Wanita di hati sang ajudan
Bab 5
Setelah Eligius selesai mengenalkan diri, para pekerja di rumah ini juga saling menyebutkan nama dan tugas mereka. Mereka juga saling bertukar nomor WhatsApp gunanya jika diperlukan suatu saat nanti.
"Namanya juga kita tinggal satu rumah, pasti kita butuh satu sama lain," jelas Eligius saat dia meminta izin menyimpan nomor para pekerja di rumah ini.
"Nggak berangkat kuliah, Cha?" tanya Eligius kepada Acha yang sedang mengelap kaca jendela yang berada dekat dengan parkiran mobil.
"Eh, Abang. Saya ambil kuliah malam, jadi siangnya bisa bantu-bantu di mamak. Kasihan mamak kalau ngerjain sendiri," terang Acha dan dia tetap dengan pekerjaannya.
Eligius tersenyum. Senyumnya bak hipnotis yang membuat orang ikut tersipu malu jika memandang senyuman itu.
"Nggak takut setan, Neng, kuliah malam?" celetuk Mang Yusuf–supir pribadi Ibu Fenita.
"Lebih takut sama manusia berhati setan, Mang, daripada sama setan beneran. Setan dibacakan ayat kursi dia kabur. Kalau manusia berhati setan?"
"Si Eneng bisa aja." Kang Yusuf pun tertawa.
Antara Acha dan Kang Yusuf memang sudah akrab. Kang Yusuf sudah lama bekerja menjadi supir pribadi ibu Fenita jauh sebelum Acha dibawa dari desa.
"Neng, dipanggil ibu, tuh." Sambung Kang Yusuf setelah dia berhenti tertawa.
"Ngapain, Mang?" Acha pun menghentikan tangannya yang dari tadi sibuk membersihkan kaca jendela.
"Disuruh nyatet apa-apa saja yang sudah habis," jelas Kang Yusuf.
"Yuk!" Tiba-tiba Adeline datang dan langsung menggandeng Eligius.
Orang-orang pasti mengira mereka adalah pasangan kekasih. Secara fisik mereka cocok, yang wanita cantik dan yang pria tampan dan memiliki karisma tersendiri. Hanya saja pria itu jarang berbicara jika tidak terlalu penting baginya.
Acha tidak mempedulikan hal itu, dia membereskan semua peralatannya dan segera menemui Ibu Fenita.
"Pulang dengan siapa, Cha?" Suara Eligius membuat Acha terperanjat saat dia masuk ke dalam rumah.
"Bikin kaget aja Abang, nih." Acha mengelus-elus dadanya.
"Pulang sama siapa?" Ulang Eligius dengan tatapan serius.
"Teman."
"Teman apa pacar?"
"Menurut Abang? Saya sudah dua puluh dua tahun. Sebentar lagi wisuda," sahut Acha.
"Selesai wisuda nikah," celetuk Eligius lalu dia meninggalkan Acha yang masih bingung melihat sikap Eligius malam ini.
"Ih, tugas Abang itu jagain Mbak Adeline, bukan jagain saya," Acha sewot dan segera mengunci pintu.
Saat berjalan menuju kamar tidurnya yang terletak di belakang–dekat ke dapur. Acha melihat Eligius sedang berdiri di depan kompor, sepertinya dia sedang Ingin memasak sesuatu.
"Ngapain, Bang?"
Suara Acha mengagetkan Eligius hingga dia segara membalikkan badan dan reflek menarik pistol dari pinggangnya.
"Eh, apa ini, Bang?" Kali ini Acha yang terkejut hingga tersandar di dinding."
"Maaf, maaf." Eligius tersadar dan langsung menyimpan pistol tipe Glock Meyer 22.
"Kenapa Abang di depan kompor?"
"Mau masak mie," sahut Eligius.
"Mau masak mie, kenapa sampai terkejut gitu saat Acha sapa?" Sepertinya Acha tidak puas terhadap jawaban Eligius.
Acha melangkah maju, mendekati kompor. Melihat sekitar kompor tidak ada tanda-tanda Eligius akan memasak mie.
"Mana mie-nya?"
"Nah itu dia, saya nggak tau dimana mie disimpan. Saya lagi mikir, kamu datang mengejutkan." Akhirnya Eligius dapat jawaban.
"Bilang dari tadi. Untung aja Acha nggak mati perkara mie instan," gerutu Acha sambil mengambil mie dari lemari bagian atas kitchen set,
Eligius memperhatikan Acha yang sedang memasak dua bungkus mie.
"Kenapa kamu masaknya dua bungkus? Kamu kira saya selapar itu?" protes Eligius.
"Abang, nggak lapar. Saya yang lapar," sahut Acha.
"Katanya pulang sama cowoknya. Masa nggak diajak makan," Kembali Eligius menyindir Acha.
