Wanita Di Hati Sang Ajudan

Wanita Di Hati Sang Ajudan

Bab 1

Wanita Di Hati Sang Ajudan

Bab 1

"Nek, kenapa Acha selalu diejek teman-teman? Acha punya bapak, kan, Nek?" rengek Raisa kepada neneknya. 

Raisa gadis kecil yang baru berusia tujuh tahun kerap kali menjadi bahan olokan oleh teman-teman sepermainannya karena mereka tidak pernah melihat ayah dari gadis yang kerap disapa Acha tersebut.

"Setiap anak pasti punya bapak, Anak cantik," bujuk nenek kala itu sambil mengusap rambut Acha yang begitu hitam dan ikan di bawahnya.

Setiap kali Acha mengadu kepada nenek atas perlakuan temannya, setiap itu juga nenek berusaha menghiburnya. 

Acha terlahir dari rahim Sartika–anak perempuan nenek. Sartika hamil akibat diperkosa. Sartika sendiri tidak tahu siapa yang memperkosanya. Seingat Sartika saat itu ketika dia pulang dari mengajar ngaji di surau. Suasana desa tanpa listrik sangat gelap gulita. Hanya api obor penerang langkah Sartika sendiri di malam biadab tersebut.

Tiba-tiba tengkuk Sartika terasa teramat sakit sepertinya ada seseorang yang memukulnya. Sebegitu kuat pukulan itu membuat Sartika pingsan. Sartika tidak tahu bahwa tubuhnya diseret ke sebuah gubuk di tengah sawah. Sartika juga tidak tahu bahwa malam itu awal dari gerbang penderitaan dimulai.

Yang Sartika tahu hanya saat dia tersadar, dia dapati tubuhnya hanya tertutup pakaian ala kadarnya. Dinginnya angin malam itu menusuk ke tubuh Sartika yang setengah telanjang, mungkin hal itu yang membantu Sartika untuk sadar dari pingsannya.

Dia tidak bisa melihat terlalu banyak. Dengan bantuan sinar bulan, Sartika meraba-raba pakaiannya. Dengan hati hancur yang tidak bisa dijabarkan seberapa hancur, Sartika memakai kembali pakaiannya. 

Selangkangannya saat itu terasa sangat sakit. Akan tetapi tidak begitu dia pedulikan, dia hanya fokus mencari jalan keluar dari sawah di bawah gelapnya malam. Sepanjang perjalanan dia menangis tanpa suara.  Bahunya berguncang menahan tangis. Sebentar lagi sampai ke rumah. Sartika berusaha menghentikan tangisnya dan menghapus air mata di pipinya. Dia tidak ingin mamaknya tahu dengan apa yang menimpanya di malam jahanam itu.

"Assalamualaikum," ucap Sartika dari luar rumah.

"Waalaikumsalam," terdengar derap langkah pada lantai papan rumah panggung tersebut.

Saat pintu dibuka, Acha menundukkan kepalanya, bersyukur hanya ada satu lampu teplok yang menyala sehingga mamak tidak bisa dengan jelas melihat wajah Sartika yang sudah sembab.

"Kenapa lama sekali pulangnya? Biasa jam delapan sudah pulang. Ini sudah jam sebelas baru pulang." 

Sartika tidak tahu mau menjawab apa, untuk sementara dialihkan pertanyaan mamak itu dengan bertanya dimana bapak.

"Bapak pergi cari kamu, lah, Nak. Orang tua mana yang tidak khawatir anak gadisnya lambat pulang."

Belum sempat Sartika berpamitan hendak masuk ke kamar, terdengar suara bel sepeda onthel yang bapak punya. 

"Alhamdulillah bapak sudah sampai," ucap mamak malam itu. 

Sartika mulai ketakutan bagaimana dia harus menceritakan yang dialaminya. 

"Dari mana saja kamu, Sar?" Suara bariton laki-laki berbadan kurus itu memenuhi ruangan dengan sedikit penerang tersebut.

"Hmmm, anu, Pak. Ta-tadi Sar mengantar anak ngaji di kampung sebelah. Dia takut pulang sendirian." Sartika  akhirnya berbohong. Dia malu dan takut bercerita.

Di lingkungannya, itu termasuk aib bagi si korban. Sungguh miris, bukan? Seharusnya mendapatkan perlindungan malahan korban yang akan dicari-cari kesalahannya. 

Nenek menarik nafas yang terdengar begitu berat. "Astagfirullah Al azim."

Nenek teringat kejadian delapan tahun lalu, malam dimana anak semata wayangnya pulang terlambat.

