NovelToon NovelToon

Istri Kontrak Palsu Sniper Pincang

1980

Yanti mengedipkan mata berkali-kali untuk menghapus kesedihan yang muncul dari hatinya. Dia mengingat percakapan dengan Bapaknya semalam.

Sudah berminggu-minggu air sumber di gunung tempat tinggal mereka, sering kering, menyebabkan gagal panen. Emak dan bapaknya berniat menjual lagi sepetak sawah untuk kebutuhan hidup. Yanti tidak setuju dan memutuskan pergi ke kota mencari kerja.

"Tapi anakmu masih kecil, Yan. Baru setahun lebih," cegah Bapak.

"Ndak apa, Pak. Waskito sudah disapih, sudah ndak nyusu lagi." Yanti berusaha meyakinkan orangtua dan dirinya sendiri.

"Lagipula, aku bisa sekalian cari kabar tentang Mas Darto," imbuh Yanti dengan wajah tertunduk.

Bapaknya menghela nafas. "Niatmu bagus, Nduk. Bapak cuma pesan, kamu jangan terlalu berharap. Apalagi dia langsung pergi setelah menikah dan ndak pernah balik."

"Akan lebih baik kalau Darto ndak usah balik," ujar Bapaknya lagi. "Kalau bukan karena.."

"Pak," panggil Yanti sambil memegang tangan pria tua itu. "Tolong doain Yanti biar bisa dapat kerja dan duit yang banyak."

"Iya, Nak," Bapak mengusap kepala Yanti. "Emak dan Bapak pasti mendoakan yang terbaik buat kamu dan Waskito."

Keesokan harinya, dia berangkat sebelum subuh dari rumah dan baru sampai Stasiun Kereta Api Gubeng setelah jam 12 lebih.

"Koran, Koran! Surya Jawa Pos Memo! Berita Hangat! Presiden Soeharto mengumumkan susunan kabinet yang baru!!" teriak remaja loper koran, menawarkan dagangannya.

Orang-orang semrawut dan berjubel membuat Yanti bingung, jadi dia berjalan keluar stasiun dan disambut berbagai kendaraan yang asing buatnya.

Yanti lega bisa segera bertemu temannya, Rini. Di desanya, Yanti hanya sesekali naik dokar dan lebih banyak jalan kaki. Ibu muda itu merasa beruntung punya kenalan di kota, yang membantunya mendapat pekerjaan sebagai pembantu.

Setelah seharian berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dia sangat lelah dan ingin segera sampai di tujuan terakhirnya hari ini. Rumah calon majikan Yanti.

"Disini tempatnya, Mbak," ujar penarik becak yang mengantar.

Yanti turun lalu membayar ongkos becak.

Suara klompen yang Yanti pakai terdengar nyaring di rumah yang sepi. Dia agak ragu, tapi tetap memberanikan diri mengangkat tangan dan mengetuk pintu.

"Permisi! Pak Dennis! Permisi!!" panggil Yanti.

Yanti menunggu sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah. Rumah itu tidak terlalu besar tapi dindingnya sudah pakai tembok semua.

Tidak lama, Yanti mendengar bunyi tak tok tak tok dari dalam rumah. Suara yang mirip dengan kelompennya.

Pintu lalu terbuka. Disana berdiri seorang laki-laki berkulit putih susu, bermata kecil dan tajam. Pria itu tinggi, jadi Yanti harus mendongak untuk melihat wajahnya.

"Pak Dennis?" tanya Yanti.

"Iya, Apa?" Suara Dennis yang besar dan berat, terdengar galak, menciutkan hati Yanti.

"Aku Yanti, yang akan bekerja disini." Yanti menjelaskan.

Kali ini giliran Dennis yang melihat Yanti dari atas ke bawah, lalu ke atas lagi. Yanti yang merasa tidak nyaman dengan pandangan pria itu, mengangkat tas tenteng untuk menutupi sebagian tubuhnya.

"Masuk," perintah pria itu singkat sambil berbalik dan masuk ke dalam rumah.

Yanti pun mengikuti pria itu, yang menyuruhnya duduk di ruang tamu. Hatinya berdebar, takut. Baru kali ini dia bekerja sendirian di tempat asing.

"Kamu mau jadi pembantu?" tanya Dennis.

Yanti mengangguk.

"Kamu bisa apa?" tanya pria itu lagi, kumis tipis membuatnya terlihat makin galak.

"Aku bisa nyuci baju, bersih-bersih, masak.." ujar Yanti cepat. "Aku bisa masak jajan juga, Pak. Jenang macem-macem."

Dennis mengetuk-ngetuk kepala tongkat dengan jarinya. "Sebelum kesini, kamu kerja apa?"

"Aku mbantu Bapak dikebun dan disawah, Pak."

"Kamu bisa pakai setrika listrik?" tanya Dennis lagi.

Yanti diam, dia tidak paham apa maksud pria itu. "Apa, Pak? Rika?"

"Se-te-ri-ka... Setrika listrik," ulang Dennis.

Wajah Yanti masih terlihat tidak paham. Pria itu lalu menghela nafas panjang. Yanti jadi khawatir kalau pria itu menolak dirinya dan memilih pembantu yang sudah berpengalaman.

"Tenagaku kuat, Pak. Aku bisa kerja mulai subuh sampai asar." Yanti berusaha membuat dirinya bisa diandalkan.

"Aku sendirian di rumah ini, kamu ndak apa?" tanya Dennis.

Deg.

Yanti tidak tahu sebelumnya kalau laki-laki itu tinggal sendirian tanpa anak dan istri atau keluarga lain. Dirinya jadi ragu untuk tetap bekerja atau tidak. Yanti takut kalau ada apa-apa nanti.

"Kalau kamu mau, kamarmu ada di lantai dua," lanjut Dennis. "Aku ndak bisa ngurus rumah sendirian. Aku harus kerja."

Mata Yanti kini terarah pada tongkat hitam yang berada tegak di samping kaki Dennis. Saat masuk tadi, Yanti juga melihat cara jalannya yang aneh. Kaki kanan pria itu pincang.

Yanti merasa ada sedikit harapan sekarang. Tidak mudah mencari kerja. Dan jika terjadi sesuatu, Yanti bisa lari cepat keluar rumah, mendahului Dennis.

