3. Saat Dia Pergi

"Diandra sayang ... maafkan aku ya. Aku tahu, kamu pasti sangat lelah sekali. BT juga, iya kan? Tapi kamu tahu tidak, kamu adalah perempuan pertama dan terakhir yang sangat aku cintai. Aku begitu bersyukur punya istri seperti kamu, Di. Aku juga bersyukur punya anak-anak yang lucu, menggemaskan, pintar serta insyaAllah saliha seperti putri kita Caca dan Cici. Aku bersyukur jadi bagian dari hidup kalian. Bagiku kalian bertiga adalah prioritas utama dalam hidupku. Kalian adalah anugerah terindah yang akan selalu aku syukuri dan aku jaga. Aku ingin membahagiakan kalian sebab kehadiran kalian dalam hidupku adalah kebahagiaan yang tidak ternilai harganya. Jadi Di, kamu mau kan memaafkan aku yang banyak salah dan kurang ini?" ungkap Ben, sambil menggenggam erat kedua tanganku.

Entah mengapa, hal yang selalu bisa membuatku luluh, tapi kali ini rasanya hambar. Tidak lagi bisa ku terima. Aku sudah bosan. Lelah. Kesal. Muak dengan semua ini. Aku ingin bebas, merdeka, merasakan kebahagiaan seperti dulu sebelum aku menikah dengannya.

"Sudahlah, tidak usah menggombali aku lagi. Kamu kira aku akan percaya begitu saja? Tidak Ben! Enam tahun aku menunggumu, tidak ada perubahan sedikitpun. Cuma disuruh sabar ... sabar ... sabar saja. Iya, kan?" kataku.

"Maaf Di,"

"Itu lagi! Bikin kesal saja!" aku bangkit dari duduk setelah menepis tangan Ben. Begitu hendak menuju kamar, mataku tertuju pada laptop yang berada di atas meja. Segerombolan semut tengah bolak-balik. "Aaaaaaa!" teriakku.

"Di, kamu kenapa?" tanya Ben.

"Lihat ini ... lihat! Ini kerjaan anak kamu. Caca numpahin susu ke laptopku dan sekarang laptopnya disemutin. Kalian benar-benar mengacaukan hidupku!"

"Jadi yang dibakukan Caca tadi tumpahan susu? Kenapa enggak diganti sih Di, jadinya Caca digigit semut, kan?"

"Emang aku sengaja. Aku kesal melihatnya. Ia dan Cici bercanda terus sampai susu tumpah. Makanya aku suruh dia mengeringkan bekas tumpahan susu tersebut dengan bajunya."

"Astagfirullah Di. Kamu ini apa-apaan sih? Kalau marah dan kesal sama aku ya balasnya ke aku. Jangan sama anak-anak, Di. Kasihan mereka. Pikiran mereka belum sempurna sehingga belum paham mana yang baik dan benar."

"Sama anak-anak juga kesal. Kamu tahu tidak, mereka enggak mau tidur siang, tidur sudah jam sembilan malam. Itu juga karena aku marah. Coba enggak marah, bisa begadang sampai dini hari. Merepotkan sekali! Paham nggak sekarang kamu Ben, bagaimana kesalnya aku?"

"Maafin anak-anak Di, maafin aku juga. Tapi jangan gitu lagi sama anak-anak ya. Mereka masih kecil. Kalau kamu kesal lagi sama mereka, balas ke aku saja."

"Kamu bisanya nyalah-nyalahin aku terus, Ben. Kapan kamu bisa mikir kalau aku juga butuh dimengerti. Aku lelah Ben. Aku juga punya mimpi. Tapi tidak bisa mewujudkannya sebab sekarang jalannya sudah kalian putus." aku membuka laptop, mencoba menyalakan, tetapi tidak bisa, mungkin karena basah kena susu atau karena ada semut yang masuk dalam mesinnya. "Lihat nih, laptop ini aku beli susah payah, sekarang malah rusak. Itu semua gara-gara kamu!" aku sudah kehilangan kesabaran, kembali marah-marah pada Ben sambil menangis.

Malam ini kuputuskan menyendiri, tidur di ruang tamu sambil menangis. Aku masih sangat kesal dengan ulah mereka bertiga. Ben, Caca dan Cici. Entah mengapa pernikahan ini terasa berat untukku.

