Meet Oppa Korea

Meet Oppa Korea

SEMUA DIMULAI DARI SINI. Alurnya maju-mundur dibab ini

2012

Seorang pemuda dengan pakaian santai di kedua tangannya tengah menenteng sebuah formulir yang berisi tentang data dirinya, ia membawanya memasuki ruangan sang ayah yang hening karena sang ayah tengah sibuk mencatat hal-hal penting.

“Ayah,” panggil sang anak. Atensi pria berkepala empat itu lantas menoleh kepada sang anak yang memanggilnya.

Ia menyuruh sang anak mendekati sampingnya dan ia peluk tubuh kekar itu dengan tangannya yang mulai terlihat sedikit adanya keriput.

“Ada apa, Dayyan?” tanya sang ayah lembut. Pemuda berusia 19 tahun itu menyodorkan sebuah formulir di depan ayahnya.

“Aku mencetak ini, em, apa aku boleh mengikuti audisi ini, yah?” pria kelahiran 1963 itu membaca formulir yang semula di pegang sang anak.

Dayyan menatap lekat mata sang ayah yang terlihat kelelahan.

“Kau bisa mengikutinya, ayah akan membantumu untuk membuat paspor kesana.”

Antusias yang di reaksikan sang anak membuat senyumnya mengembang, pria berumur 49 tahun yang baru saja mendapatkan masa kejayaannya karena berhasil membangun sebuah rumah sakit yang sejak dulu ia impikan.

Dibantu dengan sahabatnya semasa kuliah dulu yaitu, David Mahendra. Tanpa David mungkin dirinya tidak akan mampu melakukan ini semua. Arion hanyalah anak orang biasa yang kehidupannya hanya dikelilingi oleh orang-orang desa yang bekerja sebagai seorang petani.

Dirinya berhasil di sekolahkan oleh orang tuanya di kedokteran, mengingat kelas kedokteran tidaklah murah, Arion berkeinginan untuk membentuk sebuah rumah sakit tersendiri untuk membalas budi kepada kedua orang tuanya.

Dengan membuktikan, bahwa dia bisa membayar kembali jasa mereka dengan bayaran yang dua kali lipat lebih besar.

Seketika Dayyan endongak karena mendapat panggilan itu.

“Bisa tolong bantu wujudin keinginan, ayah?” Dayyan dengan cepat mengangguk.

“Jadilah pemimpin rumah sakit yang tegas dan penuh wibawa, esok. Bukan sekarang, tapi esok, ketika keinginanmu menjadi seorang actor tercapai, tolong wujudkan impian ayah yang satu ini ya, nak,” tutur kata yang lembut dan penuh kasih sayang selalu ia dapatkan dari sang ayah semenjak mendiang ibunya meninggal dunia saat umurnya masih 10 tahun.

“Kenapa bukan ayah saja, sekarang ayah adalah presdir, ayah yang mendirikan rumah sakit itu,” ucapnya dengan menatap wajah Arion.

Arion mengusap bahu kokoh sang anak lalu kembali berucap, “Ayah sering merasa lelah nak akhir-akhir ini, ayah juga akan bertambah tua, tidak bisa jika terus-terusan menjaga rumah sakit ini sendiri,

"Ayah hanya butuh kamu sebagai penerus ayah, tolong ya. Ayah ingin kamu mewujudkan permintaan ayah yang satu ini, kamu tidak perlu menjadi seorang dokter sama seperti ayah.” Arion berganti mengusap rambut tebal sang anak. Lalu kembali melanjutkan ucapannya.

"Tapi jadilah anak ayah yang lembut tapi tegas yang bisa memimpin rumah sakit ini kelak, lihat.” Arion membawa Dayyan menuju ranjang lalu mengambil sebuah majalah yang baru di cetak dengan sampul bergambar rumah sakitnya.

“Hyun-Dae, ayah sengaja memberi nama ini karena sebegitu berharapnya ayah, kamu menjadi penerus ayah." Matanya terlihat memohon kepada sang anak yang masih memandangi majalah di depannya.

“Kenapa harus nama ini, Yah,” paraunya.

“Untuk mengingat mendiang eommamu,” Dayyan menatap tepat pada bola mata berwarna hitam milik sang ayah.