"Kerja ngurus rumah saja 'kan, ya, Pak Dennis?"

Kali ini pria itu mendelik, membuat Yanti gamang.

"Kalau kerjaanmu ndak beres atau ndak becus, aku bisa potong gajimu. Atau aku pecat," ancam Dennis.

"Iya, Pak. Aku akan kerja yang rajin, Pak," sahut Yanti buru-buru. Dia teringat kalau genteng di dapur banyak yang lubang.

Dennis lalu berdiri dan menyuruh Yanti mengikutinya. Pria itu menunjukkan letak kamar tidur dan ruang kerjanya. Apa saja yang harus dikerjakan dan larangan-larangan selama tinggal disini.

"Kamu bisa mbaca atau nulis?" tanya Dennis lagi.

"Ndak, Pak. Aku cuma bisa hitungan."

Dennis berbalik lagi dan terus berjalan ke bagian rumah yang lain.

"Hmm. Ini dapur dan ruang makan. Kamu masak disini, sebelah situ ada kamar mandi dan buat cuci baju. Kamarmu naik tangga disana." Dennis menunjuk-nunjuk sambil menjelaskan lagi.

"Kamu paham?" Tanya pria itu lagi.

Yanti tidak terlalu mengerti, tapi dia mengangguk. Dia tidak mau kehilangan pekerjaan pertamanya.

"Ya sudah. Kamu kerja mulai besok. Sekarang mandi dulu, biar ndak bau kambing," ujar Dennis yang kini berjalan menjauh.

Yanti mengedip-ngedipkan mata, tidak percaya. Dia mungkin salah dengar, atau tidak. Seumur hidup, baru sekarang ini ada orang bilang kalau dia bau.

Yanti sangat malu, apalagi ini pertama kalinya mereka bertemu.

...

Di kamar mandi yang sangat modern, Yanti menggosok kuat kulitnya sampai terasa panas. Air yang dingin membuatnya segar, tapi kini perutnya makin keroncongan setelah

seharian tidak makan.

Selesai mandi, Yanti berhenti di tempat saat melihat majikannya itu sedang duduk di kursi kayu dekat meja makan. Ada piring berisi benda bulat putih di sebelahnya.

"Kamu makan ini dulu." Dennis menyodorkan benda putih itu. Karena Yanti diam saja, Dennis mengambil satu dan meletakkannya di tangan Yanti.

"Kamu seharian belum makan 'kan? Sekarang cuma ada ini. Selesai makan, kamu bisa istirahat. Besok kamu diajari Mbok Jum."

Benda bulat di tangan Yanti, lebih empuk dibanding apem dan mengeluarkan wangi yang enak, membuat air liur Yanti terbit.

"Terimakasih, Pak." Meski seharian sudah melihat berbagai hal menakjubkan yang tidak ditemui di desanya, itu semua tidak sebanding dengan kebahagiaan Yanti saat ini.

Dia langsung berjalan ke dapur lalu duduk di lantai ubin sebelum menggigit benda selembut kapas itu. Yanti tidak berhenti sampai kudapan di tangannya habis. Barulah saat itu dia terpikir, bagaimana Dennis bisa tahu kalau dia belum makan seharian ini.

Ketika sudah di atas kasur dan merenggangkan tubuhnya yang tegang sejak pagi, Yanti mulai teringat akan anaknya, Waskito. Bocah yang tengah lucu-lucunya itu terpaksa dia tinggalkan saat masih tidur pulas.

Sebentar saja, air mata menetes di pipi ibu muda itu. Kerinduan yang tidak bisa ditahannya, mengalir tak terbendung. Hanya baju Waskito yang digenggamnya dengan erat, menemani Yanti hingga tangisnya reda ditelan mimpi.

...

Sudah jadi kebiasaan Yanti bangun sebelum matahari terbit. Setelah membasuh wajah, dia ingin memulai pekerjaannya.

Tapi di tempat yang asing, dimana dia tidak tahu mana utara mana selatan, Yanti hanya bisa meraba dalam gelap. Dia ingat kalau disini pakai lampu listrik, bukan ublik atau lampu gas.

Saat tangannya meraba-raba, tidak sengaja menyenggol barang yang berjatuhan seperti air terjun dengan suara berkelontangan yang menggema ke seluruh rumah. Yanti langsung tidak berani bergerak sedikitpun, takut menimbulkan kekacauan lebih parah.

Dalam senyap yang memekakkan telinga, Yanti mendengar suara 'tok tok tok' yang tidak asing. Ketika sedang bertanya-tanya suara apa itu, yang kedengaran makin mendekat... Lampu tiba-tiba menyala dengan wajah Dennis tepat di depannya.

"Byuh!" Yanti sontak menarik badannya menjauh tapi tangannya ditangkap oleh pria itu.

"Mau apa, masih gelap begini?" tanya Dennis. Suara dan wajahnya gusar. Mata kecilnya itu berkilat aneh.

"A-aku mau nyalakan lampu, Pak. Mau masak," jawab Yanti panik. Kenapa tangan pria ini kuat sekali. Kali ini pria itu melepas saat Yanti menarik lagi tangannya.

"Disini ndak ada apa-apa. Kamu harus belanja dulu," Dennis melangkah mundur, memberi jarak diantara mereka. "Nanti Mbok Jum kesini, ngajari kamu macam-macam, termasuk pakai setrika."

Yanti yang menundukkan wajah karena takut memandang mata hitam kecil itu, menangkap benda panjang berwarna hitam yang ada di tangan kanan Dennis.

"Kenapa? Ndak pernah lihat orang pincang?" desis Dennis.

Yanti pun kembali mengangkat wajahnya, berhadapan dengan Dennis yang masih terlihat jengkel.

"Kamu bereskan ini dulu." Tangan Dennis menunjuk ke benda-benda dari kuningan dan perak yang berceceran di lantai. "Sapu dan kain lap ada di sana."

Pria itu lalu berbalik, dengan suara 'tok tok' dari tongkatnya. Yanti cepat-cepat menenangkan hatinya yang masih deg-degan dan beralih pada tugas di depan mata.

Kekacauan yang dibuatnya sendiri.

Wanita muda itu mendengus pelan, setidaknya lampu sudah menyala sekarang.

Yanti tidak hanya merapikan piringan logam tadi, tapi juga tumpukan benda-benda yang memenuhi hampir semua sisi rumah. Tidak hanya buku-buku, tapi juga kertas, patung dan pahatan aneh.

Saat selesai, hari sudah terang dan peluh membasahi wajah bulatnya.

"Yan! Yanti!" panggil Dennis.

Yanti bergegas mendatangi pria itu, di tangannya yang kotor masih terdapat kain lap. "Dalem, Pak."

"Mbok Jum sebentar lagi belanja. Kamu ikut sana, dia sudah di depan rumah," kata Dennis tanpa mengangkat mata kecilnya dari lembaran kertas di tangan.

Yanti berjalan pelan ke depan rumah, di sana berdiri seorang wanita paruh baya dengan keranjang belanja.

"Mbok Jum? Aku Yanti, pembantunya Pak Dennis," sapa Yanti.

Wanita itu tersenyum, aura kesabaran terpancar di wajahnya yang lebar. "Belanja sekarang, Ti? Sudah minta uang ke pak Dennis?"

"Aku lupa, Mbok!" Yanti bergegas masuk menemui majikannya lagi.

...

Mbok Jum tidak banyak bicara, hanya seperlunya.

Tidak hanya belanja, Mbok Jum juga mengajari Yanti memakai perkakas dapur yang berbeda. Untungnya kompor gas lebih mudah dinyalakan daripada tungku, jadi Yanti tidak terlalu banyak kesulitan setelahnya.

Saat masakannya matang, Yanti mencari Dennis tapi tidak menemukan pria itu di manapun.

"Nanti juga muncul, Ti. Kamu makan dulu, biar ada tenaga buat kerja," nasehat Mbok Jum sebelum berpamitan.

Yanti tidak banyak berpikir saat melakukan seperti saran Mbok Jum. Dia makan lalu mencari apa-apa saja yang bisa dikerjakan.

Sendirian di rumah, ditemani suara klompennya tak tok tak tok.

.

.

.

.

Pincang atau Tidak

"Anakmu sudah berapa?"

Pertanyaan Dennis yang tiba-tiba itu mengagetkan Yanti. Selama tiga hari disini, dia tidak menceritakan tentang Waskito pada siapapun.

"Satu, Pak," jawab Yanti antara heran dan takut. "Kok tahu, Pak?"

"Pagi bau minyak telon, sore bau kambing. Apa susahnya?" Jawaban Dennis yang menusuk perasaan Yanti itu, membuat dia nyesal sudah bertanya.

"Suami kamu, tahu kalau kamu kerja disini?"

Kali ini Yanti tidak ingin menjawabnya.

"Kamu belum nikah?" tanya Dennis lagi.

"Sudah, Pak!" Spontan Yanti balas menatap mata kecil Dennis, tidak terima dibilang hamil diluar nikah, meski hanya beberapa detik sebelum menunduk lagi dan menjawab lirih, "Saya ndak tahu dia dimana."

"Nikah siri?"

Yanti memberanikan diri balik bertanya. "Bapak kok tau?"

Wanita itu heran, darimana majikannya ini tahu. Apakah Pak Dennis punya teman atau kenalan di desa tempat asal Yanti tinggal? Yanti bahkan tidak berani bilang ke Mbok Jum tentang pernikahannya maupun si kecil Waskito.

Dennis hanya melihat Yanti sebentar sebelum kembali pada surat kabar di tangannya. "Anakmu mungkin baru disapih, tapi umurnya tidak sampai dua tahun."

Kata-kata Dennis kembali mengusik pikiran Yanti.

"Bapak tau dari mana?"

Kali ini Dennis menutup koran, melipat lalu meletakkannya di meja, di sebelah piring nasi yang sudah agak dingin.

"Kalau baru melahirkan, badan masih gemuk kayak hamil tua. Anakmu juga sudah mulai makan bubur, jadi jarang minum susu. Sudah bisa ditinggal kerja. Makanya, badanmu kurus tapi dadamu masih montok," lanjut Dennis yang tanpa bersalah, mengambil kuah sayur.

Dennis tidak memperhatikan Yanti yang malu. Ibu muda itu bahkan menutupi dadanya dengan tangan, dirinya dilihat pria sampai sebegitu detil oleh mata nakal Dennis. Seolah Yanti sengaja mempertontonkan sejarah hidupnya untuk diketahui orang lain.

Disaat yang sama, Yanti juga takjub. Mereka baru bertemu dan Dennis sudah tahu begitu banyak tentangnya.

Ketika Dennis merasakan pandangan menusuk dari Yanti, barulah laki-laki itu sadar dengan apa yang dikatakannya. Dia sedikit malu dan salah tingkah saat mata Yanti seolah menuduhnya sebagai 'pria mesum'.

"Mungkin suami kamu ndak akan lari kalau kamu ndak bau kambing," ujar Dennis menyembunyikan kecanggungannya.

"Aku ndak bau kambing, Pak!" protes Yanti saat tidak ada kata-kata lain yang terpikir olehnya.

Kekaguman yang muncul sejenak akan kepintaran pria itu, luntur karena bicaranya yang ceplas ceplos. Lagipula Yanti yakin dirinya tidak bau penguk seperti kambing di kandang mereka di desa. Yanti lebih tahu karena tiap hari dia mencari makan untuk piaraan keluarga.

...

Tidak terima terus-terusan diejek bau, sepeninggal Dennis, Yanti mendatangi Mbok Jum. Minta petunjuk untuk mengatasi masalah kecil tapi menyebalkan ini.

"Kalau mandi pakai sabun, Ti," ujar wanita lumayan sepuh itu.

"Yang dipakai buat cuci baju itu, Mbok?"

"Bukan, nanti Mbok tunjukkan kalau sudah longgar. Sekarang bantu Mbok masak dulu."

Selama ini Yanti merasa yang dilakukan dalam menyelesaikan pekerjaan rumah sudah benar. Karena dia meniru persis apa yang diajarkan ibunya.

Jadi saat Mbok Jum mengajarkan cara yang berbeda, Yanti jadi pusing.

"Kok dicuci, Mbok? Kan sayurnya sudah bersih, ndak kena tanah," tanya Yanti bingung.

"Ada kotoran yang ndak kelihatan, Ti. Makanya tetep dicuci."

Yanti makin bingung, kotoran itu ya kotor karena kelihatan. Kalau tidak ada kotoran, ya, sudah bersih. Tapi wanita muda itu tidak berani membantah dan mengikuti sesuai petunjuk Mbok Jum.

Sebab tidak terbiasa, Yanti jadi lama sekali tiap melakukan satu tugas. Dia sendiri jengkel karena untuk melap dan merapikan barang Pak Dennis saja butuh hampir seharian.

"Pak Dennis itu pinter, ya, Mbok. Bukunya banyak," komentar Yanti setelah membuang air kotor di depan rumah sore itu.

"Ya pinter. Jadi wartawan harus pinter. Cari berita, harus bisa baca tulis, harus bisa macem-macem bahasa," sahut Mbok Jum.

Yanti ingat percakapannya tadi pagi dengan pak Dennis. Laki-laki itu menebak dengan tepat keadaan Yanti. Padahal kata Rini, sebaiknya dia tidak bilang kalau sudah nikah, apalagi punya anak.

Wanita muda itu khawatir kalau dia dipecat gara-gara sudah punya anak dan suami.

Ketika sedang bercakap-cakap dengan Mbok Jum itulah, sebuah becak berhenti di depan rumah. Penumpangnya seorang wanita berumur yang langsing, cantik, dengan pakaian motif bunga dan rok lipit warna ungu tua. Yanti jadi ingat istri pak Kades yang kata orang-orang, sombong.

Wanita itu langsung berjalan ke arah Mbok Jum. Wanita paruh baya berjarit itu menegakkan badan, lengannya yang besar seperti bisa menghalau nyonya itu kalau dia macam-macam.

"Dennis sudah pulang?" tanya Nyonya tanpa memberi salam.

"Belum, Nya," jawab Mbok Jum mendahului Yanti.

Yanti tahu kalau majikannya itu masih berada di rumah, tapi dia biarkan Mbok Jum menjawab menggantikan dirinya. Dia takut untuk berbicara dengan wanita yang kelihatan lebih judes dari majikannya itu.

Nyonya Lili mau nunggu di dalam?" Mbok Jum balik tanya.

Wanita bernama Lili mengedarkan pandangan ke halaman dimana tanaman dalam pot dibiarkan tumbuh tidak beraturan. Sinar matahari yang jatuh ke ruang tamu juga pasti membuat ruang tamu yang sesak semakin panas. Membayangkan saja Lili sudah merasa gerah.

"Tidak usah. Bilang saja kalau aku menunggunya di rumah."

Tidak lama, wanita itu kembali naik becak dan pergi.

"Itu ibuknya pak Dennis, nyonya Lili." Mbok Jum memberi tahu.

Yanti hanya melihat saja sampai kendaraan roda tiga itu menghilang di balik gang. Dalam hati dia merasa heran dengan pak Dennis yang tinggal pisah dari orangtuanya. Kecuali...

"Pak Dennis kok tinggal sendirian, Mbok Jum?" Yanti menyusul wanita itu masuk ke rumah bagian depan, tempat Mbok Jum tinggal bersama anak dan suaminya.

"Ndak tahu."

Jawaban singkat Mbok Jum tidak memuaskan rasa ingin tahu Yanti. Tapi dia juga tidak mau dimarahi. Emaknya di desa tidak suka kalau dia banyak tanya dan banyak bicara.

"Sudah sore, kamu ndak balik?" tanya Mbok Jum saat Yanti masih berdiri di dekat pintu.

"Sepi, Mbok, sendirian," keluhnya. Melihat wajah mbok Jum yang tidak senang, Yanti pergi dengan berat hati.

Suara langkah Yanti terdengar berat bahkan bagi dirinya. Rumah yang dia tinggali sekarang tidak sebesar rumahnya di desa. Meski sudah tidak lagi ditutupi ilalang liar karena dia bersihkan, tetap saja Yanti enggan memasuki rumah itu.

Rumah yang masih terasa asing.

Saat mendorong pintu, suara berat pak Dennis menyapa pendengarannya.

"Dari mana, Yan?" tanya pria itu sambil membalik halaman koran yang terbuka di hadapannya.

Dia sedang duduk di ruang tamu, menangkap sisa-sisa sinar matahari yang masih ada untuk membaca.

"Dari Mbok Jum, Pak," jawab Yanti yang menutup pintu di belakangnya.

"Sudah masak buat makan malam?"

"Ini mau aku angetin sayurnya, Pak." Yanti yang berjalan melewati ruangan mendadak berhenti dan berbalik. "Tadi ada Nyonya Lili."

Dennis mendongakkan wajah, ekspresinya tidak banyak berubah. "Dia ngapain?"

"Pak Dennis ditunggu di rumah," jawab Yanti seingatnya. Dia memperhatikan pria itu, menunggu kalau akan ada perintah tambahan atau yang lain.

"Habis angetin sayur, cepetan mandi, biar ndak bau kambing," ujar Dennis yang menyentakkan koran lalu kembali membacanya.

Yanti yang tersinggung, berjalan masuk dengan menghentak-hentak kaki. Bunyi tak tok tak tok terdengar nyaring di seluruh rumah yang sebelumnya sepi dan sunyi itu.

"Jangan lupa nyalakan lampu!" teriak Dennis yang dibalas teriakan tidak kalah nyaring.

"Iya, Pak!"

. . .

"Yan! Yanti!"

Yanti yang sedang duduk terkantuk-kantuk di kamar, segera turun dan bergegas menemui Dennis.

"Malam ini aku ndak pulang, kamu kunci pintunya. Jangan dibuka kalau ada yang ketok pintu." Dennis menginstruksikan dengan suara tegas.

"Iya, Pak," jawab Yanti. Matanya terarah ke tongkat hitam di tangan kanan pria itu, tangan kirinya membawa tas kulit.

"Kalau sudah makan, beresin. Biar ndak ada tikus masuk rumah," lanjut Dennis. Mata pria itu lalu menangkap kemana perhatian Yanti.

"Kamu lihat apa?!" Bentak Dennis.

Yanti langsung menurunkan pandangannya lagi hingga hanya terlihat ujung celana dan sepatu Dennis. Hatinya dag dig dug tidak karuan, takut karena dimarahi dan dibentak.

Dennis lalu berbalik dan menggunakan tongkat sebagai tumpuan. Berbeda dari pertama kali saat majikannya pakai tongkat, jalannya tidak sepincang sekarang.

Kali ini, Dennis berjalan seolah sudah bertahun-tahun pincang dan tidak bisa berjalan tanpa tongkatnya.

Mungkin kakinya sakit, pikir Yanti.

Yanti menunggu sampai tuannya itu keluar rumah sebelum mulai membereskan makan malam. Kuah sayur yang tinggal sedikit dia buang ke halaman dekat galian sampah, baru mencuci peralatan makan.

Matanya sudah sangat mengantuk dan dia ingin cepat tidur. Begitu merebahkan badan, Yanti segera berdoa dan menutup mata. Sudah terbayang dalam benak, nikmatnya beristirahat setelah bekerja.

Antara sadar dan tidak, gambaran tubuh Dennis yang berjalan dengan tumpuan tongkat membuatnya penasaran. Sebenarnya pak Dennis itu pincang sedikit atau banyak, ya..

Dan lagi, mata hitamnya yang kecil, kenapa selalu terlihat galak. Padahal dirinya tidak melakukan kesalahan apa-apa. Mendekat saja tidak berani.

.

Yanti merasa dirinya baru saja tidur lelap waktu terdengar suara barang-barang logam berjatuhan. Seketika dia bangun dan menyambar klompennya, berjalan keluar tanpa alas kaki. Dia mengendap-endap, takutnya kalau ada maling masuk rumah.

Clang! Brak!

Turun dari lantai dua, Yanti bersembunyi dibalik lemari besar. Hanya cahaya remang dari lampu di teras yang menerangi sosok itu. Bayangan itu berjalan sambil berpegangan pada pinggiran meja, menabrak kursi, dan... Suara umpatan yang Yanti kenal.

"Pak Dennis?" panggil Yanti.

Bayangan itu berhenti bergerak, lalu memerintahnya, "Yanti, nyalakan lampunya."

Yanti buru-buru meletakkan klompen dan berjalan ke saklar lampu. Sebentar saja rumah kembali terang dengan bias warna kekuningan. Wanita itu langsung merengut melihat jejak kekacauan yang dibuat Dennis.

"Byuh, byuh..." gumam Yanti.

Tidak hanya barang-barang berserakan di lantai, tumpukan buku yang sudah tertata rapi kembali longsor di sana sini.

Pria itu, tanpa bersalah, langsung menghempaskan badan di kursi dan memutar kepala ke kiri, ke kanan.

"Ambilkan air putih, aku haus," perintahnya lagi, masih menutup mata.

Yanti mengambil gelas berisi air lalu meletakkannya di meja. Dia menyadari pakaian Dennis yang setengah basah, lusuh kena lumpur, dan entah noda apa lagi. Yanti juga menyadari pria itu tidak memakai tongkatnya.

Dennis yang langsung meneguk habis air di gelas dan meminta refill.

"Kamu belum tidur?" tanya Dennis setelah habis gelas ketiga.

"Lha Pak Dennis berisik, aku kira maling."

Keduanya diam sesaat, lalu Dennis mencoba berdiri dengan bertumpu pada tepian meja. Tidak kuat menahan beban pria itu, meja bundar tersebut oleng dan jatuh bersamaan dengan tubuh Dennis.

"Pak Dennis!" teriak Yanti berusaha menangkap tapi terlambat.

Pria itu mengerang sambil menggeliat di lantai.

"Ya Allah, Pak!" Yanti yang bingung, sebentar mendekat, sebentar menjauh dengan tangan menutup mulutnya. Wanita itu akhirnya mengembalikan posisi meja, lalu mendekati Dennis yang sudah duduk.

"Bantu aku ke kamar," perintah Dennis sambil mengulurkan tangan.

Yanti berjongkok meski tidak yakin, dia meletakkan lengan Dennis di pundaknya.

"Pak Dennis, mana tongkatnya, Pak?" tanya wanita itu berusaha berdiri.

Dennis bersusah payah akhirnya bisa bangun dengan bantuan Yanti.

"Ke kamar," ujarnya masih tidak ingin menjawab pertanyaan pembantunya itu.

Selangkah demi langkah, mereka akhirnya sampai di kamar Dennis. Pria itu masih menyuruh-suruh Yanti, mengambil baju ganti, pakaian dalam, air baskom untuk cuci muka...

Yanti bolak-balik ke kamar melayani tuannya yang banyak permintaan.

"Kamu tunggu dulu diluar, aku ganti dulu. Jangan masuk kalau belum aku suruh," kata Dennis yang mulai melepas sepatu.

Yanti cepat-cepat keluar lalu bersandar ke dinding di sebelah pintu. Bertanya dalam hati apa yang sudah terjadi pada majikannya itu.

"Yan? Masuk, Yan!" panggil Dennis.

Yanti membuka pintu sedikit sebelum membuka lebar-lebar. "Sudah ganti, Pak?"

"Iya, baju kotor sama baskomnya kamu bawa keluar."

Yanti terkejut karena saat masuk, Dennis hanya memakai celana pendek dan kaus kaki hitam. Badannya yang mulus dengan kulit putih seperti susu, bisa dia lihat dengan jelas.

"Kamu lihat apa?!" bentak Dennis yang malu karena Yanti hanya diam sambil melihat badannya.

Yanti yang belum paham kalau tindakannya menyebabkan masalah, hanya berdiri bengong. Meski sudah menikah siri, dia melakukannya hanya sekali itu dengan Darto.

Badan Dennis juga sangat berbeda dari pria-pria di desanya. Bukan hanya kulit putih dan mulus, Yanti bisa melihat warna merah yang perlahan muncul dari wajah pria itu, menyebar ke telinga, leher dan dada bidangnya.