"Nek, mamak kenapa belum pulang, ya?" Kembali Acha merengek kepada nenek.

"Acha, kan, tau kalau mamak sedang kerja di kota."

"Cari uang untuk Acha, Nek?" Kembali mulut kecil itu meracau.

"Iya, untuk sekolah Acha, untuk jajan Acha."

"Hore!!!" Acha kecil bersorak gembira.

Hanya dengan mengalihkan pembicaraan itu lah cara nenek menghindar dari brondongan pertanyaan Acha.

Kini Acha sudah berada di pangkuan nenek yang sedang menunggu kakek pulang dari ladang. 

Tidak lama terdengar kembali dering sepeda yang sama dengan lamunan nenek tadi. Kakek yang tubuhnya mulai ringkih telah pulang dari ladang milik mereka. 

Kakek mulai sakit-sakitan semenjak mengetahui bahwa putri yang dia bangga-banggakan sedang berbadan dua dan tidak tahu siapa yang harus bertanggung jawab atas anak yang dia kandung.

"Sudah mandi, Cha?" tanya Kakek kepada Acha saat Acha berlari menyambut kepulangan kakek.

Acha mengangguk. Sepertinya kakek tidak merasa lelah, dia masih sanggup menggendong Acha di punggungnya. 

"Kenapa tidak pergi main sama teman-teman?" tanya Kakek kepada Acha setelah Acha dan kakek duduk di teras rumah sekedar meluruskan kaki seharian bekerja.

"Teman-teman Acha jahat, Kek," rengek Acha. Kakek pun mendongakkan kepala melihat ke arah nenek. 

Nenek menunjukkan ekspresi yang menjelaskan pasal hal yang selalu Acha alami.

Setelah meneguk air putih yang disuguhkan oleh nenek tadi, kakek teringat bagaimana orang-orang melempari atap rumah mereka setelah mengetahui Sartika hamil.

Mereka merasa manusia paling suci di muka bumi ini. Menghakimi seseorang tanpa mau mendengarkan hal sebenarnya yang terjadi.

Awalnya kakek dan nenek juga tidak bisa menerima kenyataan bahwa Sartika hamil. Mereka sempat mengusir Sartika dari rumah. 

Walaupun Sartika memohon agar dia tidak diusir. Akan tetapi rasa kecewa kakek saat itu sangat besar.

Berita kehamilan Sartika tersebar kemana-mana, hingga Ibu Kades mendengarnya. Bersyukurlah, dari sekian banyak penduduk di desa itu hanya Ibu Kades yang berpikiran jernih. 

Sartika yang berjalan gontai tanpa tujuan, dijemput oleh Ibu Kades dan dibawanya pulang. 

Sartika saat itu sedang berada di tepi tebing yang di bawahnya terdapat sungai dengan bebatuan yang cukup besar. Cukup untuk menghancurkan tengkorak kepala jika terjatuh di atasnya.

"Ibu tahu kamu tidak salah, Nak. Ibu tahu kamu itu jujur yang Ibu nggak tahu, bagaimana nasib orang tua kamu seandainya kamu bunuh diri." Ibu kades berusaha membuka pikiran Sartika yang sedang kalut saat itu.

"Tapi, ibu sama bapak saja tak percaya sama Sar, Buk," jawab Sartika dengan terbata-bata menahan Isak tangis.

"Mereka bukan tidak percaya, mereka hanya terkejut. Ayo, lah, Nak. Kita pulang ke rumah Ibu!" 

Dengan segala bujuk rayu dan pengalihan pandangan, akhirnya Sartika dapat diselamatkan. Bapak kades diam-diam berjalan di belakang Sartika. Setelah situasi dirasa cukup aman, beliau memeluk tubuh Sartika dari belakang lalu menariknya dari pagar pembatas tebing.

Sartika menangis dan bersimpuh di atas tanah. Dia memukul-mukul perutnya. Dia benci dengan kehamilan itu. 

"Sudah, Sar. Sudah!" Bu Kades menggenggam erat tangan Sartika agar dia berhenti menyakiti janin berusia empat bulan di kandungannya.

Ibu Kades berhasil membujuk Sartika saat itu dan membawanya pulang kerumah. 

"Ibu tidak membenci saya?" tanya Sartika heran melihat sikap Ibu Kades.

"Tidak."

"Saya hanya pembawa sial kampung ini, Bu. Saya pembawa aib. Saya pendosa."  Tangis sartika pecah seketika.

"Bukan kamu yang pendosa. Hanya saja mereka yang tidak sadar akan dosa mereka."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!