Masih dengan mata terpejam, tangannya meraba-raba tempat di sisi yang sudah kosong dan terasa dingin. Kelopak mata perlahan terbuka dan hanya mendapati hampa. Seperti biasa, tidak peduli berapa banyak kali dia menggagahinya setiap malam, keesokan paginya Jiang Lizqi selalu bisa bangun jauh lebih awal dari StevenLou. Stamina perempuan bertubuh mungil itu memang luar biasa.
Berkedip beberapa kali lantas menatap ke bantal di sampingnya yang menguarkan aroma harum Jiang Lizqi. Steven Lou segera mengambil bantal itu lalu memeluk dan menciumnya. "Beib, bisa tidak terlambat bangun sedikit saja? Sesekali aku ingin langsung melihatmu saat membuka mata."
Dia berguling, menindih bantal lalu bergeming dengan kepala miring, matanya kembali terpejam. Selimut tersingkap, tubuh setengah telanjang terasa dingin tersapu udara pagi tidak dia pedulikan. Seandainya Jiang Lizqi ada, dia pasti akan membetulkan selimut itu atau bahkan malah memberi Steven Lou pelukan hangat.
Sayangnya, Jiang Lizqi sangat rajin. Terlalu rajin malah. Sebenarnya, bangun pagi-pagi buta tidak hanya sekadar kebiasaan tanpa kepentingan, tetapi merupakan tuntutan skedul Jiang Lizqi sebagai seorang penulis novel. Sejak masih tinggal di Kanada, tepatnya setelah menjadi seorang penulis novel profesional, Jiang Lizqi mendisiplinkan diri, setiap hari bangun pukul empat pagi untuk menuangkan idenya.
Steven Lou tidak pernah bisa memahami bagaimana dinamika kerja para penulis. Tidak perlu beranjak jauh dari rumah untuk bekerja, tetapi terlihat sangat sibuk dan hampir tidak punya waktu untuk bersantai. Bahkan harus bangun pagi-pagi buta dan terkadang lembur sampai menjelang pagi. Jiang Lizqi malah pernah sampai tidak tidur karena dikejar deadline.
Dia tidak pernah melarang Jiang Lizqi menjadi penulis karena profesi itu didapat berawal dari hobinya menulis buku harian. Jiang Lizqi senang melakukannya. Jadi, mana mungkin dia tega melarang. Dia hanya selalu mewanti-wanti supaya sang istri tidak terlalu memaksakan diri.
Sampai detik ini pun Steven Lou masih merasa heran, bagaimana bisa Jiang Lizqi yang kuliah jurusan design grafis dan merupakan lulusan terbaik, sekarang justru berprofesi sebagai penulis. Padahal dulu, waktu masih kuliah tidak ada tanda-tanda kalau dia suka menulis.
Baru pukul setengah enam, di luar masih remang-remang, tetapi suara burung sudah sangat riuh. Steven tidak bisa tidur lagi, tetapi sangat enggan untuk beranjak.
Klik
Terdengar suara knob pintu diputar, Steven Lou tetap bergeming. Bahkan saat aroma Jiang Lizqi yang sudah berada di dekatnya menyelusup masuk ke hidung, dia tetap diam. Menunggu sang istri tercinta membangunkannya.
Tidak tahu kalau sebenarnya Steven Lou sudah bangun, Jiang Lizqi malah memperbaiki letak selimut, lalu mengelus rambut dan mengecup lembut dahinya.
Steven Lou akan bangun kalau alarmnya sudah berbunyi. Jadi tidak perlu membangunkannya. Begitulah pikir Jiang Lizqi. Dia yang sudah berhasil mengetik beberapa halaman dari bagian novelnya, merasa sedikit lelah. Masuk ke kamar dengan niat untuk beristirahat sejenak.
Perlahan dia berbaring miring di samping Steven Lou, tidak melakukan banyak gerakan karena tidak ingin mengusik tidur yang tersayang. Senyum tipis terukir kala memperhatikan bibir tebal kemerahan sang suami yang tertekan bantal tampak terbuka dan sedikit meleyot aneh. Jemarinya pun jadi tidak tahan untuk diam. Perlahan jempolnya mengusap lembut bibir itu. Bibir kemerahan sedikit tebal terasa kenyal saat ditekan membuatnya lupa diri.
"Love you, Honey," bisiknya sambil terus mengelus bibir Steven Lou.
Dibandingkan hanya mengelus, sekarang dia malah terlihat mempermainkan bibir itu. Awalnya hanya mengelus lembut lalu menekan, kemudian mencolek, setelahnya mencubit ringan, dan itu terus berulang.
Steven Lou yang tadinya hanya merasa geli dalam hati dan ingin menjahili Jiang Lizqi dengan terus berpura-pura masih tidur, lama-lama tidak tahan juga. Tangannya bergerak cepat menangkap jemari sang istri.