Meski pincang, badan Dennis sama sekali tidak terlihat lembek. Yanti bisa menjelaskan sepanjang hari tentang Pak Dennis yang kini berusaha menutupi badannya dengan selimut.

"Woi!!" teriak Dennis yang makin panik, melempar baju kotor ke arah Yanti.

Sadar telah melakukan kesalahan, gantian Yanti yang malu setengah mati.

"Keluar! Keluar!" teriak Dennis marah.

Yanti pun menunduk dan segera mengambil baju kotor yang kini berserakan di lantai.

Setelah membawa baju ke tumpukan cucian dan membuang air di baskom, Yanti kembali ke kamar majikannya. Tapi pria itu mengunci pintu dari dalam, sehingga Yanti kembali ke lantai dua untuk kembali tidur.

Sayangnya, mata Yanti sudah sulit terpejam. Bayang-bayang tubuh Dennis kembali bermain di pikirannya. Wanita itu menghela nafas panjang.

Mungkin kalau Dennis tidak segalak itu, pasti ada wanita yang mau menikah dengannya meski pincang.

.

.

.

3. Ajakan Setengah Hati

Yanti memutuskan bangun lebih awal karena toh dia tidak bisa tidur. Dia mulai dengan mencuci pakaian dilanjutkan memasak untuk sarapan.

Selesai masak nasi dan menggoreng telur, Yanti berjalan ke ruang tengah. Dia ingin segera membereskan buku dan barang lain yang berceceran di lantai. Suara klompen kayunya terdengar nyaring pagi itu.

"Yanti." Suara Dennis yang memanggilnya terdengar berat dan kasar.

"Iya, Pak?" sahut Yanti yang berhenti di depan kamar.

"Carikan tongkatku di teras atau di ruang tamu."

"Iya," sahutnya lagi lalu berjalan ke tempat yang dimaksud.

"Byuh, byuh...." Yanti menggelengkan kepala melihat kekacauan yang lebih dari perkiraannya.

Mungkin karena sebelumnya cahaya tidak terlalu terang, Yanti tidak melihat dengan jelas. Selain benda-benda di lantai, wanita muda itu tidak habis pikir bagaimana kursi di ruang tamu bisa terbalik dengan kedua kaki menghadap atas. Namun tidak perlu waktu lama baginya menemukan tongkat hitam pak Dennis.

Kini Yanti tahu penyebab majikannya itu tidak memakai tongkat. Ada bekas kotoran ayam yang bau dan lengket. Dia pun mencuci bersih tongkat itu dan mengeringkannya, lalu membawanya ke kamar.

Di dalam kamar, pria itu duduk di pinggir dipan. Kedua kakinya yang tanpa alas kaki terlihat pucat, dengan telapak yang lebar dan jari yang panjang.

"Ini, Pak." Yanti menyerahkan tongkat sambil menunduk.

Waktu Dennis tidak kunjung mengambil benda panjang itu, Yanti mengangkat kepala.

"Suamimu itu, sudah berapa lama ndak pulang kerumahmu?" Pertanyaan yang tidak disangka itu mengagetkan Yanti.

Dia tidak ingin menjawab tapi Dennis kembali mengulangi pertanyaannya, membuat Yanti lebih tidak nyaman lagi.

"Lama, Pak," jawab Yanti pada akhirnya. Dia tidak jadi menyerahkan tongkat itu.

"Kalau dia ndak balik lagi, kamu mau gimana? Dia kirim surat atau ndak?"

Yanti bukannya tidak pernah memikirkan kemungkinan itu. Dia hanya takut kalau penantiannya hampir dua tahun ini sia-sia. Dia dan bapaknya sudah berusaha mencari tahu keberadaan Darto, bertanya ke kenalan dan kerabat, tetangga, teman, bahkan bakul langganan mereka di pasar. Siapapun yang pernah kenal dengan Darto.

Namun, seperti hujan yang turunnya tidak pasti, kabar tentang suaminya itu simpang-siur. Saat ada petunjuk, ternyata jejak palsu. Pria itu bagai hilang ditelan bumi setelah sebulan tinggal di desa mereka.

Yanti menggigit bibir dan mengedipkan matanya yang basah. Dia sudah berbalik dan akan pergi, waktu Dennis menangkap tangannya.

"Mau kemana?" tanya Dennis.

Yanti menunduk sambil menarik tangan agar dilepas.

"Kasihkan dulu tongkatnya," paksa Dennis yang melepaskan cengkraman setelah Yanti memberikan benda kayu itu.

"Ambilkan makan, aku ndak bisa berdiri," perintah pria itu lagi.

Yanti mempercepat langkah menjauh, dia merasa sesak disana.

Pertanyaan-pertanyaan Dennis yang membuka lagi kenangan menyakitkan. Kegelisahan dan ketidakpastian sejak Darto pergi. Karena itu, Yanti akan menyerah kalau usaha terakhirnya ke kota ini tidak membuahkan hasil. Bagaimanapun, dia harus berusaha untuk anaknya, Waskito.

Setelah mengurus keperluan Dennis yang minta dibawakan ini-itu, Yanti mulai membereskan rumah menjelang siang.

Dia tidak menyangka kalau tuannya itu lebih cerewet dari kelihatannya. Meski akhirnya Yanti tidak kesepian di rumah, dia juga tidak bisa bekerja dengan tenang karena sebentar-sebentar pria itu minta dibawakan barang.

Yanti mendorong kursi yang terjungkal, balik ke posisi asalnya. Buku-buku di tumpuknya lagi, kali ini di meja pojok ruang kerja. Sedangkan barang-barang dimasukkan Yanti ke dalam lemari, bersama piring-piring hias lain.

Seusai menyeka keringat, Yanti berjalan melewati ruang tengah ke arah dapur sambil membawa timba berisi air kotor. Tidak sengaja matanya melihat ke pintu kamar Dennis yang terbuka.

Lelaki bermata kecil itu tengah duduk sambil tertidur, tangan tertekuk dan buku di pangkuan. Berbeda dari saat bangun, ketika tidur, wajahnya tidak ada garis yang membuatnya tua. Mulut yang selalu cemberut juga rileks. Membuat tuan Dennis terlihat lebih ganteng dari biasanya.

