Sudah pukul sembilan malam. Tapi belum juga ada tanda-tanda bahwa Caca dan Cici, kedua anak kembarku mengantuk, mereka justru terlihat begitu bersemangat main dari satu permainan ke permainan lainnya. Padahal energiku sudah habis terkuras mengurus mereka sejak bangun tidur hingga sekarang, belum lagi mengerjakan pekerjaan rumah yang sambung-menyambung bahkan sampai sekarang belum juga beres-beres. Benar-benar tidak ada rehatnya. Bahkan untuk sekedar meluruskan punggung rasanya tidak bisa.
"Apa kalian belum mau tidur juga?" tanyaku, usai mengambil nafas supaya amarah tidak meledak, saat melihat ulah mereka yang kembali membongkar mainan. Padahal sudah ada perjanjian, mainan tidak boleh digelar kalau sudah pukul tujuh malam.
Tapi namanya anak-anak, kadang meski sudah membuat perjanjian, ada kalanya mereka akan melanggarnya. Tidak mempedulikan kesepakatan yang kalian buat dengan sungguh-sungguh.
"Caca, Cici ... dengar kata-kata Mama, enggak?" kataku. Tidak ada respon, mereka semakin asyik membongkar mainan sehingga membuat ruang tengah berantakan dengan mainan yang berhamburan dimana-mana. "Tidur ya, Mama bikinkan susu. Jangan tidur larut, supaya besok tidak telat ke sekolahnya!" ungkapku.
Aku segera ke dapur, menyeduh dua gelas susu putih untuk sikembar. Lalu bergegas menemui mereka. Harapannya, mereka mau segera tidur.
"Ayo minum susunya," kataku. Kedua anak itu menurut, mendekat, dan meminum susu mereka.
Hanya sebentar aku ke dapur untuk merapikan kaleng susu, lalu saat kembali menemui anak-anak, terpampang nyata pemandangan yang menyulut emosiku.
Entah siapa pelakunya, susu yang tadinya berada dalam gelas sudah tumpah di lantai, bahkan mengenai sebagian mainan mereka.
Mataku langsung melotot saat melihat sebagian lagi susu itu mengenai laptop milikku. Laptop yang akan jadi jalan untuk meraih mimpiku. Laptop yang aku beli dari hasil menabung selama kuliah, dari gaji sebagai pekerja part time di swalayan. Laptop yang paling aku sayang dan kujaga. Tidak ada seorang pun yang boleh menyentuhnya kecuali aku, lalu kini laptop itu basah oleh susu.
"Aghhhhh!" aku langsung menaikkan nada suara, berteriak kencang sehingga membuat Caca dan Cici yang tadinya berlari-larian di rumah yang tidak luas jadi diam. "Siapa yang numpahin susu ke laptop Mama?" tanyaku.
"Caca," tunjuk Cici.
"Tapi kan Cici yang dorong-dorong Caca," jawab Caca.
"Pintar ya kalian berdua, bikin Mama kesal saja. Sudah berapa kali Mama katakan, jangan bercanda saat makan dan minum. Lihat ini jadinya! Kalian tahu, laptop itu sangat berharga bagi Mama. Ini satu-satunya jalan Mama untuk jadi penulis, tapi kalian malah menghancurkan mimpi Mama!" sentakku masih dengan suara tinggi. "Sini, ayo anggung jawab!" aku menarik tangan Caca hingga ia meringis kesakitan, lalu memaksanya mengeringkan bekas susu dengan bajunya.
"Mama, jangan. Caca enggak mau." ungkap Caca sambil menangis.
"Rasakan, siapa suruh numpahin susu di laptop Mama." kataku. "Sekarang lap sampai bersih. Paham!"
Bocah berusia lima tahun itu menurut, ia membersihkan sisa susu dengan pakaiannya karena aku tidak menyediakan kain lap untuknya. Aku memang sengaja, supaya ia kapok dan tidak mengulang lagi nantinya.
"Sekarang kalian berdua tidur!" kataku.
"Caca mau ganti baju, ma." ungkap Caca.
"Nggak boleh. Tidur saja pakai baju basah bekas susu tumpah supaya kamu kapok!" kataku lagi sambil berkacak pinggang.
Caca menangis, tapi ia tidak berani protes. Mengikuti perintahku, masuk ke kamar, lalu tidur di kasur masing-masing.
