4. Tetangga Julid

Ibu tentu saja penasaran akan kegigihan Ben tersebut. Setelah ditanya-tanya, akhirnya Ben mengaku bahwa ia memang sengaja mendonorkan darah, bukan hanya sekedar ingin donor sebab ada misi lainnya, yaitu uang imbalan dari klinik untuk yang rutin donor darah. Ya, demi dua ratus ribu dari klinik setiap donor rutin, Ben melakukan semuanya.

Dari hasil ibu mengulik informasi dari Ben, ketahuan juga bahwa ia anak yatim piatu yang harus membiayai adiknya sedang sakit-sakitan. Tetapi akhirnya harus menghembuskan nafas terakhir ketika memasuki tahun keempat.

Sebenarnya Ben sudah bekerja keras. Tetapi uangnya masih kurang untuk membiayai operasi jantung sang adik. Makanya, setiap peluang yang ada selalu di ambil oleh Ben demi pengobatan adiknya tetap berjalan.

Cerita dari Ben membuat ibu sakit padanya. Saat anak muda seusianya sibuk dengan hal-hal yang kadang tidak bermanfaat, tapi Ben melakukan sebaliknya. Ia bekerja keras demi adiknya. Beban yang begitu berat tidak pernah membuatnya mundur.

Tidak hanya membantu Ben kala itu, ibupun mengisyaratkan agar Ben menjadi menantunya. Untuk siapa lagi kalau bukan untukku, putri tunggal ibu. Menurut ibu, Ben akan jadi suami yang baik, akan membahagiakan aku.

Untung saja wajah Ben tergolong rupawan hingga dengan mudahnya ia menjerat hatiku, lalu pernikahan kami berlangsung usai sama-sama meraih gelar Sarjana. Atas kesepakatan bersama, aku tidak bekerja, Ben yang akan memikul tanggung jawab ekonomi keluarga.

"Sayur ... sayur ... sayur!" panggilan pedagang sayur membuyarkan lamunanku.

Aku langsung bangkit, menyambar kerudung yang ada, lalu membuka pintu menuju tukang sayur yang memarkir gerobaknya tepat di depan rumahku.

Sekali dalam tiga hari aku memang rutin belanja sayuran. Meski pedagang sayurnya selalu lewat tiap hari, tapi aku memesankan untuk berhenti setiap sekali dalam tiga hari sebab biasanya sayuran akan ku letakkan dalam kulkas supaya tidak harus keluar setiap hari.

Ada banyak hal yang membuatku malas sering-sering bertemu dengan tetangga. Terutama Bu Fenti, tetangga yang tinggal persis di sebelah kiri rumahku.

Aku tak pernah nyaman berada dekat-dekat dengannya. Sikapnya yang ceplas-ceplos selalu membuatku risih. Apalagi ia punya keinginan membeli rumah kami agar bisa melebarkan rumahnya.

"Eh bu Diandra, lama enggak keluar. Saya kira pergi kemana." sapanya, dengan nada suara yang dibuat semanis mungkin. "Eh iya, semalam ada suaranya ya. Maaf, saya sampai kaget, soalnya Bu Diandra teriak-teriak. Saya kira ada apa-apa lho, mau saya samperin." ungkapnya.

Aku hanya melempar senyum tanpa mau menanggapi. Lalu sibuk memilih tiga papan tempe, satu ikat bayam, dua bungkus tahu, wortel, kubis dan tomat.

"Ini berapa totalnya semua mang?" kataku pada pedagang sayur.

"Lho ... lho ... lho. Katanya Bu Diandra belanjanya sekali tiga hari?" tanya Bu Fenti.

"Iya," jawabku.

"Segini untuk tiga hari? Astagfirullah, emang cukup bu? Makannya bagaimana itu? Pantasan Bu Diandra dan pak Ben langsing-langsing ya. Ternyata ini resepnya. Mana punya balita lagi. Enggak pakai ikan, daging, ayam atau telur emang cukup Bu gizi untuk anak-anak?" tanya Bu Fenti lagi, sambil memamerkan belanjaannya. "Ini, saya belanja segini saja untuk satu hari. Ada protein hewani, nabati, sayuran, juga buahnya. Supaya gizi anak tercukupi, Bu."

