5. Pulang Ke Rumah Ibu

Hatiku benar-benar panas. Aku tidak terima atas apa yang ia ucapkan. Apalagi menyamakan rumahku dengan rumah burung. Jahat sekali! Ini benar-benar sudah menghina habis-habisan. Begitu mengecilkan aku. Kalaupun ia melihat rumahku kecil, ya sudah, tidak perlu dibicarakan juga.

"Semoga Tuhan membalas kamu Bu Fenti. Saya benar-benar sakit hati dengan kata-kata kamu!" aku berlalu ke dalam tanpa mempedulikan siapapun.

"Lho Bu Di kenapa nyumpahin saya seperti itu? Kan saya ngomong apa adanya. Terus main pergi saja. Dasar tidak punya sopan santun! Lihat tuh Bu RT, kelakuan warga ibu yang ...." masih terdengar Omelan dari mulut Bu Fenti, tapi tidak lagi kuacuhkan hingga benar-benar tidak terdengar.

Sampai di dalam rumah. Aku langsung mengunci pintu rapat-rapat. Kemudian menjatuhkan diri di lantai. Menangis sejadi-jadinya untuk melepaskan segala kekesalanku. Sakit sekali ya Allah, dibuat oleh nenek lampir itu.

"Dasar perempuan enggak punya hati. Wajah boleh cantik, duit boleh banyak, tapi enggak ada otak. Ngomong sembarangan aja, tidak pakai saringan. Kebanyakan makan uang haram sih, makanya mudah saja nyakitin perasaan orang lain!" aku mengomel dengan air mata berlinang.

Dulu sikap Bu Fenti tidak semenyebalkan ini. Ia cukup baik, bahkan suka sekali memberikan makanan pada Caca dan Cici. Aku menyadari perubahan itu saat ia mengemukakan isi hatinya ingin memperluas rumahnya, seperti rumah Bu RT dan rumah tetangga kami yang lain. Padahal sebenarnya rumah Bu Fenti sudah luas. Beda tipe dengan rumahku. Ia tipe seratus lima, sedangkan aku tipe tiga puluh enam.

Bu Fenti ingin membeli rumah kami agar rumahnya makin luas. Seperti yang dilakukan Bu Darna yang ada di ujung gang. Tapi aku tidak bersedia menjualnya karena belum tahu mau pindah kemana. Sejak itu Bu Fenti berubah sikap jadi aneh. Tidak pernah lagi menyapaku, mengajak Caca dan Cici bicara. Kalaupun ia bersuara itu pasti untuk menyindir atau mengolokku, seperti yang ia lakukan tadi.

Padahal aku tidak pernah julid apalagi ikut campur urusan keluarganya. Siapa yang tidak tahu rahasia bahwa suaminya adalah salah satu pejabat yang koruptor, makanya uangnya banyak. Itu adalah rahasia umum di komplek ini. Semua orang selalu menjadikan suami Bu Fenti sebagai bahan gunjingan. Tetapi perempuan yang hanya terpaut satu tahun dariku itu tidak pernah sadar diri, selalu menganggap dirinya suci.

Jadi, semua harta kekayaan yang ia miliki sekarang adalah hasil dari merampok rakyat. Harusnya ia malu, tetapi Bu Fenti seperti tidak punya malu, selalu bangga memamerkan tas, sepatu dan pakaian barunya pada tetangga kiri dan kanan. Padahal itu uang korupsi.

***

Dari balik jendela aku melihat kondisi di luar. Sudah tidak ada Bu Fenti ataupun Bu RT. Buru-buru aku keluar rumah dengan memakai masker dengan harapan tidak ada yang mengenaliku.

"Eh bu burung keluar dari sarangnya!" seri Bu Fenti yang sedang berdiri di antara kembangnya, ia memang tidak melihat ke arahku, tapi aku sangat yakin bahwa yang dibicarakan sebagai ibu burung itu adalah aku.

"Sabar ... sabar Diandra. Tidak usah didengarkan. Kalau dia bilang aku ibu burung, dia ibu rampok!" kataku dalam hati, sambil tersenyum.

"Kasihan sekali, kemana-mana jalan kaki, baling barter naik angkot atau motor butut. Namanya juga Bu burung hihihi." katanya lagi.

