2012
Seorang pemuda dengan pakaian santai di kedua tangannya tengah menenteng sebuah formulir yang berisi tentang data dirinya, ia membawanya memasuki ruangan sang ayah yang hening karena sang ayah tengah sibuk mencatat hal-hal penting.
“Ayah,” panggil sang anak. Atensi pria berkepala empat itu lantas menoleh kepada sang anak yang memanggilnya.
Ia menyuruh sang anak mendekati sampingnya dan ia peluk tubuh kekar itu dengan tangannya yang mulai terlihat sedikit adanya keriput.
“Ada apa, Dayyan?” tanya sang ayah lembut. Pemuda berusia 19 tahun itu menyodorkan sebuah formulir di depan ayahnya.
“Aku mencetak ini, em, apa aku boleh mengikuti audisi ini, yah?” pria kelahiran 1963 itu membaca formulir yang semula di pegang sang anak.
Dayyan menatap lekat mata sang ayah yang terlihat kelelahan.
“Kau bisa mengikutinya, ayah akan membantumu untuk membuat paspor kesana.”
Antusias yang di reaksikan sang anak membuat senyumnya mengembang, pria berumur 49 tahun yang baru saja mendapatkan masa kejayaannya karena berhasil membangun sebuah rumah sakit yang sejak dulu ia impikan.
Dibantu dengan sahabatnya semasa kuliah dulu yaitu, David Mahendra. Tanpa David mungkin dirinya tidak akan mampu melakukan ini semua. Arion hanyalah anak orang biasa yang kehidupannya hanya dikelilingi oleh orang-orang desa yang bekerja sebagai seorang petani.
Dirinya berhasil di sekolahkan oleh orang tuanya di kedokteran, mengingat kelas kedokteran tidaklah murah, Arion berkeinginan untuk membentuk sebuah rumah sakit tersendiri untuk membalas budi kepada kedua orang tuanya.
Dengan membuktikan, bahwa dia bisa membayar kembali jasa mereka dengan bayaran yang dua kali lipat lebih besar.
Seketika Dayyan endongak karena mendapat panggilan itu.
“Bisa tolong bantu wujudin keinginan, ayah?” Dayyan dengan cepat mengangguk.
“Jadilah pemimpin rumah sakit yang tegas dan penuh wibawa, esok. Bukan sekarang, tapi esok, ketika keinginanmu menjadi seorang actor tercapai, tolong wujudkan impian ayah yang satu ini ya, nak,” tutur kata yang lembut dan penuh kasih sayang selalu ia dapatkan dari sang ayah semenjak mendiang ibunya meninggal dunia saat umurnya masih 10 tahun.
“Kenapa bukan ayah saja, sekarang ayah adalah presdir, ayah yang mendirikan rumah sakit itu,” ucapnya dengan menatap wajah Arion.
Arion mengusap bahu kokoh sang anak lalu kembali berucap, “Ayah sering merasa lelah nak akhir-akhir ini, ayah juga akan bertambah tua, tidak bisa jika terus-terusan menjaga rumah sakit ini sendiri,
"Ayah hanya butuh kamu sebagai penerus ayah, tolong ya. Ayah ingin kamu mewujudkan permintaan ayah yang satu ini, kamu tidak perlu menjadi seorang dokter sama seperti ayah.” Arion berganti mengusap rambut tebal sang anak. Lalu kembali melanjutkan ucapannya.
"Tapi jadilah anak ayah yang lembut tapi tegas yang bisa memimpin rumah sakit ini kelak, lihat.” Arion membawa Dayyan menuju ranjang lalu mengambil sebuah majalah yang baru di cetak dengan sampul bergambar rumah sakitnya.
“Hyun-Dae, ayah sengaja memberi nama ini karena sebegitu berharapnya ayah, kamu menjadi penerus ayah." Matanya terlihat memohon kepada sang anak yang masih memandangi majalah di depannya.
“Kenapa harus nama ini, Yah,” paraunya.
“Untuk mengingat mendiang eommamu,” Dayyan menatap tepat pada bola mata berwarna hitam milik sang ayah.
Cukup lama terdiam dengan berbagai kepingan memori kembali berputar mengingat mendiang ibunya, lantas dengan tekadnya Dayyan tanpa berpikir panjang lagi langsung menyetujui permintaan sang ayah.
“Dayyan mau, yah, Dayyan berjanji akan menjadi pemimpin rumah sakit dengan sikap lembut, namun berwibawa dan tegas.” Tekadnya penuh semangat.
“Demi ayah dan eomma.” Arion tersenyum kecil mendengarnya. Anak kesayangannya semakin bertambah dewasa dengan pemikirannya.
“Yojeong, lihat, anak kita sudah dewasa.”
***
6 tahun kemudian.
Seorang gadis dengan jas almamater yang membalut dress rapi selutut yang saat ini ia pakai, dia adalah Alya Syahira, gadis berusia 23 tahun dengan kepribadian yang bebas, imajinatif dan kreatif yang di paksa oleh papanya untuk mengikuti kelas kedokteran.
“Eotokke, gue yang anaknya di bidang seni terus di paksa sama keadaan untuk jadi dokter bedah! Nggak habis thingking gue sama papa, anakmu ini jago melukis lho Pa, bukan menyayat kulit!” gerutunya tiada habis.