"Apaan sih? Penting ya buat ngomong seperti itu?" tanyaku. Emosiku kembali tersulut dengan sikap Bu Fenti yang cukup menyebalkan ini.

Apa untungnya bagi dia memamerkan belanjaan yang mewah itu? Lalu apa manfaatnya juga ia mengomentari bekanjaanku? Sikapnya yang seperti itu sama saja merendahkan aku.

"Lho, jangan marah dong Bu Di, saya kan cuma ...,"

"Cuma apa? Mau pamer kan kalau kamu kaya raya, terus mau menyudutkan saya, mempermalukan saya karena tidak bisa membeli bahan belanjaan seperti kamu? Rese ya!"

"Duh Bu Di ini emosian sekali ya. Baru juga dibilangin seperti itu udah nyolot. Bagaimana di rumah tangganya? Untung saja pak Ben sabar sehingga sanggup ngadepin Bu Di yang pemarah seperti ini "

"Kamu duluan yang mulai. Sekarang malah ikut campur urusan keluarga saya. Apa urusannya dengan kamu, hah?"

"Eh dibilangin masih aja nyolot. Dasar ibu-ibu pemarah. Enggak hanya suaminya yang jadi korban, saya juga mau disemprot? Enak saja, saya nggak akan diam saja seperti suami kamu nenek sihir!"

"Apa kamu bilang? Kalau saya nenek sihir, kamu nenek lampir!"

"Sembarangan kamu ngomong!"

Adu mulut antara kami pun terjadi. Perempuan yang jadi tetanggaku itu memang sangat menyebalkan, sesekali ia harus mendapatkan balasan untuk segala sikapnya yang julid. Selama ini aku diam saja, tapi kali ini ia tidak akan ku lepaskan. Biar kapok!

"Bu Diandra, Bu Fenti ... berhenti!" kata Bu RT yang baru datang karena dipanggil mamang pedagang sayur.

Mamang pedagang sayur sudah berusaha memisahkan kami, menghentikan adu mulut ini, tapi tidak ada yang mendengarkan sebab emosi sudah terlanjur tersulut.

"Ada apa ini? Malu atuh sama tetangga yang lain. Masih pagi tapi sudah perang. Apalagi Bu Diandra dan Bu Fenti itu tetangga, sebelahan rumah pula." ungkap Bu RT.

"Ini lho Bu RT, Bu Diandra marah-marah sama saya. Tapi saya enggak heran sih, Bu Diandra ini kan memang dasarnya pemarah. Dengar saja, sering banget ngomel-ngomel ke suami dan anaknya. Serem, perempuan kok pemarah!" kata Bu Fenti, berusaha membela diri.

"Saya enggak akan marah kalau kamu enggak mancing-mancing duluan. Kenapa juga harus julid pada hidup dan keluarga saya. Mau saya pemarah atau tidak itu bukan urusan kamu!" kataku lagi.

"Bu Diandra ... Bu Fenti, sudah tho." pinta Bu RT.

"Dia memang sengaja Bu membuat saya tidak nyaman supaya saya cepat pindah dan dia bisa membeli rumah kami. Tapi jangan mimpi, saya enggak akan pernah menjual rumah ini ke kamu. Paham!" kataku, dengan tegas.

"Lho kenapa?" tanya Bu Fenti.

"Suka-suka saya dong!" jawabku.

"Eh kamu sombong sekali Bu Diandra. Padahal gaji suami pas-pasan, enggak pantas tinggal di perumahan ini. Apa enggak nyadar, rumah Bu Diandra satu-satunya yang kecil, enggak punya apa-apa lagi. Padahal tetangga kiri, Kanan, muka dan belakang rumahnya sudah ditambah semua. Sudah pada besar!" ungkap Bu Fenti.

"Bu Fenti, tidak boleh bicara seperti itu. Mau rumahnya Bu Diandra besar atau kecil, itu bukan urusan kita. Yang terpenting kan Bu Diandra tidak mengganggu Bu Fenti!" kata Bu RT.

"Kata siapa tidak mengganggu? Bu RT enggak tahu kan bagaimana tersiksanya saya punya tetangga seperti Bu Diandra. Setiap hari suaranya yang menggelegar itu mengganggu ketentraman saya. Bahkan pernah saya sedang maskeran, hampir retak masker saya karena kaget sebab Bu Di teriak-teriak nggak jelas.