Sudah Diandra, tidak mempedulikan nenek lampir itu, anggap saja angin lalu." sambil bersenandung dalam hati aku berlalu tanpa melengos sedikitpun pada tetangga julidku tersebut.

***

Aku berhenti tepat di depan pagar rumah bercat biru muda. Rumah yang ukurannya sedikit lebih besar dari rumah tempat kami tinggali sekarang. Rumah ini adalah rumah ibu, dimana aku lahir dan tumbuh besar sebelum akhirnya diboyong oleh Ben ke rumah yang disebut sarang burung oleh tetangga julidku.

Rumah ini penuh kenangan sebab di sini aku menghabiskan hari. Meskipun lebih banyak ku lalui dalam kesendirian sebab ibu sibuk dengan pekerjaannya sebagai seorang perawat, bahkan ibu sering mengambil lemburan demi mencukupi kebutuhan kami.

Ada kebanggaan pada ibu, sekaligus kesal ketika ingat Ben. Ibu yang sudah jadi janda di usia muda saja sanggup beli rumah yang lebih besar darinya. Tunai, tanpa KPR. Tapi Ben, ughhhh, aku kembali diselimuti kekesalan. Sampai kapan harus begini.

"Di, apa itu kamu?" sebuah suara membuyarkan lamunanku. Kepala ibu nongol dari jendela depan.

"Iya Bu, ini aku!" seruku, lalu segera membuka pagar, masuk terus ke dalam rumah.

"Tumben datang jam segini. Ada apa?" tanya ibu, sambil meletakkan jahitannya.

Setelah pensiun sebagai seorang perawat, ibu mengisi waktu luangnya dengan menjahit pernak-pernik, hasilnya dititipkan pada toko crafter yang ada di pasar dekat rumah ibu.

"Kangen saja,"

"Enggak biasanya. Sejak kapan kamu punya rasa rindu pada ibu."

"Ada kok, ibu saja yang tidak nyadar. Tapi sekarang rindunya memang bukan ibu, tapi aku rindu ketenangan."

"Di sini bukannya tidak ada ketenangan. Kamu sering bilang begitu, kan?"

"Bu, Diandra sedang tidak ingin nyari masalah sama ibu. Diandra pengen istirahat."

"Kenapa Di?"

"Bosan, capek, BT, kesal!"

"Apa lagi?"

"Diandra muak hidup seperti ini terus dengan Ben,"

"Maksud kamu apa?"

"Diandra ingin bebas. Ingin mewujudkan mimpi-mimpi Diandra. Ingin punya kehidupan yang lebih baik lagi."

"Dengan Ben insyaAllah lebih baik."

"Itu kan kata ibu. Harusnya dulu Diandra nggak mau nurut kata-kata ibu. Harusnya Diandra menolak dijodohkan sama Ben."

"Lho, kenapa?"

"Karena Ben bukan lelaki kaya, dia pemalas, tidak pedulian, menyebalkan!"

"Astagfirullah Di, berhenti menjelekkan suamimu sendiri. Ibu tahu betul Ben tidak seperti itu. Ia lelaki yang baik, bertanggung jawab dan sangat menyayangi kamu serta anak-anak."

"Kata siapa?"

"Kata ibu barusan. Kamu enggak dengar?"

"Tapi beda dengan kesehariannya. Ibu nggak ngerasain karena ibu hanya penonton, bukan yang menjalani."

"Ben selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk keluarga kalian. Tapi jika masih kurang, ya berarti baru segitu rezekinya. Kamu harus sabar."

"Sabar sampai kapan Bu? Kami menikah sudah enam tahun, Diandra capek nungguin dia terus."

"Astagfirullah, kamu itu dari tidak berubah juga ya. Masih saja egois. Mementingkan diri sendiri tanpa mau melihat usaha orang lain. Ingat Di, kamu sudah punya anak, bukan waktunya mengedepankan ego sendiri. Ingat anak Di!"

"Justru karena ingat anak makanya Diandra minta lebih."

