"Anakmu sudah berapa?"
Pertanyaan Dennis yang tiba-tiba itu mengagetkan Yanti. Selama tiga hari disini, dia tidak menceritakan tentang Waskito pada siapapun.
"Satu, Pak," jawab Yanti antara heran dan takut. "Kok tahu, Pak?"
"Pagi bau minyak telon, sore bau kambing. Apa susahnya?" Jawaban Dennis yang menusuk perasaan Yanti itu, membuat dia nyesal sudah bertanya.
"Suami kamu, tahu kalau kamu kerja disini?"
Kali ini Yanti tidak ingin menjawabnya.
"Kamu belum nikah?" tanya Dennis lagi.
"Sudah, Pak!" Spontan Yanti balas menatap mata kecil Dennis, tidak terima dibilang hamil diluar nikah, meski hanya beberapa detik sebelum menunduk lagi dan menjawab lirih, "Saya ndak tahu dia dimana."
"Nikah siri?"
Yanti memberanikan diri balik bertanya. "Bapak kok tau?"
Wanita itu heran, darimana majikannya ini tahu. Apakah Pak Dennis punya teman atau kenalan di desa tempat asal Yanti tinggal? Yanti bahkan tidak berani bilang ke Mbok Jum tentang pernikahannya maupun si kecil Waskito.
Dennis hanya melihat Yanti sebentar sebelum kembali pada surat kabar di tangannya. "Anakmu mungkin baru disapih, tapi umurnya tidak sampai dua tahun."
Kata-kata Dennis kembali mengusik pikiran Yanti.
"Bapak tau dari mana?"
Kali ini Dennis menutup koran, melipat lalu meletakkannya di meja, di sebelah piring nasi yang sudah agak dingin.
"Kalau baru melahirkan, badan masih gemuk kayak hamil tua. Anakmu juga sudah mulai makan bubur, jadi jarang minum susu. Sudah bisa ditinggal kerja. Makanya, badanmu kurus tapi dadamu masih montok," lanjut Dennis yang tanpa bersalah, mengambil kuah sayur.
Dennis tidak memperhatikan Yanti yang malu. Ibu muda itu bahkan menutupi dadanya dengan tangan, dirinya dilihat pria sampai sebegitu detil oleh mata nakal Dennis. Seolah Yanti sengaja mempertontonkan sejarah hidupnya untuk diketahui orang lain.
Disaat yang sama, Yanti juga takjub. Mereka baru bertemu dan Dennis sudah tahu begitu banyak tentangnya.
Ketika Dennis merasakan pandangan menusuk dari Yanti, barulah laki-laki itu sadar dengan apa yang dikatakannya. Dia sedikit malu dan salah tingkah saat mata Yanti seolah menuduhnya sebagai 'pria mesum'.
"Mungkin suami kamu ndak akan lari kalau kamu ndak bau kambing," ujar Dennis menyembunyikan kecanggungannya.
"Aku ndak bau kambing, Pak!" protes Yanti saat tidak ada kata-kata lain yang terpikir olehnya.
Kekaguman yang muncul sejenak akan kepintaran pria itu, luntur karena bicaranya yang ceplas ceplos. Lagipula Yanti yakin dirinya tidak bau penguk seperti kambing di kandang mereka di desa. Yanti lebih tahu karena tiap hari dia mencari makan untuk piaraan keluarga.
...
Tidak terima terus-terusan diejek bau, sepeninggal Dennis, Yanti mendatangi Mbok Jum. Minta petunjuk untuk mengatasi masalah kecil tapi menyebalkan ini.
"Kalau mandi pakai sabun, Ti," ujar wanita lumayan sepuh itu.
"Yang dipakai buat cuci baju itu, Mbok?"
"Bukan, nanti Mbok tunjukkan kalau sudah longgar. Sekarang bantu Mbok masak dulu."
Selama ini Yanti merasa yang dilakukan dalam menyelesaikan pekerjaan rumah sudah benar. Karena dia meniru persis apa yang diajarkan ibunya.
Jadi saat Mbok Jum mengajarkan cara yang berbeda, Yanti jadi pusing.
"Kok dicuci, Mbok? Kan sayurnya sudah bersih, ndak kena tanah," tanya Yanti bingung.
"Ada kotoran yang ndak kelihatan, Ti. Makanya tetep dicuci."