Terus, setiap membuka pintu rumah, mata saya sepet melihat rumah Bu Diandra yang kecil mungil, kayak kandang burung saja!" hinaan demi hinaan terlontar dari mulut Bu Fenti, sehingga membuat harga diriku semakin terinjak-injak.

Terpopuler

Comments

ciby😘

ciby😘

dasar tetangga edan....nyinyir bgt

2020-12-14

0

Er Linawati

Er Linawati

puyeeeeng lh pya tetangga serba rempong hahaha

2020-11-28

0

Ivan S Amhar

Ivan S Amhar

tetangga tetangga

2020-07-08

0

lihat semua
Episodes
1 1. Kekesalan Yang Menumpuk
2 2. Jawaban Klasik
3 3. Saat Dia Pergi
4 4. Tetangga Julid
5 5. Pulang Ke Rumah Ibu
6 6. Aku Akan Mewujudkan Mimpiku
7 7. Ke Kantor Ben
8 8. Hadiah Dari Ben
9 9. Minggat Ke Rumah Ibu
10 10. Nyinyiran Ibu
11 11. Pilihan
12 12. Caca Dan Cici Ngambek
13 13. Nasihat Yang Diabaikan
14 14. Kerepotan
15 15. Ben Minta Penjelasan
16 16. Sidang
17 17. Putusan
18 18. Menyesal, Kah?
19 19. Hari Kedua
20 20. Berpisah Dengan Anak-anak
21 21. Bertemu Anak-anak
22 22. Janji Seorang Ibu
23 23. Ben Yang Berubah Dingin
24 24. Sikap Sinis Orang-orang
25 25. Ibu Datang
26 26. Mampukah Aku?
27 27. Anis Bicara
28 28. Nasya Datang
29 29. Anis Bicara
30 30. Pergi Dari Hidup Ben
31 31. Bicara Pada Caca
32 32. Tetangga Baru
33 33. Caca Dan Cici Di Kantor Polisi
34 34. Bicara Dengan Ben
35 35. Tawaran Mbak Hana
36 36. Memulai Semuanya Dari Awal
37 37. Anis Datang
38 38. Di Tengahi Mbak Hana
39 39. Ternyata Masih Ada Orang Baik
40 40. Anis Datang Lagi
41 41. Ben Datang Lagi
42 42. Ibu Maafkan Aku
43 43. Ibu Maafkan Aku (2)
44 44. Jalan Tol Dari Mbak Hana
45 45. Kejutan Dari Allah
46 46. Janji Pada Caca
47 47. Aku Tak Akan Menyerah
48 48. Kita Mulai Semua Dari Awal
49 49. Ibu, Maafkan Aku
50 50. Terimakasih
51 51. Rencana Nasya
52 52. Bertemu Ben
53 53. Rumah Impian
54 54. Kejutan Dari Ben
55 55. Rahasia Besar Ibu
56 56. Rahasia Besar Ibu (2)
57 57. Rahasia Besar Ibu (3)
58 58. Bertemu Ibunya Nasya
59 59. Bicara Pada Tante Maya
60 60. Kesaksian Tante Maya
61 61. Mencari Nasya
62 62. Kepergian Tante Maya
63 63. Kepergian Tante Maya (2)
64 64. Ancaman Ben (1)
65 65. Nasihat Ben
66 66. Persiapan Perang
67 67. Hadiah Dari Ben
68 68. Telepon Dari Nasya
69 69. Ben, Maafkan Aku
70 70. Baby Ketiga
71 71. Harapan Mbak Hana
72 72. Setelah Tiga Bulan
73 73. Permintaan Lelaki Itu
74 74. Ibu, Tenanglah
75 75. Bicata
76 76. Lelaki Kenalan Ibu
77 77. Novel Dan Penolakan
78 78. Harus Lebih Kuat, Di.
79 79. Tak Ada Alasan Untuk Tidak Bersyukur
80 80. Bujukan
81 81. Perjuangan Ben
82 82. Keributan Pagi Ini
83 83. Suara Teriakan Lagi
84 84. Jualan
85 85. Diremehkan
86 86. Kejutan Dari Mbak Hana
87 87. Caca Hilang
88 88. Berkelahi
89 89. Hibah 11 Triliun
90 90. Surat Tante Maya
91 91. Mencari Nasya
92 92. Menemukan Nasya
93 93. Cerita Nasya
94 94. Apakah Kamu Mau Jadi Saudaraku?
95 95. Akhir
Episodes

