Saat Yanti kembali ke rumah petang itu, dia berharap si pemilik rumah sedang tidur di kamar, atau sibuk di ruang kerjanya. Bukan menunggu Yanti di dapur dan tertawa ngakak waktu melihatnya.
Hati Yanti yang jengkel terasa makin sesak, kupingnya panas. Dia ingin membekap mulut jahat yang tengah terbuka lebar itu.
"🤣🤣🤣 Kenapa tampangmu kayak gitu? Habis ndlosor dimana? Ya ampun, Yan... Yan... 🤣🤣🤣"
Kalau bukan gara-gara ucapan giIa Dennis, dia tidak akan lari sampai jatuh dan memutuskan karet klompen. Atau kena bola nyasar pas di wajah.
Yanti pura-pura tidak mendengar dan langsung naik ke lantai dua untuk mengambil baju ganti.
"Yan! Yanti!" teriak Dennis dari bawah.
Beberapa menit kemudian, Yanti akhirnya turun membawa perlengkapan mandi dan baju ganti.
"Yan, Yanti! Jangan mandi dulu. Siapin dulu makan buat aku," perintah Dennis sambil mengetuk tongkat ke lantai.
Yanti diam sesaat, memandang pria yang sampai tadi barusan menertawakan kemalangannya. Kini dia sudah minta dilayani makan. Persis seperti anak kecil.
"Saya masih bau kambing, jadi mau mandi dulu," ujar Yanti dengan ketus, lalu menutup pintu di belakangnya. Dia tidak peduli meski Dennis berteriak, protes. Berpikir majikannya itu akan berhenti sendiri kalau sudah capek.
Dennis menggelengkan kepala melihat tingkah pembantunya itu. Dibantu tongkat di tangan kanan, pria itu berjalan ke tempat penyimpanan P3K. Ada obat merah dan plester, dia mengecek untuk memastikan kalau masih bisa dipakai.
Pria dengan darah Tionghoa itu duduk lagi di kursi di dapur. Dia menyeduh satu cangkir teh lagi untuk Yanti.
Jika ingin bicara tentang pernikahan, meski kontrak, status mereka harus sama. Harus sama-sama dapat keuntungan dan memberi pengorbanan yang setara. Ketika Yanti memberikan statusnya sebagai istri, Dennis harus siap memenuhi kebutuhan Yanti selain segi materi.
Dennis akan memberi wanita itu cara untuk menemukan suaminya, cara menilai keadaan dengan lebih baik, dan cara menilai orang. Dia yakin kalau calon istrinya itu bukan wanita cengeng, dan makin berkilau jika makin diasah. Buktinya, beberapa hari disini Yanti sudah bisa beradaptasi dengan mbok Jum. Wanita yang sering menunduk itu kini sudah berani mengacuhkan dirinya dan juga membantah.
Dennis tinggal memakai cara tarik-ulur untuk membuat Yanti setuju menandatangani surat nikah di catatan sipil. Kalau bisa dalam waktu dekat. Dia tidak bisa terus-terusan membiarkan maminya datang mendadak dan mengacaukan jadwal pekerjaannya. Terlebih jika wanita yang dipilih maminya malah membuat drama yang tidak perlu. Dennis ingin fokus pada pekerjaannya.
Pria berkumis tipis itu lebih senang menikah dengan wanita yang sama-sama tidak ada perasaan dengannya, sehingga akan mudah mengakhiri hubungan kalau dibutuhkan nanti.
Dia sangat yakin kalau Yanti akan mencarinya meski saat ini dia kukuh menolak.
...
Yanti tidak bisa berlama-lama di kamar mandi untuk menghindari Dennis. Dia akhirnya keluar setelah hampir setengah jam lamanya.
"Pakai ini dulu di lukamu," Dennis menyerahkan botol kecil berwarna merah yang familiar bagi Yanti.
"Kalau sudah, siapkan makanannya sekarang. Aku lapar."
Yanti menelan kata-kata yang hendak dia ucapkan dan mengangguk. Dia dibayar untuk bekerja, jadi dia akan bekerja.