Yanti makin bingung, kotoran itu ya kotor karena kelihatan. Kalau tidak ada kotoran, ya, sudah bersih. Tapi wanita muda itu tidak berani membantah dan mengikuti sesuai petunjuk Mbok Jum.
Sebab tidak terbiasa, Yanti jadi lama sekali tiap melakukan satu tugas. Dia sendiri jengkel karena untuk melap dan merapikan barang Pak Dennis saja butuh hampir seharian.
"Pak Dennis itu pinter, ya, Mbok. Bukunya banyak," komentar Yanti setelah membuang air kotor di depan rumah sore itu.
"Ya pinter. Jadi wartawan harus pinter. Cari berita, harus bisa baca tulis, harus bisa macem-macem bahasa," sahut Mbok Jum.
Yanti ingat percakapannya tadi pagi dengan pak Dennis. Laki-laki itu menebak dengan tepat keadaan Yanti. Padahal kata Rini, sebaiknya dia tidak bilang kalau sudah nikah, apalagi punya anak.
Wanita muda itu khawatir kalau dia dipecat gara-gara sudah punya anak dan suami.
Ketika sedang bercakap-cakap dengan Mbok Jum itulah, sebuah becak berhenti di depan rumah. Penumpangnya seorang wanita berumur yang langsing, cantik, dengan pakaian motif bunga dan rok lipit warna ungu tua. Yanti jadi ingat istri pak Kades yang kata orang-orang, sombong.
Wanita itu langsung berjalan ke arah Mbok Jum. Wanita paruh baya berjarit itu menegakkan badan, lengannya yang besar seperti bisa menghalau nyonya itu kalau dia macam-macam.
"Dennis sudah pulang?" tanya Nyonya tanpa memberi salam.
"Belum, Nya," jawab Mbok Jum mendahului Yanti.
Yanti tahu kalau majikannya itu masih berada di rumah, tapi dia biarkan Mbok Jum menjawab menggantikan dirinya. Dia takut untuk berbicara dengan wanita yang kelihatan lebih judes dari majikannya itu.
Nyonya Lili mau nunggu di dalam?" Mbok Jum balik tanya.
Wanita bernama Lili mengedarkan pandangan ke halaman dimana tanaman dalam pot dibiarkan tumbuh tidak beraturan. Sinar matahari yang jatuh ke ruang tamu juga pasti membuat ruang tamu yang sesak semakin panas. Membayangkan saja Lili sudah merasa gerah.
"Tidak usah. Bilang saja kalau aku menunggunya di rumah."
Tidak lama, wanita itu kembali naik becak dan pergi.
"Itu ibuknya pak Dennis, nyonya Lili." Mbok Jum memberi tahu.
Yanti hanya melihat saja sampai kendaraan roda tiga itu menghilang di balik gang. Dalam hati dia merasa heran dengan pak Dennis yang tinggal pisah dari orangtuanya. Kecuali...
"Pak Dennis kok tinggal sendirian, Mbok Jum?" Yanti menyusul wanita itu masuk ke rumah bagian depan, tempat Mbok Jum tinggal bersama anak dan suaminya.
"Ndak tahu."
Jawaban singkat Mbok Jum tidak memuaskan rasa ingin tahu Yanti. Tapi dia juga tidak mau dimarahi. Emaknya di desa tidak suka kalau dia banyak tanya dan banyak bicara.
"Sudah sore, kamu ndak balik?" tanya Mbok Jum saat Yanti masih berdiri di dekat pintu.
"Sepi, Mbok, sendirian," keluhnya. Melihat wajah mbok Jum yang tidak senang, Yanti pergi dengan berat hati.
Suara langkah Yanti terdengar berat bahkan bagi dirinya. Rumah yang dia tinggali sekarang tidak sebesar rumahnya di desa. Meski sudah tidak lagi ditutupi ilalang liar karena dia bersihkan, tetap saja Yanti enggan memasuki rumah itu.
Rumah yang masih terasa asing.
Saat mendorong pintu, suara berat pak Dennis menyapa pendengarannya.
"Dari mana, Yan?" tanya pria itu sambil membalik halaman koran yang terbuka di hadapannya.
Dia sedang duduk di ruang tamu, menangkap sisa-sisa sinar matahari yang masih ada untuk membaca.
"Dari Mbok Jum, Pak," jawab Yanti yang menutup pintu di belakangnya.
"Sudah masak buat makan malam?"