"Ah!" Jiang Lizqi berseru dan refleks menarik tangannya, tetapi gagal karena Steven Lou menggenggamnya erat-erat.
Kelopak mata Steven Lou perlahan terbuka, lalu menatap lembut penuh cinta. "Nakal, hum ...."
Bibir Jiang Lizqi tertarik lebar menciptakan dua lesung pipi yang mempermanis senyumnya. "Sorry," ujarnya lembut. Dia pikir, Steven Lou terbangun karena ulahnya.
"Emmmh ...." Satu kecupan sedikit lama Steven Lou daratkan di punggung tangan Jiang Lizqi. "Love you too, Beib."
"Ah, ternyata kamu sudah bangun." Mata Jiang Lizqi memicing.
Steven Lou terkekeh, beranjak dari posisi tengkurap, lalu merengkuh Jiang Lizqi ke dalam pelukan erat. "Temani aku tidur lagi sebentar," ujarnya dengan suara malas.
Menyamankan kepala di dada bidang sang suami, Jiang Lizqi merasa tentram, seolah memang di situlah tempat ternyaman untuknya. Tangan pun melingkar cukup erat di pinggang Steven yang ramping.
"Berangkat jam berapa?"
"Emh, delapan."
"Sama sopir kantor, kan?"
"Ngantuk." Suaranya lirih dan terkesan ogah-ogahan, benar-benar seperti orang mengantuk berat, padahal sebenarnya, dia begitu hanya karena tidak ingin menjawab pertanyaan sang istri. Tidak ingin berbohong dengan menjawab iya, padahal sebenarnya tidak. Lebih baik tidak mengatakan apa-apa daripada berdusta.
Berpikir bahwa suaminya benar-benar masih mengantuk, Jiang Lizqi pun tidak memaksanya untuk menjawab. Yang penting dia sudah tahu jam berapa suaminya harus berangkat.
"Tidurlah." Jiang Lizqi mendongak, mengecup bibir Steven Lou sekilas, lalu kembali menyamankan diri di dada sang suami, dan yang bersangkutan semakin mempererat dekapannya.
Pagi yang riuh oleh suara burung mereka lewati dalam kebisuan. Saling mengungkapkan kasih hanya dengan pelukan yang semakin lama semakin melonggar karena raga kembali terlena. Hingga pada akhirnya, Steven Lou'lah yang terbangun lebih dulu. Dia menyempatkan diri menyiapkan sarapan untuk Jiang Lizqi, kemudian berangkat kerja tanpa membangunkannya. Dia tidak tega karena sang istri tidur sangat nyenyak.
Sekitar pukul sepuluh, Jiang Lizqi terbangun dan langsung menghubungi Steven Lou. Tersambung, tetapi tidak dijawab tidak lantas membuatnya berprasangka buruk. Dia kemudian turun ke dapur dan senyumnya seketika terkembang saat melihat secarik kertas note yang ditempel di pintu kulkas.
Sarapan ada di microwave. Selamat menikmati. Sorry, tidak pamit. Wajah tidurmu terlalu manis untuk diusik. Aku kembali secepatnya. Love you, Beib.
Jiang Lizqi mengelus lembut kertas itu. "Love you too. Stay safe, Honey."
Sementara itu, Steven Lou yang sengaja tidak menjawab panggilan Jiang Lizqi, wajahnya terlihat muram. Jemarinya menggenggam lingkar kemudi lebih erat dan rahang pun mengetat, sepertinya ada beban yang tengah mengganjal di hati.
"I'm sorry, Beib." Dia bergumam dengan gigi terkatup rapat.
Menit demi menit berlalu, sambil menunggu Steven Lou menelepon Jiang Lizqi menyibukkan diri di ruang kerjanya. Namun, begitu tengah hari tiba dan Steven Lou masih belum menghubungi juga, hatinya mulai risau.
Dia mencoba menghubungi juga berkirim pesan beberapa kali, tetapi tidak satu pun direspons. Steven Lou tidak pernah seperti ini sebelumnya. Jangankan perjalanan jauh, biasanya hanya ke kantor saja dia akan langsung menghubungi begitu sampai, dan setelahnya, di sela kesibukan akan rutin mengirim pesan sekadar untuk menanyakan kabar atau mengobrol random.
Pokoknya, sesibuk apa pun dia akan selalu menyempatkan diri untuk menghubungi Jiang Lizqi. Sebisa mungkin membuat jarak di antara mereka tidak terasa jauh dengan selalu mendekatkan hati.
Ya Tuhan, lindungi dia. Jiang Lizqi memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong. Seperti paranoid, segala macam pemikiran buruk sekarang mulai berseliweran di benaknya. Sesaat kemudian dia bangkit lalu berjalan mondar-mandir sambil menimang ponselnya.
"Honey, kamu di mana?"
[Bersambung]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments