NovelToon NovelToon

Wanita Di Hati Sang Ajudan

Bab 1

Wanita Di Hati Sang Ajudan

Bab 1

"Nek, kenapa Acha selalu diejek teman-teman? Acha punya bapak, kan, Nek?" rengek Raisa kepada neneknya. 

Raisa gadis kecil yang baru berusia tujuh tahun kerap kali menjadi bahan olokan oleh teman-teman sepermainannya karena mereka tidak pernah melihat ayah dari gadis yang kerap disapa Acha tersebut.

"Setiap anak pasti punya bapak, Anak cantik," bujuk nenek kala itu sambil mengusap rambut Acha yang begitu hitam dan ikan di bawahnya.

Setiap kali Acha mengadu kepada nenek atas perlakuan temannya, setiap itu juga nenek berusaha menghiburnya. 

Acha terlahir dari rahim Sartika–anak perempuan nenek. Sartika hamil akibat diperkosa. Sartika sendiri tidak tahu siapa yang memperkosanya. Seingat Sartika saat itu ketika dia pulang dari mengajar ngaji di surau. Suasana desa tanpa listrik sangat gelap gulita. Hanya api obor penerang langkah Sartika sendiri di malam biadab tersebut.

Tiba-tiba tengkuk Sartika terasa teramat sakit sepertinya ada seseorang yang memukulnya. Sebegitu kuat pukulan itu membuat Sartika pingsan. Sartika tidak tahu bahwa tubuhnya diseret ke sebuah gubuk di tengah sawah. Sartika juga tidak tahu bahwa malam itu awal dari gerbang penderitaan dimulai.

Yang Sartika tahu hanya saat dia tersadar, dia dapati tubuhnya hanya tertutup pakaian ala kadarnya. Dinginnya angin malam itu menusuk ke tubuh Sartika yang setengah telanjang, mungkin hal itu yang membantu Sartika untuk sadar dari pingsannya.

Dia tidak bisa melihat terlalu banyak. Dengan bantuan sinar bulan, Sartika meraba-raba pakaiannya. Dengan hati hancur yang tidak bisa dijabarkan seberapa hancur, Sartika memakai kembali pakaiannya. 

Selangkangannya saat itu terasa sangat sakit. Akan tetapi tidak begitu dia pedulikan, dia hanya fokus mencari jalan keluar dari sawah di bawah gelapnya malam. Sepanjang perjalanan dia menangis tanpa suara.  Bahunya berguncang menahan tangis. Sebentar lagi sampai ke rumah. Sartika berusaha menghentikan tangisnya dan menghapus air mata di pipinya. Dia tidak ingin mamaknya tahu dengan apa yang menimpanya di malam jahanam itu.

"Assalamualaikum," ucap Sartika dari luar rumah.

"Waalaikumsalam," terdengar derap langkah pada lantai papan rumah panggung tersebut.

Saat pintu dibuka, Acha menundukkan kepalanya, bersyukur hanya ada satu lampu teplok yang menyala sehingga mamak tidak bisa dengan jelas melihat wajah Sartika yang sudah sembab.

"Kenapa lama sekali pulangnya? Biasa jam delapan sudah pulang. Ini sudah jam sebelas baru pulang." 

Sartika tidak tahu mau menjawab apa, untuk sementara dialihkan pertanyaan mamak itu dengan bertanya dimana bapak.

"Bapak pergi cari kamu, lah, Nak. Orang tua mana yang tidak khawatir anak gadisnya lambat pulang."

Belum sempat Sartika berpamitan hendak masuk ke kamar, terdengar suara bel sepeda onthel yang bapak punya. 

"Alhamdulillah bapak sudah sampai," ucap mamak malam itu. 

Sartika mulai ketakutan bagaimana dia harus menceritakan yang dialaminya. 

"Dari mana saja kamu, Sar?" Suara bariton laki-laki berbadan kurus itu memenuhi ruangan dengan sedikit penerang tersebut.

"Hmmm, anu, Pak. Ta-tadi Sar mengantar anak ngaji di kampung sebelah. Dia takut pulang sendirian." Sartika  akhirnya berbohong. Dia malu dan takut bercerita.

Di lingkungannya, itu termasuk aib bagi si korban. Sungguh miris, bukan? Seharusnya mendapatkan perlindungan malahan korban yang akan dicari-cari kesalahannya. 

Nenek menarik nafas yang terdengar begitu berat. "Astagfirullah Al azim."

Nenek teringat kejadian delapan tahun lalu, malam dimana anak semata wayangnya pulang terlambat.

"Nek, mamak kenapa belum pulang, ya?" Kembali Acha merengek kepada nenek.

"Acha, kan, tau kalau mamak sedang kerja di kota."

"Cari uang untuk Acha, Nek?" Kembali mulut kecil itu meracau.

"Iya, untuk sekolah Acha, untuk jajan Acha."

"Hore!!!" Acha kecil bersorak gembira.

Hanya dengan mengalihkan pembicaraan itu lah cara nenek menghindar dari brondongan pertanyaan Acha.

Kini Acha sudah berada di pangkuan nenek yang sedang menunggu kakek pulang dari ladang. 

Tidak lama terdengar kembali dering sepeda yang sama dengan lamunan nenek tadi. Kakek yang tubuhnya mulai ringkih telah pulang dari ladang milik mereka. 

Kakek mulai sakit-sakitan semenjak mengetahui bahwa putri yang dia bangga-banggakan sedang berbadan dua dan tidak tahu siapa yang harus bertanggung jawab atas anak yang dia kandung.

"Sudah mandi, Cha?" tanya Kakek kepada Acha saat Acha berlari menyambut kepulangan kakek.

Acha mengangguk. Sepertinya kakek tidak merasa lelah, dia masih sanggup menggendong Acha di punggungnya. 

"Kenapa tidak pergi main sama teman-teman?" tanya Kakek kepada Acha setelah Acha dan kakek duduk di teras rumah sekedar meluruskan kaki seharian bekerja.

"Teman-teman Acha jahat, Kek," rengek Acha. Kakek pun mendongakkan kepala melihat ke arah nenek. 

Nenek menunjukkan ekspresi yang menjelaskan pasal hal yang selalu Acha alami.

Setelah meneguk air putih yang disuguhkan oleh nenek tadi, kakek teringat bagaimana orang-orang melempari atap rumah mereka setelah mengetahui Sartika hamil.

Mereka merasa manusia paling suci di muka bumi ini. Menghakimi seseorang tanpa mau mendengarkan hal sebenarnya yang terjadi.

Awalnya kakek dan nenek juga tidak bisa menerima kenyataan bahwa Sartika hamil. Mereka sempat mengusir Sartika dari rumah. 

Walaupun Sartika memohon agar dia tidak diusir. Akan tetapi rasa kecewa kakek saat itu sangat besar.

Berita kehamilan Sartika tersebar kemana-mana, hingga Ibu Kades mendengarnya. Bersyukurlah, dari sekian banyak penduduk di desa itu hanya Ibu Kades yang berpikiran jernih. 

Sartika yang berjalan gontai tanpa tujuan, dijemput oleh Ibu Kades dan dibawanya pulang. 

Sartika saat itu sedang berada di tepi tebing yang di bawahnya terdapat sungai dengan bebatuan yang cukup besar. Cukup untuk menghancurkan tengkorak kepala jika terjatuh di atasnya.

"Ibu tahu kamu tidak salah, Nak. Ibu tahu kamu itu jujur yang Ibu nggak tahu, bagaimana nasib orang tua kamu seandainya kamu bunuh diri." Ibu kades berusaha membuka pikiran Sartika yang sedang kalut saat itu.

"Tapi, ibu sama bapak saja tak percaya sama Sar, Buk," jawab Sartika dengan terbata-bata menahan Isak tangis.

"Mereka bukan tidak percaya, mereka hanya terkejut. Ayo, lah, Nak. Kita pulang ke rumah Ibu!" 

Dengan segala bujuk rayu dan pengalihan pandangan, akhirnya Sartika dapat diselamatkan. Bapak kades diam-diam berjalan di belakang Sartika. Setelah situasi dirasa cukup aman, beliau memeluk tubuh Sartika dari belakang lalu menariknya dari pagar pembatas tebing.

Sartika menangis dan bersimpuh di atas tanah. Dia memukul-mukul perutnya. Dia benci dengan kehamilan itu. 

"Sudah, Sar. Sudah!" Bu Kades menggenggam erat tangan Sartika agar dia berhenti menyakiti janin berusia empat bulan di kandungannya.

Ibu Kades berhasil membujuk Sartika saat itu dan membawanya pulang kerumah. 

"Ibu tidak membenci saya?" tanya Sartika heran melihat sikap Ibu Kades.

"Tidak."