"Hidup itu harus sabar Di, jangan turuti nafsu, ikut-ikutan sama orang lain terus. Setiap orang beda-beda ujian dan nikmat yang diberikan oleh Allah. Kamu harus belajar untuk menerima takdir, Di. Ingat, kamu itu sudah punya anak, Caca dan Cici akan melihat kamu terus. Jadi jaga sikap dan perilaku Di." ibu terus menyampaikan petuah-petuah yang sama sekali tidak ingin aku dengarkan.

Terpopuler

Comments

Tri Widayanti

Tri Widayanti

Duhhh Diandra

2022-09-13

0

Amanda Ayunda

Amanda Ayunda

dengerin tuh nasehat orang tua Diandra

2021-12-13

0

ciby😘

ciby😘

sabar ben...bojomu kurang syukur hemmmm

2020-12-14

0

lihat semua
Episodes
1 1. Kekesalan Yang Menumpuk
2 2. Jawaban Klasik
3 3. Saat Dia Pergi
4 4. Tetangga Julid
5 5. Pulang Ke Rumah Ibu
6 6. Aku Akan Mewujudkan Mimpiku
7 7. Ke Kantor Ben
8 8. Hadiah Dari Ben
9 9. Minggat Ke Rumah Ibu
10 10. Nyinyiran Ibu
11 11. Pilihan
12 12. Caca Dan Cici Ngambek
13 13. Nasihat Yang Diabaikan
14 14. Kerepotan
15 15. Ben Minta Penjelasan
16 16. Sidang
17 17. Putusan
18 18. Menyesal, Kah?
19 19. Hari Kedua
20 20. Berpisah Dengan Anak-anak
21 21. Bertemu Anak-anak
22 22. Janji Seorang Ibu
23 23. Ben Yang Berubah Dingin
24 24. Sikap Sinis Orang-orang
25 25. Ibu Datang
26 26. Mampukah Aku?
27 27. Anis Bicara
28 28. Nasya Datang
29 29. Anis Bicara
30 30. Pergi Dari Hidup Ben
31 31. Bicara Pada Caca
32 32. Tetangga Baru
33 33. Caca Dan Cici Di Kantor Polisi
34 34. Bicara Dengan Ben
35 35. Tawaran Mbak Hana
36 36. Memulai Semuanya Dari Awal
37 37. Anis Datang
38 38. Di Tengahi Mbak Hana
39 39. Ternyata Masih Ada Orang Baik
40 40. Anis Datang Lagi
41 41. Ben Datang Lagi
42 42. Ibu Maafkan Aku
43 43. Ibu Maafkan Aku (2)
44 44. Jalan Tol Dari Mbak Hana
45 45. Kejutan Dari Allah
46 46. Janji Pada Caca
47 47. Aku Tak Akan Menyerah
48 48. Kita Mulai Semua Dari Awal
49 49. Ibu, Maafkan Aku
50 50. Terimakasih
51 51. Rencana Nasya
52 52. Bertemu Ben
53 53. Rumah Impian
54 54. Kejutan Dari Ben
55 55. Rahasia Besar Ibu
56 56. Rahasia Besar Ibu (2)
57 57. Rahasia Besar Ibu (3)
58 58. Bertemu Ibunya Nasya
59 59. Bicara Pada Tante Maya
60 60. Kesaksian Tante Maya
61 61. Mencari Nasya
62 62. Kepergian Tante Maya
63 63. Kepergian Tante Maya (2)
64 64. Ancaman Ben (1)
65 65. Nasihat Ben
66 66. Persiapan Perang
67 67. Hadiah Dari Ben
68 68. Telepon Dari Nasya
69 69. Ben, Maafkan Aku
70 70. Baby Ketiga
71 71. Harapan Mbak Hana
72 72. Setelah Tiga Bulan
73 73. Permintaan Lelaki Itu
74 74. Ibu, Tenanglah
75 75. Bicata
76 76. Lelaki Kenalan Ibu
77 77. Novel Dan Penolakan
78 78. Harus Lebih Kuat, Di.
79 79. Tak Ada Alasan Untuk Tidak Bersyukur
80 80. Bujukan
81 81. Perjuangan Ben
82 82. Keributan Pagi Ini
83 83. Suara Teriakan Lagi
84 84. Jualan
85 85. Diremehkan
86 86. Kejutan Dari Mbak Hana
87 87. Caca Hilang
88 88. Berkelahi
89 89. Hibah 11 Triliun
90 90. Surat Tante Maya
91 91. Mencari Nasya
92 92. Menemukan Nasya
93 93. Cerita Nasya
94 94. Apakah Kamu Mau Jadi Saudaraku?
95 95. Akhir
Episodes

