3. Ajakan Setengah Hati

Yanti memutuskan bangun lebih awal karena toh dia tidak bisa tidur. Dia mulai dengan mencuci pakaian dilanjutkan memasak untuk sarapan.

Selesai masak nasi dan menggoreng telur, Yanti berjalan ke ruang tengah. Dia ingin segera membereskan buku dan barang lain yang berceceran di lantai. Suara klompen kayunya terdengar nyaring pagi itu.

"Yanti." Suara Dennis yang memanggilnya terdengar berat dan kasar.

"Iya, Pak?" sahut Yanti yang berhenti di depan kamar.

"Carikan tongkatku di teras atau di ruang tamu."

"Iya," sahutnya lagi lalu berjalan ke tempat yang dimaksud.

"Byuh, byuh...." Yanti menggelengkan kepala melihat kekacauan yang lebih dari perkiraannya.

Mungkin karena sebelumnya cahaya tidak terlalu terang, Yanti tidak melihat dengan jelas. Selain benda-benda di lantai, wanita muda itu tidak habis pikir bagaimana kursi di ruang tamu bisa terbalik dengan kedua kaki menghadap atas. Namun tidak perlu waktu lama baginya menemukan tongkat hitam pak Dennis.

Kini Yanti tahu penyebab majikannya itu tidak memakai tongkat. Ada bekas kotoran ayam yang bau dan lengket. Dia pun mencuci bersih tongkat itu dan mengeringkannya, lalu membawanya ke kamar.

Di dalam kamar, pria itu duduk di pinggir dipan. Kedua kakinya yang tanpa alas kaki terlihat pucat, dengan telapak yang lebar dan jari yang panjang.

"Ini, Pak." Yanti menyerahkan tongkat sambil menunduk.

Waktu Dennis tidak kunjung mengambil benda panjang itu, Yanti mengangkat kepala.

"Suamimu itu, sudah berapa lama ndak pulang kerumahmu?" Pertanyaan yang tidak disangka itu mengagetkan Yanti.

Dia tidak ingin menjawab tapi Dennis kembali mengulangi pertanyaannya, membuat Yanti lebih tidak nyaman lagi.

"Lama, Pak," jawab Yanti pada akhirnya. Dia tidak jadi menyerahkan tongkat itu.

"Kalau dia ndak balik lagi, kamu mau gimana? Dia kirim surat atau ndak?"

Yanti bukannya tidak pernah memikirkan kemungkinan itu. Dia hanya takut kalau penantiannya hampir dua tahun ini sia-sia. Dia dan bapaknya sudah berusaha mencari tahu keberadaan Darto, bertanya ke kenalan dan kerabat, tetangga, teman, bahkan bakul langganan mereka di pasar. Siapapun yang pernah kenal dengan Darto.

Namun, seperti hujan yang turunnya tidak pasti, kabar tentang suaminya itu simpang-siur. Saat ada petunjuk, ternyata jejak palsu. Pria itu bagai hilang ditelan bumi setelah sebulan tinggal di desa mereka.

Yanti menggigit bibir dan mengedipkan matanya yang basah. Dia sudah berbalik dan akan pergi, waktu Dennis menangkap tangannya.

"Mau kemana?" tanya Dennis.

Yanti menunduk sambil menarik tangan agar dilepas.

"Kasihkan dulu tongkatnya," paksa Dennis yang melepaskan cengkraman setelah Yanti memberikan benda kayu itu.

"Ambilkan makan, aku ndak bisa berdiri," perintah pria itu lagi.

Yanti mempercepat langkah menjauh, dia merasa sesak disana.

Pertanyaan-pertanyaan Dennis yang membuka lagi kenangan menyakitkan. Kegelisahan dan ketidakpastian sejak Darto pergi. Karena itu, Yanti akan menyerah kalau usaha terakhirnya ke kota ini tidak membuahkan hasil. Bagaimanapun, dia harus berusaha untuk anaknya, Waskito.

Setelah mengurus keperluan Dennis yang minta dibawakan ini-itu, Yanti mulai membereskan rumah menjelang siang.

Dia tidak menyangka kalau tuannya itu lebih cerewet dari kelihatannya. Meski akhirnya Yanti tidak kesepian di rumah, dia juga tidak bisa bekerja dengan tenang karena sebentar-sebentar pria itu minta dibawakan barang.