"Saya hanya pembawa sial kampung ini, Bu. Saya pembawa aib. Saya pendosa."  Tangis sartika pecah seketika.

"Bukan kamu yang pendosa. Hanya saja mereka yang tidak sadar akan dosa mereka."

Bab 2

Wanita Di Hati Sang Ajudan 

Bab 2

"Saya hanya pembawa sial kampung ini, Bu. Saya pembawa aib. Saya pendosa."  Tangis sartika pecah seketika.

"Bukan kamu yang pendosa. Hanya saja mereka yang tidak sadar akan dosa mereka."

Masa berat itu telah Sartika lalui. Teringat waktu Sartika kembali ke rumah orang tuanya. Setiap orang yang lalu di depan rumah tersebut pasti meludah. Bahkan saat malam tiba, jendela kamar Sartika selalu ada yang mengetuk. Para lelaki pengangguran di desa itu menganggap Sartika adalah gadis desa yang bisa di bayar. Begitu jahat pikiran mereka terhadap Sartika.

Hal-hal yang tidak menyenangkan itu dia lalui selama masa kehamilan Sartika. Sehingga dia memiliki rasa benci pada anak yang dia kandung. 

Saat akan melahirkan pun, Sartika sempat memakai anak di dalam perutnya.

"Kalau tidak karena dia, Sar tidak akan merasakan sakit ini, Mak." Begitulah pembelaan Sartika saat mamak menasehati dia untuk berhenti menyalahkan anak dalam rahimnya.

Tangisan pertama disambut sukacita oleh mamak dan bapak. Mereka sudah melupakan bagaimana cucu mereka bisa ada di rahim anaknya. Yang mereka rasakan sekarang, bahwa mereka bahagia memiliki cucu pertama. Akan tetapi tidak dengan Sartika. Sedikitpun dia tidak mau melihat anaknya. Dia bahkan berteriak menyuruh bidan membawa anak itu pergi dari hadapannya.

"Ayuk, Sar. Kita susukan anaknya dulu!" 

"Saya tidak mau. Biarkan saja dia mati sekalian!?" teriak Sartika.

"Sartika!" terkejut mamak mendengarnya.

"Sudah. Sudah, Mak. Mungkin Sar butuh waktu untuk menerima anaknya." Ibu kades berusaha memberi pengertian pada Mak.

"Kita kasih susu bantu aja, ya, Buk!" suruh Ibu Kades kepada bidan yang mengurus persalinan Sartika.

Walaupun mamak merasa khawatir bagaimana cara mereka membeli susu formula untuk cucu nya.

Sartika memang sudah niat untuk pergi merantau ke kota dan meninggalkan anak itu bersama kakek dan neneknya. Bahkan, dia akan memberikan bayi tersebut jika ada orang yang mau mengadopsinya.

Sebegitu bencikah dia kepada anaknya? 

"Sar mau ke kota, Mak. Sar sudah daftar di yayasan penyalur pembantu. Sar sudah dapat majikan." Hanya itu yang Sar ucapkan di malam sebelum dia berangkat.

"Apa harus ke kota, Nak?" Bapak angkat bicara.

"Kalau Sar di sini terus, bagaimana biaya Acha. Acha butuh susu. Hidupnya masih panjang."

Mamak dan Bapak tidak bisa melarang keinginan Sartika. "Jika itu bisa membuat Sar bahagia, pergilah. Pesan mamak jangan tinggalkan salat."

Sartika melamun di atas ranjang. Kamar pembantu di rumah majikan Sartika sangat bagus, lebih bagus dari kamar utama rumahnya di kampung.

Sartika sangat merindukan Acha. Sudah lama dia tidak pulang ke desa. Bukan karena tidak diizinkan, hanya saja Sartika yang tidak mau. Setiap bulan Sartika hanya mengirimkan uang untuk kebutuhan orang tua dan anaknya.

Di tahun kelima Sartika merantau, akhirnya di pulang ke desa karena menerima telepon dari Ibu kades yang mengabarkan bahwa bapak sedang sakit. Bersyukur Bapak Malvyn merupakan seorang warga negara Inggris  dan Ibu Fenita merupakan penduduk pribumi mengizinkan Sartika untuk pulang untuk bertemu orang tua dan anaknya. Bukan itu saja, mereka juga memberikan sejumlah uang untuk biaya berobat bapak.

"Banyak sekali ini, Tuan," ujar Sartika kala itu.

"Tidak apa, ini Karena kesetiaan kamu lima tahun bersama kami."

Malvyn juga mengatakan jika bapak harus masuk rumah sakit, segera hubungi dia dan jangan pernah khawatir tentang biaya rumah sakit. 

Bapak Malvyn dan Ibu Fenita juga mengetahui bahwa Sartika memiliki anak di kampung yang usianya hampir sama dengan anak mereka yang bernama Adeline. 

Sebenarnya, di saat Sartika mengurus Adeline, dia juga teringat akan putri kecilnya yang tidak seberuntung Adeline. Adeline di rawatnya seperti dia merawat anak sendiri. Sementara anak sendiri dia biarkan hidup bersama nenek. 

Sartika teringat pertama kalinya dia bertemu Acha setelah lima tahun pergi merantau. Acha begitu cantik begitu mirip dengan Sartika hanya saja rambutnya yang berbeda. Sartika memiliki rambut lurus bak bintang iklan sampo, sedangkan Acha memiliki rambut sedikit keriting.

"Mamak!" Sambut Acha sore itu ketika mobil travel berhenti di depan rumah.

Acha berlari ingin memeluk Sartika. Akan tetapi, Sartika langsung nyelonong masuk ke dalam rumah tanpa memikirkan hati Acha diacuhkan oleh orang yang dia rindukan selama ini.

Sartika masih memendam dendam pada laki-laki yang memperkosanya hingga dia juga membenci anak dari malam jahanam tersebut.

Sartika membawa bapak ke rumah sakit untuk pengobatan tetapi, ajal tidak bisa dihindar. Seminggu bapak di rumah sakit, kondisi bapak semakin memburuk. Bapak mengidap sakit penyempitan saluran pernafasan akut. Selama ini bapak tidak pernah memeriksakan sakitnya dengan alasan biaya. 

Sedih? Pasti sedih. Semenjak masalah menimpa keluarganya bapak memang melampiaskan kegundahannya dengan menghisap rokok tanpa henti. Bisa bapak menghabiskan dua bungkus rokok kretek dalam sehari.

"Kamu mau akan berangkat lagi, Sar?" tanya mamak setelah selesai mendoa tiga hari di rumah duka.

"Sar harus pergi, Mak. Kalau Sar tak bekerja, siapa yang membiayai hidup, Mak?" Sartika enggan berdebat, dia hanya memberi mamak pertanyaan agar dicerna oleh mamak sendiri.

"Acha butuh susu, butuh makanan yang bergizi, butuh biaya untuk sekolah." Sambung Sartika.

"Ada hasil kebun kita, Sar," sahut mamak saat itu yang dari tadi mengusap-usap kepala Acha hingga dia tertidur.

"Hasil kebun tak seberapa, Mak. Suruh saja orang yang menggarapnya, Mak. Mak sudah tua. Jaga kesehatan. Kalau Mamak sakit, dengan siapa Acha?" 

"Yaz sama kamu. Kamu ibunya, Sar."

Mendengar jawaban Mamak, raut wajah Sartika terlihat tidak menyenangkan. "Sudah, lah, Mak. Sar mau keluar dari desa ini selamanya." Sartika berdiri, dia melangkah ke arah jendela samping rumah. Tatapannya jauh seolah mampu menembus gunung yang berdiri secara perkasa tersebut.

Hari kedelapan setelah meninggal bapak, Sartika kembali ke kota. Melanjutkan kerja di rumah Bapak Malvyn dan Ibu Fenita. Dia juga merasa rindu kepada Adeline.

"Mak, Acha sayang Mamak," ucap Acha sebelum Sartika naik ke mobil travel yang menjemputnya. 

"Hati-hati, ya, Mak," sambung Acha dia ingin mencoba memeluk Sartika. 

Kali ini, Sartika membiarkan Acha memeluknya tetapi, tidak ada balasan dari Sartika.

"Hati-hati, Mak." Kembali Acha mengingatkan.

"Ya." Hanya jawaban singkat tersebut keluar dari mulut Sartika. 

Sartika pergi tanpa ada kecupan hangat di kening Acha. Nenek memandang Acha dengan iba. Kenapa Sartika begitu enggan untuk menunjukkan sayangnya kepada Acha.

"Nek, besok mamak pulang lagi, kan?" tanya Acha kepada nenek.

"In Syah Allah pulang." Nenek tersenyum dan merangkul Acha lalu mereka masuk ke dalam rumah. "Acha doakan, mamak sehat selalu, ya!"