Cukup lama terdiam dengan berbagai kepingan memori kembali berputar mengingat mendiang ibunya, lantas dengan tekadnya Dayyan tanpa berpikir panjang lagi langsung menyetujui permintaan sang ayah.

“Dayyan mau, yah, Dayyan berjanji akan menjadi pemimpin rumah sakit dengan sikap lembut, namun berwibawa dan tegas.” Tekadnya penuh semangat.

“Demi ayah dan eomma.” Arion tersenyum kecil mendengarnya. Anak kesayangannya semakin bertambah dewasa dengan pemikirannya.

“Yojeong, lihat, anak kita sudah dewasa.”

***

6 tahun kemudian.

Seorang gadis dengan jas almamater yang membalut dress rapi selutut yang saat ini ia pakai, dia adalah Alya Syahira, gadis berusia 23 tahun dengan kepribadian yang bebas, imajinatif dan kreatif yang di paksa oleh papanya untuk mengikuti kelas kedokteran.

“Eotokke, gue yang anaknya di bidang seni terus di paksa sama keadaan untuk jadi dokter bedah! Nggak habis thingking gue sama papa, anakmu ini jago melukis lho Pa, bukan menyayat kulit!” gerutunya tiada habis.

Dia baru saja keluar dari ruang yang di jadikan untuk sidang skripsi.

Alya baru saja menyelesaikan sidang skripsinya yang selama ini menjadi beban bagi kehidupannya yang bebas.

“Huft, tapi gapapa setidaknya gue udah lulus!" pekiknya senang, ia mengangkat tinggi-tinggi kedua tangannya dan melompat dengan riang karena siding skripsinya berjalan sesuai keinginanya.

Karena meskipun tidak suka dengan bidangnya, bukan berarti Alya akan terus bermalas-malasan dan beranggapan itu tidak cocok dengannya.

Justru dengan begitu dapat membantunya memiliki banyak pengalaman dalam hal selain dunia kesenian.

Hari pun berjalan seperti biasa dan tepat di umurnya mulai menginjak 24 tahun, Alya yang memiliki gelar S1 kedokteran berganti melanjutkan profesinya untuk menuntaskan tugasnya menjadi koas atau dokter muda.

Tentu saja dengan penuh rintangan yang di hadapi, Alya berhasil memenuhi koasnya selama 3 tahun dengan menjalani berbagai stase, seperti stase penyakit dalam, stase THT, dll. Ia melakukannya dengan maksimal dan tidak boleh terlewat.

3 tahun sudah beralalu dan Alya berhasil meraih gelar doctor di belakang namanya dan umur Alya menginjak 27 tahun di mana ia yang akan melanjutkan program internship selama 1 tahun untuk memenuhi syaratnya menjadi seorang dokter praktik.

Alhasil karena kerja kerasnya selama ini yang ternyata membuahkan hasil, Alya berhasil di tempatkan bekerja pada pusat Medis Universitas HyunDae sebagai dokter residen.

Rumah sakit terbesar ketiga di Jakarta yang berdiri pada tahun 2012 yang konon katanya pemilik rumah sakit ini adalah orang asing Korea, tentu saja dengan tanpa babibu Alya yang pecinta bau-bau Korea langsung saja bergegas mendaftarkan diri untuk melamar pekerjaan di sana.

***

Cipratan air karena ia mengepakkan bajunya yang basah saat hendak menjemurnya pada kawat yang di sambungkan pada tiang-tiang peyangga. Tidak sengaja mengenai mata seorang gadis seumurannya yang baru saja lewat.

“Adoh! Loro, su!” Zaibunnisa Andhira, gadis cantik berdarah asli Jawa dengan ciri fisik berkulit tan dengan bentuk wajah cantik seperti bule terkejut, matanya melebar karena mendengar teriakan dari seorang gadis yang sangat ia kenal.

“Siti?” Siti, gadis yang baru saja mengumpat itu menatap Nisa dengan satu matanya yang tidak sedang ia peganggi.

“Oh awakmu, loro Nis,” erangnya menggosok satu matanya yang tadi terkena cipratan air.