Ya, laki-laki itu akan ganteng kalau banyak tersenyum, tidak marah-marah dan teriak ini itu.

Yanti meneruskan ke dapur setelah menutup pintu kamar. Dia bisa pura-pura tidak dengar kalau Dennis memanggil nanti.

...

Setelah hampir seharian di dalam rumah, sore itu Yanti ke rumah mbok Jum.

Hari ini masih ada bahan makanan untuk dimasak jadi Yanti menggunakan apa saja yang ada. Ketika dia meminta uang belanja untuk besok, tuannya itu menyuruh Yanti titip belanjaan. Dia tidak mau pembantunya pergi terlalu lama saat kakinya masih sakit.

Mbok Jum mengiyakan dengan mudah, padahal dalam hati Yanti ingin ibu sepuh itu bertanya. Dia sudah ingin menceritakan apa saja kejadian sejak tadi malam.

Waktu mbok Jum melihat Yanti masih berdiri dengan gelisah, dia tersenyum kecil. "Cepetan balik sana, Ti. Kasihan Pak Dennis nanti cari kamu."

Batal bercerita, Yanti berjalan pelan ke tempat tinggalnya yang baru.

Telinga wanita itu samar-samar mendengar suara bertengkar laki-laki dan perempuan. Semakin dekat, kata-kata mereka makin jelas. Yanti memilih masuk rumah lewat dapur agar bisa melihat dengan aman.

"Mami sudah capek dengar semua alasanmu, Dennis! Umurmu sudah 26!"

"Kalau Mami sudah tahu aku bakal nolak, buat apa Mami repot-repot datang kesini."

"Dennis!" Teriak wanita cantik yang Yanti lihat sore kemarin. Mereka berada di kamar tuan Dennis.

"Sampai kapanpun aku ndak akan mau melanjutkan bisnis kotor papi," meski tidak berteriak, suara Dennis tetap terdengar lantang.

"Tutup mulutmu, dasar anak tidak tahu terima kasih! Kamu pikir uang dari mana untuk sekolah dan kebutuhanmu kalau bukan pakai uang papi!" Wanita itu makin meradang.

"Kalau Mami bersikeras, akan aku kembalikan uang yang selama ini papi keluarkan untuk aku," ujar Dennis masih kukuh pada pendiriannya. "Lagipula, wanita waras mana mau nikah sama orang pincang kayak aku?"

"Soal itu kamu ndak usah mikirin." Suara Lili kembali turun dan mulai membujuk anaknya dengan kata-kata manis. "Asal kamu mau balik ke rumah utama dan belajar bisnis..."

"Ndak, Mi. Apapun asal bukan kembali ke rumah utama dan bisnis kotor papi." Dennis kembali bersikeras.

Lili yang jengkel dan tidak habis pikir dengan keputusan putranya, akhirnya berdiri, wajahnya memelas. "Mami tetap berharap kamu kembali ke rumah. Tidak ada siapapun yang memihak mami di rumah itu."

"Atau mami bisa pindah kesini dan tinggal denganku," bujuk Dennis.

Nyonya Lili mengusap-usap tali tas selempangnya sambil menunduk. Wanita itu lalu berkata pelan, "Mami pamit dulu. Sering-sering kunjungi Mami."

Saat wanita itu berjalan keluar kamar, matanya tidak sengaja menatap ke arah Yanti sekilas lalu kembali tertuju ke arah ruang tamu.

Yanti baru beranjak setelah nyonya Lili melewati pintu depan. Dia hendak mengambil dan melipat jemuran, waktu namanya kembali dipanggil.

"Yan! Yanti!"

Langkah kelompen wanita itu terdengar keras. Dia berhenti di dekat pintu kamar Dennis yang terbuka.

"Kupaskan apel." Dennis memberikan keranjang anyaman berisi empat buah apel berwarna merah muda kekuningan, yang besarnya tiga kali lebih besar dari apel hijau yang biasa dia makan.

Yanti membawa keranjang itu ke dapur, mengeluarkan pisau dan mulai mengupas kulitnya yang tipis. Selesai mengupas keempatnya, dia pindahkan ke piring dan membawanya lagi ke kamar Dennis.

"Kenapa dikupas semua?" tanya Dennis, alisnya berkumpul di tengah dahi. "Kenapa bijinya ndak dibuang?"

Ditanya begitu, Yanti jadi bingung. Dennis hanya memintanya mengupas apel, tidak tahu kalau tidak usah semuanya, atau kalau bijinya dibuang juga.

Melihat wajah panik Yanti, Dennis menghela nafas. "Ambilkan pisau, aku ajari caranya ngupas apel."

Yanti kembali ke dapur, mengambil pisau dan balik ke kamar.

"Ini, Pak." Yanti memberikan pisau, ujung tajam terarah pada Dennis.

Pria itu langsung membelalak kaget dan bergeser mundur. Melihat Dennis yang menjauh, Yanti berjalan maju dan kembali mengayunkan pisau ke depan.

"Ini pisaunya," ujar Yanti lagi.

Kali ini Dennis melesat maju sambil menangkap pergelangan tangan Yanti, lalu menariknya ke arah luar. Yanti yang kaget tangannya tiba-tiba dipelintir, langsung menjatuhkan pisau.

"Adududuh...! Sakit, sakit, Pak," erang Yanti.

Dennis mengambil pisau yang jatuh lebih dulu, baru melonggarkan tangan Yanti. Wanita muda itu mendelik ke arah tuannya, tapi masih kalah garang dengan mata melotot Dennis.

"Kamu itu mau ngasih pisau atau mau nusuk aku?!" bentak Dennis.

"Pak Dennis minta pisau, ya aku ambilno." Yanti membela diri, mengusap-usap tangan untuk memastikan bagian tubuhnya itu masih utuh.

"Kalau ngasih pisau ke orang lain, kasih gagangnya." Dennis menunjukkan cara yang benar, lalu cara yang keliru. "Jangan gini, bisa salah paham."

Yanti hanya diam sambil cemberut. Selama ini tidak ada yang protes dengan caranya, kenapa hal-hal kecil selalu jadi masalah disini.

