"Assalamualaikum ...." Ben masuk ke dalam rumah usai mengucapkan salam dengan suara pelan, mungkin ia takut membangunkan anak-anak.
"Dari mana saja?" kataku, dengan wajah yang entah menunjukkan ekspresi apa sebab sudah begitu suntuk seharian dengan aktivitas yang berulang selama hampir enam tahun ini.
"Di, kamu belum tidur?"
"Tidur? Kamu pikir aku perempuan seperti apa Ben, bisa tidur saat suaminya belum pulang?"
"Maaf Di, tapi kan aku sudah mengabari kalau hari ini lembur."
"Maaf? Ben, biasanya kalau kamu lembur kan cuma sampai jam sembilan malam. Tapi ini sudah pukul sebelas, Ben. Sudah malam sekali. Lagipula kenapa tidak memberi kabar? Apa kamu tahu bagaimana lelahnya aku menunggu? Ditambah anak-anak yang ikut-ikutan berulah seperti Papa-nya!" aku mulai meluapkan kemarahan, mengeluarkan semua unek-unek yang sudah tidak tertahankan hingga suaraku mungkin terdengar sampai ujung gang karena hari sudah makan sementara nada suara sengaja ku naikkan hingga beberapa oktaf. Hak biasa yang kulakukan kalau sudah kesal pada Ben.
"Di, kamu kan tahu Hp-ku rusak, makanya tidak bisa mengabari. Tapi aku sudah berusaha menelepon dari telepon kantor, tapi tidak kamu angkat."
"Ben, kamu kan juga tahu, aku paling tidak bisa menjawab telepon saat anak-anak bersamaku. Lagipula mana aku tahu kalau itu telepon kamu. Dan alasan Hp rusak, kamu mau beli Hp baru? Iya, Ben? Kamu kan tahu perekonomian kita pas-pasan. Kalau kamu memaksa beli Hp baru, bisa-bisa anak-anak makan nasi putih aja."
"Maaf Di,"
"Maaf ... maaf ... maaf! Itu saja yang kamu bisa. Lagipula berapa sih kamu dibayar sama perusahaan sampai mau lembur segini larut. Aku heran padamu Ben, kenapa begitu royal pada kantor yang tidak bisa memberikan jaminan kesejahteraan untuk karyawannya. Gaji paling kecil tapi memeras tenaga karyawan benar-benar kebangetan. Persis penjajah. Jahat!"
"Maaf Di,"
"Apa kamu tidak bisa melakukan hal lain selain minta maaf? Atau apa dengan permohonan maafmu rasa lelahku bisa hilang? Kekesalanku padamu hilang? Aku capek Ben, capek! Seharian menghadapi ulah Caca dan Cici, mengerjakan pekerjaan rumah yang tidak kunjung beres ditambah harus menjemput anak-anak. Ya, aku sendiri yang menjemput mereka. Kamu enggak tahu, kan? Kami terpaksa naik turun angkot, lalu nyambung jalan kaki sambil gantian menggendong mereka karena merengek kelelahan."
"Lho, kenapa Di? Kan ada pak Imran?"
"Pak Imran sudah berhenti. Tadi pagi dia datang minta naik gaji, tapi aku tolak. Makanya dia minta berhenti saja. Katanya bayaran yang kita berikan untuk menjemput anak-anak terlalu kecil, sudah setahun lebih tidak dinaik-naikkan juga, padahal apa-apa sudah naik. Makanya dia mundur. Padahal dia tidak tahu, gaji kamu juga enggak naik-naik sejak enam tahun lalu. Tetap stay di angka tiga juta. Iya kan Ben?"
"Maaf Di,"
"Maaf lagi. Kamu tahu tidak Ben, aku malu saat dia bicara dengan nada suara sengaja ditinggikan agar ibu-ibu satu komplek mendengar. Aku kesal Ben, kesal sekali! Apa kamu tahu, teman-temanku yang suaminya kerja seperti kamu sudah kaya raya. Tidak tinggal di rumah KPR, yang entah kapan lunasnya. Padahal rumah kita kecil sekali. Tidak ada apa-apanya dengan rumah teman-temanku.
Mereka juga punya mobil. Enggak Hanya motor keluaran entah tahun berapa saking lamanya aku lupa tahunnya.
