Jika sebelumnya Yanti datang ke Surabaya sendirian, kali ini dia membawa balita yang tengah tidur di balik kain sewek gendong.
Setelah sampai Nglegok beberapa hari lalu, Yanti terkejut dengan keadaan rumahnya yang hampir rata dengan tanah. Sepeninggalnya, Gunung Kelud batuk-batuk abu vulkanik sehingga sebagian besar penduduk harus mengungsi. Wanita itu bersyukur masih bisa ketemu emak bapaknya, dan Waskito dalam keadaan selamat.
Meski begitu, bapaknya patah tulang dan emaknya tidak bisa ke kebun untuk sementara waktu. Yanti tidak tega mengeluh maupun bercerita kalau sudah dipecat oleh Dennis. Dia pun diam saja saat emak dan bapaknya memaksa untuk membawa bocah yang kangen mencari ibuknya itu.
"Kasian, Nduk. Kito nangis terus nyari kamu. Kamu bawa kerja saja, biasanya juga dia anteng, ndak rewel," ujar emaknya.
Berbekal sedikit uang gaji beberapa hari di rumah Dennis, Yanti nekat balik ke Surabaya. Kito bergelung nyaman di pelukannya, hanya sesekali bangun kalau haus dan lapar.
Hatinya ketat-ketir dan terus dirundung kecemasan sejak mengetahui rumah mereka perlu beberapa minggu hingga bisa ditinggali lagi. Kini, dia juga ragu kalau Dennis masih akan menerimanya bekerja. Terakhir kali mereka berpisah dalam keadaan buruk.
Sepanjang perjalanan diayun-ayun dalam gerbong, Yanti berpikir seorang diri, apa memang menikah kontrak satu-satunya jalan. Makin lama, kepahitan dan kebingungan membuatnya tergiur akan tawaran Dennis.
Wanita itu berpikir, kesetiaan pada suaminya selama ini tidak menghasilkan apa-apa. Pernikahannya dengan Darto dulu, juga karena terpaksa.
Toh itu hanya di atas kertas, secara hukum. Mereka tidak menikah secara agama dan adat. Dan Dennis hanya perlu wanita untuk pura-pura jadi istri.
Sedangkan hidupnya dan Kito bisa terjamin kalau Yanti menikah lagi. Dia rela melakukan apapun agar bisa merawat Waskito dengan baik.
Yanti akan tetap jadi babu yang dibayar untuk bekerja. Hanya saja kini bayarannya banyak, karena merangkap sebagai istri kalau diperlukan. Bahkan, kalau perlu dia akan membuang semua rasa malu yang dia punya.
Wanita itu memandang lagi ke sandal jepit yang diberikan oleh Dennis. Sandal yang sedikit kebesaran tapi melindungi telapak kakinya dari kotoran. Sandal itu juga lebih nyaman dipakai daripada klompen yang biasa dikenakannya.
Sandal yang membawa Yanti kembali ke depan pintu rumah Dennis.
.........
"Ya," sahut Dennis dari dalam rumah. Dia tidak suka pintu rumahnya diketuk.
Setelah ditinggal Yanti, Mbok Jum hanya sesekali mampir. Dennis yang kebetulan ada tugas harus menginap di luar selama beberapa hari dan baru kembali tadi siang. Istirahatnya belum jenak.
Di dalam rumah, Dennis mengintip dari balik tirai motif bangau berwarna putih kecoklatan. Di depan sana, berdiri Yanti dengan membawa tas buluknya yang coklat kehitaman. Senyum kemenangan merekah di bibir tipis pria berkulit putih itu.
Senyum yang langsung layu setelah melihat ada buntalan kecil di pinggang Yanti. Buntalan berkaki kecil.
Jadi, dengan wajah masam itulah Dennis membuka pintu.
"Mau apa kamu?" tanya Dennis sambil berkacak pinggang.
"Pak Dennis, aku mau kerja disini, Pak. Tolong, Pak." Yanti menangkupkan kedua tangan di depannya, wajahnya yang kusut masai setelah perjalanan tampak melas.
"Hmmm..." Dennis hanya bergumam pelan, menunggu Yanti berbicara lagi. Tapi wanita itu tidak menangkap sinyal darinya, jadi Dennis sedikit penutup pintu.
Yanti langsung menghalangi dengan cepat. "Tunggu, Pak. Aku mau!"
"Mau apa?" tanya Dennis tidak sabaran, menatap wajah wanita itu, anaknya yang masih kecil tertutup kain gendong.
"Aku mau jadi istri kontak Pak Dennis," sahut Yanti cepat-cepat dengan senyum sumringah, seolah melakukan itu bisa menyelesaikan semua masalah.
Dennis yang tahu dewi fortuna berpihak kepadanya, menggeleng pelan. "Kemarin ya kemarin, sekarang ya sekarang. Kamu bawa apa itu? Anakmu?"
Yanti menatap Waskito dengan tatapan putus asa. "Pak, tolong aku dan Kito. Rumah di kampung rusak, kena abu gunung."
Saat pria di depannya tidak memberi respon, Yanti meraih tangan putih dan jari-jari panjang yang terasa dingin. "Pak Dennis, aku akan nurut semua omongan Pak Dennis."
"Kamu yakin? Kamu ndak bisa mundur kalau sudah tanda tangan kontrak nanti. Apalagi sekarang kamu bawa anakmu," Dennis mengangkat bahunya dengan wajah enggan, perlahan pria itu menarik jarinya.
Yanti kembali meraih jari Dennis, kali ini memegangnya lebih erat. "Aku janji, Pak! Kito anaknya diam, ndak rewel! Aku janji Kito ndak akan ganggu Pak Dennis!"
