Ibu tentu saja penasaran akan kegigihan Ben tersebut. Setelah ditanya-tanya, akhirnya Ben mengaku bahwa ia memang sengaja mendonorkan darah, bukan hanya sekedar ingin donor sebab ada misi lainnya, yaitu uang imbalan dari klinik untuk yang rutin donor darah. Ya, demi dua ratus ribu dari klinik setiap donor rutin, Ben melakukan semuanya.
Dari hasil ibu mengulik informasi dari Ben, ketahuan juga bahwa ia anak yatim piatu yang harus membiayai adiknya sedang sakit-sakitan. Tetapi akhirnya harus menghembuskan nafas terakhir ketika memasuki tahun keempat.
Sebenarnya Ben sudah bekerja keras. Tetapi uangnya masih kurang untuk membiayai operasi jantung sang adik. Makanya, setiap peluang yang ada selalu di ambil oleh Ben demi pengobatan adiknya tetap berjalan.
Cerita dari Ben membuat ibu sakit padanya. Saat anak muda seusianya sibuk dengan hal-hal yang kadang tidak bermanfaat, tapi Ben melakukan sebaliknya. Ia bekerja keras demi adiknya. Beban yang begitu berat tidak pernah membuatnya mundur.
Tidak hanya membantu Ben kala itu, ibupun mengisyaratkan agar Ben menjadi menantunya. Untuk siapa lagi kalau bukan untukku, putri tunggal ibu. Menurut ibu, Ben akan jadi suami yang baik, akan membahagiakan aku.
Untung saja wajah Ben tergolong rupawan hingga dengan mudahnya ia menjerat hatiku, lalu pernikahan kami berlangsung usai sama-sama meraih gelar Sarjana. Atas kesepakatan bersama, aku tidak bekerja, Ben yang akan memikul tanggung jawab ekonomi keluarga.
"Sayur ... sayur ... sayur!" panggilan pedagang sayur membuyarkan lamunanku.
Aku langsung bangkit, menyambar kerudung yang ada, lalu membuka pintu menuju tukang sayur yang memarkir gerobaknya tepat di depan rumahku.
Sekali dalam tiga hari aku memang rutin belanja sayuran. Meski pedagang sayurnya selalu lewat tiap hari, tapi aku memesankan untuk berhenti setiap sekali dalam tiga hari sebab biasanya sayuran akan ku letakkan dalam kulkas supaya tidak harus keluar setiap hari.
Ada banyak hal yang membuatku malas sering-sering bertemu dengan tetangga. Terutama Bu Fenti, tetangga yang tinggal persis di sebelah kiri rumahku.
Aku tak pernah nyaman berada dekat-dekat dengannya. Sikapnya yang ceplas-ceplos selalu membuatku risih. Apalagi ia punya keinginan membeli rumah kami agar bisa melebarkan rumahnya.
"Eh bu Diandra, lama enggak keluar. Saya kira pergi kemana." sapanya, dengan nada suara yang dibuat semanis mungkin. "Eh iya, semalam ada suaranya ya. Maaf, saya sampai kaget, soalnya Bu Diandra teriak-teriak. Saya kira ada apa-apa lho, mau saya samperin." ungkapnya.
Aku hanya melempar senyum tanpa mau menanggapi. Lalu sibuk memilih tiga papan tempe, satu ikat bayam, dua bungkus tahu, wortel, kubis dan tomat.
"Ini berapa totalnya semua mang?" kataku pada pedagang sayur.
"Lho ... lho ... lho. Katanya Bu Diandra belanjanya sekali tiga hari?" tanya Bu Fenti.
"Iya," jawabku.
"Segini untuk tiga hari? Astagfirullah, emang cukup bu? Makannya bagaimana itu? Pantasan Bu Diandra dan pak Ben langsing-langsing ya. Ternyata ini resepnya. Mana punya balita lagi. Enggak pakai ikan, daging, ayam atau telur emang cukup Bu gizi untuk anak-anak?" tanya Bu Fenti lagi, sambil memamerkan belanjaannya. "Ini, saya belanja segini saja untuk satu hari. Ada protein hewani, nabati, sayuran, juga buahnya. Supaya gizi anak tercukupi, Bu."
"Apaan sih? Penting ya buat ngomong seperti itu?" tanyaku. Emosiku kembali tersulut dengan sikap Bu Fenti yang cukup menyebalkan ini.
Apa untungnya bagi dia memamerkan belanjaan yang mewah itu? Lalu apa manfaatnya juga ia mengomentari bekanjaanku? Sikapnya yang seperti itu sama saja merendahkan aku.