Dia baru saja keluar dari ruang yang di jadikan untuk sidang skripsi.
Alya baru saja menyelesaikan sidang skripsinya yang selama ini menjadi beban bagi kehidupannya yang bebas.
“Huft, tapi gapapa setidaknya gue udah lulus!" pekiknya senang, ia mengangkat tinggi-tinggi kedua tangannya dan melompat dengan riang karena siding skripsinya berjalan sesuai keinginanya.
Karena meskipun tidak suka dengan bidangnya, bukan berarti Alya akan terus bermalas-malasan dan beranggapan itu tidak cocok dengannya.
Justru dengan begitu dapat membantunya memiliki banyak pengalaman dalam hal selain dunia kesenian.
Hari pun berjalan seperti biasa dan tepat di umurnya mulai menginjak 24 tahun, Alya yang memiliki gelar S1 kedokteran berganti melanjutkan profesinya untuk menuntaskan tugasnya menjadi koas atau dokter muda.
Tentu saja dengan penuh rintangan yang di hadapi, Alya berhasil memenuhi koasnya selama 3 tahun dengan menjalani berbagai stase, seperti stase penyakit dalam, stase THT, dll. Ia melakukannya dengan maksimal dan tidak boleh terlewat.
3 tahun sudah beralalu dan Alya berhasil meraih gelar doctor di belakang namanya dan umur Alya menginjak 27 tahun di mana ia yang akan melanjutkan program internship selama 1 tahun untuk memenuhi syaratnya menjadi seorang dokter praktik.
Alhasil karena kerja kerasnya selama ini yang ternyata membuahkan hasil, Alya berhasil di tempatkan bekerja pada pusat Medis Universitas HyunDae sebagai dokter residen.
Rumah sakit terbesar ketiga di Jakarta yang berdiri pada tahun 2012 yang konon katanya pemilik rumah sakit ini adalah orang asing Korea, tentu saja dengan tanpa babibu Alya yang pecinta bau-bau Korea langsung saja bergegas mendaftarkan diri untuk melamar pekerjaan di sana.
***
Cipratan air karena ia mengepakkan bajunya yang basah saat hendak menjemurnya pada kawat yang di sambungkan pada tiang-tiang peyangga. Tidak sengaja mengenai mata seorang gadis seumurannya yang baru saja lewat.
“Adoh! Loro, su!” Zaibunnisa Andhira, gadis cantik berdarah asli Jawa dengan ciri fisik berkulit tan dengan bentuk wajah cantik seperti bule terkejut, matanya melebar karena mendengar teriakan dari seorang gadis yang sangat ia kenal.
“Siti?” Siti, gadis yang baru saja mengumpat itu menatap Nisa dengan satu matanya yang tidak sedang ia peganggi.
“Oh awakmu, loro Nis,” erangnya menggosok satu matanya yang tadi terkena cipratan air.
“Maaf Sit, la awakmu se liwat gaknok suarane,” Siti mendengus.
Karena mengingat sesuatu lantas Siti bergerak untuk mendekati posisi Zaibunnisa yang saat ini berdiri menyampirkan baju-bajunya diatas kawat.
“He Nis, piye? Awakmu wes oleh opo durung melok karate mbek ibukmu?” Nissa menghentikan kegiatannya dan bergati menatap Siti.
“Belum Sit, gak oleh aku,” ujarnya dengan cemberut. Siti menjentikkan jarinya.
“Winginane aku dapet info Nis, teko wong seng merantau ning Jakarta, jarene se, ono klub karate, kebanyakan lulusane mesti isok elok lomba santek tingkat provinsi, piye? Tergiur gak?” Zaibunnisa nampak menimang ucapan Siti barusan.
“Terpercaya ngga?” Siti mengangguk dua kali, meyakinkan.
“Awakmu kudu iso rono, lek gak percoyo takono dewe nang pak Agus, mergo wonge merantau teko kono.”
Maaf buk, tapi tawarane Siti garai tergiur, maaf lek Nisa mbesok sampek bijuki ibuk. Batin Nisa lalu segera mengangguk mantap menatap Siti. Semua itu demi keinginannya menjadi seorang atlet karate.
***
2023
Pusat Medis Universitas Hyun-Dae, yang dulunya hanya bangunan kecil yang berpusat di Jakarta kini menjadi bangunan rumah sakit terbesar dan megah, fasilitas yang semakin lengkap dan memadai serta bentuk bangunan yang semakin modern dan megah.
Gadis yang sejak dua puluh menit lalu mengikuti sang ayah yang menjadi pemandunya. Dia adalah Jesslyn, gadis berumur 28 tahun dengan ciri fisik bertubuh mungil.
Dia sampai pada pintu lift, ketika pintu itu terbuka Jesslyn masuk bersama dengan sang Ayah dan tim operasinya.
Jesslyn mendengus malas, dirinya sudah lelah di ajak berputar-putar pada bangunan luas yang bertingkat tingkat.
“Ayah, Jesy capek, udahan dong,” lirih sang anak. Ayahnya menoleh pada sang anak di belakangnya, anaknya sudah memohon dengan wajah lesunya tapi ayahnya melempari tatapan tajam bermaksud untuk menurut saja padanya.