Teriakan wanita itu mengagetkan buntalan kecil yang sedari tadi tidak bersuara. Waskito kecil mulai menangis, merasakan kegelisahan yang ada di suara Yanti.
"Uwaaaa... Waaaa!!"
"Ssst, cup, cup, Nak... Cup, cup, cup," ujar Yanti sambil menepuk-nepuk pelan anaknya. Matanya menatap melas ke arah Dennis.
Menyembunyikan seringainya dengan berdehem keras, Dennis sekali lagi menarik tangannya dari cengkraman Yanti.
"Ya sudah, kamu masuk dulu. Kamu naik gerbong apa sih, sampai bau kambing gini." cibiran Dennis yang biasanya membuat Yanti kesal dan cemberut, dia terima dengan bahagia.
Tubuhnya yang makin tegang sejak memutuskan kembali ke Surabaya, kini bisa sedikit rileks. Dia masuk ke dalam rumah dengan senyum tersungging. Tangannya membelai punggung Kito yang mulai tenang.
"Ayo, Nak. Sekarang kita tinggal di rumah Pak Dennis. Yang anteng, yo," bisik Yanti, bibirnya mengecup kepala Kito yang matanya terbuka lebar.
Dennis menunggu sampai Yanti selesai dengan urusannya sebelum mendudukkan wanita itu di meja makan.
Malam sudah larut, tidak ada gunanya membuang-buang waktu lagi. Karena Yanti tidak bisa baca, Dennis membacakan perjanjian yang sudah dia siapkan sebelumnya.
"Kalau kamu setuju, tanda tangan disini," kata Dennis sambil menunjuk tempat diatas nama Yanti. "Cap Jempol juga bisa."
Yanti mencelupkan jempolnya ke tinta lalu meletakkan di tempat yang ditunjuk Dennis.
.........
Keesokan harinya, Yanti dan Dennis berangkat ke kantor catatan sipiI naik angguna. Kali ini Dennis duduk di depan sedangkan Yanti di belakang bersama Kito.
Dennis belum mampu berlama-lama berada dekat bayi berIiur itu. Dia sedikit khawatir jasnya akan kena tetesan atau remah makanan yang masih menempel di jari-jari pendek dan gemuknya. Kalau bukan karena Yanti, Dennis ogah membawa serta bayi berumur setahun itu.
"Sudah ndak ada yang ketinggalan, Yan? Kamu bawa minum buat anakmu?" tanya Dennis saat kendaraan mulai meninggalkan jalan kecil depan rumah mbok Jum.
"Sudah, Pak," jawab Yanti singkat.
Penasaran, Dennis melihat ke belakang dan terkejut melihat Yanti yang dengan santai memberi asi Kito.
Pria itu langsung berbalik dan menghadap depan dengan gugup. Baru kali ini dia terpikir akan kenekatan tindakannya, setengah memaksa wanita dengan anak bayi. Walaupun dia tidak akan mengubah keputusan andai diberi kesempatan kedua.
Dennis membuat catatan mental untuk Yanti, agar wanita itu lebih berhati-hati memilih tempat saat memberi asi bayinya.
Di kantor pemerintah,
Dennis dan Yanti menunggu antrean cukup lama. Saat sudah gilirannya, proses berlangsung cepat karena Dennis sudah menyiapkan berkas lengkap. Ketiganya keluar menjelang tengah hari.
Suasana hati Dennis sedang baik, dia mengajak Yanti dan Kito makan ke depot di dekat situ.
"Kamu mau makan apa? Lontong balap apa rujak cingur?" tanya Dennis.
Yanti tidak menjawab, keduanya bukan makanan yang dia kenal. "Yang ndak pedes, Pak," jawabnya. Dia agak bingung dengan anaknya yang mulai rewel.
Dennis akhirnya pesan 2porsi lontong balap. Dia sudah mulai makan saat Yanti masih berkutat dengan Kito. Awalnya Dennis membiarkan, tapi lama-lama dia jengah juga mendengar rengekan Kito.
"Kenapa anakmu, tadi ndak rewel gini."
"Ndak tahu, Pak. Mungkin masih lapar, saya pencet-pencet asinya ndak keluar," ujar Yanti tanpa bermaksud memberi terlalu banyak informasi.
Dennis berdehem lagi, dia bisa merasa kupingnya memanas. Dia mencari istri agar bisa konsentrasi pada dirinya, bukan malah membuat dirinya hilang konsentrasi.
Yanti lalu mencicipkan kuah yang sudah dingin ke bibir Kito. Setelah menolak dengan mulat-mulet, akhirnya bayi itu mau kuah dicampur lontong yang dihaluskan.
Dennis yang sudah selesai terpaksa menunggui hingga Yanti dan anaknya selesai makan. Dia sudah menduga rencananya akan banyak berubah sejak melihat kaki kecil Kito di gendongan Yanti. Untuk kedepannya, dia merencanakan hal lain bagi bocah itu agar rencananya mulus.
"Habis ini kita beli baju sama keperluan lain buat kamu, biar mami percaya kalau kita memang sudah nikah." Tangan Dennis tanpa sadar meraih dokumen yang sudah susah payah diperolehnya.
Yanti hanya mengangguk. Dia sudah janji akan manut, ikut apa yang diperintahkan Dennis. Wanita itu hanya berharap Kito tidak sampai menyulut emosi Dennis, dan agar pria itu menepati janjinya.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Suwarni Tuban
pemandangan gratis 😅😅
2023-08-28
0