Cinta [Tak] Sempurna
Berdiri di balkon kamarnya, Jiang Lizqi menengadah, menatap langit malam yang tetap saja kelam meski dihiasi jutaan bintang. Awan kelabu perlahan berarak menghampiri bulan lalu mendekapnya dalam keremangan. Sejenak, suram pun menghiasi bumi dan ketika mega itu berlalu rembulan pun kembali berpendar ceria.
Bibir tipisnya mengukir senyum samar yang sepertinya terbalut lara. Jiang Lizqi teringat sebuah ungkapan yang mengatakan, selagi kita masih bisa menatap langit yang sama, maka masih selalu ada kesempatan untuk kembali bersua.
Dia tidak pernah tahu pasti apa maksud ungkapan tersebut, tetapi dia sendiri menafsirkan kalimat selagi kita masih bisa menatap langit yang sama, itu sebagai analogi dari selagi kita masih hidup. Jadi intinya, bila kita masih hidup pasti masih selalu ada kesempatan untuk bertemu lagi. Sesederhana itulah pemikirannya. Karena orang yang sudah mati tidak akan mungkin bisa menatap langit lagi, kan? Jadi, kesempatan untuk bertemu pun nihil.
Sejenak kelopaknya menutup. Berdoa dalam hati, dia berharap orang-orang yang dia sayangi, saat ini semua dalam keadaan baik dan masih menatap langit yang sama dengan yang dia tatap.
Pa, Ma. Aku sangat merindukan kalian.
Sudah empat tahun berlalu sejak dia memilih pergi meninggalkan rumah demi hidup bersama pria yang sangat dicintainya. Namun, rasa bersalah karena telah menikah tanpa restu dari mereka, masih terus menjadi beban hati, dan adakalanya akan terasa semakin mencengkeram jiwa hingga membuatnya sukar bernapas. Seolah ingin menghempaskan beban yang merantai hati, satu embusan napas panjang pun dia lontarkan.
Semakin lama dipandang, di matanya titik-titik bercahaya di langit itu seakan bertransformasi menjadi nyala lilin-lilin kecil yang menghiasi kue ulang tahun. Meski sudah empat tahun tidak pernah merayakan hari jadi, bahkan hanya ucapan selamat pun tidak ingin dia dengar. Namun, tetap saja hari istimewa itu diingatnya.
Lusa, tanggal lima dalam bulan Oktober ini usianya akan bertambah. Keluarga Jiang memiliki tradisi makan malam bersama di setiap hari jadi anggota keluarganya. Segala kesibukan harus ditangguhkan demi perayaan itu.
Hanya makan malam sederhana yang diakhiri dengan menyanyikan lagu ulang tahun, meniup lilin dan memotong kue, tetapi kehangatan yang terkandung di dalamnya selalu bisa membuat Jiang Lizqi merasa sangat diberkati.
Sejak kecil sudah terbiasa dengan tradisi seperti itu, membuatnya merasa tidak punya hak lagi untuk merayakan ulang tahun setelah dia kabur dari rumah. Dia merasa perayaan ulang tahun tanpa kehadiran mereka juga tanpa masakan dan kue buatan mamanya adalah tidak afdal.
Jiang Lizqi sangat merindukan mereka, ingin bertemu walau hanya sekali. Namun, apa boleh buat? Sejak dia nekat melangkahkan kaki keluar dari rumah, sang papa sudah menganggapnya mati.
Mengingat masa-masa itu membuat dadanya terasa sesak. Beberapa kali menghela napas panjang nan dalam tak kunjung membuatnya merasa lega, malah matanya kini terasa hangat. Kelopaknya berkedip-kedip untuk menghalau cairan yang kini telah mengaburkan pandangan.
Terlalu larut dalam dunianya, telinga Jiang Lizqi pun serasa tuli, tidak mampu menangkap hentakan halus langkah sang suami yang sedang menghampiri. Ketika kedua lengan kurus namun cukup berotot itu melingkar di pinggangnya, barulah dia menjengit.
"Ah, kamu mengagetkanku." Dia langsung mengayun tangan ke belakang untuk mengelus pipi Steven Lou yang kini bertopang dagu bada bahunya.
"Sorry." Steven Lou mendaratkan satu kecupan singkat di pipi sang istri. "Sudah larut kenapa masih di sini?" Kini, dia memberikan beberapa kecupan beruntun pada leher jenjang sang Jiang Lizqi.
Perlakuan semanis itu sudah tentu mampu mengalihkan dunia Jiang Lizqi. Secara naluriah dia pun menginginkan lebih---menoleh sambil mengerucutkan bibir dan langsung disambut oleh ciuman lembut nan hangat Steven Lou.