"Ini mau aku angetin sayurnya, Pak." Yanti yang berjalan melewati ruangan mendadak berhenti dan berbalik. "Tadi ada Nyonya Lili."
Dennis mendongakkan wajah, ekspresinya tidak banyak berubah. "Dia ngapain?"
"Pak Dennis ditunggu di rumah," jawab Yanti seingatnya. Dia memperhatikan pria itu, menunggu kalau akan ada perintah tambahan atau yang lain.
"Habis angetin sayur, cepetan mandi, biar ndak bau kambing," ujar Dennis yang menyentakkan koran lalu kembali membacanya.
Yanti yang tersinggung, berjalan masuk dengan menghentak-hentak kaki. Bunyi tak tok tak tok terdengar nyaring di seluruh rumah yang sebelumnya sepi dan sunyi itu.
"Jangan lupa nyalakan lampu!" teriak Dennis yang dibalas teriakan tidak kalah nyaring.
"Iya, Pak!"
. . .
"Yan! Yanti!"
Yanti yang sedang duduk terkantuk-kantuk di kamar, segera turun dan bergegas menemui Dennis.
"Malam ini aku ndak pulang, kamu kunci pintunya. Jangan dibuka kalau ada yang ketok pintu." Dennis menginstruksikan dengan suara tegas.
"Iya, Pak," jawab Yanti. Matanya terarah ke tongkat hitam di tangan kanan pria itu, tangan kirinya membawa tas kulit.
"Kalau sudah makan, beresin. Biar ndak ada tikus masuk rumah," lanjut Dennis. Mata pria itu lalu menangkap kemana perhatian Yanti.
"Kamu lihat apa?!" Bentak Dennis.
Yanti langsung menurunkan pandangannya lagi hingga hanya terlihat ujung celana dan sepatu Dennis. Hatinya dag dig dug tidak karuan, takut karena dimarahi dan dibentak.
Dennis lalu berbalik dan menggunakan tongkat sebagai tumpuan. Berbeda dari pertama kali saat majikannya pakai tongkat, jalannya tidak sepincang sekarang.
Kali ini, Dennis berjalan seolah sudah bertahun-tahun pincang dan tidak bisa berjalan tanpa tongkatnya.
Mungkin kakinya sakit, pikir Yanti.
Yanti menunggu sampai tuannya itu keluar rumah sebelum mulai membereskan makan malam. Kuah sayur yang tinggal sedikit dia buang ke halaman dekat galian sampah, baru mencuci peralatan makan.
Matanya sudah sangat mengantuk dan dia ingin cepat tidur. Begitu merebahkan badan, Yanti segera berdoa dan menutup mata. Sudah terbayang dalam benak, nikmatnya beristirahat setelah bekerja.
Antara sadar dan tidak, gambaran tubuh Dennis yang berjalan dengan tumpuan tongkat membuatnya penasaran. Sebenarnya pak Dennis itu pincang sedikit atau banyak, ya..
Dan lagi, mata hitamnya yang kecil, kenapa selalu terlihat galak. Padahal dirinya tidak melakukan kesalahan apa-apa. Mendekat saja tidak berani.
.
Yanti merasa dirinya baru saja tidur lelap waktu terdengar suara barang-barang logam berjatuhan. Seketika dia bangun dan menyambar klompennya, berjalan keluar tanpa alas kaki. Dia mengendap-endap, takutnya kalau ada maling masuk rumah.
Clang! Brak!
Turun dari lantai dua, Yanti bersembunyi dibalik lemari besar. Hanya cahaya remang dari lampu di teras yang menerangi sosok itu. Bayangan itu berjalan sambil berpegangan pada pinggiran meja, menabrak kursi, dan... Suara umpatan yang Yanti kenal.
"Pak Dennis?" panggil Yanti.
Bayangan itu berhenti bergerak, lalu memerintahnya, "Yanti, nyalakan lampunya."
Yanti buru-buru meletakkan klompen dan berjalan ke saklar lampu. Sebentar saja rumah kembali terang dengan bias warna kekuningan. Wanita itu langsung merengut melihat jejak kekacauan yang dibuat Dennis.
"Byuh, byuh..." gumam Yanti.
Tidak hanya barang-barang berserakan di lantai, tumpukan buku yang sudah tertata rapi kembali longsor di sana sini.
Pria itu, tanpa bersalah, langsung menghempaskan badan di kursi dan memutar kepala ke kiri, ke kanan.
