Wanita Di Hati Sang Ajudan
Bab 2
"Saya hanya pembawa sial kampung ini, Bu. Saya pembawa aib. Saya pendosa." Tangis sartika pecah seketika.
"Bukan kamu yang pendosa. Hanya saja mereka yang tidak sadar akan dosa mereka."
Masa berat itu telah Sartika lalui. Teringat waktu Sartika kembali ke rumah orang tuanya. Setiap orang yang lalu di depan rumah tersebut pasti meludah. Bahkan saat malam tiba, jendela kamar Sartika selalu ada yang mengetuk. Para lelaki pengangguran di desa itu menganggap Sartika adalah gadis desa yang bisa di bayar. Begitu jahat pikiran mereka terhadap Sartika.
Hal-hal yang tidak menyenangkan itu dia lalui selama masa kehamilan Sartika. Sehingga dia memiliki rasa benci pada anak yang dia kandung.
Saat akan melahirkan pun, Sartika sempat memakai anak di dalam perutnya.
"Kalau tidak karena dia, Sar tidak akan merasakan sakit ini, Mak." Begitulah pembelaan Sartika saat mamak menasehati dia untuk berhenti menyalahkan anak dalam rahimnya.
Tangisan pertama disambut sukacita oleh mamak dan bapak. Mereka sudah melupakan bagaimana cucu mereka bisa ada di rahim anaknya. Yang mereka rasakan sekarang, bahwa mereka bahagia memiliki cucu pertama. Akan tetapi tidak dengan Sartika. Sedikitpun dia tidak mau melihat anaknya. Dia bahkan berteriak menyuruh bidan membawa anak itu pergi dari hadapannya.
"Ayuk, Sar. Kita susukan anaknya dulu!"
"Saya tidak mau. Biarkan saja dia mati sekalian!?" teriak Sartika.
"Sartika!" terkejut mamak mendengarnya.
"Sudah. Sudah, Mak. Mungkin Sar butuh waktu untuk menerima anaknya." Ibu kades berusaha memberi pengertian pada Mak.
"Kita kasih susu bantu aja, ya, Buk!" suruh Ibu Kades kepada bidan yang mengurus persalinan Sartika.
Walaupun mamak merasa khawatir bagaimana cara mereka membeli susu formula untuk cucu nya.
Sartika memang sudah niat untuk pergi merantau ke kota dan meninggalkan anak itu bersama kakek dan neneknya. Bahkan, dia akan memberikan bayi tersebut jika ada orang yang mau mengadopsinya.
Sebegitu bencikah dia kepada anaknya?
"Sar mau ke kota, Mak. Sar sudah daftar di yayasan penyalur pembantu. Sar sudah dapat majikan." Hanya itu yang Sar ucapkan di malam sebelum dia berangkat.
"Apa harus ke kota, Nak?" Bapak angkat bicara.
"Kalau Sar di sini terus, bagaimana biaya Acha. Acha butuh susu. Hidupnya masih panjang."
Mamak dan Bapak tidak bisa melarang keinginan Sartika. "Jika itu bisa membuat Sar bahagia, pergilah. Pesan mamak jangan tinggalkan salat."
Sartika melamun di atas ranjang. Kamar pembantu di rumah majikan Sartika sangat bagus, lebih bagus dari kamar utama rumahnya di kampung.
Sartika sangat merindukan Acha. Sudah lama dia tidak pulang ke desa. Bukan karena tidak diizinkan, hanya saja Sartika yang tidak mau. Setiap bulan Sartika hanya mengirimkan uang untuk kebutuhan orang tua dan anaknya.
Di tahun kelima Sartika merantau, akhirnya di pulang ke desa karena menerima telepon dari Ibu kades yang mengabarkan bahwa bapak sedang sakit. Bersyukur Bapak Malvyn merupakan seorang warga negara Inggris dan Ibu Fenita merupakan penduduk pribumi mengizinkan Sartika untuk pulang untuk bertemu orang tua dan anaknya. Bukan itu saja, mereka juga memberikan sejumlah uang untuk biaya berobat bapak.
"Banyak sekali ini, Tuan," ujar Sartika kala itu.
"Tidak apa, ini Karena kesetiaan kamu lima tahun bersama kami."
Malvyn juga mengatakan jika bapak harus masuk rumah sakit, segera hubungi dia dan jangan pernah khawatir tentang biaya rumah sakit.