Updated 95 Episodes

1
1. Kekesalan Yang Menumpuk
2
2. Jawaban Klasik
3
3. Saat Dia Pergi
4
4. Tetangga Julid
5
5. Pulang Ke Rumah Ibu
6
6. Aku Akan Mewujudkan Mimpiku
7
7. Ke Kantor Ben
8
8. Hadiah Dari Ben
9
9. Minggat Ke Rumah Ibu
10
10. Nyinyiran Ibu
11
11. Pilihan
12
12. Caca Dan Cici Ngambek
13
13. Nasihat Yang Diabaikan
14
14. Kerepotan
15
15. Ben Minta Penjelasan
16
16. Sidang
17
17. Putusan
18
18. Menyesal, Kah?
19
19. Hari Kedua
20
20. Berpisah Dengan Anak-anak
21
21. Bertemu Anak-anak
22
22. Janji Seorang Ibu
23
23. Ben Yang Berubah Dingin
24
24. Sikap Sinis Orang-orang
25
25. Ibu Datang
26
26. Mampukah Aku?
27
27. Anis Bicara
28
28. Nasya Datang
29
29. Anis Bicara
30
30. Pergi Dari Hidup Ben
31
31. Bicara Pada Caca
32
32. Tetangga Baru
33
33. Caca Dan Cici Di Kantor Polisi
34
34. Bicara Dengan Ben
35
35. Tawaran Mbak Hana
36
36. Memulai Semuanya Dari Awal
37
37. Anis Datang
38
38. Di Tengahi Mbak Hana
39
39. Ternyata Masih Ada Orang Baik
40
40. Anis Datang Lagi
41
41. Ben Datang Lagi
42
42. Ibu Maafkan Aku
43
43. Ibu Maafkan Aku (2)
44
44. Jalan Tol Dari Mbak Hana
45
45. Kejutan Dari Allah
46
46. Janji Pada Caca
47
47. Aku Tak Akan Menyerah
48
48. Kita Mulai Semua Dari Awal
49
49. Ibu, Maafkan Aku
50
50. Terimakasih
51
51. Rencana Nasya
52
52. Bertemu Ben
53
53. Rumah Impian
54
54. Kejutan Dari Ben
55
55. Rahasia Besar Ibu
56
56. Rahasia Besar Ibu (2)
57
57. Rahasia Besar Ibu (3)
58
58. Bertemu Ibunya Nasya
59
59. Bicara Pada Tante Maya
60
60. Kesaksian Tante Maya
61
61. Mencari Nasya
62
62. Kepergian Tante Maya
63
63. Kepergian Tante Maya (2)
64
64. Ancaman Ben (1)
65
65. Nasihat Ben
66
66. Persiapan Perang
67
67. Hadiah Dari Ben
68
68. Telepon Dari Nasya
69
69. Ben, Maafkan Aku
70
70. Baby Ketiga
71
71. Harapan Mbak Hana
72
72. Setelah Tiga Bulan
73
73. Permintaan Lelaki Itu
74
74. Ibu, Tenanglah
75
75. Bicata
76
76. Lelaki Kenalan Ibu
77
77. Novel Dan Penolakan
78
78. Harus Lebih Kuat, Di.
79
79. Tak Ada Alasan Untuk Tidak Bersyukur
80
80. Bujukan
81
81. Perjuangan Ben
82
82. Keributan Pagi Ini
83
83. Suara Teriakan Lagi
84
84. Jualan
85
85. Diremehkan
86
86. Kejutan Dari Mbak Hana
87
87. Caca Hilang
88
88. Berkelahi
89
89. Hibah 11 Triliun
90
90. Surat Tante Maya
91
91. Mencari Nasya
92
92. Menemukan Nasya
93
93. Cerita Nasya
94
94. Apakah Kamu Mau Jadi Saudaraku?
95
95. Akhir

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!