Bab 3

Wanita di hati sang ajudan 

Bab 3

"Nek, besok mamak pulang lagi, kan?" tanya Acha kepada nenek.

"In Syah Allah pulang." Nenek tersenyum dan merangkul Acha lalu mereka masuk ke dalam rumah. "Acha doakan, mamak sehat selalu, ya!"

"Pasti, Nek. Setiap Acha salat, Acha doakan mamak. Acha juga doakan bapak semoga bapak juga pulang," celoteh Acha tanpa beban, menganggap semua sedang baik-baik saja.

Nyatanya hingga Acha mulai bersekolah Sartika juga tidak pulang. Dia selalu saja mengirim uang kepada nenek dengan menumpang ke rekening bank milik Ibu kades.

Sartika hanya mengatakan bahwa dia telah mengirim sejumlah uang untuk nenek. Tidak pernah sekalipun Sartika menanyakan kabar putrinya–Raisa Nur Aziza.

Ibu Kades selalu berbohong kepada Acha. Dia selalu mengatakan bahwa Sartika mengatakan bahwa dia rindu kepada Acha. Mendengar ucapan itu saja, Acha melompat kegirangan. Walaupun Sartika begitu tetapi, dia tidak menelantarkan anak dan ibunya. Acha termasuk anak yang berkecukupan di desa tersebut berkat uang yang dikirim Sartika setiap bulannya. 

Lima tahun setelah kakek meninggal, Nenek menyusul. Tinggallah Acha sendiri. Saat itu Sartika pulang kampung untuk melihat nenek yang terakhir kalinya. Acha sudah memasuki masa pubertas. Acha sudah duduk di kelas enam sekolah dasar. 

"Mak," panggil Acha sedikit ragu.

Memang, tidak ada kedekatan antara sarika dan Acha. Semakin besar, semakin Acha merasa bahwa ibunya tidak begitu peduli kepadanya.

"Hmmm," gumam Sartika tanpa menoleh.

"****** ***** Acha, ada darahnya." Acha mengatakan dengan sedikit berbisik dan takut.

Sartika menoleh kepada Acha, memandangi anaknya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ternyata anaknya kini telah tumbuh menjadi ABG.

"Apa nenek nggak pernah mengajarkan tentang datang bulan?" tanya Sartika.

Acha menggeleng. "Acha ada belajar di sekolah saat pelajaran agama, belum baligh dengan sudah baligh. Ditandai dengan adanya datang bulan. Tapi …."

"Tapi apa?" ketus Sartika.

"Acha nggak tau, datang bulan itu seperti apa," jawab Acha dengan suara lembutnya.

"Ya, seperti yang kamu alami sekarang. Kamu ada pembalut?"

Acha kembali menggelengkan kepalanya. Dengan sedikit kesal, Sartika bangkit dan mengatakan kepada Acha bahwa dia akan ke warung, membelikan pembalut untuk Acha. 

Sekitar lima belas menit Sartika kembali dengan membawa pembalut kemasan besar dan beberapa makanan ringan. 

"Sini mamak ajari cara masangnya!" Acha mengekor di belakang Sartika. Mereka menuju kamar Sartika yang selama ini ditempati Acha.

Setelah Acha membersihkan pakaiannya di kamar mandi, Sartika memanggil Acha dan memberikan makanan ringan yang dia beli tadi. 

Sartika tertidur di depan televisi saat itu Acha sedang masak untuk makan malam mereka berdua. Acha sudah terbiasa memasak dari kecil karena dia harus menyediakan makanan untuk disantap nenek setelah pulang dari ladang.

"Mak, bangun. Makan dulu, yuk. Makanannya sudah selesai." Acha menepuk-nepuk pelan tangan Sartika.

"Kamu masak?" tanya Sartika heran sambil mengucek-ngucek matanya.

"Sudah biasa, Mak. Nenek yang ngajarin."

Selama makan Sartika mencuri-curi pandang kepada Acha. Sikap Acha terlihat lebih dewasa dibandingkan umurnya. Terlihat saat Sartika bingung, harus tetap di kampung menjaga Acha apa harus kembali bekerja di kota.

"Acha berani, kok, Mak, tinggal sendiri. Sekarang Acha kelas enam SD. Kalau pindah ke kota, nanggung, Mak …."

"Yang mau ngajak kamu ke kota siapa?" ketus Sartika.