Bapak Malvyn dan Ibu Fenita juga mengetahui bahwa Sartika memiliki anak di kampung yang usianya hampir sama dengan anak mereka yang bernama Adeline.
Sebenarnya, di saat Sartika mengurus Adeline, dia juga teringat akan putri kecilnya yang tidak seberuntung Adeline. Adeline di rawatnya seperti dia merawat anak sendiri. Sementara anak sendiri dia biarkan hidup bersama nenek.
Sartika teringat pertama kalinya dia bertemu Acha setelah lima tahun pergi merantau. Acha begitu cantik begitu mirip dengan Sartika hanya saja rambutnya yang berbeda. Sartika memiliki rambut lurus bak bintang iklan sampo, sedangkan Acha memiliki rambut sedikit keriting.
"Mamak!" Sambut Acha sore itu ketika mobil travel berhenti di depan rumah.
Acha berlari ingin memeluk Sartika. Akan tetapi, Sartika langsung nyelonong masuk ke dalam rumah tanpa memikirkan hati Acha diacuhkan oleh orang yang dia rindukan selama ini.
Sartika masih memendam dendam pada laki-laki yang memperkosanya hingga dia juga membenci anak dari malam jahanam tersebut.
Sartika membawa bapak ke rumah sakit untuk pengobatan tetapi, ajal tidak bisa dihindar. Seminggu bapak di rumah sakit, kondisi bapak semakin memburuk. Bapak mengidap sakit penyempitan saluran pernafasan akut. Selama ini bapak tidak pernah memeriksakan sakitnya dengan alasan biaya.
Sedih? Pasti sedih. Semenjak masalah menimpa keluarganya bapak memang melampiaskan kegundahannya dengan menghisap rokok tanpa henti. Bisa bapak menghabiskan dua bungkus rokok kretek dalam sehari.
"Kamu mau akan berangkat lagi, Sar?" tanya mamak setelah selesai mendoa tiga hari di rumah duka.
"Sar harus pergi, Mak. Kalau Sar tak bekerja, siapa yang membiayai hidup, Mak?" Sartika enggan berdebat, dia hanya memberi mamak pertanyaan agar dicerna oleh mamak sendiri.
"Acha butuh susu, butuh makanan yang bergizi, butuh biaya untuk sekolah." Sambung Sartika.
"Ada hasil kebun kita, Sar," sahut mamak saat itu yang dari tadi mengusap-usap kepala Acha hingga dia tertidur.
"Hasil kebun tak seberapa, Mak. Suruh saja orang yang menggarapnya, Mak. Mak sudah tua. Jaga kesehatan. Kalau Mamak sakit, dengan siapa Acha?"
"Yaz sama kamu. Kamu ibunya, Sar."
Mendengar jawaban Mamak, raut wajah Sartika terlihat tidak menyenangkan. "Sudah, lah, Mak. Sar mau keluar dari desa ini selamanya." Sartika berdiri, dia melangkah ke arah jendela samping rumah. Tatapannya jauh seolah mampu menembus gunung yang berdiri secara perkasa tersebut.
Hari kedelapan setelah meninggal bapak, Sartika kembali ke kota. Melanjutkan kerja di rumah Bapak Malvyn dan Ibu Fenita. Dia juga merasa rindu kepada Adeline.
"Mak, Acha sayang Mamak," ucap Acha sebelum Sartika naik ke mobil travel yang menjemputnya.
"Hati-hati, ya, Mak," sambung Acha dia ingin mencoba memeluk Sartika.
Kali ini, Sartika membiarkan Acha memeluknya tetapi, tidak ada balasan dari Sartika.
"Hati-hati, Mak." Kembali Acha mengingatkan.
"Ya." Hanya jawaban singkat tersebut keluar dari mulut Sartika.
Sartika pergi tanpa ada kecupan hangat di kening Acha. Nenek memandang Acha dengan iba. Kenapa Sartika begitu enggan untuk menunjukkan sayangnya kepada Acha.
"Nek, besok mamak pulang lagi, kan?" tanya Acha kepada nenek.
"In Syah Allah pulang." Nenek tersenyum dan merangkul Acha lalu mereka masuk ke dalam rumah. "Acha doakan, mamak sehat selalu, ya!"
"Pasti, Nek. Setiap Acha salat, Acha doakan mamak. Acha juga doakan bapak semoga bapak juga pulang," celoteh Acha tanpa beban, menganggap semua sedang baik-baik saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments