"Diandra sayang ... maafkan aku ya. Aku tahu, kamu pasti sangat lelah sekali. BT juga, iya kan? Tapi kamu tahu tidak, kamu adalah perempuan pertama dan terakhir yang sangat aku cintai. Aku begitu bersyukur punya istri seperti kamu, Di. Aku juga bersyukur punya anak-anak yang lucu, menggemaskan, pintar serta insyaAllah saliha seperti putri kita Caca dan Cici. Aku bersyukur jadi bagian dari hidup kalian. Bagiku kalian bertiga adalah prioritas utama dalam hidupku. Kalian adalah anugerah terindah yang akan selalu aku syukuri dan aku jaga. Aku ingin membahagiakan kalian sebab kehadiran kalian dalam hidupku adalah kebahagiaan yang tidak ternilai harganya. Jadi Di, kamu mau kan memaafkan aku yang banyak salah dan kurang ini?" ungkap Ben, sambil menggenggam erat kedua tanganku.
Entah mengapa, hal yang selalu bisa membuatku luluh, tapi kali ini rasanya hambar. Tidak lagi bisa ku terima. Aku sudah bosan. Lelah. Kesal. Muak dengan semua ini. Aku ingin bebas, merdeka, merasakan kebahagiaan seperti dulu sebelum aku menikah dengannya.
"Sudahlah, tidak usah menggombali aku lagi. Kamu kira aku akan percaya begitu saja? Tidak Ben! Enam tahun aku menunggumu, tidak ada perubahan sedikitpun. Cuma disuruh sabar ... sabar ... sabar saja. Iya, kan?" kataku.
"Maaf Di,"
"Itu lagi! Bikin kesal saja!" aku bangkit dari duduk setelah menepis tangan Ben. Begitu hendak menuju kamar, mataku tertuju pada laptop yang berada di atas meja. Segerombolan semut tengah bolak-balik. "Aaaaaaa!" teriakku.
"Di, kamu kenapa?" tanya Ben.
"Lihat ini ... lihat! Ini kerjaan anak kamu. Caca numpahin susu ke laptopku dan sekarang laptopnya disemutin. Kalian benar-benar mengacaukan hidupku!"
"Jadi yang dibakukan Caca tadi tumpahan susu? Kenapa enggak diganti sih Di, jadinya Caca digigit semut, kan?"
"Emang aku sengaja. Aku kesal melihatnya. Ia dan Cici bercanda terus sampai susu tumpah. Makanya aku suruh dia mengeringkan bekas tumpahan susu tersebut dengan bajunya."
"Astagfirullah Di. Kamu ini apa-apaan sih? Kalau marah dan kesal sama aku ya balasnya ke aku. Jangan sama anak-anak, Di. Kasihan mereka. Pikiran mereka belum sempurna sehingga belum paham mana yang baik dan benar."
"Sama anak-anak juga kesal. Kamu tahu tidak, mereka enggak mau tidur siang, tidur sudah jam sembilan malam. Itu juga karena aku marah. Coba enggak marah, bisa begadang sampai dini hari. Merepotkan sekali! Paham nggak sekarang kamu Ben, bagaimana kesalnya aku?"
"Maafin anak-anak Di, maafin aku juga. Tapi jangan gitu lagi sama anak-anak ya. Mereka masih kecil. Kalau kamu kesal lagi sama mereka, balas ke aku saja."
"Kamu bisanya nyalah-nyalahin aku terus, Ben. Kapan kamu bisa mikir kalau aku juga butuh dimengerti. Aku lelah Ben. Aku juga punya mimpi. Tapi tidak bisa mewujudkannya sebab sekarang jalannya sudah kalian putus." aku membuka laptop, mencoba menyalakan, tetapi tidak bisa, mungkin karena basah kena susu atau karena ada semut yang masuk dalam mesinnya. "Lihat nih, laptop ini aku beli susah payah, sekarang malah rusak. Itu semua gara-gara kamu!" aku sudah kehilangan kesabaran, kembali marah-marah pada Ben sambil menangis.
Malam ini kuputuskan menyendiri, tidur di ruang tamu sambil menangis. Aku masih sangat kesal dengan ulah mereka bertiga. Ben, Caca dan Cici. Entah mengapa pernikahan ini terasa berat untukku.
***
Mataku masih sangat mengantuk. Tapi sayup-sayup terdengar suara Ben memanggil. Tidak lama berganti dengan teriakan nyaring tepat di telinga sehingga memekakkan gendang telinga ku, hingga nyaris melompat dari tidur.
"Ma ... Mama ... Mama!" panggil Caca dan Cici, bergantian.
