"Apa Tuan mau menerima Lilis apa-adanya? Lihatlah keadaan kami, Tuan. Lilis berasal dari keluarga yang kurang mampu. Rumah sederhana ini pun bukan milik kami. Ini rumah kontrakan."
Nining selesai mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruang tamu. Ia jujur tentang situasi keluarganya. Tahu betul bahwa sebelum menikah, pihak wanita maupun pria harus saling memberitahu dan saling mengetahui tentang kondisi diri mereka masing-masing. Begitupun dengan keluarganya.
Helaan napas Shehan berembus panjang dan perlahan. Sikapnya tetap tenang, mempertahankan wibawa.
"Ya, Bu. Saya sudah mengetahui tentang keadaan Lilis. Lilis pun pernah bercerita sebelumnya. Meskipun begitu, saya menerima Lilis apa-adanya."
Lilis sedikit menoleh pada Shehan. Ia ingin melihat ekspresi majikannya saat mengatakan menerima dirinya dengan apa-adanya. Raut pria itu tegas dan serius. Semua orang pasti akan percaya pada perkataannya, kecuali Lilis.
"Saya pun bukan orang yang sempurna, Bu. Saya juga banyak kekurangan. Itulah guna pasangan suami istri, untuk saling melengkapi kekurangan masing-masing," lanjut Shehan lagi.
Batin Nining tersentuh mendengar penuturan Shehan yang demikian. Dengan binar mata masih berkaca-kaca lantaran habis menangis, Nining akhirnya menyetujui pinangan Shehan pada putrinya.
"Karena Lilis sudah memutuskan untuk menerima lamaran Tuan. Demi kebahagiaan Lilis, Ibu merestui hubungan kalian dan niat baik ini. Tolong jaga Lilis, Tuan. Dia adalah gadis yang baik. Semenjak Bapaknya meninggal dunia, dia sudah bertanggung jawab menjadi tulang punggung keluarga."
Air mata wanita tua itu berderai lagi, mengingat saat-saat terberat dalam hidupnya, yaitu ketika suaminya meninggal dunia karena sakit. Tangan renta Nining tampak gemetar ketika menghapus sisa air mata yang tergenang di ujung mata.
"Yang sabar ya, Bu. Bapak sudah tenang di sana." Lilis yang ikut merasakan kesedihan ibunya bersikap lebih tegar kali ini. Ia sengaja menahan air mata yang padahal sudah mendesak ingin keluar. Diusap-usapnya punggung sang ibu dengan lembut.
Shehan pun mengangguk dalam. Pandangannya menunduk tidak membalas tatapan Nining yang sesekali melihat ke arahnya sambil menyeka air mata. Sebenarnya sejak tadi, ada rasa bimbang yang merayapi hati pria Turki itu. Ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apakah menikahi Lilis adalah suatu keputusan terbaik?
**
Berbincang cukup lama tentang rencana pernikahan Shehan dan Lilis yang akan diadakan dalam waktu dekat, tak terasa jarum jam yang berdetak telah menunjukan waktu makan siang. Nining mengajak kedua tamunya untuk makan siang bersama.
Lilis turut membantu ibunya di dapur. Nining bertugas memasukan makanan ke dalam wadah. Sedangkan Lilis mengerjakan tugas mengambil peralatan makan. Sesekali terdengar suara gesekan ketika piring yang diambil dari rak mengenai piring yang lain.
Tahu putrinya akan pulang ke rumah, Nining memasak menu makanan kesukaan Lilis yaitu sego tempong. Nasi yang dimakan bersama beberapa jenis sayuran yang direbus. Serta dilengkapi dengan lauk-pauk yang digoreng seperti tahu, tempe dan daging ayam. Tak ketinggalan sambal pedas yang membuat hidangan semakin menggugah selera.
"Lis, apa keluarga Tuan Murad sudah tahu kalau kalian akan segera menikah?" tanya Nining seraya memindahkan nasi dari dandang ke dalam bakul yang terbuat dari anyaman bambu.
Lilis yang berdiri membelakangi ibunya terpaku sejenak. Gerakan tangannya yang sedang mengelap piring kaca menggunakan kain ikut melambat. Ia memikirkan jawaban yang tepat agar sang ibu tidak berprasangka buruk dan khawatir.
"Iya sudah, Bu."
"Jadi apa tanggapan keluarganya tentang kamu, Nak?"
Nining menoleh sekilas anaknya selagi menaruh bakul yang sudah penuh dengan nasi ke atas meja. Asap dari nasi yang masih panas itu tampak mengepul di sekitarnya.
"Keluarga Tuan Murad menyerahkan segala keputusan pada Tuan Murad saja, Bu. Mereka tidak mau terlalu ikut campur karena mereka percaya, Tuan Murad pasti sudah mempertimbangkan matang-matang apapun rencana dalam hidupnya." Lilis meletakan satu piring yang telah bersih ke atas tiga tumpukan piring lainnya.