Updated 95 Episodes

1
1. Kekesalan Yang Menumpuk
2
2. Jawaban Klasik
3
3. Saat Dia Pergi
4
4. Tetangga Julid
5
5. Pulang Ke Rumah Ibu
6
6. Aku Akan Mewujudkan Mimpiku
7
7. Ke Kantor Ben
8
8. Hadiah Dari Ben
9
9. Minggat Ke Rumah Ibu
10
10. Nyinyiran Ibu
11
11. Pilihan
12
12. Caca Dan Cici Ngambek
13
13. Nasihat Yang Diabaikan
14
14. Kerepotan
15
15. Ben Minta Penjelasan
16
16. Sidang
17
17. Putusan
18
18. Menyesal, Kah?
19
19. Hari Kedua
20
20. Berpisah Dengan Anak-anak
21
21. Bertemu Anak-anak
22
22. Janji Seorang Ibu
23
23. Ben Yang Berubah Dingin
24
24. Sikap Sinis Orang-orang
25
25. Ibu Datang
26
26. Mampukah Aku?
27
27. Anis Bicara
28
28. Nasya Datang
29
29. Anis Bicara
30
30. Pergi Dari Hidup Ben
31
31. Bicara Pada Caca
32
32. Tetangga Baru
33
33. Caca Dan Cici Di Kantor Polisi
34
34. Bicara Dengan Ben
35
35. Tawaran Mbak Hana
36
36. Memulai Semuanya Dari Awal
37
37. Anis Datang
38
38. Di Tengahi Mbak Hana
39
39. Ternyata Masih Ada Orang Baik
40
40. Anis Datang Lagi
41
41. Ben Datang Lagi
42
42. Ibu Maafkan Aku
43
43. Ibu Maafkan Aku (2)
44
44. Jalan Tol Dari Mbak Hana
45
45. Kejutan Dari Allah
46
46. Janji Pada Caca
47
47. Aku Tak Akan Menyerah
48
48. Kita Mulai Semua Dari Awal
49
49. Ibu, Maafkan Aku
50
50. Terimakasih
51
51. Rencana Nasya
52
52. Bertemu Ben
53
53. Rumah Impian
54
54. Kejutan Dari Ben
55
55. Rahasia Besar Ibu
56
56. Rahasia Besar Ibu (2)
57
57. Rahasia Besar Ibu (3)
58
58. Bertemu Ibunya Nasya
59
59. Bicara Pada Tante Maya
60
60. Kesaksian Tante Maya
61
61. Mencari Nasya
62
62. Kepergian Tante Maya
63
63. Kepergian Tante Maya (2)
64
64. Ancaman Ben (1)
65
65. Nasihat Ben
66
66. Persiapan Perang
67
67. Hadiah Dari Ben
68
68. Telepon Dari Nasya
69
69. Ben, Maafkan Aku
70
70. Baby Ketiga
71
71. Harapan Mbak Hana
72
72. Setelah Tiga Bulan
73
73. Permintaan Lelaki Itu
74
74. Ibu, Tenanglah
75
75. Bicata
76
76. Lelaki Kenalan Ibu
77
77. Novel Dan Penolakan
78
78. Harus Lebih Kuat, Di.
79
79. Tak Ada Alasan Untuk Tidak Bersyukur
80
80. Bujukan
81
81. Perjuangan Ben
82
82. Keributan Pagi Ini
83
83. Suara Teriakan Lagi
84
84. Jualan
85
85. Diremehkan
86
86. Kejutan Dari Mbak Hana
87
87. Caca Hilang
88
88. Berkelahi
89
89. Hibah 11 Triliun
90
90. Surat Tante Maya
91
91. Mencari Nasya
92
92. Menemukan Nasya
93
93. Cerita Nasya
94
94. Apakah Kamu Mau Jadi Saudaraku?
95
95. Akhir

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!