"Iihhh, kalian ngapain sih!" kataku, dengan wajah kesal, menatap kedua anak kembar yang sebenarnya sangat menggemaskan itu. Tapi karena aku sedang kesal makanya mereka tidak lagi lucu di mataku.
"Salat Subuh ma!" ungkap Caca.
"Ayo masuk, bangun. Nanti keburu matahari terbit lho!" ungkap Cici lagi.
"Iya ... Iya. Kalian bawel juga ya!" aku menggerutu.
"Bawel kayak Mama!" ungkap Caca dengan penuh rasa bangga.
"Enak saja. Kayak papa!" kataku, spontan.
"Apa sih, siapa yang bawel?" Ben tiba-tiba sudah berada di dekatku.
"Nyebelin!" aku melongos menuju belakang untuk mengambil wudhu. Dari dapur tercium aroma nasi goreng yang ku yakin rasanya sangat lezat sebab Ben sendiri yang membuatnya. Ia memang jago memasak. Bahkan apa saja yang dibuatnya selalu menggugah seleraku.
Begitu sampai di kamar mandi, terdengar suara mesin cuci sedang di putar. Ini pasti kerjaan Ben juga.
Ben memang tipe lelaki family man. Ia selalu siaga mengerjakan pekerjaan rumah. Apalagi setekah kami punya Caca dan Cici. Ia akan siaga mengerjakan apapun yang dibinanya agar aku tidak terlalu kerepotan. Tetapi setelah beberapa bulan, sikapnya terasa berubah, entah apa penyebabnya. Bahkan aku merasa Ben seperti sibuk dengan dunianya sendiri sehingga membuatku kesal.
Selesai salat aku tidak langsung mengerjakan pekerjaan rumah atau mengurus anak-anak. Tetapi masuk ke kamar dan melanjutkan tidur. Sementara Ben sibuk mengurus persiapan Caca dan Cici ke sekolah. Mulai dari memandikan sikembar, menyiapkan pakaian dan sarapan hingga membuatkan bekal makanan untuk mereka.
Kalau sedang marah aku memang akan lepas tangan. Tidak peduli dengan mereka sampai marahku hilang. Biasanya Ben juga bisa menghandle semuanya.
"Di, anak-anak berangkat sekolah sama kamu ya. Aku hari ini harus ...," belum selesai Ben bicara, aku langsung memotong.
"Enggak bisa. Mereka berangkat bareng kamu. Aku enggak mau tahu. Aku mau lanjut tidur."
"Tapi Di,"
"Enggak ada tapi-tapi."
"Aku harus berangkat pagi. Kalau Caca diantar sekarang, kepagian."
"Biarin! Kalau enggak mau, antar aja mereka ke rumah ibu."
"Ya Allah Di, masa ngerepotin ibu. Ya sudah, tapi nanti tolong jemput anak-anak ya."
"Hm," kataku. Lalu memejamkan mata.
***
Jam didinding kamar sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Tidak ada suara apapun selain perputaran jarum jam.
Aku mengukur, kaku bangkit dari tidur. Bermakna menuju dapur. Rumah sudah rapi. Sudah dipelajari juga. Pakaian sudah dicuci. Sarapan juga sudah disiapkan. Ini baru hidup yang enak, meski untuk mendapatkannya harus marah-marah dulu.
Kadang aku heran pada Ben, kenapa ia begitu tidak peduli akan perasaanku. Harusnya Ben bisa faham apa yang aku mau.
Satu persatu ku sendok nasi goreng buatan Ben, kusendok ke dalam mulut sambil memikirkan banyak hal. Tentunya tentang pernikahan kami yang awalnya ku harap begitu sempurna. Tetapi ternyata sebaliknya.
Ben, pertama kali aku mengenalnya saat di klinik, ketika ia sedang mendonor darahnya. Ibuku yang waktu itu masih bekerja sebagai perawat yang melayani Ben.
Ibu memang sering bercerita bahwa Ben adalah salah satu pendonor rutin. Ia selalu datang satu kali dalam sepekan untuk menyumbangkan darahnya.
Kekaguman ibu serta tanda tanya akan Ben terjawab setelah memasuki bulan keempat. Saat pada akhirnya Ben mengaku, setelah ia dikotak ibu untuk donor karena berat badannya kurang dari lima puluh kilogram. Ia mengaku baru sakit. Tapi Ben tidak menyerah begitu saja, tetap memaksa agar tetap diizinkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
Aini Qurotul
blm siap menikah
2021-01-03
0
ciby😘
lanjuttt
2020-12-14
0
Mimid S. Arifin
males lanjut bacanya,mf
2020-11-28
0