***

Mataku masih sangat mengantuk. Tapi sayup-sayup terdengar suara Ben memanggil. Tidak lama berganti dengan teriakan nyaring tepat di telinga sehingga memekakkan gendang telinga ku, hingga nyaris melompat dari tidur.

"Ma ... Mama ... Mama!" panggil Caca dan Cici, bergantian.

"Iihhh, kalian ngapain sih!" kataku, dengan wajah kesal, menatap kedua anak kembar yang sebenarnya sangat menggemaskan itu. Tapi karena aku sedang kesal makanya mereka tidak lagi lucu di mataku.

"Salat Subuh ma!" ungkap Caca.

"Ayo masuk, bangun. Nanti keburu matahari terbit lho!" ungkap Cici lagi.

"Iya ... Iya. Kalian bawel juga ya!" aku menggerutu.

"Bawel kayak Mama!" ungkap Caca dengan penuh rasa bangga.

"Enak saja. Kayak papa!" kataku, spontan.

"Apa sih, siapa yang bawel?" Ben tiba-tiba sudah berada di dekatku.

"Nyebelin!" aku melongos menuju belakang untuk mengambil wudhu. Dari dapur tercium aroma nasi goreng yang ku yakin rasanya sangat lezat sebab Ben sendiri yang membuatnya. Ia memang jago memasak. Bahkan apa saja yang dibuatnya selalu menggugah seleraku.

Begitu sampai di kamar mandi, terdengar suara mesin cuci sedang di putar. Ini pasti kerjaan Ben juga.

Ben memang tipe lelaki family man. Ia selalu siaga mengerjakan pekerjaan rumah. Apalagi setekah kami punya Caca dan Cici. Ia akan siaga mengerjakan apapun yang dibinanya agar aku tidak terlalu kerepotan. Tetapi setelah beberapa bulan, sikapnya terasa berubah, entah apa penyebabnya. Bahkan aku merasa Ben seperti sibuk dengan dunianya sendiri sehingga membuatku kesal.

Selesai salat aku tidak langsung mengerjakan pekerjaan rumah atau mengurus anak-anak. Tetapi masuk ke kamar dan melanjutkan tidur. Sementara Ben sibuk mengurus persiapan Caca dan Cici ke sekolah. Mulai dari memandikan sikembar, menyiapkan pakaian dan sarapan hingga membuatkan bekal makanan untuk mereka.

Kalau sedang marah aku memang akan lepas tangan. Tidak peduli dengan mereka sampai marahku hilang. Biasanya Ben juga bisa menghandle semuanya.

"Di, anak-anak berangkat sekolah sama kamu ya. Aku hari ini harus ...," belum selesai Ben bicara, aku langsung memotong.

"Enggak bisa. Mereka berangkat bareng kamu. Aku enggak mau tahu. Aku mau lanjut tidur."

"Tapi Di,"

"Enggak ada tapi-tapi."

"Aku harus berangkat pagi. Kalau Caca diantar sekarang, kepagian."

"Biarin! Kalau enggak mau, antar aja mereka ke rumah ibu."

"Ya Allah Di, masa ngerepotin ibu. Ya sudah, tapi nanti tolong jemput anak-anak ya."

"Hm," kataku. Lalu memejamkan mata.

***

Jam didinding kamar sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Tidak ada suara apapun selain perputaran jarum jam.

Aku mengukur, kaku bangkit dari tidur. Bermakna menuju dapur. Rumah sudah rapi. Sudah dipelajari juga. Pakaian sudah dicuci. Sarapan juga sudah disiapkan. Ini baru hidup yang enak, meski untuk mendapatkannya harus marah-marah dulu.

Kadang aku heran pada Ben, kenapa ia begitu tidak peduli akan perasaanku. Harusnya Ben bisa faham apa yang aku mau.

Satu persatu ku sendok nasi goreng buatan Ben, kusendok ke dalam mulut sambil memikirkan banyak hal. Tentunya tentang pernikahan kami yang awalnya ku harap begitu sempurna. Tetapi ternyata sebaliknya.

Ben, pertama kali aku mengenalnya saat di klinik, ketika ia sedang mendonor darahnya. Ibuku yang waktu itu masih bekerja sebagai perawat yang melayani Ben.