Yanti mendorong kursi yang terjungkal, balik ke posisi asalnya. Buku-buku di tumpuknya lagi, kali ini di meja pojok ruang kerja. Sedangkan barang-barang dimasukkan Yanti ke dalam lemari, bersama piring-piring hias lain.

Seusai menyeka keringat, Yanti berjalan melewati ruang tengah ke arah dapur sambil membawa timba berisi air kotor. Tidak sengaja matanya melihat ke pintu kamar Dennis yang terbuka.

Lelaki bermata kecil itu tengah duduk sambil tertidur, tangan tertekuk dan buku di pangkuan. Berbeda dari saat bangun, ketika tidur, wajahnya tidak ada garis yang membuatnya tua. Mulut yang selalu cemberut juga rileks. Membuat tuan Dennis terlihat lebih ganteng dari biasanya.

Ya, laki-laki itu akan ganteng kalau banyak tersenyum, tidak marah-marah dan teriak ini itu.

Yanti meneruskan ke dapur setelah menutup pintu kamar. Dia bisa pura-pura tidak dengar kalau Dennis memanggil nanti.

...

Setelah hampir seharian di dalam rumah, sore itu Yanti ke rumah mbok Jum.

Hari ini masih ada bahan makanan untuk dimasak jadi Yanti menggunakan apa saja yang ada. Ketika dia meminta uang belanja untuk besok, tuannya itu menyuruh Yanti titip belanjaan. Dia tidak mau pembantunya pergi terlalu lama saat kakinya masih sakit.

Mbok Jum mengiyakan dengan mudah, padahal dalam hati Yanti ingin ibu sepuh itu bertanya. Dia sudah ingin menceritakan apa saja kejadian sejak tadi malam.

Waktu mbok Jum melihat Yanti masih berdiri dengan gelisah, dia tersenyum kecil. "Cepetan balik sana, Ti. Kasihan Pak Dennis nanti cari kamu."

Batal bercerita, Yanti berjalan pelan ke tempat tinggalnya yang baru.

Telinga wanita itu samar-samar mendengar suara bertengkar laki-laki dan perempuan. Semakin dekat, kata-kata mereka makin jelas. Yanti memilih masuk rumah lewat dapur agar bisa melihat dengan aman.

"Mami sudah capek dengar semua alasanmu, Dennis! Umurmu sudah 26!"

"Kalau Mami sudah tahu aku bakal nolak, buat apa Mami repot-repot datang kesini."

"Dennis!" Teriak wanita cantik yang Yanti lihat sore kemarin. Mereka berada di kamar tuan Dennis.

"Sampai kapanpun aku ndak akan mau melanjutkan bisnis kotor papi," meski tidak berteriak, suara Dennis tetap terdengar lantang.

"Tutup mulutmu, dasar anak tidak tahu terima kasih! Kamu pikir uang dari mana untuk sekolah dan kebutuhanmu kalau bukan pakai uang papi!" Wanita itu makin meradang.

"Kalau Mami bersikeras, akan aku kembalikan uang yang selama ini papi keluarkan untuk aku," ujar Dennis masih kukuh pada pendiriannya. "Lagipula, wanita waras mana mau nikah sama orang pincang kayak aku?"

"Soal itu kamu ndak usah mikirin." Suara Lili kembali turun dan mulai membujuk anaknya dengan kata-kata manis. "Asal kamu mau balik ke rumah utama dan belajar bisnis..."

"Ndak, Mi. Apapun asal bukan kembali ke rumah utama dan bisnis kotor papi." Dennis kembali bersikeras.

Lili yang jengkel dan tidak habis pikir dengan keputusan putranya, akhirnya berdiri, wajahnya memelas. "Mami tetap berharap kamu kembali ke rumah. Tidak ada siapapun yang memihak mami di rumah itu."

"Atau mami bisa pindah kesini dan tinggal denganku," bujuk Dennis.

Nyonya Lili mengusap-usap tali tas selempangnya sambil menunduk. Wanita itu lalu berkata pelan, "Mami pamit dulu. Sering-sering kunjungi Mami."

Saat wanita itu berjalan keluar kamar, matanya tidak sengaja menatap ke arah Yanti sekilas lalu kembali tertuju ke arah ruang tamu.

Yanti baru beranjak setelah nyonya Lili melewati pintu depan. Dia hendak mengambil dan melipat jemuran, waktu namanya kembali dipanggil.

"Yan! Yanti!"

Langkah kelompen wanita itu terdengar keras. Dia berhenti di dekat pintu kamar Dennis yang terbuka.