"Aku menunggumu pulang," ujarnya lirih setelah Steven Lou melepaskan tautan bibir.
"Tidak harus di sini juga, kan?"
Dekapan yang baru saja Steven Lou pererat seketika melonggar saat Jiang Lizqi memutar badan untuk menghadapnya. Menatap penuh cinta, senyum manis yang terkembang di bibir perempuan itu seketika membuat sang belahan jiwa meleleh, seperti magnet yang tertarik oleh kutub yang berlawanan, jarak pun otomatis terkikis dan berakhir dengan bibir saling bertaut.
Setelah beberapa saat penuh kasih nan hangat, Jiang Lizqi pun perlahan menarik diri. Sambil mengelus bibir Steven Lou, dia berbisik tepat di wajahnya dengan suara sedikit mendesah, "Mandi."
Mengangkat kedua alisnya dengan gestur jahil, Steven Lou membalas, "Bantu aku menggosok punggung."
Bibir Jiang Lizqi langsung manyun. "Sudah terlalu larut. Besok saja, ya," pintanya kemudian dengan tatapan memelas.
Steven Lou menautkan kedua alis, matanya melirik ke atas seperti juling dan bibir mengerucut. Begitulah dia bila sedang berpikir. Namun, sekarang dia tidak sedang sungguh-sungguh berpikir, hanya berpura-pura saja untuk menggoda istrinya.
"Apa yang kamu lakukan, huh? Menggelikan." Jiang Lizqi tergelak. Pucuk hidung Steven Lou yang mancung dan mungil pun dicubitnya gemas.
Sambil terkekeh, tanpa aba-aba Steven Lou mengangkat Jiang Lizqi, yang bersangkutan pun refleks melingkarkan kedua lengan ke lehernya.
Sembari melangkah Steven Lou berkata, "Besok aku ada pekerjaan di luar kota. Jadi, tidak akan ada kesempatan."
"Kok, mendadak?" Dahi Jiang Lizqi mengernyit. Hendak melakukan perjalanan jauh tanpa memberitahukan beberapa hari sebelumnya bukanlah tabiat Steven Lou.
Dan selama ini tidak pernah ada yang namanya jadwal dadakan. Semua sudah ada jadwal dan bila ada perubahan dari pihak lain yang mempengaruhi quality time, lebih baik baginya untuk memutuskan kerja sama daripada melihat Jiang Lizqi kecewa. Mengingat dia adalah CEO, hal semacam itu tidak mustahil terjadi.
Steven Lou membalas dengan santai, "Sebenarnya sudah dari seminggu lalu direncanakan. Hanya saja, aku lupa memberitahukannya padamu."
Rasanya ini lebih tidak mungkin lagi. Alasan yang terasa sangat dibuat-buat, tetapi Jiang Lizqi tidak ingin terlalu memikirkannya, apalagi sampai berprasangka buruk.
"Berapa lama?" Nada suaranya ringan, menyamarkan kegundahan hati dengan sempurna.
Steven Lou mengecup lembut dahi sang istri, lalu berkata, "Tidak lama. Lusa pasti sudah kembali."
Lusa. Oh, bukankah itu .... Jiang Lizqi buru-buru berkata, "Jangan buru-buru, selesaikan saja pekerjaanmu sampai tuntas dengan santai."
"Kenapa? Kamu tidak ingin aku segera pulang, huh?"
"Bu-bukan begitu. Aku hanya ... aku pikir ... ya, pokoknya tidak usah buru-buru saja." Jiang Lizqi gugup. Tidak tahu harus beralasan apa.
Untuk menghindari tatapan sang suami, dia menyembunyikan wajah di dadanya. "Jangan salah paham, aku hanya ingin kamu lebih santai sesekali. Tidak harus selalu buru-buru pulang karena aku."
"Hem, dimengerti."
Steven Lou membaringkan sang istri di atas kasur lalu menindihnya. Saat kepalanya rebah di dada, jemari Jiang Lizqi langsung mengelus dan memainkan helaian rambutnya yang lembut.
"Mandi."
"Bentar lagi."
"Aku bantu menggosok punggung."
Kelopak mata yang hampir terpejam seketika kembali terbuka dan seperti mendapat suntikan energi baru, Steven Lou langsung mengangkat kepala. Jiang Lizqi sampai dibuat terbengong dengan kecepatannya.
"Tunggu apa lagi? Ayo mandi." Steven Lou segera turun dari atas Jiang Lizqi, lalu kembali menggendongnya.
Jiang Lizqi tergelak-gelak. Kenapa jadi seperti dia yang hendak dimandikan?
[Bersambung]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Mazmur
huhuiii....🤘❤️
2023-08-06
0
Kriez Naa
semangat dalam berkarya
2023-08-04
1