“Maaf Sit, la awakmu se liwat gaknok suarane,” Siti mendengus.

Karena mengingat sesuatu lantas Siti bergerak untuk mendekati posisi Zaibunnisa yang saat ini berdiri menyampirkan baju-bajunya diatas kawat.

“He Nis, piye? Awakmu wes oleh opo durung melok karate mbek ibukmu?” Nissa menghentikan kegiatannya dan bergati menatap Siti.

“Belum Sit, gak oleh aku,” ujarnya dengan cemberut. Siti menjentikkan jarinya.

“Winginane aku dapet info Nis, teko wong seng merantau ning Jakarta, jarene se, ono klub karate, kebanyakan lulusane mesti isok elok lomba santek tingkat provinsi, piye? Tergiur gak?” Zaibunnisa nampak menimang ucapan Siti barusan.

“Terpercaya ngga?” Siti mengangguk dua kali, meyakinkan.

“Awakmu kudu iso rono, lek gak percoyo takono dewe nang pak Agus, mergo wonge merantau teko kono.”

Maaf buk, tapi tawarane Siti garai tergiur, maaf lek Nisa mbesok sampek bijuki ibuk. Batin Nisa lalu segera mengangguk mantap menatap Siti. Semua itu demi keinginannya menjadi seorang atlet karate.

***

2023

Pusat Medis Universitas Hyun-Dae, yang dulunya hanya bangunan kecil yang berpusat di Jakarta kini menjadi bangunan rumah sakit terbesar dan megah, fasilitas yang semakin lengkap dan memadai serta bentuk bangunan yang semakin modern dan megah.

Gadis yang sejak dua puluh menit lalu mengikuti sang ayah yang menjadi pemandunya. Dia adalah Jesslyn, gadis berumur 28 tahun dengan ciri fisik bertubuh mungil.

Dia sampai pada pintu lift, ketika pintu itu terbuka Jesslyn masuk bersama dengan sang Ayah dan tim operasinya.

Jesslyn mendengus malas, dirinya sudah lelah di ajak berputar-putar pada bangunan luas yang bertingkat tingkat.

“Ayah, Jesy capek, udahan dong,” lirih sang anak. Ayahnya menoleh pada sang anak di belakangnya, anaknya sudah memohon dengan wajah lesunya tapi ayahnya melempari tatapan tajam bermaksud untuk menurut saja padanya.

Jesslyn menghembuskan nafasnya lelah.

“Kamu harus belajar Jesy, jangan menjadi pemalas dan pengangguran di rumah, contohlah ayah."

Mereka berjalan menuju ruangan operasi berada.

“Jadi profesor maksut ayah!” tanpa sadar nada bicara Jessy meninggi, hal itu membuatnya mendapat tatapan tatapan bingung dari tim ayahnya dan tatapan maut dari sang Ayah.

“Ayah, Jessy nggak mau botak, jadi professor juga bukan pekerjaan yang mudah, nanti kalo rambut tengah Jesy habis gimana dong, nantinya nggak bakal ada cowok yang mau sama Jesy.”

Tim professor Irwan cekikikan di belakang mereka ketika mendengar ucapan Jesy, “Tuh, tim ayah aja menyetujui ucapanku,” Jessy menunjuk tim ayahnya, lantas kelima orang yang tengah mengikutinya itu mengangguk setuju setelahnya mendadak diam karena tatapan tajam Irwan.

“Ayah emang suka botak ya, nggak ganteng tau,” celetuk Jessy kelewat menyebalkan di pendengarannya.

Dug

“Awsh, tangan mungilku.” Jessy mengadu kesakitan karena tak sengaja tangannya tersenggol oleh gadis yang saat ini menatapnya merasa bersalah.

“Maaf Profesor Irwan saya sedang terburu-buru,” ucapnya membungkuk sopan, Jessy mengernyit memegangi tangannya.

“Permisi.” Mata Jessy menatap ke arah wajah gadis di depannya yang nampak acak acakan pula kantung mata yang menghitam.

“Kamu dokter?” tanya Jessy memastikan.

“Belum, tapi akan,” jawabnya yakin, “jarena saya masih harus menyelesaikan tugas saya sebagai dokter residen sebelum menjadi dokter sungguhan.”