Ibu memang sering bercerita bahwa Ben adalah salah satu pendonor rutin. Ia selalu datang satu kali dalam sepekan untuk menyumbangkan darahnya.

Kekaguman ibu serta tanda tanya akan Ben terjawab setelah memasuki bulan keempat. Saat pada akhirnya Ben mengaku, setelah ia dikotak ibu untuk donor karena berat badannya kurang dari lima puluh kilogram. Ia mengaku baru sakit. Tapi Ben tidak menyerah begitu saja, tetap memaksa agar tetap diizinkan.

Terpopuler

Comments

Aini Qurotul

Aini Qurotul

blm siap menikah

2021-01-03

0

ciby😘

ciby😘

lanjuttt

2020-12-14

0

Mimid S. Arifin

Mimid S. Arifin

males lanjut bacanya,mf

2020-11-28

0

lihat semua
Episodes
1 1. Kekesalan Yang Menumpuk
2 2. Jawaban Klasik
3 3. Saat Dia Pergi
4 4. Tetangga Julid
5 5. Pulang Ke Rumah Ibu
6 6. Aku Akan Mewujudkan Mimpiku
7 7. Ke Kantor Ben
8 8. Hadiah Dari Ben
9 9. Minggat Ke Rumah Ibu
10 10. Nyinyiran Ibu
11 11. Pilihan
12 12. Caca Dan Cici Ngambek
13 13. Nasihat Yang Diabaikan
14 14. Kerepotan
15 15. Ben Minta Penjelasan
16 16. Sidang
17 17. Putusan
18 18. Menyesal, Kah?
19 19. Hari Kedua
20 20. Berpisah Dengan Anak-anak
21 21. Bertemu Anak-anak
22 22. Janji Seorang Ibu
23 23. Ben Yang Berubah Dingin
24 24. Sikap Sinis Orang-orang
25 25. Ibu Datang
26 26. Mampukah Aku?
27 27. Anis Bicara
28 28. Nasya Datang
29 29. Anis Bicara
30 30. Pergi Dari Hidup Ben
31 31. Bicara Pada Caca
32 32. Tetangga Baru
33 33. Caca Dan Cici Di Kantor Polisi
34 34. Bicara Dengan Ben
35 35. Tawaran Mbak Hana
36 36. Memulai Semuanya Dari Awal
37 37. Anis Datang
38 38. Di Tengahi Mbak Hana
39 39. Ternyata Masih Ada Orang Baik
40 40. Anis Datang Lagi
41 41. Ben Datang Lagi
42 42. Ibu Maafkan Aku
43 43. Ibu Maafkan Aku (2)
44 44. Jalan Tol Dari Mbak Hana
45 45. Kejutan Dari Allah
46 46. Janji Pada Caca
47 47. Aku Tak Akan Menyerah
48 48. Kita Mulai Semua Dari Awal
49 49. Ibu, Maafkan Aku
50 50. Terimakasih
51 51. Rencana Nasya
52 52. Bertemu Ben
53 53. Rumah Impian
54 54. Kejutan Dari Ben
55 55. Rahasia Besar Ibu
56 56. Rahasia Besar Ibu (2)
57 57. Rahasia Besar Ibu (3)
58 58. Bertemu Ibunya Nasya
59 59. Bicara Pada Tante Maya
60 60. Kesaksian Tante Maya
61 61. Mencari Nasya
62 62. Kepergian Tante Maya
63 63. Kepergian Tante Maya (2)
64 64. Ancaman Ben (1)
65 65. Nasihat Ben
66 66. Persiapan Perang
67 67. Hadiah Dari Ben
68 68. Telepon Dari Nasya
69 69. Ben, Maafkan Aku
70 70. Baby Ketiga
71 71. Harapan Mbak Hana
72 72. Setelah Tiga Bulan
73 73. Permintaan Lelaki Itu
74 74. Ibu, Tenanglah
75 75. Bicata
76 76. Lelaki Kenalan Ibu
77 77. Novel Dan Penolakan
78 78. Harus Lebih Kuat, Di.
79 79. Tak Ada Alasan Untuk Tidak Bersyukur
80 80. Bujukan
81 81. Perjuangan Ben
82 82. Keributan Pagi Ini
83 83. Suara Teriakan Lagi
84 84. Jualan
85 85. Diremehkan
86 86. Kejutan Dari Mbak Hana
87 87. Caca Hilang
88 88. Berkelahi
89 89. Hibah 11 Triliun
90 90. Surat Tante Maya
91 91. Mencari Nasya
92 92. Menemukan Nasya
93 93. Cerita Nasya
94 94. Apakah Kamu Mau Jadi Saudaraku?
95 95. Akhir
Episodes

Updated 95 Episodes

1
1. Kekesalan Yang Menumpuk
2
2. Jawaban Klasik
3
3. Saat Dia Pergi
4
4. Tetangga Julid
5
5. Pulang Ke Rumah Ibu
6
6. Aku Akan Mewujudkan Mimpiku
7
7. Ke Kantor Ben
8
8. Hadiah Dari Ben
9
9. Minggat Ke Rumah Ibu
10
10. Nyinyiran Ibu
11
11. Pilihan
12
12. Caca Dan Cici Ngambek
13
13. Nasihat Yang Diabaikan
14
14. Kerepotan
15
15. Ben Minta Penjelasan
16
16. Sidang
17
17. Putusan
18
18. Menyesal, Kah?
19
19. Hari Kedua
20
20. Berpisah Dengan Anak-anak
21
21. Bertemu Anak-anak
22
22. Janji Seorang Ibu
23
23. Ben Yang Berubah Dingin
24
24. Sikap Sinis Orang-orang
25
25. Ibu Datang
26
26. Mampukah Aku?
27
27. Anis Bicara
28
28. Nasya Datang
29
29. Anis Bicara
30
30. Pergi Dari Hidup Ben
31
31. Bicara Pada Caca
32
32. Tetangga Baru
33
33. Caca Dan Cici Di Kantor Polisi
34
34. Bicara Dengan Ben
35
35. Tawaran Mbak Hana
36
36. Memulai Semuanya Dari Awal
37
37. Anis Datang
38
38. Di Tengahi Mbak Hana
39
39. Ternyata Masih Ada Orang Baik
40
40. Anis Datang Lagi
41
41. Ben Datang Lagi
42
42. Ibu Maafkan Aku
43
43. Ibu Maafkan Aku (2)
44
44. Jalan Tol Dari Mbak Hana
45
45. Kejutan Dari Allah
46
46. Janji Pada Caca
47
47. Aku Tak Akan Menyerah
48
48. Kita Mulai Semua Dari Awal
49
49. Ibu, Maafkan Aku
50
50. Terimakasih
51
51. Rencana Nasya
52
52. Bertemu Ben
53
53. Rumah Impian
54
54. Kejutan Dari Ben
55
55. Rahasia Besar Ibu
56
56. Rahasia Besar Ibu (2)
57
57. Rahasia Besar Ibu (3)
58
58. Bertemu Ibunya Nasya
59
59. Bicara Pada Tante Maya
60
60. Kesaksian Tante Maya
61
61. Mencari Nasya
62
62. Kepergian Tante Maya
63
63. Kepergian Tante Maya (2)
64
64. Ancaman Ben (1)
65
65. Nasihat Ben
66
66. Persiapan Perang
67
67. Hadiah Dari Ben
68
68. Telepon Dari Nasya
69
69. Ben, Maafkan Aku
70
70. Baby Ketiga
71
71. Harapan Mbak Hana
72
72. Setelah Tiga Bulan
73
73. Permintaan Lelaki Itu
74
74. Ibu, Tenanglah
75
75. Bicata
76
76. Lelaki Kenalan Ibu
77
77. Novel Dan Penolakan
78
78. Harus Lebih Kuat, Di.
79
79. Tak Ada Alasan Untuk Tidak Bersyukur
80
80. Bujukan
81
81. Perjuangan Ben
82
82. Keributan Pagi Ini
83
83. Suara Teriakan Lagi
84
84. Jualan
85
85. Diremehkan
86
86. Kejutan Dari Mbak Hana
87
87. Caca Hilang
88
88. Berkelahi
89
89. Hibah 11 Triliun
90
90. Surat Tante Maya
91
91. Mencari Nasya
92
92. Menemukan Nasya
93
93. Cerita Nasya
94
94. Apakah Kamu Mau Jadi Saudaraku?
95
95. Akhir

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!