Hatiku benar-benar panas. Aku tidak terima atas apa yang ia ucapkan. Apalagi menyamakan rumahku dengan rumah burung. Jahat sekali! Ini benar-benar sudah menghina habis-habisan. Begitu mengecilkan aku. Kalaupun ia melihat rumahku kecil, ya sudah, tidak perlu dibicarakan juga.
"Semoga Tuhan membalas kamu Bu Fenti. Saya benar-benar sakit hati dengan kata-kata kamu!" aku berlalu ke dalam tanpa mempedulikan siapapun.
"Lho Bu Di kenapa nyumpahin saya seperti itu? Kan saya ngomong apa adanya. Terus main pergi saja. Dasar tidak punya sopan santun! Lihat tuh Bu RT, kelakuan warga ibu yang ...." masih terdengar Omelan dari mulut Bu Fenti, tapi tidak lagi kuacuhkan hingga benar-benar tidak terdengar.
Sampai di dalam rumah. Aku langsung mengunci pintu rapat-rapat. Kemudian menjatuhkan diri di lantai. Menangis sejadi-jadinya untuk melepaskan segala kekesalanku. Sakit sekali ya Allah, dibuat oleh nenek lampir itu.
"Dasar perempuan enggak punya hati. Wajah boleh cantik, duit boleh banyak, tapi enggak ada otak. Ngomong sembarangan aja, tidak pakai saringan. Kebanyakan makan uang haram sih, makanya mudah saja nyakitin perasaan orang lain!" aku mengomel dengan air mata berlinang.
Dulu sikap Bu Fenti tidak semenyebalkan ini. Ia cukup baik, bahkan suka sekali memberikan makanan pada Caca dan Cici. Aku menyadari perubahan itu saat ia mengemukakan isi hatinya ingin memperluas rumahnya, seperti rumah Bu RT dan rumah tetangga kami yang lain. Padahal sebenarnya rumah Bu Fenti sudah luas. Beda tipe dengan rumahku. Ia tipe seratus lima, sedangkan aku tipe tiga puluh enam.
Bu Fenti ingin membeli rumah kami agar rumahnya makin luas. Seperti yang dilakukan Bu Darna yang ada di ujung gang. Tapi aku tidak bersedia menjualnya karena belum tahu mau pindah kemana. Sejak itu Bu Fenti berubah sikap jadi aneh. Tidak pernah lagi menyapaku, mengajak Caca dan Cici bicara. Kalaupun ia bersuara itu pasti untuk menyindir atau mengolokku, seperti yang ia lakukan tadi.
Padahal aku tidak pernah julid apalagi ikut campur urusan keluarganya. Siapa yang tidak tahu rahasia bahwa suaminya adalah salah satu pejabat yang koruptor, makanya uangnya banyak. Itu adalah rahasia umum di komplek ini. Semua orang selalu menjadikan suami Bu Fenti sebagai bahan gunjingan. Tetapi perempuan yang hanya terpaut satu tahun dariku itu tidak pernah sadar diri, selalu menganggap dirinya suci.
Jadi, semua harta kekayaan yang ia miliki sekarang adalah hasil dari merampok rakyat. Harusnya ia malu, tetapi Bu Fenti seperti tidak punya malu, selalu bangga memamerkan tas, sepatu dan pakaian barunya pada tetangga kiri dan kanan. Padahal itu uang korupsi.
***
Dari balik jendela aku melihat kondisi di luar. Sudah tidak ada Bu Fenti ataupun Bu RT. Buru-buru aku keluar rumah dengan memakai masker dengan harapan tidak ada yang mengenaliku.
"Eh bu burung keluar dari sarangnya!" seri Bu Fenti yang sedang berdiri di antara kembangnya, ia memang tidak melihat ke arahku, tapi aku sangat yakin bahwa yang dibicarakan sebagai ibu burung itu adalah aku.
"Sabar ... sabar Diandra. Tidak usah didengarkan. Kalau dia bilang aku ibu burung, dia ibu rampok!" kataku dalam hati, sambil tersenyum.
"Kasihan sekali, kemana-mana jalan kaki, baling barter naik angkot atau motor butut. Namanya juga Bu burung hihihi." katanya lagi.
Sudah Diandra, tidak mempedulikan nenek lampir itu, anggap saja angin lalu." sambil bersenandung dalam hati aku berlalu tanpa melengos sedikitpun pada tetangga julidku tersebut.