Jesslyn menghembuskan nafasnya lelah.
“Kamu harus belajar Jesy, jangan menjadi pemalas dan pengangguran di rumah, contohlah ayah."
Mereka berjalan menuju ruangan operasi berada.
“Jadi profesor maksut ayah!” tanpa sadar nada bicara Jessy meninggi, hal itu membuatnya mendapat tatapan tatapan bingung dari tim ayahnya dan tatapan maut dari sang Ayah.
“Ayah, Jessy nggak mau botak, jadi professor juga bukan pekerjaan yang mudah, nanti kalo rambut tengah Jesy habis gimana dong, nantinya nggak bakal ada cowok yang mau sama Jesy.”
Tim professor Irwan cekikikan di belakang mereka ketika mendengar ucapan Jesy, “Tuh, tim ayah aja menyetujui ucapanku,” Jessy menunjuk tim ayahnya, lantas kelima orang yang tengah mengikutinya itu mengangguk setuju setelahnya mendadak diam karena tatapan tajam Irwan.
“Ayah emang suka botak ya, nggak ganteng tau,” celetuk Jessy kelewat menyebalkan di pendengarannya.
Dug
“Awsh, tangan mungilku.” Jessy mengadu kesakitan karena tak sengaja tangannya tersenggol oleh gadis yang saat ini menatapnya merasa bersalah.
“Maaf Profesor Irwan saya sedang terburu-buru,” ucapnya membungkuk sopan, Jessy mengernyit memegangi tangannya.
“Permisi.” Mata Jessy menatap ke arah wajah gadis di depannya yang nampak acak acakan pula kantung mata yang menghitam.
“Kamu dokter?” tanya Jessy memastikan.
“Belum, tapi akan,” jawabnya yakin, “jarena saya masih harus menyelesaikan tugas saya sebagai dokter residen sebelum menjadi dokter sungguhan.”
Jessyln mengangguk, “ayah kenal?”
“Tentu saja, dia adalah anak direktur yayasan kita.” Jessyln lantas membulatkan mulutnya tak percaya.
Alya, gadis dengan rambut panjang bergelombang yang ia gerai indah tersenyum sopan pada Jesslyn selaku anak dari Profesor Irwan.
“Boleh kenalan?” Alya mengangguk dan membungkuk, menaruh kedua tangannya di depan tubuhnya lalu memperkenalkan diri.
“Alya Syahira kelahiran 1995, penyuka music, lukisan, seni dan kebebasan, salam kenal,” Jesslyn terkejut. Lengkap sekali.
“Loh, kok jadi dokter?” Alya tersenyum dan kembali membungkuk sopan, ia sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan.
“Karena bagi saya, keinginan orang tua adalah yang pertama dan utama, untuk sya, saya, ekhm, maaf, maksutnya saya harus mendahulukan keinginan orang tua saya dahulu.”
Jesslyn lagi-lagi mengangguk, basic manner dari gadis di depannya patut untung diacungi jempol, meski ucapannya sedikit terbata-bata dan sedikit belibet, tapi gadis ini sangat sopan.
“Lihat, dia saja mengerti, kamu kapan menurut ke ayah.” Jesy menekuk bibirnya kesal.
“Terimakasih Alya, kamu bisa kembali bekerja, jangan hiraukan Jesy,” Alya terseyum sungkan.
Tiba-tiba suara sirine ambulan terdengar mendekati area rumah sakit, “oh,” Alya dengan cepat berlari menuju escalator setelah berpamitan pada Irwan dan Jesy.
“Pasien dengan cedera lutut kiri,” pria dari pusat bantuan medis memberitahu.
Gadis yang di bawa menuju memasuki rumah sakit itu masih pingsan karena kejadian yang menimpa lututnya.
“Ada apa?” Tanya Alya panik.
“Pasien dengan cedera lutut bagian kiri,” Alya mengangguk lalu ikut mendorong brangkar menuju ruang gawat darurat.
Setelah berhasil di selamatkan pasien yang masih dalam masa biusnya sudah terlihat lebih baik dari keadaan sebelumnya.
“Eunghh.” gadis itu membuka perlahan matanya. Sontak gadis dengan jas dokter putih itu tersenyum ketika melihat mata gadis yang terbaring itu mulai terbuka untuk menyesuaikan cahaya yang masuk di matanya.
“Aws, kaki gue,” Alya panik tapi kembali tenang ketika gadis itu tak lagi mengaduh kesakitan.
“Gue kenapa dok?” tanyanya dengan melihat lututnya yang tiba-tiba terasa nyeri.
“Kamu mengalami cedera lutut ringan.”
“Apa itu tandannya saya tidak bisa menendang orang lagi dok?" Alya terkejut.
“Maaf, maksut saya, apa saya tidak bisa mengajar karate lagi tandannya?” Alya bernafas lega.
“Tentu saja bisa, tapi kamu perlu waktu untuk tahap pemulihan beberapa Minggu.”
“Sepertinya saya kualat dok, saya begini pasti karena berbohong kepada ibu saya.”
Alya tersenyum lalu segera menjawab, “berbohong demi kebaikan itu tidak salah, tapi tidak di benarkan juga, kamu harus lebih jujur dan terbuka pada ibumu ya."
“Kalau begitu saya permisi.”
Zaibunnisa menggigit bibir bawahnya, merenungi kalimat dari dokter cantik yang tubuhnya perlahan menghilang karena terhalang oleh tembok penyekat.
Nisa tersenyum, saat dokter tadi menasehatinya tanpa ada nada penghakiman di dalamnya.
“Dokternya ramah banget.”
...*****...
...Jangan lupa untuk like dan komen untuk masukannya yaa,,, terimakasihh.....
...Selamat membaca....
... Menggunakan alur maju. Ada pt. yg menyajikan latar tempat di Korea, bahasa tetap menggunakan bhs Indonesia, tpi sedikit bumbu2 bahasa Korea....
13:00
Gadis berkulit tan mendorong kursi rodanya sendiri untuk mendekati seorang dokter yang mengenakan jas putih selutut yang saat ini tengah sibuk berbincang dengan seorang perawat di meja reseptionis.
Kedua orang yang di tatap oleh Zaibunnisa masih belum menyadari akan kedatangannya, yang menatap mereka dengan kedua siku yang ia tumpukan di peganggangan kursi roda.
“Dokter Alya, sepertinya dia ingin berbicara denganmu.” Alya menoleh spontan pada Nissa yang melambai dengan senyum kikuknya.
“Pasien cedera lutut?” Alya mendekati gadis itu lalu mendorong kursi rodanya. Dan berjalan meninggalkan meja reseptionis.
“Bisa bicara sebentar?” celetuk Nissa yang sedari tadi diam begitupun dengan Alya yang membantu mendorong kursi rodanya.
“Boleh, mau di sana?” Nissa mengangguk ketika Alya mengajaknya duduk pada kursi yang tersedia di area mesin minuman.
Alya memasukkan koin lalu mengambil dua kaleng minuman, ia kembali mendekati Nissa yang hanya diam memperhatikan gerak-gerik tubuhnya dengan menyodorkan sebuah kaleng minuman ke depan Nissa.
“Buat aku, dok?” Tanya Nissa tak percaya. Alya mengangguk dengan senyum yang ramah.
“Jadi atlet karate pasti lelah bukan, kamu butuh minuman penyegar ini biar bisa fresh dan kembali semangat," ujar Alya lagi-lagi dengan sikap ramahnya yang di sukai Nissa.
“Oh ya, ini, biasanya kalo saya lagi capek banget, saya selalu makan permen ini buat nambah semangat, meskipun nggak begitu ngaruh. Tapi aroma mintnya bisa membantu sedikit menjernihkan pikiran saya." Alya berganti menyodorkan dua bungkus permen mint berwarna biru, kemudian Nissa menerimanya dengan tak enak hati.
“Terimakasih, dok.”
“Dok,” panggil Nissa, Alya menaikkan kedua alisnya dengan satu tangan memegang kaleng yang baru saja ia seruput isinya.
“Bisa bicara non formal aja nggak? Kayaknya kita juga seumuran.” Alya nampak berfikir sebentar, di lihatnya mata gadis di sampingnya tak berhenti untuk mengikuti setiap gerak geriknya.
“Gimana?” tawar Nissa.
Alya mengangguk, ia tidak begitu punya banyak teman dengan alasan dirinya yang merasa tidak begitu pandai bersosialisasi.
Bahkan Nissa waktu mengajaknya berbicara saja ia sempat gugub, takut jika nada bicaranya menjadi belibet dan menimbulkan reaksi tak nyaman lawan bicaranya tapi beruntungnya di dekat Nissa ia lebih bisa santai dan tidak terlalu kaku ketika berbicara.
“Nah gitu kan enak, gue nggak bisa formal banget, kaku banget, bikin capek.” Alya tersenyum, tak mengerti hendak menanggapi apa tapi ia mencoba professional untuk terlihat seperti orang yang sudah jago bersosialisasi dengan baik.
“L-lo,” Nissa menoleh. Dan tersenyum kecil menatap wajah Alya.
“Gapapa kali." Nissa menatap name tag yang ada di jas Alya, “Al.” Alya melotot, Nissa bisa semudah itu merasa santai dengan orang asing.
“Zaibunnisa Andhira, gue atlet karate kelahiran 1995.” Sapa Nissa menyodorkan tangannya ke depan Alya. Bermaksud mengajak berkenalan untuk lebih dekat dengannya, karena sikap ramahnya, Nissa menyukai gadis disampingnya untuk di jadikan teman. Hatinya terlanjur srek.
“Lo?”
“Alya Syahira, penyuka musik, seni dan lukisan, kelahiran 1995.” Nissa tersenyum lebar ketika Alya membalas jabatan tangannya. Begitupun dengan Alya yang tersenyum manis menunjukkan deretan giginya yang putih dan bersih.
***
Seoul, Korea Selatan. 15:00
“Daebak!” seru gadis dengan dress bermotif bunga di depan pria yang menyibak rambutnya bergaya sok cool.
“Selamat oppa. Kau terpilih menjadi pemeran utama, aigo.” Kim Naeun, gadis cantik bersurai merah yang saat ini bertepuk tangan meriah dengan kedua sudut bibir mengembang sempurna ke atas. Karena bangga terhadap sahabatnya.