"Lho, jangan marah dong Bu Di, saya kan cuma ...,"
"Cuma apa? Mau pamer kan kalau kamu kaya raya, terus mau menyudutkan saya, mempermalukan saya karena tidak bisa membeli bahan belanjaan seperti kamu? Rese ya!"
"Duh Bu Di ini emosian sekali ya. Baru juga dibilangin seperti itu udah nyolot. Bagaimana di rumah tangganya? Untung saja pak Ben sabar sehingga sanggup ngadepin Bu Di yang pemarah seperti ini "
"Kamu duluan yang mulai. Sekarang malah ikut campur urusan keluarga saya. Apa urusannya dengan kamu, hah?"
"Eh dibilangin masih aja nyolot. Dasar ibu-ibu pemarah. Enggak hanya suaminya yang jadi korban, saya juga mau disemprot? Enak saja, saya nggak akan diam saja seperti suami kamu nenek sihir!"
"Apa kamu bilang? Kalau saya nenek sihir, kamu nenek lampir!"
"Sembarangan kamu ngomong!"
Adu mulut antara kami pun terjadi. Perempuan yang jadi tetanggaku itu memang sangat menyebalkan, sesekali ia harus mendapatkan balasan untuk segala sikapnya yang julid. Selama ini aku diam saja, tapi kali ini ia tidak akan ku lepaskan. Biar kapok!
"Bu Diandra, Bu Fenti ... berhenti!" kata Bu RT yang baru datang karena dipanggil mamang pedagang sayur.
Mamang pedagang sayur sudah berusaha memisahkan kami, menghentikan adu mulut ini, tapi tidak ada yang mendengarkan sebab emosi sudah terlanjur tersulut.
"Ada apa ini? Malu atuh sama tetangga yang lain. Masih pagi tapi sudah perang. Apalagi Bu Diandra dan Bu Fenti itu tetangga, sebelahan rumah pula." ungkap Bu RT.
"Ini lho Bu RT, Bu Diandra marah-marah sama saya. Tapi saya enggak heran sih, Bu Diandra ini kan memang dasarnya pemarah. Dengar saja, sering banget ngomel-ngomel ke suami dan anaknya. Serem, perempuan kok pemarah!" kata Bu Fenti, berusaha membela diri.
"Saya enggak akan marah kalau kamu enggak mancing-mancing duluan. Kenapa juga harus julid pada hidup dan keluarga saya. Mau saya pemarah atau tidak itu bukan urusan kamu!" kataku lagi.
"Bu Diandra ... Bu Fenti, sudah tho." pinta Bu RT.
"Dia memang sengaja Bu membuat saya tidak nyaman supaya saya cepat pindah dan dia bisa membeli rumah kami. Tapi jangan mimpi, saya enggak akan pernah menjual rumah ini ke kamu. Paham!" kataku, dengan tegas.
"Lho kenapa?" tanya Bu Fenti.
"Suka-suka saya dong!" jawabku.
"Eh kamu sombong sekali Bu Diandra. Padahal gaji suami pas-pasan, enggak pantas tinggal di perumahan ini. Apa enggak nyadar, rumah Bu Diandra satu-satunya yang kecil, enggak punya apa-apa lagi. Padahal tetangga kiri, Kanan, muka dan belakang rumahnya sudah ditambah semua. Sudah pada besar!" ungkap Bu Fenti.
"Bu Fenti, tidak boleh bicara seperti itu. Mau rumahnya Bu Diandra besar atau kecil, itu bukan urusan kita. Yang terpenting kan Bu Diandra tidak mengganggu Bu Fenti!" kata Bu RT.
"Kata siapa tidak mengganggu? Bu RT enggak tahu kan bagaimana tersiksanya saya punya tetangga seperti Bu Diandra. Setiap hari suaranya yang menggelegar itu mengganggu ketentraman saya. Bahkan pernah saya sedang maskeran, hampir retak masker saya karena kaget sebab Bu Di teriak-teriak nggak jelas.
Terus, setiap membuka pintu rumah, mata saya sepet melihat rumah Bu Diandra yang kecil mungil, kayak kandang burung saja!" hinaan demi hinaan terlontar dari mulut Bu Fenti, sehingga membuat harga diriku semakin terinjak-injak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
ciby😘
dasar tetangga edan....nyinyir bgt
2020-12-14
0
Er Linawati
puyeeeeng lh pya tetangga serba rempong hahaha
2020-11-28
0
Ivan S Amhar
tetangga tetangga
2020-07-08
0