"Pasti, Nek. Setiap Acha salat, Acha doakan mamak. Acha juga doakan bapak semoga bapak juga pulang," celoteh Acha tanpa beban, menganggap semua sedang baik-baik saja.

Bab 3

Wanita di hati sang ajudan 

Bab 3

"Nek, besok mamak pulang lagi, kan?" tanya Acha kepada nenek.

"In Syah Allah pulang." Nenek tersenyum dan merangkul Acha lalu mereka masuk ke dalam rumah. "Acha doakan, mamak sehat selalu, ya!"

"Pasti, Nek. Setiap Acha salat, Acha doakan mamak. Acha juga doakan bapak semoga bapak juga pulang," celoteh Acha tanpa beban, menganggap semua sedang baik-baik saja.

Nyatanya hingga Acha mulai bersekolah Sartika juga tidak pulang. Dia selalu saja mengirim uang kepada nenek dengan menumpang ke rekening bank milik Ibu kades.

Sartika hanya mengatakan bahwa dia telah mengirim sejumlah uang untuk nenek. Tidak pernah sekalipun Sartika menanyakan kabar putrinya–Raisa Nur Aziza.

Ibu Kades selalu berbohong kepada Acha. Dia selalu mengatakan bahwa Sartika mengatakan bahwa dia rindu kepada Acha. Mendengar ucapan itu saja, Acha melompat kegirangan. Walaupun Sartika begitu tetapi, dia tidak menelantarkan anak dan ibunya. Acha termasuk anak yang berkecukupan di desa tersebut berkat uang yang dikirim Sartika setiap bulannya. 

Lima tahun setelah kakek meninggal, Nenek menyusul. Tinggallah Acha sendiri. Saat itu Sartika pulang kampung untuk melihat nenek yang terakhir kalinya. Acha sudah memasuki masa pubertas. Acha sudah duduk di kelas enam sekolah dasar. 

"Mak," panggil Acha sedikit ragu.

Memang, tidak ada kedekatan antara sarika dan Acha. Semakin besar, semakin Acha merasa bahwa ibunya tidak begitu peduli kepadanya.

"Hmmm," gumam Sartika tanpa menoleh.

"****** ***** Acha, ada darahnya." Acha mengatakan dengan sedikit berbisik dan takut.

Sartika menoleh kepada Acha, memandangi anaknya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ternyata anaknya kini telah tumbuh menjadi ABG.

"Apa nenek nggak pernah mengajarkan tentang datang bulan?" tanya Sartika.

Acha menggeleng. "Acha ada belajar di sekolah saat pelajaran agama, belum baligh dengan sudah baligh. Ditandai dengan adanya datang bulan. Tapi …."

"Tapi apa?" ketus Sartika.

"Acha nggak tau, datang bulan itu seperti apa," jawab Acha dengan suara lembutnya.

"Ya, seperti yang kamu alami sekarang. Kamu ada pembalut?"

Acha kembali menggelengkan kepalanya. Dengan sedikit kesal, Sartika bangkit dan mengatakan kepada Acha bahwa dia akan ke warung, membelikan pembalut untuk Acha. 

Sekitar lima belas menit Sartika kembali dengan membawa pembalut kemasan besar dan beberapa makanan ringan. 

"Sini mamak ajari cara masangnya!" Acha mengekor di belakang Sartika. Mereka menuju kamar Sartika yang selama ini ditempati Acha.

Setelah Acha membersihkan pakaiannya di kamar mandi, Sartika memanggil Acha dan memberikan makanan ringan yang dia beli tadi. 

Sartika tertidur di depan televisi saat itu Acha sedang masak untuk makan malam mereka berdua. Acha sudah terbiasa memasak dari kecil karena dia harus menyediakan makanan untuk disantap nenek setelah pulang dari ladang.

"Mak, bangun. Makan dulu, yuk. Makanannya sudah selesai." Acha menepuk-nepuk pelan tangan Sartika.

"Kamu masak?" tanya Sartika heran sambil mengucek-ngucek matanya.

"Sudah biasa, Mak. Nenek yang ngajarin."

Selama makan Sartika mencuri-curi pandang kepada Acha. Sikap Acha terlihat lebih dewasa dibandingkan umurnya. Terlihat saat Sartika bingung, harus tetap di kampung menjaga Acha apa harus kembali bekerja di kota.

"Acha berani, kok, Mak, tinggal sendiri. Sekarang Acha kelas enam SD. Kalau pindah ke kota, nanggung, Mak …."