"Begitu Toh. Tapi yang penting keluarga Tuan Murad ramah sama kamu kan, Lis?"
Seulas senyum Lilis tercipta mendapati kekhawatiran ibunya. "Iya, Bu. Keluarga Tuan Murad semuanya ramah-ramah."
"Baguslah kalau begitu, Lis. Ibu senang kamu diterima dengan baik sama keluarga Tuan Murad karena Ibu sempat takut. Takut kamu akan dipandang sebelah mata karena kamu berasal dari keluarga yang kurang mampu."
Lilis menunduk sebentar, mencerna perkataan ibunya barusan. Ia bisa mengerti kenapa ibunya berpikir seperti itu. Wajar saja jika seorang Ibu mencemaskan nasib anaknya. Lilis meletakan kain lap yang sedari tadi ia pegang di atas meja, berbalik badan mengarah pada ibunya. Bersitatap muka dengan sorot mata teduh.
"Tidak kok, Bu. Keluarga Tuan Murad baik samaku. Ibu tenang saja, ya. Semuanya akan baik-baik saja."
Melihat ketegaran putrinya, Nining merasa terharu. Sekonyong-konyong ia membelai rambut gadis itu dengan lembut.
"Lis, tidak terasa sebentar lagi kamu akan segera menikah. Dengarlah nasihat Ibu, Nak. Kalau sudah menjadi seorang istri nanti, kamu harus bangun pagi setiap hari. Memang kamu sudah melakukannya, tapi kebiasaan baik itu jangan sampai hilang."
"Iya, Bu." Lilis menjawab patuh. Mendengarkan nasihat ibunya dengan seksama.
"Buatlah sarapan untuk suami dan keluargamu. Menu makan siang dan makan malam juga, masak makanan untuk mereka. Karena tugas wajib seorang istri adalah menjaga semua anggota keluarganya supaya tetap baik dan sehat."
Lilis diam mendengarkan.
"Kalau suamimu mau pergi bekerja, bantu dia berpakaian. Di saat itu, kalian bisa berbicara tentang apa saja yang menyenangkan. Ingatlah, komunikasi itu juga hal penting untuk menjaga hubungan tetap dekat. Buat suamimu merasa senyaman mungkin di rumah. Jadi dia betah, tidak kelayapan di luar."
"Ya, Bu. Aku akan berusaha menjadi istri yang baik kelak. Mengikuti saran dan nasihat Ibu."
Nining memberikan senyum bahagianya kepada Lilis, menggantikan belaiannya di kepala Lilis yang sudah terhenti.
"Kamu sudah selesai mengelap peralatan makan, Lis?"
"Sudah, Bu."
"Ayo kita bawa ke depan! Kasihan Tuan Murad sudah menunggu dari tadi."
"Iya, Bu."
Lilis dan juga Nining bersama-sama membawa makanan dan peralatan makan ke ruang tamu lalu menatanya di atas meja. Tidak ada ruang makan di rumah itu, jadilah mereka bertiga makan di ruang tamu saja. Sedangkan Doni sudah makan lebih dulu di dapur dan sudah berangkat kuliah sejak sejam yang lalu.
Nasi hangat, sayur-sayuran rebus yang tersusun rapi di piring bundar juga lauk-pauk dan sambal telah menghuni meja kayu yang berukuran cukup lebar. Sebagai tuan rumah, Nining mempersilakan tamunya untuk menyantap hidangan.
"Silakan dimakan, Tuan. Maaf ya, menu makanannya sederhana. Tidak ada yang istimewa."
Di dalam hati Nining, ia berkecil hati sebab tidak bisa menyuguhkan makanan lezat seperti di restoran kepada tamunya. Namun, Shehan dapat membaca situasi Nining. Ia memuji masakan wanita itu agar tidak merasa rendah diri lagi.
"Wah, baunya enak sekali! Rasanya pasti juga enak."
"Silakan dicicipi, Tuan." Lilis ikut menawarkan majikannya makan.
"Ya Lilis, terima kasih. Ibu dan Lilis, ayo, kita makan bersama!" ajak Shehan ramah dan segera dibalas dengan raut wajah senang oleh keduanya.
Mereka pun makan siang bersama dengan tenang sembari sesekali berbincang.
***
BERSAMBUNG...
Sebenarnya apa kebimbangan yang melanda hati Shehan?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Raisa Kalyna
tuan Murad mesti galau niat nikah cuma numpang kewarganegaraan ehh tapi Bu Nining nasehatin kek gitu kan jadi bimbang 😌😌😌
2021-11-18
1
Win_dha88
semoga sampe tamat ya...
ngga pindah lapak...
2021-11-17
1