"Kalau aku kasihkan kamu begini." Dennis mengarahkan ujung yang tajam ke Yanti. "Lalu aku kesandung, kamu kena tusuk, ndak bahaya ta?"

Yanti bisa menangkap maksud Dennis, tapi ya, tidak usah pakai mlintir tangan dan marah-marah. Melihat gelagat Yanti yang ngambek, Dennis langsung menutup mulut dan menyimpan omelannya untuk lain waktu.

"Sudah, duduk sini. Aku ajari cara ngupas apel."

Yanti tetap berdiri karena tidak tahu harus duduk dimana. Di kursi yang tadi diduduki nyonya Lili atau di kasur sebelah tuan Dennis. Dia hanya berjalan mendekat agar bisa melihat jelas.

Dennis langsung memotong apel jadi dua tanpa menunggu pekerja wanitanya. Lalu membaginya lagi di tengah hingga ada 8 potong. Kemudian membersihkan bagian biji, pangkal dan ujung yang kotor hingga tinggal daging buah yang wangi tersisa.

Pria itu memberikan potongan pertama pada Yanti. Potongan kedua langsung ke mulutnya, begitu juga potongan ketiga dan seterusnya.

"Kamu bersihkan lainnya, seperti yang aku tunjukkan." Dennis memberikan piring apel yang masih utuh dan pisau pada Yanti.

Kali ini Yanti duduk di kursi yang tadi ditempati nyonya Lili, memotong apel dan membersihkan seperti yang ditunjukkan Dennis. Semakin lama, potongannya makin rapi.

Dennis memakan apelnya perlahan dengan nikmat.

"Sampai suamimu ketemu, gimana kalau kamu nikah sama aku, Yan?" tanya Dennis tiba-tiba.

Yanti yang memegang pisau, hampir saja tangannya meleset dan mengiris jarinya. Dia sudah dengar banyak hal dari pria aneh satu ini tapi kali ini...

"Byuh! Edan kowe, Pak!" jawab Yanti yang setengah membanting piring dengan berang.

Dia hendak pergi ketika tongkat hitam Dennis terjulur, menghalangi Yanti beranjak dari kursi.

"Aku tahu gajimu dipotong separuh selama tiga bulan buat komisi agen penyalur. Aku bisa siapkan uang tambahan jadi gajimu 4 kali yang sekarang," bujuk Dennis.

Yanti menampik tongkat hitam itu menjauh. "Aku sudah nikah, Pak."

Tidak mau kalah, Dennis menarik Yanti yang berusaha kabur dan membanting wanita itu kembali duduk ke kursi. Kali ini Dennis bahkan mencengkram kedua lengan Yanti di tempat, sekaligus menggunakan posisi itu sebagai penopang agar bisa berdiri.

"Kamu cuma nikah siri, artinya nikahmu sah secara agama tapi tidak sah secara hukum. Meski suamimu mangkir, ndak mau merawat dan membiayai anaknya, dia ndak akan bisa dihukum," Dennis menjelaskan. "Itu kalau dia masih hidup. Kalau kamu masih bisa menemukan dia."

Mulut Yanti terkatup rapat menahan marah.

"Bagaimana kalau suamimu ternyata punya istri lain, yang sah secara hukum dan agama? Kamu tetap ndak bisa minta hak anakmu," ujar Dennis sambil mencibir. Wajah tampannya berubah bengis dan licik.

"Aku juga ndak mau punya istri," Dennis sedikit menjauhkan wajah, matanya seolah menatap hal lain selain wajah Yanti di depannya. "Tapi mami terus mendesak dengan calon pilihannya. Aku lebih baik dengan pilihanku."

Mata Dennis kembali menelisik setiap senti detail di wajah dan tubuh Yanti. "Kalau kamu mau kita nikah kontrak, kita nikah sah secara hukum di catatan sipil. Mami berhenti nyuruh aku nikah, kamu dapat duit buat dikirim ke desa."

"Aku belum cerai, aku masih mau cari Mas Darto!" Yanti bersikeras, matanya berkaca-kaca. Dia tidak suka dengan kata-kata Dennis yang tidak berperasaan.

"Mas Darto? Ya, aku bisa cari tahu suamimu itu masih hidup atau ndak!" seru Dennis sambil tersenyum lebar, sumringah penuh kepalsuan.

Mendengar itu, Yanti menghentikan perlawanannya.

"Lagipula kita ndak benar-benar nikah, kita cuma nikah kontrak. Kita pura-pura nikah waktu ada mami atau acara keluargaku saja. Selain itu, kamu tetap jadi pembantu disini. Di rumah Tuan Denniss," ujar Dennis yang mengakhiri kalimatnya dengan sedikit desis untuk menakuti Yanti.

Begitu Dennis melonggarkan pegangannya di lengan Yanti, wanita itu langsung mendorong Dennis hingga jatuh ke kasur. Tapi Yanti tidak peduli. Dia berlari keluar dari kamar Dennis, keluar dari rumah itu.

Matanya basah.

Yanti tidak tahu kenapa mudah sekali bagi oran-orang di sekelilingnya mengucapkan kata 'nikah', atau menyuruhnya menikah. Padahal dia yang sakit hati kalau ada masalah, bukan mereka.

Yanti bahkan tidak tahu kemana kakinya melangkah, dia ingin berada sejauh mungkin dari pria itu. Dia tidak mau terikat lagi dengan pria manapun.

Saat wanita itu akhirnya jatuh tersandung dengan karet klompen yang putus dan lutut terasa nyeri. Meski begitu, rasa sakitnya masih tidak sebanding dengan sakit hatinya.

Bukan mau Yanti untuk menikah dengan Darto, lalu hamil dan merawat anak mereka tanpa suami. Kalau waktu bisa diulang kembali, dia akan mencari seribu alasan untuk tidak menghadiri acara sedekah bumi waktu itu. Untuk tetap bersembunyi di dalam rumah kecilnya.

Ibarat nila setitik, rusak susu sebelanga.

"Mbak! Awas!!" teriak seseorang.

Saat Yanti menoleh, pandangannya yang buram hanya melihat langit biru. Dia baru merasa sakit ketika sebuah bola mendarat dengan keras di wajahnya.

.

.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!