"Kupaskan apel." Dennis memberikan keranjang anyaman berisi empat buah apel berwarna merah muda kekuningan, yang besarnya tiga kali lebih besar dari apel hijau yang biasa dia makan.

Yanti membawa keranjang itu ke dapur, mengeluarkan pisau dan mulai mengupas kulitnya yang tipis. Selesai mengupas keempatnya, dia pindahkan ke piring dan membawanya lagi ke kamar Dennis.

"Kenapa dikupas semua?" tanya Dennis, alisnya berkumpul di tengah dahi. "Kenapa bijinya ndak dibuang?"

Ditanya begitu, Yanti jadi bingung. Dennis hanya memintanya mengupas apel, tidak tahu kalau tidak usah semuanya, atau kalau bijinya dibuang juga.

Melihat wajah panik Yanti, Dennis menghela nafas. "Ambilkan pisau, aku ajari caranya ngupas apel."

Yanti kembali ke dapur, mengambil pisau dan balik ke kamar.

"Ini, Pak." Yanti memberikan pisau, ujung tajam terarah pada Dennis.

Pria itu langsung membelalak kaget dan bergeser mundur. Melihat Dennis yang menjauh, Yanti berjalan maju dan kembali mengayunkan pisau ke depan.

"Ini pisaunya," ujar Yanti lagi.

Kali ini Dennis melesat maju sambil menangkap pergelangan tangan Yanti, lalu menariknya ke arah luar. Yanti yang kaget tangannya tiba-tiba dipelintir, langsung menjatuhkan pisau.

"Adududuh...! Sakit, sakit, Pak," erang Yanti.

Dennis mengambil pisau yang jatuh lebih dulu, baru melonggarkan tangan Yanti. Wanita muda itu mendelik ke arah tuannya, tapi masih kalah garang dengan mata melotot Dennis.

"Kamu itu mau ngasih pisau atau mau nusuk aku?!" bentak Dennis.

"Pak Dennis minta pisau, ya aku ambilno." Yanti membela diri, mengusap-usap tangan untuk memastikan bagian tubuhnya itu masih utuh.

"Kalau ngasih pisau ke orang lain, kasih gagangnya." Dennis menunjukkan cara yang benar, lalu cara yang keliru. "Jangan gini, bisa salah paham."

Yanti hanya diam sambil cemberut. Selama ini tidak ada yang protes dengan caranya, kenapa hal-hal kecil selalu jadi masalah disini.

"Kalau aku kasihkan kamu begini." Dennis mengarahkan ujung yang tajam ke Yanti. "Lalu aku kesandung, kamu kena tusuk, ndak bahaya ta?"

Yanti bisa menangkap maksud Dennis, tapi ya, tidak usah pakai mlintir tangan dan marah-marah. Melihat gelagat Yanti yang ngambek, Dennis langsung menutup mulut dan menyimpan omelannya untuk lain waktu.

"Sudah, duduk sini. Aku ajari cara ngupas apel."

Yanti tetap berdiri karena tidak tahu harus duduk dimana. Di kursi yang tadi diduduki nyonya Lili atau di kasur sebelah tuan Dennis. Dia hanya berjalan mendekat agar bisa melihat jelas.

Dennis langsung memotong apel jadi dua tanpa menunggu pekerja wanitanya. Lalu membaginya lagi di tengah hingga ada 8 potong. Kemudian membersihkan bagian biji, pangkal dan ujung yang kotor hingga tinggal daging buah yang wangi tersisa.

Pria itu memberikan potongan pertama pada Yanti. Potongan kedua langsung ke mulutnya, begitu juga potongan ketiga dan seterusnya.

"Kamu bersihkan lainnya, seperti yang aku tunjukkan." Dennis memberikan piring apel yang masih utuh dan pisau pada Yanti.

Kali ini Yanti duduk di kursi yang tadi ditempati nyonya Lili, memotong apel dan membersihkan seperti yang ditunjukkan Dennis. Semakin lama, potongannya makin rapi.

Dennis memakan apelnya perlahan dengan nikmat.

"Sampai suamimu ketemu, gimana kalau kamu nikah sama aku, Yan?" tanya Dennis tiba-tiba.

Yanti yang memegang pisau, hampir saja tangannya meleset dan mengiris jarinya. Dia sudah dengar banyak hal dari pria aneh satu ini tapi kali ini...