Dalam diam, Yanti mengambilkan makanan untuk Dennis, nasi dengan tumis kangkung dan ikan asin goreng. Wanita itu duduk di kursi pendek saat memberi obat pada lukanya, sambil memperhatikan tuannya itu makan pakai sendok garpu. Hatinya puas saat Dennis kesulitan memotong ikan yang kering pakai garpu.
"Ikan keras begini kamu masak. Gimana makannya?" keluh Dennis sambil membolak-balik tubuh ikan asin yang penuh luka tusukan garpu.
"Kalau sulit, ndak usah dimakan, Pak," celetuk Yanti.
Pria itu membuang muka, aroma ikan asin digoreng sangat menggugah selera. Dan dari serpihan kecil yang didapatnya, Dennis suka dengan rasanya yang kaya dan tidak amis. Dia kembali menusuk-nusuk ikan malang itu, bergantian antara sendok dan garpu.
Yanti yang melihat merasa geli, dia tidak bisa menahan senyum melihat majikannya itu kesulitan.
"Kamu juga makan, tunjukin caranya," perintah Dennis.
Yanti mengambil piring dan mengisinya dengan ikan asin. Saat akan duduk di kursi pendek, tongkat hitam Dennis mencegahnya.
"Duduk sini." Tongkat hitam itu diketukkan ke kursi di hadapan Dennis. "Biar aku bisa lihat jelas."
Yanti pindah duduk ke kursi di atas. Setelah membaca doa, dia langsung makan pakai tangan. Dia melirik ke arah Dennis yang kini dilanda dilema dan tertawa dalam hati. Pria itu pasti tidak biasa makan pakai tangan, mungkin tidak pernah.
Mata kecil pria itu berganti-ganti melihat ikan di piringnya dan Yanti, sampai Dennis memegang ujung ekor dengan tangan kanannya. Dia memastikan caranya memegang sudah benar sebelum menirukan Yanti.
Hasilnya tetap saja beda, antara veteran dan pemula. Bisa dilihat dari mulut Dennis yang belepotan minyak dan serpihan kecil ikan asin.
Dennis tersenyum dingin ke arah wanita yang berani menertawainya itu. "Aku mau tahu, apa kamu masih bisa tertawa setelah nolak tawaranku."
Kata-kata Dennis langsung membuat tubuh Yanti kaku ditempat. Hati wanita itu langsung menciut.
"Kamu bilang mau cari suamimu. Gimana caramu nyari dia?" Dennis melap mulutnya yang belepotan dan tangannya yang kotor dengan sapu tangan. "Gimana kamu tahu dia masih hidup atau ndak? Kalau dia beneran punya istri sah, kamu bisa apa?"
Mendengar hal itu kemarin atau tadi, bukan berarti Yanti kebal sekarang, hatinya kembali sakit diingatkan tentang kenyataan pahit hidupnya.
"Kalau kamu nolak tawaranku, aku juga ndak butuh kamu lagi disini." Dennis meletakkan sapu tangan kotor di atas meja.
Yanti terkejut mendengarnya. Saat awal mulai bekerja, dia tahu bakal melayani si empunya rumah, masak, cuci baju, menyapu...semua pekerjaan rumah.
Yanti tidak tahu kalau majikannya akan.. pincang dan bermulut jahat.
"Aku bisa cari pembantu lain, yang mau aku ajak nikah kontrak."
"Ya ndak bisa gitu, toh, Pak! Saya disini buat kerja! Bukan nikah lagi!" Yanti memberanikan diri buka suara. Kemarahan dan kepanikan sudah di ubun-ubun.
Dennis mengangkat tangan dan melihat ke atas dengan cuek. "Ya, ya.. kamu kemasi barangmu sekarang. Besok kamu bisa pergi dari sini." Pria itu lalu berdiri dengan bantuan tongkatnya.
"Ah, ini teh hangat. Kamu minum dulu biar bisa berpikir tenang. Aku cuma butuh istri di atas kertas, bukan istri sungguhan." Dennis mendorong cangkir berisi teh panas manis ke arah Yanti.