Mendengar ucapan Sartika, Acha tertunduk dan meneruskan makannya. Terlihat Sartika yang serba salah, ada rasa bersalah pada gadis berkulit putih itu. Entah kulit siapa yang ditirunya, yang jelas kulit Sartika sedikit gelap.

Sartika akhirnya berangkat ke kota, dia menitipkan Acha kepada ibu kades. Nanti setelah Acha tamat sekolah dasar, Sartika akan menjemputnya dan menyekolahkannya di kota. Benar kata Acha, jika harus pindah sekarang, sungguh menanggung karena hanya tinggal lima bulan lagi dia akan tamat SD. Lagi pula, sekolah mana yang akan  menerima.

Setelah Sartika berangkat, Acha benar-benar merasa sendiri. Tidak ada lagi nenek yang menghiburnya di saat dia dihina oleh teman-temannya. 

"Dasar anak haram." 

Kalimat itu masih saja terngiang di telinga Acha saat anak perempuan Ibu kades membentak Acha. Saat itu anak pertama ibu kades meminta Acha untuk menjaga anaknya yang berusia satu tahun. Saat itu Acha juga sedang mencuci piring. Tanpa Acha sadari. Anak bayi tersebut jatuh dari tempat tidur.

Tangisnya mengejutkan Acha. Acha meninggalkan tumpukkan piring dan berlari ke sumber suara. Karena takut terjadi apa-apa, Acha bercerita jujur kepada ibu dari anak bayi itu. Ternyata Acha dicaci maki, dengan segala perkataan kotor. 

Saat itu air mata Acha begitu deras mengalir. Menahan sesak di dada. Ingin rasanya kabur dari rumah tersebut. Akan tetapi, dia tidak tahu harus kemana karena Ibu kades dan ibu gurulah yang baik kepada dirinya.

***

"Dengan siapa anak kamu di kampung, Sar!" tanya Ibu Fenita di kediamannya.

"Dititipkan sama Ibu kades, Buk."

"Kenapa nggak kamu bawa ke sini, tinggal bersama kamu?" Kembali Ibu Fenita bertanya. 

"Saya segan sama ibu dan bapak," jawab Sartika penuh santun. "Dia juga sekarang kelas enam SD, Buk. Tidak ada sekolah yang bisa menerima." Sartika mencoba me jelaskan.

Ibu Fenita mengatakan setelah Acha menamatkan sekolah dasarnya, Sartika harus membawa Acha tinggal bersamanya di kota–di rumah Bapak Malvyn.

Sartika mengangguk dan mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas kebaikan selama ini yang diberikan keluarga tempat dia bekerja. Mulai dari biaya berobat kakek hingga nenek. Sekarang biaya sekolah Acha yang akan mereka tanggung jika Acha dibawa tinggal bersama mereka.

Bapak Malvyn terkenal cukup sukses dengan bisnisnya. Dia memiliki cabang di mana-mana, hampir sebulan sekali, Bapak Malvyn dan Ibu Fenita pergi keluar kota untuk mengunjungi cabang-cabang usaha mereka.

Seperti harus benar-benar dilindungi, keluarga ini memiliki beberapa ajudan yang mempunyai tugas masing-masing. Bapak Malvyn, Ibu Fenita dan bahkan Mbak Adeline memiliki satu pengawal.

Hanya saja, Sartika tidak tahu secara pasti bergerak di bidang apa perusahaan yang majikan dia kembangkan. 

Adeline yang Sartika asih dari kecil merupakan anak yang manja. Dia tidak bisa melakukan apapun sendiri. Selalu saja meminta bantuan Sartika. Jangankan dia pintar memasak seperti Acha. Sedangkan meletakkan piring ke dapur saja sepertinya dia enggan.

Setiap apa yang Adeline inginkan selalu dituruti oleh Bapak Malvyn. Padahal Ibu Fenita sudah mengingatkan, jangan terlalu memanjakan anak nanti besarnya dia melunjak. Akan tetapi, selalu dibantah oleh Ibu Malvyn.

Dengan dalih mengatakan bahwa orang tua bekerja demi anak, maka dari itu, Adeline begitu Dimanja oleh kedua orang tuanya.

Mungkin Adeline tidak pernah merasakan kepanasan saat pulang sekolah.

Berangkat dan pulang sekolah, supir pribadi siap membawa Adeline dan pengawalnya yang tidak pernah tinggal. 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!