"Ihhhhhh, dasar anak-anak!" aku mengumpat kesal melihat pemandangan yang sangat menjengkelkan. Lalu mulai membersihkan mainan tersebut satu-persatu. "Aduhhhh," aku meringis kesakitan saat printilan kecil dari mainan Caca dan Cici mengenai kakiku. Rasanya sakit sekali. Mereka masih saja meletakkan mainan sembarangan, padahal sudah berkali-kali ku ingatkan agar jangan sembarang meletakkan mainan. Tapi namanya anak-anak, mereka tetap saja tidak mendengar, masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Menyebalkan!
Usai merapikan mainan, aku bergegas menyapu dan mengepel lantai agar tidak lengket dan banyak semut.
Pekerjaan baru selesai hampir pukul sebelas malam. Rasanya badanku sudah sangat remuk, emosi sudah menumpuk-numpuk, seperti bom waktu yang siap meledak. Lalu dengan kesal aku duduk di ruang tamu, memperhatikan rumah tipe tiga puluh enam yang sudah enam tahun kami tempati.
Rumah ini semakin lama terasa semakin tidak nyaman. Setiap berada di dalamnya rasanya hatiku terbakar emosi. Ada saja yang tidak aku sukai. Kadang juga berharap bisa segera pindah ke rumah yang lebih besar dan bagus.
Kenapa nasibku begini sekali. Selama enam tahun ini tidak ada peningkatan sedikitpun. Aku hanya tetap ibu rumah tangga biasa yang emosian sebab apa yang aku harapkan tidak bisa terwujud.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, menyadarkan aku dari lamunan. Kenapa ia belum juga datang. Aku mengecek hp, ada beberapa panggilan tidak terjawab, entah nomor rumah atau nomor kantor. Tidak ada pesan ataupun telepon dari Ben.
Kemana ia semalam ini? Apa yang ia lakukan? Aku terus bertanya-tanya. Beberapa hari terakhir aku merasa ia memang terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Bahkan tidak pernah lagi mau terlibat dalam pengurusan Caca dan Cici.
Aku menghembuskan nafas kesal. Entah mengapa dadaku rasanya sesak membayangkan betapa tidak bahagianya aku dengan pernikahan ini.
Selama enam tahun sepertinya tidak ada bahagia sama sekali. Hanya beban dan penderitaan yang aku dapatkan sebab terkurung dalam aktivitas sebagai ibu rumah tangga. Aku ingin bebas, aku juga ingin bahagia, aku ingin merasakan seperti yang kau . Bebas mau kemana saja, membeli apa saja, bertemu siapa saja, ada yang melayani, ada hadiah-hadiah menarik. Tapi yang aku dapatkan adalah kebalikannya.
Entah mengapa air mataku langsung tumpah begitu deras, pundakku rasanya berat. Aku kesal, marah, sedih dan kecewa dengan jalan hidupku sendiri.
Aku ingin bebas. Harus bebas. Itulah suara-suara yang kini terdengar jelas di batinku.
Suara motor diikuti pagar yang terbuka, menyadarkanku dari lamunan. Tepat pukul sebelas lewat lima belas menit. Semalam ini ia pulang?
Terbayang wajah lelaki yang menikahiku enam tahun lalu. Lelaki yang berjanji akan membahagiakanku seumur hidupnya, akan berjuang memberikan yang terbaik. Serta janji-janji manis akan mensejahterakan hidupku. Tapi itu semua palsu. Ia tidak pernah mewujudkannya. Justru ia memberikan sebaliknya. Ia hanya ingin menyiksaku, membuatku tidak bisa apa-apa selain berkutat dengan urusan rumah dan anak-anak.
"Kamu benar-benar jahat, Ben. Kamu tega memenjarakan aku di sini. Kamu lelaki yang tidak punya hati. Aku sudah tidak ingin lagi hidup bersamamu. Aku ingin bebas. Aku tidak mau jadi budak kamu lagi yang harmonis melakukan apapun yang kamu mau!" ucapku dalam hati.
Halooo, dukung cerita ini dengan memberi like, komen, vote serta masukan yang membangun ya agar author semangat nulisnya. terimakasih :)
"Assalamualaikum ...." Ben masuk ke dalam rumah usai mengucapkan salam dengan suara pelan, mungkin ia takut membangunkan anak-anak.