Jessyln mengangguk, “ayah kenal?”

“Tentu saja, dia adalah anak direktur yayasan kita.” Jessyln lantas membulatkan mulutnya tak percaya.

Alya, gadis dengan rambut panjang bergelombang yang ia gerai indah tersenyum sopan pada Jesslyn selaku anak dari Profesor Irwan.

“Boleh kenalan?” Alya mengangguk dan membungkuk, menaruh kedua tangannya di depan tubuhnya lalu memperkenalkan diri.

“Alya Syahira kelahiran 1995, penyuka music, lukisan, seni dan kebebasan, salam kenal,” Jesslyn terkejut. Lengkap sekali.

“Loh, kok jadi dokter?” Alya tersenyum dan kembali membungkuk sopan, ia sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan.

“Karena bagi saya, keinginan orang tua adalah yang pertama dan utama, untuk sya, saya, ekhm, maaf, maksutnya saya harus mendahulukan keinginan orang tua saya dahulu.”

Jesslyn lagi-lagi mengangguk, basic manner dari gadis di depannya patut untung diacungi jempol, meski ucapannya sedikit terbata-bata dan sedikit belibet, tapi gadis ini sangat sopan.

“Lihat, dia saja mengerti, kamu kapan menurut ke ayah.” Jesy menekuk bibirnya kesal.

“Terimakasih Alya, kamu bisa kembali bekerja, jangan hiraukan Jesy,” Alya terseyum sungkan.

Tiba-tiba suara sirine ambulan terdengar mendekati area rumah sakit, “oh,” Alya dengan cepat berlari menuju escalator setelah berpamitan pada Irwan dan Jesy.

“Pasien dengan cedera lutut kiri,” pria dari pusat bantuan medis memberitahu.

Gadis yang di bawa menuju memasuki rumah sakit itu masih pingsan karena kejadian yang menimpa lututnya.

“Ada apa?” Tanya Alya panik.

“Pasien dengan cedera lutut bagian kiri,” Alya mengangguk lalu ikut mendorong brangkar menuju ruang gawat darurat.

Setelah berhasil di selamatkan pasien yang masih dalam masa biusnya sudah terlihat lebih baik dari keadaan sebelumnya.

“Eunghh.” gadis itu membuka perlahan matanya. Sontak gadis dengan jas dokter putih itu tersenyum ketika melihat mata gadis yang terbaring itu mulai terbuka untuk menyesuaikan cahaya yang masuk di matanya.

“Aws, kaki gue,” Alya panik tapi kembali tenang ketika gadis itu tak lagi mengaduh kesakitan.

“Gue kenapa dok?” tanyanya dengan melihat lututnya yang tiba-tiba terasa nyeri.

“Kamu mengalami cedera lutut ringan.”

“Apa itu tandannya saya tidak bisa menendang orang lagi dok?" Alya terkejut.

“Maaf, maksut saya, apa saya tidak bisa mengajar karate lagi tandannya?” Alya bernafas lega.

“Tentu saja bisa, tapi kamu perlu waktu untuk tahap pemulihan beberapa Minggu.”

“Sepertinya saya kualat dok, saya begini pasti karena berbohong kepada ibu saya.”

Alya tersenyum lalu segera menjawab, “berbohong demi kebaikan itu tidak salah, tapi tidak di benarkan juga, kamu harus lebih jujur dan terbuka pada ibumu ya."

“Kalau begitu saya permisi.”

Zaibunnisa menggigit bibir bawahnya, merenungi kalimat dari dokter cantik yang tubuhnya perlahan menghilang karena terhalang oleh tembok penyekat.

Nisa tersenyum, saat dokter tadi menasehatinya tanpa ada nada penghakiman di dalamnya.

“Dokternya ramah banget.”

...*****...

...Jangan lupa untuk like dan komen untuk masukannya yaa,,, terimakasihh.....

Terpopuler

Comments

Anthea

Anthea

Ngakak guling-guling

2023-07-14

1

zhouzhou_zz

zhouzhou_zz

Ga sabar jilid berikutnya

2023-07-14

1

Habibah Habibah

Habibah Habibah

Pengen langsung baca lagi!

2023-07-14

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!