“Siapa dulu,” sorak pria tersebut.
“Lee Daehyun.” Jawab keduanya dengan serempak yang di iringi suara lantang kemudian keduanya tertawa bersama untuk kemenangan Daehyun yang berhasil menyelesaikan seleksi untuk casting pemilihan untuk peran utama.
“Ck, kali ini kau beruntung Daehyun-ssi.”
Daehyun bersamaan dengan Naeun menolehkan kepalanya pada pria berwajah marah yang saat ini menatap kearah Daehyun.
Daehyun membenarkan posisi berdirinya agar bisa menghadap pada pria bermarga Yang itu, menyelipkan kedua tangannya pada saku celana dengan wajah santai ia balas menanggapi tatapan tajam dari Yang dengan tatapan penuh rendah hati.
“Oh ayolah, kau juga beruntung terpilih menjadi pemeran teman utama pria, setidaknya bukan tokoh antagonis."
“Padahal wajahnya sangat cocok memerankan tokoh jahat,” Naeun berbisik pada Daehyun yang berdiri membelakanginya, Daehyun menggeleng untuk mengontrol ucapan Naeun.
“Munafik, kau suka! Kau mendapatkannya dengan mudah, setiap ada projek dengan kau, kenapa kau selalu beruntung terpilih sutradara, padahal debutku lebih dulu darimu! Itu tidak adil!” Hardik pria bernama Yang Yeonjin.
Daehyun menghembuskan nafas, “Hyung! Bukan berarti kau tidak bisa mendapatkannya, cerita ini juga tidak akan berfokus pada tokoh utama pria saja, sutradara sudah mengatakannya bukan, jika 4 pemain yang terpilih dia sama dengan peran utama, kau salah satunya,” paparnya dengan tenang.
Naeun sampai berdecak kagum pada pembawaan Daehyun yang sama sekali tidak marah atau sampai berkata-kata kasar karena sudah di sudutkan oleh Yeonjin.
Yeonjin berdecak memegangi kepalanya, “Apa perlu aku bilang kepada sutradara untuk mengganti peranku?” Daehyun cukup tau akan sifat Yeonjin yang mudah iri kepadanya, ia akan mengalah jika Yeonjin mau.
“Tidak usah, kau hanya akan mempermalukanku!” Selepasnya mengatakan hal tersebut, Yeonjin segera pergi dengan nafas tak beraturan karena kalap akan emosi.
Naeun mendekati Daehyun, kemudian mengusap punggung sahabatnya yang terlihat sedih.
“Daehyun-ah, berhenti menjadi orang terlalu baik dan lembut, kau akan merugikan dirimu sendiri nanti.” Daehyun menoleh pada Neun, lalu kembali memamerkan senyum manisnya.
“Eh, eh, oppa!” pekik Naeun kaget, Daehyun tiba-tiba memeluknya erat juga menaruh kepalanya sendiri pada pundak Naeun, tubuh pria itu sedikit membungkuk untuk menyamakan pundak Naeun dengan kepalanya.
“Usap kepalaku Naeun,” Naeun tercengang dengan nada berat Daehyun yang memintanya mengusap kepala pria itu. Naeun menurut lalu mengusap kepala pria itu dengan lembut dan hati-hati.
“Eugh, nyaman sekali.” Bulu kuduk gadis itu meremang karena terkena hembusan nafas Daehyun yang berhasil menggelitiki area lehernya, ia terus mengusap rambut tebal berwarna hitam itu dengan perlahan.
Daehyun semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Naeun. Naeun tersenyum, ia tanpa sadar sudah menempelkan pipinya pada rambut Daehyun dengan tangan tak berhenti untuk mengusap kepala pria itu.
***
Rumah dengan nuansa pedesaan yang melekat, Daehyun menatap rumah itu dengan kedua tangan di masukkan ke celana pun dengan mata sibuk menyapu setiap sudut dalam rumah ini.
“Rumah siapa?” Tanya Naeun yang baru menjembulkan kepalanya dari pintu masuk, Daehyun menoleh sekilas lalu dirinya berjalan menuju pigora yang sudah berdebu di rak meja.
Mengambilnya lalu ia berikan pada Naeun yang sudah berada di dekatnya.
“Nugu?” Tanya Naeun pada Daehyun yang tersenyum sembari memandangi pigora kecil di tangan Naeun.
“Appa, eomma." Naeun tersentak kecil, lantas kepalanya menoleh lagi pada pigora di pegangannya. “Kau tau apa yang membentukku menjadi seperti ini,” sambung Daehyun menatap tepat pada mata kucing Naeun.
Naeun menggeleng, “Appa, didikannya tidak pernah gagal untuk anaknya,” Daehyun tersenyum kecil mengingat ucapan sang ayah pada masa dulu saat dirinya masih berumur 19 tahun.
“Appamu?” Daehyun mengangguk.
“Dia bukan orang asli Korea,” balas Daehyun tersenyum simpul menatap Naeun di depannya. Naeun mengangguk saat rasa penasarannya terjawab. Lalu pria itu mengambil alih pigora di tangan Naeun dan meletakkannya kembali di baris pada jajaran pigora dan piala juara yang dulu pernah ia raih.
