Asap tipis yang muncul dari permukaan teh hangat menguar di udara. Kota Banyuwangi terasa lebih sejuk dari biasanya siang ini. Memang sangat tepat bila ibu Lilis--Nining, menyajikan teh hangat pada tamunya, untuk menyegarkan tubuh dan dahaga mereka.
Lilis dan Shehan bersama-sama pergi ke Banyuwangi. Mereka berangkat sejak pukul delapan pagi tadi menggunakan mobil. Tiga jam lebih empat puluh menit menempuh perjalanan, Shehan tiba di kampung halaman Lilis.
Begitu mobil Shehan melaju memasuki halaman depan sebuah rumah kontrakan sederhana, Nining senantiasa sudah menyambut kepulangan Lilis. Ia pun beramah-tamah pada Shehan yang datang bersama anaknya. Tak lama setelah itu, muncul Doni--adik Lilis dari dalam rumah. Pemuda itu ikut menyapa kakaknya dan juga Shehan.
Kini Nining, Lilis dan Shehan duduk di ruang tamu rumah bertiga saja. Sedangkan Doni memilih untuk berdiam diri di kamar. Tidak ingin ikut mengobrol percakapan orang dewasa. Lagipula pemuda itu harus menyiapkan beberapa perlengkapan yang akan dia bawa ke kampus nanti siang.
"Jadi Tuan ini adalah majikan Lilis di Bali, ya? Yang orang Turki itu?" Nining berkata lembut dengan raut wajah yang tak pernah lepas dari senyuman. Tutur katanya yang lembut itu, ia wariskan kepada Lilis. Alhasil Lilis tumbuh menjadi gadis yang disukai banyak orang.
"Iya, Bu. Perkenalkan, nama saya adalah Shehan Murad. Ibu bisa memanggil saya Shehan saja, tetapi Lilis memanggil saya Tuan Murad."
'Sepertinya dia laki-laki yang baik. Cara bicaranya sopan dan penampilannya juga tidak neko-neko,' gumam Nining dalam hati saat memperhatikan Shehan yang sedang berbicara padanya. "Kalau begitu, Ibu panggil Tuan Murad saja ya, biar sama seperti Lilis."
Lilis yang duduk di sebelah ibunya diam saja, menyimak percakapan dan menjadi pendengar setia.
"Tidak apa-apa, senyamannya Ibu saja."
"Silakan diminum tehnya, Tuan, Lilis!"
Nining mempersilakan tamunya dengan gerakan tangan dan segera disahuti ucapan terima kasih dari Lilis dan Shehan.
"Terima kasih, Bu."
Terdengar keduanya kompak menjawab. Teh hangat yang telah terhidang di atas meja kayu berbentuk persegi empat itu kini sudah berganti posisi, berada di tangan Shehan dan Lilis.
Tegukan demi tegukan mengaliri tenggorokan mereka masing-masing. Usai haus Lilis dan Shehan hilang, cangkir-cangkir teh tadi kembali diletakan di atas meja.
"Tehnya enak sekali, Bu. Rasa manisnya pas," puji Shehan yang serta-merta membuat Nining tersipu malu.
"Terima kasih, Tuan. Oh ya, apa di Turki juga ada teh seperti ini, Tuan?"
"Ya, Ibu. Tapi orang-orang Turki lebih sering minum teh hitam."
"Teh hitam, apa rasa teh itu?" Nining penasaran.
"Rasanya sedikit pahit, tapi terkadang orang-orang Turki suka menambahkan dua gula kubus atau lemon ke dalamnya."
"Oh ... begitu."
"Ya, Ibu. Hhmm ... mungkin Lilis sudah pernah bilang pada Ibu kalau saya ada maksud ingin melamarnya dan tujuan saya datang ke sini karena ingin meminta restu Ibu."
Nining mengangguk lemah beberapa kali, menanggapi perkataan Shehan. Suasana percakapan itu berubah serius sekarang.
"Ya, Lilis memang sudah pernah cerita ke Ibu kalau Tuan mau mengajaknya menikah."
"Terus terang status saya memang bukan pemuda lajang lagi. Umur saya tiga puluh dua tahun dan bekerja mengelola resor milik saya sendiri. Saya sudah pernah menikah dan punya satu anak. Tapi anak saya-Nurbanu, suka sama Lilis dan saya sendiri pun merasa cocok."
"Jadi bagaimana selanjutnya?"
Shehan menghela napas dalam. Rasanya cukup canggung juga bersemuka dengan Ibu Lilis untuk melamar anaknya. "Saya ingin menikahi Lilis, Bu. Apa Ibu bersedia menerima saya sebagai menantu?"
Sama hal dengan yang dilakukan Shehan tadi, Nining pun menghela napas dalam sebelum menjawab pertanyaan Shehan.
"Ibu ingin bertanya pada Lilis dulu, bagaimana keputusannya. Karena dia yang akan menikah dan menjalani biduk rumah tangga."
"Ya, Ibu. Silakan!"
