Istri Kontrak Palsu Sniper Pincang

Istri Kontrak Palsu Sniper Pincang

1980

Yanti mengedipkan mata berkali-kali untuk menghapus kesedihan yang muncul dari hatinya. Dia mengingat percakapan dengan Bapaknya semalam.

Sudah berminggu-minggu air sumber di gunung tempat tinggal mereka, sering kering, menyebabkan gagal panen. Emak dan bapaknya berniat menjual lagi sepetak sawah untuk kebutuhan hidup. Yanti tidak setuju dan memutuskan pergi ke kota mencari kerja.

"Tapi anakmu masih kecil, Yan. Baru setahun lebih," cegah Bapak.

"Ndak apa, Pak. Waskito sudah disapih, sudah ndak nyusu lagi." Yanti berusaha meyakinkan orangtua dan dirinya sendiri.

"Lagipula, aku bisa sekalian cari kabar tentang Mas Darto," imbuh Yanti dengan wajah tertunduk.

Bapaknya menghela nafas. "Niatmu bagus, Nduk. Bapak cuma pesan, kamu jangan terlalu berharap. Apalagi dia langsung pergi setelah menikah dan ndak pernah balik."

"Akan lebih baik kalau Darto ndak usah balik," ujar Bapaknya lagi. "Kalau bukan karena.."

"Pak," panggil Yanti sambil memegang tangan pria tua itu. "Tolong doain Yanti biar bisa dapat kerja dan duit yang banyak."

"Iya, Nak," Bapak mengusap kepala Yanti. "Emak dan Bapak pasti mendoakan yang terbaik buat kamu dan Waskito."

Keesokan harinya, dia berangkat sebelum subuh dari rumah dan baru sampai Stasiun Kereta Api Gubeng setelah jam 12 lebih.

"Koran, Koran! Surya Jawa Pos Memo! Berita Hangat! Presiden Soeharto mengumumkan susunan kabinet yang baru!!" teriak remaja loper koran, menawarkan dagangannya.

Orang-orang semrawut dan berjubel membuat Yanti bingung, jadi dia berjalan keluar stasiun dan disambut berbagai kendaraan yang asing buatnya.

Yanti lega bisa segera bertemu temannya, Rini. Di desanya, Yanti hanya sesekali naik dokar dan lebih banyak jalan kaki. Ibu muda itu merasa beruntung punya kenalan di kota, yang membantunya mendapat pekerjaan sebagai pembantu.

Setelah seharian berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dia sangat lelah dan ingin segera sampai di tujuan terakhirnya hari ini. Rumah calon majikan Yanti.

"Disini tempatnya, Mbak," ujar penarik becak yang mengantar.

Yanti turun lalu membayar ongkos becak.

Suara klompen yang Yanti pakai terdengar nyaring di rumah yang sepi. Dia agak ragu, tapi tetap memberanikan diri mengangkat tangan dan mengetuk pintu.

"Permisi! Pak Dennis! Permisi!!" panggil Yanti.

Yanti menunggu sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah. Rumah itu tidak terlalu besar tapi dindingnya sudah pakai tembok semua.

Tidak lama, Yanti mendengar bunyi tak tok tak tok dari dalam rumah. Suara yang mirip dengan kelompennya.

Pintu lalu terbuka. Disana berdiri seorang laki-laki berkulit putih susu, bermata kecil dan tajam. Pria itu tinggi, jadi Yanti harus mendongak untuk melihat wajahnya.

"Pak Dennis?" tanya Yanti.

"Iya, Apa?" Suara Dennis yang besar dan berat, terdengar galak, menciutkan hati Yanti.

"Aku Yanti, yang akan bekerja disini." Yanti menjelaskan.

Kali ini giliran Dennis yang melihat Yanti dari atas ke bawah, lalu ke atas lagi. Yanti yang merasa tidak nyaman dengan pandangan pria itu, mengangkat tas tenteng untuk menutupi sebagian tubuhnya.

"Masuk," perintah pria itu singkat sambil berbalik dan masuk ke dalam rumah.

Yanti pun mengikuti pria itu, yang menyuruhnya duduk di ruang tamu. Hatinya berdebar, takut. Baru kali ini dia bekerja sendirian di tempat asing.

"Kamu mau jadi pembantu?" tanya Dennis.

Yanti mengangguk.

"Kamu bisa apa?" tanya pria itu lagi, kumis tipis membuatnya terlihat makin galak.

"Aku bisa nyuci baju, bersih-bersih, masak.." ujar Yanti cepat. "Aku bisa masak jajan juga, Pak. Jenang macem-macem."

Dennis mengetuk-ngetuk kepala tongkat dengan jarinya. "Sebelum kesini, kamu kerja apa?"

"Aku mbantu Bapak dikebun dan disawah, Pak."

"Kamu bisa pakai setrika listrik?" tanya Dennis lagi.

Yanti diam, dia tidak paham apa maksud pria itu. "Apa, Pak? Rika?"

"Se-te-ri-ka... Setrika listrik," ulang Dennis.

Wajah Yanti masih terlihat tidak paham. Pria itu lalu menghela nafas panjang. Yanti jadi khawatir kalau pria itu menolak dirinya dan memilih pembantu yang sudah berpengalaman.

"Tenagaku kuat, Pak. Aku bisa kerja mulai subuh sampai asar." Yanti berusaha membuat dirinya bisa diandalkan.

"Aku sendirian di rumah ini, kamu ndak apa?" tanya Dennis.

Deg.

Yanti tidak tahu sebelumnya kalau laki-laki itu tinggal sendirian tanpa anak dan istri atau keluarga lain. Dirinya jadi ragu untuk tetap bekerja atau tidak. Yanti takut kalau ada apa-apa nanti.

"Kalau kamu mau, kamarmu ada di lantai dua," lanjut Dennis. "Aku ndak bisa ngurus rumah sendirian. Aku harus kerja."

Mata Yanti kini terarah pada tongkat hitam yang berada tegak di samping kaki Dennis. Saat masuk tadi, Yanti juga melihat cara jalannya yang aneh. Kaki kanan pria itu pincang.

Yanti merasa ada sedikit harapan sekarang. Tidak mudah mencari kerja. Dan jika terjadi sesuatu, Yanti bisa lari cepat keluar rumah, mendahului Dennis.

"Kerja ngurus rumah saja 'kan, ya, Pak Dennis?"

Kali ini pria itu mendelik, membuat Yanti gamang.

"Kalau kerjaanmu ndak beres atau ndak becus, aku bisa potong gajimu. Atau aku pecat," ancam Dennis.

"Iya, Pak. Aku akan kerja yang rajin, Pak," sahut Yanti buru-buru. Dia teringat kalau genteng di dapur banyak yang lubang.

Dennis lalu berdiri dan menyuruh Yanti mengikutinya. Pria itu menunjukkan letak kamar tidur dan ruang kerjanya. Apa saja yang harus dikerjakan dan larangan-larangan selama tinggal disini.

"Kamu bisa mbaca atau nulis?" tanya Dennis lagi.

"Ndak, Pak. Aku cuma bisa hitungan."

Dennis berbalik lagi dan terus berjalan ke bagian rumah yang lain.

"Hmm. Ini dapur dan ruang makan. Kamu masak disini, sebelah situ ada kamar mandi dan buat cuci baju. Kamarmu naik tangga disana." Dennis menunjuk-nunjuk sambil menjelaskan lagi.

"Kamu paham?" Tanya pria itu lagi.

Yanti tidak terlalu mengerti, tapi dia mengangguk. Dia tidak mau kehilangan pekerjaan pertamanya.

"Ya sudah. Kamu kerja mulai besok. Sekarang mandi dulu, biar ndak bau kambing," ujar Dennis yang kini berjalan menjauh.

Yanti mengedip-ngedipkan mata, tidak percaya. Dia mungkin salah dengar, atau tidak. Seumur hidup, baru sekarang ini ada orang bilang kalau dia bau.

Yanti sangat malu, apalagi ini pertama kalinya mereka bertemu.

...

Di kamar mandi yang sangat modern, Yanti menggosok kuat kulitnya sampai terasa panas. Air yang dingin membuatnya segar, tapi kini perutnya makin keroncongan setelah

seharian tidak makan.

Selesai mandi, Yanti berhenti di tempat saat melihat majikannya itu sedang duduk di kursi kayu dekat meja makan. Ada piring berisi benda bulat putih di sebelahnya.

"Kamu makan ini dulu." Dennis menyodorkan benda putih itu. Karena Yanti diam saja, Dennis mengambil satu dan meletakkannya di tangan Yanti.

"Kamu seharian belum makan 'kan? Sekarang cuma ada ini. Selesai makan, kamu bisa istirahat. Besok kamu diajari Mbok Jum."

Benda bulat di tangan Yanti, lebih empuk dibanding apem dan mengeluarkan wangi yang enak, membuat air liur Yanti terbit.

"Terimakasih, Pak." Meski seharian sudah melihat berbagai hal menakjubkan yang tidak ditemui di desanya, itu semua tidak sebanding dengan kebahagiaan Yanti saat ini.

Dia langsung berjalan ke dapur lalu duduk di lantai ubin sebelum menggigit benda selembut kapas itu. Yanti tidak berhenti sampai kudapan di tangannya habis. Barulah saat itu dia terpikir, bagaimana Dennis bisa tahu kalau dia belum makan seharian ini.

Ketika sudah di atas kasur dan merenggangkan tubuhnya yang tegang sejak pagi, Yanti mulai teringat akan anaknya, Waskito. Bocah yang tengah lucu-lucunya itu terpaksa dia tinggalkan saat masih tidur pulas.