“Eomma, bogoshipda.” Ia mengelus lembut bagian wajah Yeojeong yang terhalang kaca pigora, wajahnya tidak jelas di dalam pigora karena seperti bekas rematan lalu berganti menatap wajah sang ayah yang membuatnya sangat merindukan pria paruh baya itu tiba-tiba.
Tenyata sudah tiga tahun saja ia meninggalkan tanah kelahiran ayahnya. Dan fokus berakarir di sini.
Daehyun akhirnya berbalik guna menyudahi acara tatapan matanya menatap pigora usang itu agar tidak berakhir menangis karena merindukan keluarganya, saat pria itu membalik seluruh tubuhnya dengan kedua tangan di masukkan pada saku.
Ia mendapati wajah tercengang Naeun yang terus memandangi foto keluarganya. Pria berwajah campuran darah Korea itu lantas terkekeh kecil karena gemas. “Naeun-ah!” pekik Daehyun sengaja membuat gadis itu terkejut, Naeun refleks menoleh padanya dengan wajah cengo campur terkejut.
Pria itu tertawa puas, “Haish! Kau mengejutkanku!”
Daehyun menarik tubuh kecil Naeun, membawanya menuju tubuhnya untuk ia rangkul kemudian berjalan keluar bersama. “Kajja! Aku sudah lapar.”
“Aku ingin pulang Oppa, aa!” tolak Naeun berusaha melepas rangkulan tangan Daehyun.
“Sebentar aja, ayo.” Naeun mendesis kesal pada Daehyun yang memaksanya duduk dalam mobil, Daehyun tersenyum ketika Naeun sudah duduk manis dengan bibir cemberut pun dengan tangan bersedekap dada.
“Pemaksa,” cacinya pada Daehyun yang sudah mendaratkan pantatnya pada kursi di samping kursi penumpang.
Daehyun memberinya wink andalan pria itu dan berhasil membuat Naeun tidak bisa lagi untuk menahan kedutan di kedua bibirnya.
***
Rs. Hyun-Dae.
“Katanya kalo di tempat kerja. Lo harus bisa selektif milih pertemanan.” Ungkapan singkat yang penuh makna dari Zaibunnisa yang sempat gadis itu katakan beberapa menit yang lalu, tidak pernah ia lupakan.
“Kira-kira, siapa yang bisa dipercaya.” Tubuh rampingnya menyender pada tembok dengan satu kaki menyilang, juga dengan jari telunjuk yang sibuk melingkari wajah setiap orang yang menjadi targetnya.
“Aigo khamcagiya!” Alya hampir terjatuh dengan posisi tubuh sudah oleng kesamping. Namun, tangan lainnya menemplok pada dinding dan satunya lagi memegang dadanya sendiri karena syok.
Jantung gue hampir melorot astaga. Batinnya masih setengah syok, ia kembali memposisikan dirinya untuk berdiri tegak guna menatap lawan bicarannya yang kini masih cekikikan dibuatnya.
“Hai, anak baru?” Tanya seorang pria dengan kisaran umur 30 an. Dengan tinggi melebihi puncuk kepalanya, membuatnya harus mendongak guna bertatapan mata dengan pria itu.
“Orang baru,” benahnya tersenyum sopan lalu membungkuk 90 derajat. Sedangkan pria di depannya masih terpukau dengan tingkah gadis di hadapannya saat ini.
“Oke-oke, lo nggak perlu bungkuk 90 derajat segala.” Paparnya ramah dari pria pemilik tahi lalat di ujung matanya.
Alya kembali menegakkan tubuh rampingnya dengan kedua tangan menyatu kedepan perutnya.
Ia melirik pria didepannya yang menggunakan jas dokter sama sepertinya, bedanya pria itu nampak habis selesai operasi karena terlihat dari seragam berwarna hijau yang tengah pria itu kenakan.
Setau Alya pria ini adalah asisten utama tim bedah Toraks Profesor Dokter Irwan, karena saat berkunjung kerumah sakit di temani sang papa, Alya sempat diberi tahu sedikit mengenai tugas mereka, termasuk dengan pria yang tersenyum manis kearahnya sekarang.
“Attitude lo cukup di acungi jempol untuk ketemu orang baru kayak gue.” Urainya tersenyum ramah hingga kedua matanya ikut menghilang waktu tersenyum.
“Karena saya, suka melihat idol kpop waktu membungkung, membungkuk, ah maaf, maksut saya membungkuk sopan di depan orang lain, dan saya mencoba menerapkannya.” Alya menggigit lidahnya karena lagi-lagi ia belibet mengucapkan kata-kata panjang di hadapan orang asing.
Sedangkan di hadapannya, pria itu malah tertawa ngakak karena gadis di depannya sangat kerepotan mengucapkan kata-katanya sendiri.
Alya meringis malu, jantungnya pun ikut berdebar-debar selalu ketika ia baru pertama kali di pertemukan dengan orang baru.
“Santai aja kalau sama gue.” Alya membalasnya dengan sebuah anggukan dan senyum singkat.
