengan Tuan."

"Ah, ya!" Ekspresi lega terpahat di wajah pria Turki itu. "Aku memang akan membangunkan rumah untukmu kalau kamu setuju menikah denganku."

"Ibuku sudah berumur lima puluh tahun lebih. Tapi sampai sekarang Ibu masih tinggal di rumah kontrakan. Ingin sekali aku bisa membuatkan rumah untuk Ibu. Tidak bisa membangun rumah besar, rumah sederhana juga tidak apa-apa. Yang penting Ibu bisa merasakan rasanya punya rumah sendiri dan bisa menikmati masa tuanya tanpa beban. Selalu memikirkan biaya rumah kontrakan yang setiap tahunnya naik."

Glek!

Lilis menelan saliva dalam, terasa langsung jatuh ke dalam perut. Gadis itu menunduk malu. Malu karena Shehan pasti akan menganggapnya sebagai perempuan materialistis. Namun, tak seperti yang Lilis bayangkan. Shehan malah menatapnya teduh seraya mengangguk pelan beberapa kali.

"Setelah menikah, aku pasti akan menepati janjiku. Kamu sendiri juga bisa merancang desainnya."

Lekas Lilis menolak. "Tidak, Tuan! Tidak usah! Tolong bangunkan rumah sederhana saja. Bagiku yang penting Ibu bisa punya rumah. Kasihan, Ibu! Sudah tua, sering sakit-sakitan tapi masih bekerja jadi tukang cuci pakaian di rumah orang supaya bisa membantu membayar uang kontrakan rumah."

Binar mata Lilis berkaca-kaca mengingat tentang ibunya. Lekas ia menunduk agar Shehan tidak tahu kalau air matanya nyaris tumpah.

"Ya, akan kita atur nanti dan juga, aku akan membiayai pendidikan adikmu sampai dia lulus sarjana."

"Terima kasih, Tuan. Maaf kalau alasanku mau menerima ajakan pernikahan ini karena hal itu."

"Tidak apa-apa, Lilis. Bukan kamu yang memintanya lebih dulu, tetapi aku yang menawarkannya padamu. Tidak hanya kamu, semua orang butuh rumah untuk tempat berlindung juga tempat berkumpul bersama keluarga. Kurasa keinginanmu wajar saja."

"Ya, Tuan. Sekali lagi terima kasih karena sudah mengerti."

Lilis sangat bersyukur atas pengertian Shehan. Ia bisa bernapas lega kali ini dan menyingkirkan prasangkanya. Shehan memang pria yang bijaksana. Tak ayal dia bisa mengelola resornya hingga bisa dinobatkan menjadi salah satu sanggraloka terbaik di pulau Bali.

"Setelah mendapatkan restu Ibumu, aku akan mengatakan pada Sarah kalau kita akan menikah."

"Mbak Sarah ...." Satu hal yang terlewatkan oleh Lilis, yaitu mantan istri Shehan.

"Ya, aku juga harus memberitahunya kalau kita akan menikah."

"Apa boleh aku juga minta izin sama Mbak Sarah, Tuan? Supaya tidak merasa canggung kalau bertemu Mbak Sarah nanti."

"Ya, silakan. Ada lagi yang mau kamu tanyakan?"

"Eum ... itu?" Lilis ragu mengatakannya karena dalam benak Lilis, ia ingin bertanya soal urusan ranjang. Untung saja, Shehan cepat tanggap saat melihat gelagat malunya.

"Tenang saja, kita tidak akan tidur dalam satu kamar. Kamu bisa memakai kamar tamu nanti."

"Haah ...." Lilis menghela napas lega. "Lalu Nurbanu bagaimana, Tuan?"

Mimik Shehan berubah serius tatkala berbicara urusan yang menyangkut anaknya. "Aku tidak mau dia mengetahui hal ini. Nurbanu masih terlalu kecil untuk dilibatkan. Apalagi pernikahan kita hanya setahun saja. Jadi biarkan Nurbanu tetap berpikir kalau kamu adalah baby sitter-nya. Tidak apa-apa, kan?"

"Ya, Tuan. Tidak apa-apa."

"Lilis, maaf sebelumnya. Karena aku tidak mau Nurbanu tahu tentang masalah ini, aku berencana akan menggelar acara resepsi pernikahan kita secara sederhana dan tertutup. Cuma dihadiri oleh orang-orang terdekat saja."

Pernikahan Cinderella yang disaksikan oleh banyak orang adalah impian Lilis. Namun, harus Lilis menghapus impian itu detik ini juga.

"Baiklah, Tuan. Aku mengerti."

"Kamu bisa istirahat sekarang. Tidurlah lebih cepat karena besok pagi setelah Nurbanu berangkat TK, kita akan pergi ke Banyuwangi."

"Kalau begitu aku permisi dulu, Tuan."

"Ya."

Lilis bangkit setelah mengangguk singkat, memberi hormat pada majikannya.

***

BERSAMBUNG...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!