"Byuh! Edan kowe, Pak!" jawab Yanti yang setengah membanting piring dengan berang.

Dia hendak pergi ketika tongkat hitam Dennis terjulur, menghalangi Yanti beranjak dari kursi.

"Aku tahu gajimu dipotong separuh selama tiga bulan buat komisi agen penyalur. Aku bisa siapkan uang tambahan jadi gajimu 4 kali yang sekarang," bujuk Dennis.

Yanti menampik tongkat hitam itu menjauh. "Aku sudah nikah, Pak."

Tidak mau kalah, Dennis menarik Yanti yang berusaha kabur dan membanting wanita itu kembali duduk ke kursi. Kali ini Dennis bahkan mencengkram kedua lengan Yanti di tempat, sekaligus menggunakan posisi itu sebagai penopang agar bisa berdiri.

"Kamu cuma nikah siri, artinya nikahmu sah secara agama tapi tidak sah secara hukum. Meski suamimu mangkir, ndak mau merawat dan membiayai anaknya, dia ndak akan bisa dihukum," Dennis menjelaskan. "Itu kalau dia masih hidup. Kalau kamu masih bisa menemukan dia."

Mulut Yanti terkatup rapat menahan marah.

"Bagaimana kalau suamimu ternyata punya istri lain, yang sah secara hukum dan agama? Kamu tetap ndak bisa minta hak anakmu," ujar Dennis sambil mencibir. Wajah tampannya berubah bengis dan licik.

"Aku juga ndak mau punya istri," Dennis sedikit menjauhkan wajah, matanya seolah menatap hal lain selain wajah Yanti di depannya. "Tapi mami terus mendesak dengan calon pilihannya. Aku lebih baik dengan pilihanku."

Mata Dennis kembali menelisik setiap senti detail di wajah dan tubuh Yanti. "Kalau kamu mau kita nikah kontrak, kita nikah sah secara hukum di catatan sipil. Mami berhenti nyuruh aku nikah, kamu dapat duit buat dikirim ke desa."

"Aku belum cerai, aku masih mau cari Mas Darto!" Yanti bersikeras, matanya berkaca-kaca. Dia tidak suka dengan kata-kata Dennis yang tidak berperasaan.

"Mas Darto? Ya, aku bisa cari tahu suamimu itu masih hidup atau ndak!" seru Dennis sambil tersenyum lebar, sumringah penuh kepalsuan.

Mendengar itu, Yanti menghentikan perlawanannya.

"Lagipula kita ndak benar-benar nikah, kita cuma nikah kontrak. Kita pura-pura nikah waktu ada mami atau acara keluargaku saja. Selain itu, kamu tetap jadi pembantu disini. Di rumah Tuan Denniss," ujar Dennis yang mengakhiri kalimatnya dengan sedikit desis untuk menakuti Yanti.

Begitu Dennis melonggarkan pegangannya di lengan Yanti, wanita itu langsung mendorong Dennis hingga jatuh ke kasur. Tapi Yanti tidak peduli. Dia berlari keluar dari kamar Dennis, keluar dari rumah itu.

Matanya basah.

Yanti tidak tahu kenapa mudah sekali bagi oran-orang di sekelilingnya mengucapkan kata 'nikah', atau menyuruhnya menikah. Padahal dia yang sakit hati kalau ada masalah, bukan mereka.

Yanti bahkan tidak tahu kemana kakinya melangkah, dia ingin berada sejauh mungkin dari pria itu. Dia tidak mau terikat lagi dengan pria manapun.

Saat wanita itu akhirnya jatuh tersandung dengan karet klompen yang putus dan lutut terasa nyeri. Meski begitu, rasa sakitnya masih tidak sebanding dengan sakit hatinya.

Bukan mau Yanti untuk menikah dengan Darto, lalu hamil dan merawat anak mereka tanpa suami. Kalau waktu bisa diulang kembali, dia akan mencari seribu alasan untuk tidak menghadiri acara sedekah bumi waktu itu. Untuk tetap bersembunyi di dalam rumah kecilnya.

Ibarat nila setitik, rusak susu sebelanga.

"Mbak! Awas!!" teriak seseorang.

Saat Yanti menoleh, pandangannya yang buram hanya melihat langit biru. Dia baru merasa sakit ketika sebuah bola mendarat dengan keras di wajahnya.

.

.

.

Terpopuler

Comments

Suwarni Tuban

Suwarni Tuban

duh, nyesek bacanya...

2023-08-28

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!