“Oh ya, kita belum kenalan, gimana kalo kita kenalan dulu?” tawar pria di depannya. Alya gelagapan apalagi ketika pemuda itu menatapnya cukup dekat, pula dengan tubuh sedikit merunduk guna menyamakan tingginya yang hanya 160 cm itu.
Alya sempat terhipnotis untuk beberapa detik berlalu hingga pria itu menepuk kecil pundaknya. “Tok, tok, aduh, punggung gue pegel,” keluhnya saat gadis itu tak kunjung bersuara.
“Maaf,”
“Santai, nama lo siapa?” ulangnya dengan tersenyum manis.
“Alya Syahira.” Jawabnya kembali membungkukkan sedikit tubuhnya. Pria itu lantas terkekeh kecil karena gemas.
Padahal dirinya sudah menyodorkan tangan ingin berjabat tangan dengan gadis itu. Tapi tidak apalah, kemudian ia menarik kembali tangannya dan meletakkannya ke belakang tubuh.
“Cantik, kayak orangnya.” Namanya, “kenalin, nama gue Nathan Wiratama. Gue orangnya humble, dan murah senyum, so, jangan takut apalagi gugup depan gue, mengerti manis.”
...****...
...Jgn lupa like, dan komen masukannya yaa.. Gomawoyoo♡...
...*Tandai apabila ada salah kalimat atau kata. Selamat membac***a**...
Keesokannya.
Seoul, Korea Selatan.
Beberapa aktor dan aktris sudah berkumpul pada ruangan khusus dengan meja panjang dengan kursi-kursi yang mengitari meja tersebut.
Mereka berkumpul untuk mulai pembacaan naskah masing-masing. Sedari duduk pada kursi dengan pandangan penuh fokus, Daehyun membaca naskah yang berisi dialog untuk perannya.
“Wah, jadi aku disini berperan sebagai peran utama pria yang bertemu dengan gadis asing dan saling jatuh cinta.” Daehyun mengernyitkan dahi saking fokusnya.
Matanya terus bergulir ke bawah hingga tangan seseorang menyentuh pundaknya.
“Eoh? Annyeonghaseyo,” sapanya dengan membungkuk sopan untuk menyapa beberapa aktor yang mulai berdatangan.
Daehyun menyapa dengan membungkukkan sedikit tubuhnya karena mereka yang masih belum saling mengenal. Sampai akhirnya Yeonjin datang dengan tas selempang hitam juga masker yang menutup hidung dan mulut pria itu.
Yeonjin berdecak saat Daehyun melambai ke arahnya, “Cih, sok baik.” Sinis Yeonjin melengos lalu duduk sedikit menjauh dari Daehyun.
Ia duduk tepat di sebelah kursi sang sutradara yang masih belum datang.
Daehyun menghembuskan nafas, mengangkat kedua bahu, sudah biasa mendapat balasan seperti itu.
“Annyeonghaseyo,” sapa orang-orang dalam ruangan itu dengan membungkuk sopan, menyapa sang sutradara yang sudah datang.
Hampir lama pembacaan naskah itu berlangsung hingga selesai, mereka semua bertepuk tangan untuk drama yang akan mereka mainkan.
“Daehyun-ssi, kau tidak pernah mengecewakan dalam berakting, tidak salah aku memilihmu menjadi pemeran utama di drama ini.” Daehyun tersenyum dengan sopan. Membalas ucapan sang sutadara di luar ruangan.
“Tentu saja, saya akan bekerja lebih keras untuk projek ini, tolong kerja samanya PD-nim.” Sutradara itu tersenyum bangga kemudian menepuk bahu Daehyun dua kali.
Yeonjin baru saja keluar dari ruangan yang di gunakan rapat tadi dengan berbincang bersama aktor lain dengan ramah, tetapi ketika matanya menemukan Daehyun, dalam sekejap tatapan baik itu berubah sinis ketika menatapnya.
“Baiklah kalau begitu, Daehyun.” Sutradara itu kembali menepuk pundak Daehyun satu kali dengan tersenyum, setelahnya beliau pergi meninggalkan Daehyun dengan Yeonjin yang mendekati pria itu.
“Kau sangat mendalami peranmu, eoh." Daehyun mengernyitkan dahi tidak mengerti. Yeonjin mendekati dirinya dengan senyum miring.
“Nee?” ulangnya pada Yeonjin.
“Berhenti bersikap layaknya pemeran utama sungguhan, arra! Hajima.” Peringatnya, dengan menekan setiap kata untuk bisa menyudutkan Daehyun yang hanya diam memandang wajahnya.
***
Indonesia
Alya dengan dress selututunya juga rambut panjang sebahu yang digerai indah dengan jepitan kecil menghiasi atas daun telinganya.
Berjalan sembari melirik ke arah jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 08:25, dirinya sudah terlambat pergi ke rumah sakit.
Rambut bergelombangnya ikut bergerak memantul ketika ia belari larian. Beberapa kali tas selempangnya hampir melorot dibuatnya. Alya menghentikan langkah ketika lampu rambu rambu dengan ikon orang berjalan berganti warna merah pada jalan zebracross. Ia harus menunggu dengan raut paniknya.
“Ayooo. Cepet.” Ia melirik kesana kemari, “kenapa lama banget, astaga,” decaknya dengan mengetuk ngetukkan sepatu pantofelnya pada jalan beraspal.