Sebentar saja, air mata menetes di pipi ibu muda itu. Kerinduan yang tidak bisa ditahannya, mengalir tak terbendung. Hanya baju Waskito yang digenggamnya dengan erat, menemani Yanti hingga tangisnya reda ditelan mimpi.

...

Sudah jadi kebiasaan Yanti bangun sebelum matahari terbit. Setelah membasuh wajah, dia ingin memulai pekerjaannya.

Tapi di tempat yang asing, dimana dia tidak tahu mana utara mana selatan, Yanti hanya bisa meraba dalam gelap. Dia ingat kalau disini pakai lampu listrik, bukan ublik atau lampu gas.

Saat tangannya meraba-raba, tidak sengaja menyenggol barang yang berjatuhan seperti air terjun dengan suara berkelontangan yang menggema ke seluruh rumah. Yanti langsung tidak berani bergerak sedikitpun, takut menimbulkan kekacauan lebih parah.

Dalam senyap yang memekakkan telinga, Yanti mendengar suara 'tok tok tok' yang tidak asing. Ketika sedang bertanya-tanya suara apa itu, yang kedengaran makin mendekat... Lampu tiba-tiba menyala dengan wajah Dennis tepat di depannya.

"Byuh!" Yanti sontak menarik badannya menjauh tapi tangannya ditangkap oleh pria itu.

"Mau apa, masih gelap begini?" tanya Dennis. Suara dan wajahnya gusar. Mata kecilnya itu berkilat aneh.

"A-aku mau nyalakan lampu, Pak. Mau masak," jawab Yanti panik. Kenapa tangan pria ini kuat sekali. Kali ini pria itu melepas saat Yanti menarik lagi tangannya.

"Disini ndak ada apa-apa. Kamu harus belanja dulu," Dennis melangkah mundur, memberi jarak diantara mereka. "Nanti Mbok Jum kesini, ngajari kamu macam-macam, termasuk pakai setrika."

Yanti yang menundukkan wajah karena takut memandang mata hitam kecil itu, menangkap benda panjang berwarna hitam yang ada di tangan kanan Dennis.

"Kenapa? Ndak pernah lihat orang pincang?" desis Dennis.

Yanti pun kembali mengangkat wajahnya, berhadapan dengan Dennis yang masih terlihat jengkel.

"Kamu bereskan ini dulu." Tangan Dennis menunjuk ke benda-benda dari kuningan dan perak yang berceceran di lantai. "Sapu dan kain lap ada di sana."

Pria itu lalu berbalik, dengan suara 'tok tok' dari tongkatnya. Yanti cepat-cepat menenangkan hatinya yang masih deg-degan dan beralih pada tugas di depan mata.

Kekacauan yang dibuatnya sendiri.

Wanita muda itu mendengus pelan, setidaknya lampu sudah menyala sekarang.

Yanti tidak hanya merapikan piringan logam tadi, tapi juga tumpukan benda-benda yang memenuhi hampir semua sisi rumah. Tidak hanya buku-buku, tapi juga kertas, patung dan pahatan aneh.

Saat selesai, hari sudah terang dan peluh membasahi wajah bulatnya.

"Yan! Yanti!" panggil Dennis.

Yanti bergegas mendatangi pria itu, di tangannya yang kotor masih terdapat kain lap. "Dalem, Pak."

"Mbok Jum sebentar lagi belanja. Kamu ikut sana, dia sudah di depan rumah," kata Dennis tanpa mengangkat mata kecilnya dari lembaran kertas di tangan.

Yanti berjalan pelan ke depan rumah, di sana berdiri seorang wanita paruh baya dengan keranjang belanja.

"Mbok Jum? Aku Yanti, pembantunya Pak Dennis," sapa Yanti.

Wanita itu tersenyum, aura kesabaran terpancar di wajahnya yang lebar. "Belanja sekarang, Ti? Sudah minta uang ke pak Dennis?"

"Aku lupa, Mbok!" Yanti bergegas masuk menemui majikannya lagi.

...

Mbok Jum tidak banyak bicara, hanya seperlunya.

Tidak hanya belanja, Mbok Jum juga mengajari Yanti memakai perkakas dapur yang berbeda. Untungnya kompor gas lebih mudah dinyalakan daripada tungku, jadi Yanti tidak terlalu banyak kesulitan setelahnya.

Saat masakannya matang, Yanti mencari Dennis tapi tidak menemukan pria itu di manapun.

"Nanti juga muncul, Ti. Kamu makan dulu, biar ada tenaga buat kerja," nasehat Mbok Jum sebelum berpamitan.

Yanti tidak banyak berpikir saat melakukan seperti saran Mbok Jum. Dia makan lalu mencari apa-apa saja yang bisa dikerjakan.

Sendirian di rumah, ditemani suara klompennya tak tok tak tok.

.

.

.

.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!