"Dari mana saja?" kataku, dengan wajah yang entah menunjukkan ekspresi apa sebab sudah begitu suntuk seharian dengan aktivitas yang berulang selama hampir enam tahun ini.
"Di, kamu belum tidur?"
"Tidur? Kamu pikir aku perempuan seperti apa Ben, bisa tidur saat suaminya belum pulang?"
"Maaf Di, tapi kan aku sudah mengabari kalau hari ini lembur."
"Maaf? Ben, biasanya kalau kamu lembur kan cuma sampai jam sembilan malam. Tapi ini sudah pukul sebelas, Ben. Sudah malam sekali. Lagipula kenapa tidak memberi kabar? Apa kamu tahu bagaimana lelahnya aku menunggu? Ditambah anak-anak yang ikut-ikutan berulah seperti Papa-nya!" aku mulai meluapkan kemarahan, mengeluarkan semua unek-unek yang sudah tidak tertahankan hingga suaraku mungkin terdengar sampai ujung gang karena hari sudah makan sementara nada suara sengaja ku naikkan hingga beberapa oktaf. Hak biasa yang kulakukan kalau sudah kesal pada Ben.
"Di, kamu kan tahu Hp-ku rusak, makanya tidak bisa mengabari. Tapi aku sudah berusaha menelepon dari telepon kantor, tapi tidak kamu angkat."
"Ben, kamu kan juga tahu, aku paling tidak bisa menjawab telepon saat anak-anak bersamaku. Lagipula mana aku tahu kalau itu telepon kamu. Dan alasan Hp rusak, kamu mau beli Hp baru? Iya, Ben? Kamu kan tahu perekonomian kita pas-pasan. Kalau kamu memaksa beli Hp baru, bisa-bisa anak-anak makan nasi putih aja."
"Maaf Di,"
"Maaf ... maaf ... maaf! Itu saja yang kamu bisa. Lagipula berapa sih kamu dibayar sama perusahaan sampai mau lembur segini larut. Aku heran padamu Ben, kenapa begitu royal pada kantor yang tidak bisa memberikan jaminan kesejahteraan untuk karyawannya. Gaji paling kecil tapi memeras tenaga karyawan benar-benar kebangetan. Persis penjajah. Jahat!"
"Maaf Di,"
"Apa kamu tidak bisa melakukan hal lain selain minta maaf? Atau apa dengan permohonan maafmu rasa lelahku bisa hilang? Kekesalanku padamu hilang? Aku capek Ben, capek! Seharian menghadapi ulah Caca dan Cici, mengerjakan pekerjaan rumah yang tidak kunjung beres ditambah harus menjemput anak-anak. Ya, aku sendiri yang menjemput mereka. Kamu enggak tahu, kan? Kami terpaksa naik turun angkot, lalu nyambung jalan kaki sambil gantian menggendong mereka karena merengek kelelahan."
"Lho, kenapa Di? Kan ada pak Imran?"
"Pak Imran sudah berhenti. Tadi pagi dia datang minta naik gaji, tapi aku tolak. Makanya dia minta berhenti saja. Katanya bayaran yang kita berikan untuk menjemput anak-anak terlalu kecil, sudah setahun lebih tidak dinaik-naikkan juga, padahal apa-apa sudah naik. Makanya dia mundur. Padahal dia tidak tahu, gaji kamu juga enggak naik-naik sejak enam tahun lalu. Tetap stay di angka tiga juta. Iya kan Ben?"
"Maaf Di,"
"Maaf lagi. Kamu tahu tidak Ben, aku malu saat dia bicara dengan nada suara sengaja ditinggikan agar ibu-ibu satu komplek mendengar. Aku kesal Ben, kesal sekali! Apa kamu tahu, teman-temanku yang suaminya kerja seperti kamu sudah kaya raya. Tidak tinggal di rumah KPR, yang entah kapan lunasnya. Padahal rumah kita kecil sekali. Tidak ada apa-apanya dengan rumah teman-temanku.
Mereka juga punya mobil. Enggak Hanya motor keluaran entah tahun berapa saking lamanya aku lupa tahunnya.
Lalu mereka tiap akhir pekan bisa liburan kemanapun mereka mau. Enggak hanya di dalam negeri, tapi juga keluar negeri. Kamu paham nggak Ben. Hidupku benar-benar tersiksa dengan kamu!"
"Aku akan berusaha lebih keras lagi, sabar ya Di."
"Sabar ... sabar ... sabar. Hanya itu yang bisa kamu katakan. Memangnya aku kurang sabar Ben? Sampai harus lebih sabar lagi? Aku capek Ben. Sungguh lelah dan juga muak. Harus nunggu berapa lama lagi?"
"Sedikit lagi Di, insyaAllah tahun ini kita ...,"
Kata-kata Ben terhenti sebab mendengar suara tangis anak-anak. Entah itu Caca atau Cici. Yang jelas Ben bersegera masuk ke dalam untuk menghampiri putri kami.
"Dari tahun kemarin kata-katanya sama. Suruh sabar, suruh tunggu. Keburu kiamat!" aku masih melanjutkan omelan.
"Di, baju Caca penuh semut, kenapa ya?" tanya Ben, sambil berusaha mengganti pakaian Caca yang masih merengek sambil menggaruk badannya.
"Tauk!" jawabku.
"Ya Allah, nak. Caca main apa, kenapa bajunya basah dan lengket begini? Ini apa?" Ben masih saja berusaha sementara anaknya merengek, mungkin menahan sakit akibat gigitan semut.
Di rumah ini memang begitu. Banyak semutnya, meski aku sudah cukup rajin membersihkan. Asal ada sedikit yang manis saja maka pasukan semut akan datang.
"Di, tolong bantu dong." pinta Ben.
"Tolong ... tolong. Kerjakan saja sendiri. Dari tadi pagi aku juga ngerjain semuanya sendiri. Sampai mau copot nih pinggang gara-gara ngurusin anak-anak, tapi kamu juga nggak nolongin.
Jadi laki-laki jangan egois Ben, jangan maunya dilayani terus. Apa-apa selalu aja ngandelin istri. Apa kamu tahu betapa lelahnya aku. Dikit-dikit tolong, persis anak kecil.
Aku udah bosan Ben, disuruh-suruh terus. Tapi kamu tetap aja enggak peduli. Kamu mah enak, pulang-pulang tinggal istirahat. Apa salahnya sesekali bantuin aku?" ungkapku, panjang lebar.
"Aku kan juga bantu kamu, Di." ungkap Ben, sambil menimang Caca yang sudah selesai berganti pakaian dan sudah ditaburi minyak anti semut yang tercium dari aromanya.
"Bantu apa?"
"Kan aku selalu berusaha pulang tepat waktu. Kalau enggak lembur jam setengah enam sudah sampai rumah. Setelah itu aku bantu jagain Caca dan Cici, kok. Kadang juga bantu kamu beberes. Itu semua aku lakukan demi mengurangi beban kamu, Di. Aku tahu kamu lelah, aku ...,"
"Oo, jadi sekarang kamu mau hitung-hitungan?"
"Bukan Di, tadi kan kamu yang nanya."
"Alah banyak alasan, kamu memang enggak pernah ikhlas bantuin aku. Iya kan Ben. Lalu kamu maunya apa? Mau seperti teman-teman kamu yang bebas mau pulang jam berapa, atau nongkrong dimana? Iya, Ben? Kalau gitu cari saja perempuan yang sejenis seperti istri teman-teman kamu. Yang enggak punya rasa lelah, yang anaknya enggak seaktif anak-anak kamu. Jangan jadi kepala keluarga kami. Paham!"
"Di ... Di. Aku itu enggak ngeluh kok. Enggak merasa berat juga punya istri seperti kamu dan anak-anak kayak Caca dan Cici, tapi aku hanya ...,"
"Alasan kamu saja, Ben!"
Aku sebenarnya sangat lelah, ingin sekali berbaring dan segera terlelap untuk melepas keletihan ini. Tapi juga masih ingin melepaskan kekesalanku pada Ben. Aku ingin ia tahu bahwa aku lelah, aku bosan dengan keadaan kami yang begini-begini saja.
"Diandra sayang ... maafkan aku ya. Aku tahu, kamu pasti sangat lelah sekali. BT juga, iya kan? Tapi kamu tahu tidak, kamu adalah perempuan pertama dan terakhir yang sangat aku cintai. Aku begitu bersyukur punya istri seperti kamu, Di. Aku juga bersyukur punya anak-anak yang lucu, menggemaskan, pintar serta insyaAllah saliha seperti putri kita Caca dan Cici. Aku bersyukur jadi bagian dari hidup kalian. Bagiku kalian bertiga adalah prioritas utama dalam hidupku. Kalian adalah anugerah terindah yang akan selalu aku syukuri dan aku jaga. Aku ingin membahagiakan kalian sebab kehadiran kalian dalam hidupku adalah kebahagiaan yang tidak ternilai harganya. Jadi Di, kamu mau kan memaafkan aku yang banyak salah dan kurang ini?" ungkap Ben, sambil menggenggam erat kedua tanganku.
Entah mengapa, hal yang selalu bisa membuatku luluh, tapi kali ini rasanya hambar. Tidak lagi bisa ku terima. Aku sudah bosan. Lelah. Kesal. Muak dengan semua ini. Aku ingin bebas, merdeka, merasakan kebahagiaan seperti dulu sebelum aku menikah dengannya.
"Sudahlah, tidak usah menggombali aku lagi. Kamu kira aku akan percaya begitu saja? Tidak Ben! Enam tahun aku menunggumu, tidak ada perubahan sedikitpun. Cuma disuruh sabar ... sabar ... sabar saja. Iya, kan?" kataku.
"Maaf Di,"
"Itu lagi! Bikin kesal saja!" aku bangkit dari duduk setelah menepis tangan Ben. Begitu hendak menuju kamar, mataku tertuju pada laptop yang berada di atas meja. Segerombolan semut tengah bolak-balik. "Aaaaaaa!" teriakku.
"Di, kamu kenapa?" tanya Ben.
"Lihat ini ... lihat! Ini kerjaan anak kamu. Caca numpahin susu ke laptopku dan sekarang laptopnya disemutin. Kalian benar-benar mengacaukan hidupku!"
"Jadi yang dibakukan Caca tadi tumpahan susu? Kenapa enggak diganti sih Di, jadinya Caca digigit semut, kan?"
"Emang aku sengaja. Aku kesal melihatnya. Ia dan Cici bercanda terus sampai susu tumpah. Makanya aku suruh dia mengeringkan bekas tumpahan susu tersebut dengan bajunya."
"Astagfirullah Di. Kamu ini apa-apaan sih? Kalau marah dan kesal sama aku ya balasnya ke aku. Jangan sama anak-anak, Di. Kasihan mereka. Pikiran mereka belum sempurna sehingga belum paham mana yang baik dan benar."
"Sama anak-anak juga kesal. Kamu tahu tidak, mereka enggak mau tidur siang, tidur sudah jam sembilan malam. Itu juga karena aku marah. Coba enggak marah, bisa begadang sampai dini hari. Merepotkan sekali! Paham nggak sekarang kamu Ben, bagaimana kesalnya aku?"
"Maafin anak-anak Di, maafin aku juga. Tapi jangan gitu lagi sama anak-anak ya. Mereka masih kecil. Kalau kamu kesal lagi sama mereka, balas ke aku saja."
"Kamu bisanya nyalah-nyalahin aku terus, Ben. Kapan kamu bisa mikir kalau aku juga butuh dimengerti. Aku lelah Ben. Aku juga punya mimpi. Tapi tidak bisa mewujudkannya sebab sekarang jalannya sudah kalian putus." aku membuka laptop, mencoba menyalakan, tetapi tidak bisa, mungkin karena basah kena susu atau karena ada semut yang masuk dalam mesinnya. "Lihat nih, laptop ini aku beli susah payah, sekarang malah rusak. Itu semua gara-gara kamu!" aku sudah kehilangan kesabaran, kembali marah-marah pada Ben sambil menangis.
Malam ini kuputuskan menyendiri, tidur di ruang tamu sambil menangis. Aku masih sangat kesal dengan ulah mereka bertiga. Ben, Caca dan Cici. Entah mengapa pernikahan ini terasa berat untukku.
***
Mataku masih sangat mengantuk. Tapi sayup-sayup terdengar suara Ben memanggil. Tidak lama berganti dengan teriakan nyaring tepat di telinga sehingga memekakkan gendang telinga ku, hingga nyaris melompat dari tidur.
"Ma ... Mama ... Mama!" panggil Caca dan Cici, bergantian.
"Iihhh, kalian ngapain sih!" kataku, dengan wajah kesal, menatap kedua anak kembar yang sebenarnya sangat menggemaskan itu. Tapi karena aku sedang kesal makanya mereka tidak lagi lucu di mataku.
"Salat Subuh ma!" ungkap Caca.
"Ayo masuk, bangun. Nanti keburu matahari terbit lho!" ungkap Cici lagi.
"Iya ... Iya. Kalian bawel juga ya!" aku menggerutu.
"Bawel kayak Mama!" ungkap Caca dengan penuh rasa bangga.
"Enak saja. Kayak papa!" kataku, spontan.
"Apa sih, siapa yang bawel?" Ben tiba-tiba sudah berada di dekatku.
"Nyebelin!" aku melongos menuju belakang untuk mengambil wudhu. Dari dapur tercium aroma nasi goreng yang ku yakin rasanya sangat lezat sebab Ben sendiri yang membuatnya. Ia memang jago memasak. Bahkan apa saja yang dibuatnya selalu menggugah seleraku.
Begitu sampai di kamar mandi, terdengar suara mesin cuci sedang di putar. Ini pasti kerjaan Ben juga.
Ben memang tipe lelaki family man. Ia selalu siaga mengerjakan pekerjaan rumah. Apalagi setekah kami punya Caca dan Cici. Ia akan siaga mengerjakan apapun yang dibinanya agar aku tidak terlalu kerepotan. Tetapi setelah beberapa bulan, sikapnya terasa berubah, entah apa penyebabnya. Bahkan aku merasa Ben seperti sibuk dengan dunianya sendiri sehingga membuatku kesal.
Selesai salat aku tidak langsung mengerjakan pekerjaan rumah atau mengurus anak-anak. Tetapi masuk ke kamar dan melanjutkan tidur. Sementara Ben sibuk mengurus persiapan Caca dan Cici ke sekolah. Mulai dari memandikan sikembar, menyiapkan pakaian dan sarapan hingga membuatkan bekal makanan untuk mereka.
Kalau sedang marah aku memang akan lepas tangan. Tidak peduli dengan mereka sampai marahku hilang. Biasanya Ben juga bisa menghandle semuanya.
"Di, anak-anak berangkat sekolah sama kamu ya. Aku hari ini harus ...," belum selesai Ben bicara, aku langsung memotong.
"Enggak bisa. Mereka berangkat bareng kamu. Aku enggak mau tahu. Aku mau lanjut tidur."
"Tapi Di,"
"Enggak ada tapi-tapi."
"Aku harus berangkat pagi. Kalau Caca diantar sekarang, kepagian."
"Biarin! Kalau enggak mau, antar aja mereka ke rumah ibu."
"Ya Allah Di, masa ngerepotin ibu. Ya sudah, tapi nanti tolong jemput anak-anak ya."
"Hm," kataku. Lalu memejamkan mata.
***
Jam didinding kamar sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Tidak ada suara apapun selain perputaran jarum jam.
Aku mengukur, kaku bangkit dari tidur. Bermakna menuju dapur. Rumah sudah rapi. Sudah dipelajari juga. Pakaian sudah dicuci. Sarapan juga sudah disiapkan. Ini baru hidup yang enak, meski untuk mendapatkannya harus marah-marah dulu.
Kadang aku heran pada Ben, kenapa ia begitu tidak peduli akan perasaanku. Harusnya Ben bisa faham apa yang aku mau.
Satu persatu ku sendok nasi goreng buatan Ben, kusendok ke dalam mulut sambil memikirkan banyak hal. Tentunya tentang pernikahan kami yang awalnya ku harap begitu sempurna. Tetapi ternyata sebaliknya.
Ben, pertama kali aku mengenalnya saat di klinik, ketika ia sedang mendonor darahnya. Ibuku yang waktu itu masih bekerja sebagai perawat yang melayani Ben.
Ibu memang sering bercerita bahwa Ben adalah salah satu pendonor rutin. Ia selalu datang satu kali dalam sepekan untuk menyumbangkan darahnya.
Kekaguman ibu serta tanda tanya akan Ben terjawab setelah memasuki bulan keempat. Saat pada akhirnya Ben mengaku, setelah ia dikotak ibu untuk donor karena berat badannya kurang dari lima puluh kilogram. Ia mengaku baru sakit. Tapi Ben tidak menyerah begitu saja, tetap memaksa agar tetap diizinkan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!