"Ambilkan air putih, aku haus," perintahnya lagi, masih menutup mata.
Yanti mengambil gelas berisi air lalu meletakkannya di meja. Dia menyadari pakaian Dennis yang setengah basah, lusuh kena lumpur, dan entah noda apa lagi. Yanti juga menyadari pria itu tidak memakai tongkatnya.
Dennis yang langsung meneguk habis air di gelas dan meminta refill.
"Kamu belum tidur?" tanya Dennis setelah habis gelas ketiga.
"Lha Pak Dennis berisik, aku kira maling."
Keduanya diam sesaat, lalu Dennis mencoba berdiri dengan bertumpu pada tepian meja. Tidak kuat menahan beban pria itu, meja bundar tersebut oleng dan jatuh bersamaan dengan tubuh Dennis.
"Pak Dennis!" teriak Yanti berusaha menangkap tapi terlambat.
Pria itu mengerang sambil menggeliat di lantai.
"Ya Allah, Pak!" Yanti yang bingung, sebentar mendekat, sebentar menjauh dengan tangan menutup mulutnya. Wanita itu akhirnya mengembalikan posisi meja, lalu mendekati Dennis yang sudah duduk.
"Bantu aku ke kamar," perintah Dennis sambil mengulurkan tangan.
Yanti berjongkok meski tidak yakin, dia meletakkan lengan Dennis di pundaknya.
"Pak Dennis, mana tongkatnya, Pak?" tanya wanita itu berusaha berdiri.
Dennis bersusah payah akhirnya bisa bangun dengan bantuan Yanti.
"Ke kamar," ujarnya masih tidak ingin menjawab pertanyaan pembantunya itu.
Selangkah demi langkah, mereka akhirnya sampai di kamar Dennis. Pria itu masih menyuruh-suruh Yanti, mengambil baju ganti, pakaian dalam, air baskom untuk cuci muka...
Yanti bolak-balik ke kamar melayani tuannya yang banyak permintaan.
"Kamu tunggu dulu diluar, aku ganti dulu. Jangan masuk kalau belum aku suruh," kata Dennis yang mulai melepas sepatu.
Yanti cepat-cepat keluar lalu bersandar ke dinding di sebelah pintu. Bertanya dalam hati apa yang sudah terjadi pada majikannya itu.
"Yan? Masuk, Yan!" panggil Dennis.
Yanti membuka pintu sedikit sebelum membuka lebar-lebar. "Sudah ganti, Pak?"
"Iya, baju kotor sama baskomnya kamu bawa keluar."
Yanti terkejut karena saat masuk, Dennis hanya memakai celana pendek dan kaus kaki hitam. Badannya yang mulus dengan kulit putih seperti susu, bisa dia lihat dengan jelas.
"Kamu lihat apa?!" bentak Dennis yang malu karena Yanti hanya diam sambil melihat badannya.
Yanti yang belum paham kalau tindakannya menyebabkan masalah, hanya berdiri bengong. Meski sudah menikah siri, dia melakukannya hanya sekali itu dengan Darto.
Badan Dennis juga sangat berbeda dari pria-pria di desanya. Bukan hanya kulit putih dan mulus, Yanti bisa melihat warna merah yang perlahan muncul dari wajah pria itu, menyebar ke telinga, leher dan dada bidangnya.
Meski pincang, badan Dennis sama sekali tidak terlihat lembek. Yanti bisa menjelaskan sepanjang hari tentang Pak Dennis yang kini berusaha menutupi badannya dengan selimut.
"Woi!!" teriak Dennis yang makin panik, melempar baju kotor ke arah Yanti.
Sadar telah melakukan kesalahan, gantian Yanti yang malu setengah mati.
"Keluar! Keluar!" teriak Dennis marah.
Yanti pun menunduk dan segera mengambil baju kotor yang kini berserakan di lantai.
Setelah membawa baju ke tumpukan cucian dan membuang air di baskom, Yanti kembali ke kamar majikannya. Tapi pria itu mengunci pintu dari dalam, sehingga Yanti kembali ke lantai dua untuk kembali tidur.
Sayangnya, mata Yanti sudah sulit terpejam. Bayang-bayang tubuh Dennis kembali bermain di pikirannya. Wanita itu menghela nafas panjang.
Mungkin kalau Dennis tidak segalak itu, pasti ada wanita yang mau menikah dengannya meski pincang.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
calliga
Semangat ya thor
2023-07-23
0