Lalu mereka tiap akhir pekan bisa liburan kemanapun mereka mau. Enggak hanya di dalam negeri, tapi juga keluar negeri. Kamu paham nggak Ben. Hidupku benar-benar tersiksa dengan kamu!"
"Aku akan berusaha lebih keras lagi, sabar ya Di."
"Sabar ... sabar ... sabar. Hanya itu yang bisa kamu katakan. Memangnya aku kurang sabar Ben? Sampai harus lebih sabar lagi? Aku capek Ben. Sungguh lelah dan juga muak. Harus nunggu berapa lama lagi?"
"Sedikit lagi Di, insyaAllah tahun ini kita ...,"
Kata-kata Ben terhenti sebab mendengar suara tangis anak-anak. Entah itu Caca atau Cici. Yang jelas Ben bersegera masuk ke dalam untuk menghampiri putri kami.
"Dari tahun kemarin kata-katanya sama. Suruh sabar, suruh tunggu. Keburu kiamat!" aku masih melanjutkan omelan.
"Di, baju Caca penuh semut, kenapa ya?" tanya Ben, sambil berusaha mengganti pakaian Caca yang masih merengek sambil menggaruk badannya.
"Tauk!" jawabku.
"Ya Allah, nak. Caca main apa, kenapa bajunya basah dan lengket begini? Ini apa?" Ben masih saja berusaha sementara anaknya merengek, mungkin menahan sakit akibat gigitan semut.
Di rumah ini memang begitu. Banyak semutnya, meski aku sudah cukup rajin membersihkan. Asal ada sedikit yang manis saja maka pasukan semut akan datang.
"Di, tolong bantu dong." pinta Ben.
"Tolong ... tolong. Kerjakan saja sendiri. Dari tadi pagi aku juga ngerjain semuanya sendiri. Sampai mau copot nih pinggang gara-gara ngurusin anak-anak, tapi kamu juga nggak nolongin.
Jadi laki-laki jangan egois Ben, jangan maunya dilayani terus. Apa-apa selalu aja ngandelin istri. Apa kamu tahu betapa lelahnya aku. Dikit-dikit tolong, persis anak kecil.
Aku udah bosan Ben, disuruh-suruh terus. Tapi kamu tetap aja enggak peduli. Kamu mah enak, pulang-pulang tinggal istirahat. Apa salahnya sesekali bantuin aku?" ungkapku, panjang lebar.
"Aku kan juga bantu kamu, Di." ungkap Ben, sambil menimang Caca yang sudah selesai berganti pakaian dan sudah ditaburi minyak anti semut yang tercium dari aromanya.
"Bantu apa?"
"Kan aku selalu berusaha pulang tepat waktu. Kalau enggak lembur jam setengah enam sudah sampai rumah. Setelah itu aku bantu jagain Caca dan Cici, kok. Kadang juga bantu kamu beberes. Itu semua aku lakukan demi mengurangi beban kamu, Di. Aku tahu kamu lelah, aku ...,"
"Oo, jadi sekarang kamu mau hitung-hitungan?"
"Bukan Di, tadi kan kamu yang nanya."
"Alah banyak alasan, kamu memang enggak pernah ikhlas bantuin aku. Iya kan Ben. Lalu kamu maunya apa? Mau seperti teman-teman kamu yang bebas mau pulang jam berapa, atau nongkrong dimana? Iya, Ben? Kalau gitu cari saja perempuan yang sejenis seperti istri teman-teman kamu. Yang enggak punya rasa lelah, yang anaknya enggak seaktif anak-anak kamu. Jangan jadi kepala keluarga kami. Paham!"
"Di ... Di. Aku itu enggak ngeluh kok. Enggak merasa berat juga punya istri seperti kamu dan anak-anak kayak Caca dan Cici, tapi aku hanya ...,"
"Alasan kamu saja, Ben!"
Aku sebenarnya sangat lelah, ingin sekali berbaring dan segera terlelap untuk melepas keletihan ini. Tapi juga masih ingin melepaskan kekesalanku pada Ben. Aku ingin ia tahu bahwa aku lelah, aku bosan dengan keadaan kami yang begini-begini saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
Tutik Rahayu
masih 2 bab uda bagus tp knp like dikit ya...
ga melulu kisah CEO , bagus ini seperti kehidupan real
2023-02-24
1
Amanda Ayunda
ngenes
2021-12-13
0
Efan Zega
cerewet bgt sih....
2021-02-09
0