"Manusia mana yang bisa menahan aroma mie instan," ujar Acha seraya mencium aroma mie yang telah tersaji di mangkok.
Saat mereka sedang asik menyantap mie instan, Eligius meletakkan sendoknya perlahan. Kemudian dia memberi tanda isyarat agar Acha tidak bersuara. Acha yang tidak mengerti mengikuti saja.
Perlahan, Eligius memundurkan bangku, dia berdiri dan berjalan perlahan keluar dari dapur. Lampu ruang tengah sudah dimatikan oleh Acha.
Eligius menekan kontak lampu, lampu menyala dan terdengar suara wanita menjerit karena terkejut.
"Mau kemana Mbak Adeline?"
Ternyata Eligius mendengar langkah kaki Adeline yang ingin mengendap-endap keluar rumah.
"Sudah pukul sebelas malam."
Adeline masih diam, otaknya sedang berpikir bagaimana cara mencari akal agar diizinkan keluar.
"Gue bosen di rumah. Lagian ini ladies night," sahut Adeline santai tanpa beban.
"Lebih baik tidur!"
Acha belum berani menyusul, dia masih berdiri terpaku di dekat meja makan.
"Lo, itu pengawal gue bukan pengasuh gue. Tugas lo mengawali kemana gue pergi, bukan ngatur-ngatur hidup gue." Terkadang keangkuhan Adeline tidak bisa dipungkiri.
"Ok. Silahkan!" Eligius merentangkan tangan seolah sedang mempersilahkan seorang tuan putri lewat.
"Bang, mie nya belum habis!" teriak Acha dari dapur saat dia mengetahui Eligius dan Adeline akan pergi.
"Makan aja sama kamu!" Balas Eligius berteriak.
"Nggak, ah. Sisa Abang."Acha menjawab.
Eligius berteriak sambil menutup pintu, dia menyuruh Acha untuk membuangnya saja.
Setelah mereka pergi dan terdengar suara mesin mobil menyala, Acha meneruskan menghabiskan mie yang masih tersisa di mangkuk miliknya.
Acha bimbang, untuk membuang mie punya Eligius. Dalam hidupnya dia sangat pantang membuang-buang makanan tapi, kalau dihabiskan ini sisa orang.
"Ah, habiskan saja, tadi juga dia baru menyuap satu sendok," gumam Acha dan dia mengganti sendok Eligius dengan sendoknya.
Akhirnya malam ini Acha tidur dengan pulas setelah menghabiskan dua mangkok mie instan.
Pagi hari seperti biasa, Acha bangun lebih awal sebelum Sartika bangun. Dia mencuci pakaian miliknya dan Sartika sebelum dia membereskan rumah.
"Kamu jangan cari-cari kesempatan dengan Eligius!" Tiba-tiba Sartika sudah berada di belakang saat Acha sedang menjemur pakaian.
"Cari kesempatan gimana maksud Mamak?"
Acha juga mengatakan bahwa dia sudah memiliki teman pria. In Syah Allah setelah wisuda mereka akan menikah.
"Sebenarnya kamu ingin bebas dari pekerjaan rumah ini, kan?" ketus Sartika mendengar jawaban dari Acha.
Malas berdebat, Acha memilih tidak menjawab pertanyaan Sartika yang terlalu mengada-ngada tersebut.
Semenjak Acha ikut tinggal di kediaman Bapak Malvyn, perkerasan Sartika tidaklah terlalu banyak. Hampir tujuh puluh persen pekerjaan rumah Acha yang mengerjakan. Sementara saat menerima gaji, selalu Sartika yang memegang. Acha tidak tahu gajinya berapa. Uang dia tahu, dia hanya menerima uang lima puluh ribu sehari sebagai ongkos dan uang saku kuliahnya.
"Sudah selesai? Cepat bantu Mamak buat sarapan!" teriakkan Sartika mengagetkan Acha. Cepat-cepat dia menyangkutkan pakaian pada tali jemuran.
Jam dinding di dapur menunjukkan pukul setengah enam pagi. Terdengar suara mobil yang dikendarai Eligius dan Adeline tadi malam memasuki halaman rumah.
Terlihat Eligius sedang menggendong Adeline dan membawanya ke kamar.
"Kenapa dia?" tanya Ibu Fenita saat melihat pemandangan tersebut.
"Mabuk, Buk." jawab Eligius.
"Ya, sudah. Baringkan dia di kamar!" perintah Ibu Fenita.
Eligius mengangguk dan meneruskan langkahnya yang sempat terhenti.
Adeline hanya mabuk, bukanlah pingsan, sehingga saat Eligius meletakkan tubuhnya di atas tempat tidur, saat itu Adeline mencoba menarik Eligius hingga Eligius jatuh di atas tubuhnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments