Tekadnya sudah bulat. Tidak akan pulang tanpa membawa orang tua Jiang Lizqi bersamanya. Perlahan dia menyeret langkah menjauh dari pintu, kemudian berlutut di anak tangga teras yang paling bawah. Dia datang dengan niat memohon, supaya ayah mertua yang tidak pernah mengakuinya sebagai menantu itu sudi, sekali saja datang bersama sang ibu untuk menemui Jiang Lizqi di hari ulang tahunnya. Steven Lou tidak akan menyerah. Kali ini dia harus bisa memberi kado ulang tahun yang selama empat tahun ini selalu menjadi impian istrinya.
Jiang Lizqi memang tidak pernah mengatakannya, tetapi dia tahu. Sangat tahu bahwa perempuan pemilik separuh jiwanya itu sangat ingin bisa merasakan kembali indahnya merayakan ulang tahun dengan menikmati makanan olahan sang ibu. Berkumpul melingkari meja makan, menyanyikan lagu ulang tahun bersama diiringi suara tepuk tangan meriah meski hanya dihadiri oleh segelintir orang saja.
"Beib, jangan khawatir. Aku pasti bisa memenuhi keinginanmu. Percayalah, aku pasti bisa."
Sinar matahari tengah hari begitu terik. Di balik kemeja tipis, kulitnya serasa terbakar, baru beberapa detik berlutut peluh sudah membanjiri tubuhnya. Namun, Steven Lou tetap bertahan.
Pemandangan itu terasa bagai dejavu bagi kedua orang tua Jiang Lizqi yang menyaksikannya dari balik dinding kaca ruang depan. Orang yang sama kembali berlutut di tempat yang sama dalam cuaca yang berbeda. Empat tahun yang lalu di malam hari dihujani butiran salju dan sekarang di siang hari, di bawah matahari yang bersinar sangat terik.
Pandangan Xiao Yauran mulai kabur karena telaga kecil sudah menggenang di pelupuk mata. Hatinya pedih luar biasa melihat betapa tulus Steven Lou mencintai putrinya. Perempuan itu buru-buru mengusap mata sebelum cairan bening yang ada di sana memaksa keluar, kemudian menoleh, menatap lekat sang suami yang berada tidak jauh di belakangnya.
"Pa---"
"Jangan menatapku seoalah aku ini penjahat. Tidak ada yang menyuruh dia melakukan itu. Biarkan saja." Acuh tak acuh, Jiang Hun segera melangkah, pergi meninggalkan ruang depan.
Menatap punggung sang suami dengan tatapan pilu, Xiao Yauran tidak sanggup lagi membendung air matanya. Sambil menangis tanpa suara, hanya sesekali terdengar isak kecil, perempuan itu melangkah ke ruang dalam, melewati sang suami yang sedang duduk di ruang bersantai, dia terus berjalan menuju dapur.
Segelas air tergenggam di tangan saat dia kembali. Jiang Hun melihatnya, tetapi tidak berkata apa-apa hanya saja wajahnya terlihat semakin keruh, dan tatapan berkilat tajam bagai pedang tertimpa cahaya matahari. Sampai-sampai, tanpa melihatnya pun Xiao Yauran bisa merasa terintimidasi. Tidak menghiraukan bulu tengkuk yang meremang, perempuan itu memantapkan diri membuka pintu depan.
Saat melihatnya, mata Steven Lou langsung berbinar. Wajah yang sudah basah nan memerah bak tomat itu pun berseri. Perlahan dia bangkit.
"Bibi ...."
"Minumlah." Xiao Yauran menyodorkan minuman tanpa memberi muka. "Setelah itu pulanglah. Percuma saja kamu berlutut, dia tidak akan pernah memaafkanmu." Nada bicaranya dingin, tetapi Steven Lou tahu Xiao Yauran itu berhati lembut dan hangat.
Tatapan lekat Jiang Lizqi menyiratkan tekad yang sangat kuat. Xiao Yauran tahu, tidak akan mudah membujuknya. Sama tidak mudahnya dengan meluluhkan hati Jiang Hun.
"Maaf, Bi. Aku sudah berjanji pada diri sendiri, tidak akan pulang tanpa kalian bersamaku."
Dugaan Xiao Yauran tidak salah. Hal itu membuat hatinya risau sekaligus kesal setengah mati. "Jangan keras kepala!" Dia menghardik. "Kami tidak ingin disalahkan kalau sampai kamu kenapa-kenapa di sini! Pulang! Pulang kataku! Pulang!" Xiao Yauran meninggikan suaranya. Sambil menangis dia menyiramkan air ke wajah StevenLou, kemudian pergi meninggalkannya dengan langkah-langkah lebar.
Sepeninggal sang ibu mertua, Steven Lou kembali berlutut. Apa pun yang terjadi, dia tidak akan menyerah. Sambil menyeka mata yang basah, dia bersyukur dalam hati karena air yang disiramkan ke wajahnya sedikit memberi rasa segar.
"Hentikan dia. Kalau tidak dia akan terus berlutut di sana." Berdiri di depan sang suami yang duduk santai bersilang kaki, Xiao Yauran memohon.
"Kenapa aku harus menghentikannya, hah?!" Jiang Hun meradang. Matanya melotot seperti hampir loncat ke luar. "Biarkan saja! Aku mau lihat, tahan sampai berapa lama dia seperti itu!"
"Tahan berapa lama?" Xiao Yauran mendekatkan wajahnya ke sang suami. "Tahan berapa lama katamu? Apa kamu lupa dulu dia sudah pernah melakukannya di bawah hujan salju? Kamu lupa, huh?!" Xiao Yauran meninggikan suara dan tangisnya pun pecah. Sambil terisak-isak dia berkata lirih, "Gara-gara itu Lizqi nekat pergi dari rumah---"
"Jadi kamu menyalahkan aku!?"
"Aku hanya mengatakan yang sebenarnya! Memangnya siapa lagi yang harus disalahkan?"
"Jadi kamu lebih suka Lizqi bersama laki-laki berandal keturunan tuan tanah keparat itu?!"
"Aku tidak peduli! Yang aku inginkan Lizqi bahagia. Bersama siapa pun yang penting Lizqiku bahagia! Semua sudah berlalu, kenapa masih harus menyimpan marah?!
"Apa kamu sudah gila?!"
"Ya, ya, aku gila! Hanya orang gila yang tidak melakukan apa-apa saat melihat anaknya minggat dari rumah! Anak yang sembilan bulan aku kandung, aku lahirkan dengan taruhan nyawa, dan aku besarkan penuh cinta! Tapi aku biarkan pergi begitu saja!"
Setelah berbicara berapi-api untuk melampiaskan amarah yang selama empat tahun ini dibiarkan mengendap di hati, Xiao Yauran berucap sangat lirih, bahkan hampir tidak terdengar ditelan isak tangis yang menjadi-jadi, "Ibu macam apa aku ini?"
Alih-alih bersimpati, Jiang Hun malah berkata sinis, "Kalau begitu, anggap saja aku juga gila. Dan jangan harap orang gila ini akan memaafkan bocah itu dengan mudah!"
"Pa!"
Dingin dan acuh tak acuh Jiang Hun meninggalkan istrinya. Masuk ke dalam sebuah ruangan tanpa menghiraukan teriakannya. Xiao Yauran mendadak merasa pusing dan pandangan berkunang-kunang, buru-buru dia menjatuhkan diri di sofa lalu berbaring. Kepalanya kini terasa sakit sekali. Perlahan jemarinya memijit pelipis yang rasanya berdenyut-denyut. Air matanya pun masih terus berlinang.
Lizqi, maafkan mama.
Tubuh Steven Lou gemetar, punggung pun sudah tidak lagi tegak. Jemari mengepal erat membayangkan diri sedang berpegang pada lengan Jiang Lizqi untuk tetap bertahan. Dua jam lebih sudah kira-kira dia berlutut, kakinya sekarang terasa kebas, mati rasa.
Wajah merah padam, tetapi bibir pucat pasi dan kering. Bagai kaleng minuman yang baru dikeluarkan dari pendingin, wajahnya dipenuhi butiran cairan bening yang perlahan merambat turun, bergelantungan di dagu sejenak, kemudian menetes membasahi bajunya yang sudah basah kuyup oleh peluh.
Di atas sana, tiba-tiba saja awan pekat bergulung-gulung menghalau teriknya sang surya. Guruh menggelegar, kilat menyambar diiringi suara cetar membahana. Xiao Yauran yang karena lelah ketiduran di sofa, tersentak dan seketika itu juga membuka mata. Bangun dari baring, perempuan itu terlihat linglung. Merasa sepertinya telah melupakan atau melewatkan sesuatu, tetapi apa itu dia tidak bisa mengingat.
Dahinya mengernyit dalam, heran kenapa bisa tidur di situ, padahal tempat itu adalah spot favorit Jiang Hun. Biasanya sang suami yang menghabiskan banyak waktu di situ, termasuk tidur siang.
Kilat yang kembali menyambar disertai suara cetar mengagetkannya dan saat itu juga dia ingat pada sang menantu. "Astaga! Apa anak itu masih di sana?"
[Bersambung]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
anggita
ikut ng👍like aja.
2023-08-01
2