***
Aku berhenti tepat di depan pagar rumah bercat biru muda. Rumah yang ukurannya sedikit lebih besar dari rumah tempat kami tinggali sekarang. Rumah ini adalah rumah ibu, dimana aku lahir dan tumbuh besar sebelum akhirnya diboyong oleh Ben ke rumah yang disebut sarang burung oleh tetangga julidku.
Rumah ini penuh kenangan sebab di sini aku menghabiskan hari. Meskipun lebih banyak ku lalui dalam kesendirian sebab ibu sibuk dengan pekerjaannya sebagai seorang perawat, bahkan ibu sering mengambil lemburan demi mencukupi kebutuhan kami.
Ada kebanggaan pada ibu, sekaligus kesal ketika ingat Ben. Ibu yang sudah jadi janda di usia muda saja sanggup beli rumah yang lebih besar darinya. Tunai, tanpa KPR. Tapi Ben, ughhhh, aku kembali diselimuti kekesalan. Sampai kapan harus begini.
"Di, apa itu kamu?" sebuah suara membuyarkan lamunanku. Kepala ibu nongol dari jendela depan.
"Iya Bu, ini aku!" seruku, lalu segera membuka pagar, masuk terus ke dalam rumah.
"Tumben datang jam segini. Ada apa?" tanya ibu, sambil meletakkan jahitannya.
Setelah pensiun sebagai seorang perawat, ibu mengisi waktu luangnya dengan menjahit pernak-pernik, hasilnya dititipkan pada toko crafter yang ada di pasar dekat rumah ibu.
"Kangen saja,"
"Enggak biasanya. Sejak kapan kamu punya rasa rindu pada ibu."
"Ada kok, ibu saja yang tidak nyadar. Tapi sekarang rindunya memang bukan ibu, tapi aku rindu ketenangan."
"Di sini bukannya tidak ada ketenangan. Kamu sering bilang begitu, kan?"
"Bu, Diandra sedang tidak ingin nyari masalah sama ibu. Diandra pengen istirahat."
"Kenapa Di?"
"Bosan, capek, BT, kesal!"
"Apa lagi?"
"Diandra muak hidup seperti ini terus dengan Ben,"
"Maksud kamu apa?"
"Diandra ingin bebas. Ingin mewujudkan mimpi-mimpi Diandra. Ingin punya kehidupan yang lebih baik lagi."
"Dengan Ben insyaAllah lebih baik."
"Itu kan kata ibu. Harusnya dulu Diandra nggak mau nurut kata-kata ibu. Harusnya Diandra menolak dijodohkan sama Ben."
"Lho, kenapa?"
"Karena Ben bukan lelaki kaya, dia pemalas, tidak pedulian, menyebalkan!"
"Astagfirullah Di, berhenti menjelekkan suamimu sendiri. Ibu tahu betul Ben tidak seperti itu. Ia lelaki yang baik, bertanggung jawab dan sangat menyayangi kamu serta anak-anak."
"Kata siapa?"
"Kata ibu barusan. Kamu enggak dengar?"
"Tapi beda dengan kesehariannya. Ibu nggak ngerasain karena ibu hanya penonton, bukan yang menjalani."
"Ben selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk keluarga kalian. Tapi jika masih kurang, ya berarti baru segitu rezekinya. Kamu harus sabar."
"Sabar sampai kapan Bu? Kami menikah sudah enam tahun, Diandra capek nungguin dia terus."
"Astagfirullah, kamu itu dari tidak berubah juga ya. Masih saja egois. Mementingkan diri sendiri tanpa mau melihat usaha orang lain. Ingat Di, kamu sudah punya anak, bukan waktunya mengedepankan ego sendiri. Ingat anak Di!"
"Justru karena ingat anak makanya Diandra minta lebih."
"Hidup itu harus sabar Di, jangan turuti nafsu, ikut-ikutan sama orang lain terus. Setiap orang beda-beda ujian dan nikmat yang diberikan oleh Allah. Kamu harus belajar untuk menerima takdir, Di. Ingat, kamu itu sudah punya anak, Caca dan Cici akan melihat kamu terus. Jadi jaga sikap dan perilaku Di." ibu terus menyampaikan petuah-petuah yang sama sekali tidak ingin aku dengarkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
Tri Widayanti
Duhhh Diandra
2022-09-13
0
Amanda Ayunda
dengerin tuh nasehat orang tua Diandra
2021-12-13
0
ciby😘
sabar ben...bojomu kurang syukur hemmmm
2020-12-14
0