"Yang mau ngajak kamu ke kota siapa?" ketus Sartika.

Mendengar ucapan Sartika, Acha tertunduk dan meneruskan makannya. Terlihat Sartika yang serba salah, ada rasa bersalah pada gadis berkulit putih itu. Entah kulit siapa yang ditirunya, yang jelas kulit Sartika sedikit gelap.

Sartika akhirnya berangkat ke kota, dia menitipkan Acha kepada ibu kades. Nanti setelah Acha tamat sekolah dasar, Sartika akan menjemputnya dan menyekolahkannya di kota. Benar kata Acha, jika harus pindah sekarang, sungguh menanggung karena hanya tinggal lima bulan lagi dia akan tamat SD. Lagi pula, sekolah mana yang akan  menerima.

Setelah Sartika berangkat, Acha benar-benar merasa sendiri. Tidak ada lagi nenek yang menghiburnya di saat dia dihina oleh teman-temannya. 

"Dasar anak haram." 

Kalimat itu masih saja terngiang di telinga Acha saat anak perempuan Ibu kades membentak Acha. Saat itu anak pertama ibu kades meminta Acha untuk menjaga anaknya yang berusia satu tahun. Saat itu Acha juga sedang mencuci piring. Tanpa Acha sadari. Anak bayi tersebut jatuh dari tempat tidur.

Tangisnya mengejutkan Acha. Acha meninggalkan tumpukkan piring dan berlari ke sumber suara. Karena takut terjadi apa-apa, Acha bercerita jujur kepada ibu dari anak bayi itu. Ternyata Acha dicaci maki, dengan segala perkataan kotor. 

Saat itu air mata Acha begitu deras mengalir. Menahan sesak di dada. Ingin rasanya kabur dari rumah tersebut. Akan tetapi, dia tidak tahu harus kemana karena Ibu kades dan ibu gurulah yang baik kepada dirinya.

***

"Dengan siapa anak kamu di kampung, Sar!" tanya Ibu Fenita di kediamannya.

"Dititipkan sama Ibu kades, Buk."

"Kenapa nggak kamu bawa ke sini, tinggal bersama kamu?" Kembali Ibu Fenita bertanya. 

"Saya segan sama ibu dan bapak," jawab Sartika penuh santun. "Dia juga sekarang kelas enam SD, Buk. Tidak ada sekolah yang bisa menerima." Sartika mencoba me jelaskan.

Ibu Fenita mengatakan setelah Acha menamatkan sekolah dasarnya, Sartika harus membawa Acha tinggal bersamanya di kota–di rumah Bapak Malvyn.

Sartika mengangguk dan mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas kebaikan selama ini yang diberikan keluarga tempat dia bekerja. Mulai dari biaya berobat kakek hingga nenek. Sekarang biaya sekolah Acha yang akan mereka tanggung jika Acha dibawa tinggal bersama mereka.

Bapak Malvyn terkenal cukup sukses dengan bisnisnya. Dia memiliki cabang di mana-mana, hampir sebulan sekali, Bapak Malvyn dan Ibu Fenita pergi keluar kota untuk mengunjungi cabang-cabang usaha mereka.

Seperti harus benar-benar dilindungi, keluarga ini memiliki beberapa ajudan yang mempunyai tugas masing-masing. Bapak Malvyn, Ibu Fenita dan bahkan Mbak Adeline memiliki satu pengawal.

Hanya saja, Sartika tidak tahu secara pasti bergerak di bidang apa perusahaan yang majikan dia kembangkan. 

Adeline yang Sartika asih dari kecil merupakan anak yang manja. Dia tidak bisa melakukan apapun sendiri. Selalu saja meminta bantuan Sartika. Jangankan dia pintar memasak seperti Acha. Sedangkan meletakkan piring ke dapur saja sepertinya dia enggan.

Setiap apa yang Adeline inginkan selalu dituruti oleh Bapak Malvyn. Padahal Ibu Fenita sudah mengingatkan, jangan terlalu memanjakan anak nanti besarnya dia melunjak. Akan tetapi, selalu dibantah oleh Ibu Malvyn.

Dengan dalih mengatakan bahwa orang tua bekerja demi anak, maka dari itu, Adeline begitu Dimanja oleh kedua orang tuanya.

Mungkin Adeline tidak pernah merasakan kepanasan saat pulang sekolah.

Berangkat dan pulang sekolah, supir pribadi siap membawa Adeline dan pengawalnya yang tidak pernah tinggal. 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!