ANDAI KITA TIDAK BERCERAI
Sudah pukul sembilan malam. Tapi belum juga ada tanda-tanda bahwa Caca dan Cici, kedua anak kembarku mengantuk, mereka justru terlihat begitu bersemangat main dari satu permainan ke permainan lainnya. Padahal energiku sudah habis terkuras mengurus mereka sejak bangun tidur hingga sekarang, belum lagi mengerjakan pekerjaan rumah yang sambung-menyambung bahkan sampai sekarang belum juga beres-beres. Benar-benar tidak ada rehatnya. Bahkan untuk sekedar meluruskan punggung rasanya tidak bisa.
"Apa kalian belum mau tidur juga?" tanyaku, usai mengambil nafas supaya amarah tidak meledak, saat melihat ulah mereka yang kembali membongkar mainan. Padahal sudah ada perjanjian, mainan tidak boleh digelar kalau sudah pukul tujuh malam.
Tapi namanya anak-anak, kadang meski sudah membuat perjanjian, ada kalanya mereka akan melanggarnya. Tidak mempedulikan kesepakatan yang kalian buat dengan sungguh-sungguh.
"Caca, Cici ... dengar kata-kata Mama, enggak?" kataku. Tidak ada respon, mereka semakin asyik membongkar mainan sehingga membuat ruang tengah berantakan dengan mainan yang berhamburan dimana-mana. "Tidur ya, Mama bikinkan susu. Jangan tidur larut, supaya besok tidak telat ke sekolahnya!" ungkapku.
Aku segera ke dapur, menyeduh dua gelas susu putih untuk sikembar. Lalu bergegas menemui mereka. Harapannya, mereka mau segera tidur.
"Ayo minum susunya," kataku. Kedua anak itu menurut, mendekat, dan meminum susu mereka.
Hanya sebentar aku ke dapur untuk merapikan kaleng susu, lalu saat kembali menemui anak-anak, terpampang nyata pemandangan yang menyulut emosiku.
Entah siapa pelakunya, susu yang tadinya berada dalam gelas sudah tumpah di lantai, bahkan mengenai sebagian mainan mereka.
Mataku langsung melotot saat melihat sebagian lagi susu itu mengenai laptop milikku. Laptop yang akan jadi jalan untuk meraih mimpiku. Laptop yang aku beli dari hasil menabung selama kuliah, dari gaji sebagai pekerja part time di swalayan. Laptop yang paling aku sayang dan kujaga. Tidak ada seorang pun yang boleh menyentuhnya kecuali aku, lalu kini laptop itu basah oleh susu.
"Aghhhhh!" aku langsung menaikkan nada suara, berteriak kencang sehingga membuat Caca dan Cici yang tadinya berlari-larian di rumah yang tidak luas jadi diam. "Siapa yang numpahin susu ke laptop Mama?" tanyaku.
"Caca," tunjuk Cici.
"Tapi kan Cici yang dorong-dorong Caca," jawab Caca.
"Pintar ya kalian berdua, bikin Mama kesal saja. Sudah berapa kali Mama katakan, jangan bercanda saat makan dan minum. Lihat ini jadinya! Kalian tahu, laptop itu sangat berharga bagi Mama. Ini satu-satunya jalan Mama untuk jadi penulis, tapi kalian malah menghancurkan mimpi Mama!" sentakku masih dengan suara tinggi. "Sini, ayo anggung jawab!" aku menarik tangan Caca hingga ia meringis kesakitan, lalu memaksanya mengeringkan bekas susu dengan bajunya.
"Mama, jangan. Caca enggak mau." ungkap Caca sambil menangis.
"Rasakan, siapa suruh numpahin susu di laptop Mama." kataku. "Sekarang lap sampai bersih. Paham!"
Bocah berusia lima tahun itu menurut, ia membersihkan sisa susu dengan pakaiannya karena aku tidak menyediakan kain lap untuknya. Aku memang sengaja, supaya ia kapok dan tidak mengulang lagi nantinya.
"Sekarang kalian berdua tidur!" kataku.
"Caca mau ganti baju, ma." ungkap Caca.
"Nggak boleh. Tidur saja pakai baju basah bekas susu tumpah supaya kamu kapok!" kataku lagi sambil berkacak pinggang.
Caca menangis, tapi ia tidak berani protes. Mengikuti perintahku, masuk ke kamar, lalu tidur di kasur masing-masing.
"Ihhhhhh, dasar anak-anak!" aku mengumpat kesal melihat pemandangan yang sangat menjengkelkan. Lalu mulai membersihkan mainan tersebut satu-persatu. "Aduhhhh," aku meringis kesakitan saat printilan kecil dari mainan Caca dan Cici mengenai kakiku. Rasanya sakit sekali. Mereka masih saja meletakkan mainan sembarangan, padahal sudah berkali-kali ku ingatkan agar jangan sembarang meletakkan mainan. Tapi namanya anak-anak, mereka tetap saja tidak mendengar, masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Menyebalkan!
Usai merapikan mainan, aku bergegas menyapu dan mengepel lantai agar tidak lengket dan banyak semut.
Pekerjaan baru selesai hampir pukul sebelas malam. Rasanya badanku sudah sangat remuk, emosi sudah menumpuk-numpuk, seperti bom waktu yang siap meledak. Lalu dengan kesal aku duduk di ruang tamu, memperhatikan rumah tipe tiga puluh enam yang sudah enam tahun kami tempati.
Rumah ini semakin lama terasa semakin tidak nyaman. Setiap berada di dalamnya rasanya hatiku terbakar emosi. Ada saja yang tidak aku sukai. Kadang juga berharap bisa segera pindah ke rumah yang lebih besar dan bagus.
Kenapa nasibku begini sekali. Selama enam tahun ini tidak ada peningkatan sedikitpun. Aku hanya tetap ibu rumah tangga biasa yang emosian sebab apa yang aku harapkan tidak bisa terwujud.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, menyadarkan aku dari lamunan. Kenapa ia belum juga datang. Aku mengecek hp, ada beberapa panggilan tidak terjawab, entah nomor rumah atau nomor kantor. Tidak ada pesan ataupun telepon dari Ben.
Kemana ia semalam ini? Apa yang ia lakukan? Aku terus bertanya-tanya. Beberapa hari terakhir aku merasa ia memang terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Bahkan tidak pernah lagi mau terlibat dalam pengurusan Caca dan Cici.
Aku menghembuskan nafas kesal. Entah mengapa dadaku rasanya sesak membayangkan betapa tidak bahagianya aku dengan pernikahan ini.
Selama enam tahun sepertinya tidak ada bahagia sama sekali. Hanya beban dan penderitaan yang aku dapatkan sebab terkurung dalam aktivitas sebagai ibu rumah tangga. Aku ingin bebas, aku juga ingin bahagia, aku ingin merasakan seperti yang kau . Bebas mau kemana saja, membeli apa saja, bertemu siapa saja, ada yang melayani, ada hadiah-hadiah menarik. Tapi yang aku dapatkan adalah kebalikannya.
Entah mengapa air mataku langsung tumpah begitu deras, pundakku rasanya berat. Aku kesal, marah, sedih dan kecewa dengan jalan hidupku sendiri.
Aku ingin bebas. Harus bebas. Itulah suara-suara yang kini terdengar jelas di batinku.
Suara motor diikuti pagar yang terbuka, menyadarkanku dari lamunan. Tepat pukul sebelas lewat lima belas menit. Semalam ini ia pulang?
Terbayang wajah lelaki yang menikahiku enam tahun lalu. Lelaki yang berjanji akan membahagiakanku seumur hidupnya, akan berjuang memberikan yang terbaik. Serta janji-janji manis akan mensejahterakan hidupku. Tapi itu semua palsu. Ia tidak pernah mewujudkannya. Justru ia memberikan sebaliknya. Ia hanya ingin menyiksaku, membuatku tidak bisa apa-apa selain berkutat dengan urusan rumah dan anak-anak.
"Kamu benar-benar jahat, Ben. Kamu tega memenjarakan aku di sini. Kamu lelaki yang tidak punya hati. Aku sudah tidak ingin lagi hidup bersamamu. Aku ingin bebas. Aku tidak mau jadi budak kamu lagi yang harmonis melakukan apapun yang kamu mau!" ucapku dalam hati.
Halooo, dukung cerita ini dengan memberi like, komen, vote serta masukan yang membangun ya agar author semangat nulisnya. terimakasih :)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
Tri Widayanti
Hadir dengan like👍
2022-09-13
0
Amanda Ayunda
mengeluh tidak akan merubah apa apa
2021-12-13
0
Efan Zega
ngurus 1 anak aja emosian apalagi 2
2021-02-09
0