Shehan dan Nining mengalihkan pandangan mereka pada Lilis sekarang. Lilis pun sudah menyiapkan diri lahir batin untuk menjawab pertanyaan ibunya.
"Lis, kamu sendiri bagaimana? Apa kamu menerima pinangan Tuan Murad? Kamu tahu Tuan Murad seorang duda dan usia kalian jaraknya juga cukup jauh."
Dengan suara pelan dan wajah merah malu-malu, Lilis menjawab ibunya. "Aku sudah pikirkan matang-matang, Bu. Aku mau menikah dengan Tuan Murad." Gadis itu menunduk lagi. Tak berani menunjukan wajahnya yang merona.
"Benar Lis, kamu sudah yakin dengan pilihanmu? Apa keputusanmu sudah bulat? Menikah itu bukan perkara sepele. Tidak bisa gonta-ganti. Kalau sedang tidak cocok, terus cari ganti yang lain. Ibu tidak mau ada penyesalan nantinya." Nining berusaha meyakinkan putrinya agar tidak salah mengambil keputusan.
"Maaf Tuan Murad, maksud Ibu bukan apa-apa. Ibu cuma mau Lilis bersikap dewasa mengambil keputusan ini. Tidak main-main, karena Ibu ingin anak Ibu cuma menikah sekali. Begitu juga dengan Tuan, kalau Tuan memang berjodoh dengan Lilis. Ibu harap Tuan bisa menjaga bahtera rumah tangga Tuan kali ini. Tidak akan bercerai lagi," timpal Nining lagi.
Shehan terdiam. Di dalam hati tetiba dia merasa bersalah. Niatnya untuk menikahi Lilis sebenarnya hanya untuk memanfaatkan kewarganegaraan gadis itu. Tidak ada cinta di hatinya untuk Lilis. Sepatah kata pun tidak bisa keluar dari bibirnya. Lidahnya terasa kelu untuk bicara.
"Iya, Bu. Aku memang sudah yakin mau menikah dengan Tuan Murad."
Di tengah kebimbangan yang melanda Shehan, Lilis mempertegas jawaban dan sikapnya agar Nining tidak merasa ragu lagi. Seketika itu pula, Shehan juga menatap Lilis.
'Ternyata kamu gadis pemberani, Lilis,' batin pria itu.
'Maaf Ibu, ini semua kulakukan untuk membahagiakan Ibu. Aku tidak tega melihat Ibu terus banting tulang untuk membantu membayar uang sewa rumah kontrakan. Ibu sudah tua tapi aku belum bisa membalas semua budi Ibu. Sudah melahirkan dan membesarkan aku dengan sangat baik. Mungkin dengan cara ini, aku bisa sedikit membalas jasa yang Ibu telah berikan selama ini.'
Batin Lilis terenyuh mengungkapkan isi hatinya yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. Ingin rasanya ia menangis. Namun, sekuat tenaga Lilis membendung bulir-bulir kristal itu di pelupuk mata.
Nining menenangkan dirinya sendiri agar ritme napasnya teratur. Ia duduk diam beberapa saat, memandangi anak gadisnya. Tanpa sadar, air mata wanita tua itu berderai di pipi. Tak terasa sudah dua puluh dua tahun waktu berlalu. Bayi perempuan mungil yang dulu dia lahirkan kini telah menjelma dewasa.
"Ibu, kenapa menangis, Bu?" tanya Lilis sembari menyeka air mata yang membasahi pipi ibunya. Ia pun ikut menangis sedih, tak mampu lagi menahan segala lara.
"Kamu kenapa menangis juga, Lis?" Nining turut menyeka air mata anaknya.
"A--aku sedih ... me--lihat Ibu menangis," jawab Lilis terbata-bata dan terisak.
"Jangan menangis, Lis. Air mata yang mengalir di pipi Ibu bukanlah air mata kesedihan. Tapi air mata kebahagiaan. Ibu senang kamu sudah dewasa dan bisa mengambil keputusan sendiri. Apalagi kamu akan segera menikah. Ibu terharu, Nak."
Lilis menghamburkan diri, memeluk ibunya. Nining pun membalas pelukan Lilis seraya mengusap lembut punggung anaknya itu.
"Ibu, aku sayang Ibu. Sayang, sayang, sayang, sangat sayang sama Ibu. Kalau aku punya salah, tolong dimaafkan ya, Bu."
"Kamu tidak punya salah apa-apa, Lis. Ibu bangga punya anak seperti kamu. Tidak gengsi, mau bekerja apapun demi membantu keluarga."
Shehan yang menyaksikan kasih sayang antara Lilis dan ibunya jadi semakin berkecil hati. Ia malah tidak tega mempermainkan keduanya hanya untuk kepentingan pribadinya semata.
***
BERSAMBUNG...
Apakah pernikahan Lilis dan Shehan akhirnya terlaksana?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Raisa Kalyna
ga sabar pengen liat tuan Murad bakalan bucin sama Lilis 😅😅😅
2021-11-16
1
Win_dha88
kemana aja author???
lanjut Donk...
2021-11-16
2