Wanita itu masih duduk tercengang di meja makan, mendengar suara tak tok tak tok saat lelaki bertongkat itu menjauh. Pikirannya semrawut. Dia pergi ke kota untuk mencari uang dan mengatasi sebagian masalahnya, bukan menambah beban pikiran.
Yanti berlari menyusul Dennis yang sudah menutup pintu kamar.
"Pak! Pak Dennis! Bapak cari orang lain saja buat dinikahi! Aku mau tetep kerja, Pak!" Yanti mengetuk pintu kamar berkali-kali. Berharap bisa menggugah hati pria itu.
"Pak Dennis apa ndak kasihan sama aku? Aku akan nurut, Pak! Biarin aku kerja disini, Pak! Pak Dennis!!" Yanti bersikeras meski harus berhadapan dengan pintu yang tertutup dan tidak bergeming.
Tangan kecilnya terus mengetuk pintu kayu. "Aku kerjanya rajin, Pak! Pak Dennis!!"
Pintu akhirnya dibuka oleh Dennis yang berwajah masam. Yanti yang awalnya senang, kembali terkejut melihat tuannya itu berteIanjang dada. Kulitnya putih, paling putih dari yang pernah Yanti lihat.
"Berisik terus! Kamu ndak tahu sekarang jam berapa? Apa ndak malu kamu didengerin tetangga?" omel Dennis sebelum kembali menutup pintu.
Balik ke akal sehatnya, Yanti menghalangi dengan tangan sebelum pintu tertutup sempurna.
"Pak Dennis! Bantu aku, Pak!" pinta Yanti lagi, memelas.
"Kamu minta dibantu, tapi kamu ndak mau bantu aku! Buat apa?! Tinggal tanda tangan sama pura-pura saja kamu ndak mau! Nyariin suami kamu itu lebih susah tahu!" bentak Dennis dengan suara pelan yang justru membuat Yanti takut.
Pria itu lalu memukulkan tongkatnya ke tangan Yanti, yang melepaskan pegangan karena terkejut. Begitu lepas, Dennis langsung menutup pintu.
Sedih usahanya tidak berhasil, Yanti kembali ke kamar di lantai dua.
...
Keesokan paginya saat udara masih menusuk, Yanti sudah menunggu di ruang tamu dengan tas berisi dua stel pakaian ganti.
"Kamu pakai ini," Dennis memberikan sandal jepit yang kebesaran saat dipakai Yanti.
Matanya menatap nanar ke arah pintu yang sedang dikunci oleh Dennis. Mereka lalu berjalan ke depan, dimana sebuah angguna kuning sudah menunggu dengan lampu menyala.
"Ke Stasiun Gubeng, Pak," ujar Dennis yang sudah duduk di belakang. Yanti duduk di sebelah sopir mobil kecil itu.
"Ndak ke tempat makelar pekerjaan, Pak?" tanya Yanti.
"Kamu pikir dia masih mau? Kerja belum seminggu sudah berhenti," tuduh Dennis yang makin memojokkan Yanti.
Wanita itu akhirnya diam sepanjang sisa perjalanan. Meski ini pertama kalinya dia naik mobil, perjalanan mereka ke arah stasiun yang akan membawanya kembali pulang, menggantung berat di hati Yanti.
Yanti terakhir kali melihat Dennis membayar tiket kereta sebelum memasuki peron, menunggu gerbong kereta yang akan mengantarnya ke kampung halaman.
Nasib memang sulit ditebak. Dia tidak tahu sudah harus balik ke Nglegok setelah beberapa hari saja di Surabaya. Air mata yang merembes dari mata dan menyusup ke bibirnya, terasa asin.
.
.
.
Hi, Kak! Makasih sudah baca.
Alluca usahain rutin update 4bab/mnggu, karena ada double project dg karya Alluca lain. Tolong tetep kasih dukungan yang hangat dan penuh cinta, ya.
Salam,
Peluk dan cium dari Alluca 😘💕
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Suwarni Tuban
jangan kelamaan kalo update, Thor 😭
2023-07-27
0