Lampu sudah berubah warna dengan segera Alya berlari mencapai trotoar sebrang.
Nafasnya menjadi tersengal ketika berlari dari trotoar hingga hampir sampai ke rumah sakit.
Ia kembali mengatur nafasnya agar tidak terlalu tersengal-sengal, ketika hendak kembali berjalan, dering dari ponsel berlogo apelnya mendadak berbunyi.
Ia melihat siapa nama yang menelfon dirinya, namun yang ia dapati hanya nomor tak di kenal.
Tanpa minat Alya segera mematikan ponselnya dan kembali berjalan. Namun baru beberapa langkah berjalan, ia terdiam menatap seorang dengan pakaiannya yang compang-camping tengah memungut sampah-sampah dari tong sampah di samping trotoar untuk dimasukkan pada karung besar di pundaknya.
Alya hendak memanggil pemulung itu tapi matanya terjatuh pada sebuah kalung yang tergeletak ke aspal karena pemulung itu tak sengaja menjatuhkannya.
Alya lagi-lagi ingin berteriak memanggil pemulung itu tapi dengan cepat dia menghilang, Alya menoleh kesana kemari, mencari kemana pemulung itu pergi.
Ia merasa ganjil dengan kejadian ini.
“Kok bisa.” Ia mendekat, mengambil kalung yang terbuat dari benang wol berwarna hitam dengan bandul hiu berwarna pink.
“Lucu,” Alya kembali meninjau keadaan sekitarnya, siapa tau pemulung itu masih di sekitar sini, tapi nyatanya nihil, pemulung itu menghilang.
“Aku bawa aja deh, kalo ketemu lagi aku kasihin.” Ia memilih membawa kalung itu pergi bersamanya.
***
Nathan, pria dengan tinggi kisaran 180 cm itu menghadang jalan Alya yang hendak memasuki lift. Alya terkejut dan ekspresinya berhasil ditangkap oleh pria yang tiba-tiba muncul di hadapannya ini.
“Aha?” Nathan menggoyangkan ponselnya ke depan wajah Alya yang memandang dirinya, Alya menaikkan kedua alisnya.
“Ada apa dokter, Nathan?” panggilnya ramah. Nathan mengernyit.
“Lo gatau atau pura-pura gatau, ini, lihat.” Alya melihat ke arah tangan Nathan yang terus menggoyangkan ponselnya sendiri. Alya menggeleng.
“Telepon gue, kenapa lo matiin?” Tanya Nathan pura-pura ngambek. Alya terkejut, ia ingat saat dirinya mematikan ponselnya begitu saja dan mengabaikan panggilan dari nomor tak di kenal yang ternyata dari dokter Nathan, seniornya.
“Astaga, maaf dok, maaf, saya kira hanya orang iseng saja.” Paniknya, ia menatap pria di hadapannya dengan raut merasa bersalah.
“Gapapa, tapi ada syaratnya." Alya mengangguk.
“Saya akan turuti apapun syaratnya, yang terpenting dokter Nak, Nathan, mau memaafkan saya.” Ia ingin sekali menyemburkan tawanya, tapi ia harus berakting berpura-pura ngambek di depan Alya.
“Apapun?” ulangnya dengan kedua alis terangkat. Alya mengangguk dengan cepat.
“Okeh, gue ngga maksa lho ya, lo sendiri yang setuju. Makan malam sama gue nanti, ngga ada penolakan sekalipun lo lagi sibuk. Katanya lo bakal turuti kan.” Alya merutuki dirinya, yang benar saja, hari ini dan besok ia kedapatan tugas jaga selama dua hari.
“Em." Bingungnya, ia masih mencari alasan yang tepat untuk bisa menolak ajakan Nathan, namun otaknya susah sekali diajak bekerja sama untuk saat ini.
“Itu artinya lo mau," tukas Nathan.
“Bentar kak,” Nathan terkejut, ia menatap Alya dengan senyum malu-malunya.
“Lo baru aja manggil gue apa, Kak? Apa bener?” Alya mendadak ingin mencakar wajah pria di depannya ini. Kenapa jadi menyebalkan.
“Maaf, maksut saya dok, saya mengatakan menuruti syarat anda bukan ajakan anda," ucap Alya tak enak hati, ia jadi ingin menangis setelah mengatakan itu.
“Okeh, gue ngambek.” Alya dengan cepat menahan lengan Nathan, pria itu melirik pada Alya yang sedang mencari sesuatu dari dalam tasnya.
“Maaf ya dok, saya dapat tugas jaga hari ini. Kalo tidak ada mungkin sudah saya iyakan.” Nathan sudah tau hal itu, ia hanya ingin menggoda Alya saja, membuat gadis itu panik adalah rencananya. Gadis dengan pemilik senyum ramah yang saat ini berganti raut bersalahnya karena dirinya.
“Kalo ngambek makan ini saja dok, kemarin pasien saya beri ini langsung moodnya kembali, semoga nggak ngambek lagi ya dok, maaf dan permisi," ucapnya dengan sopan lalu pergi memasuki lift yang terbuka.
“Lo pikir gue anak kecil.” Nathan menatap pada pintu lift yang mulai tertutup, ia melihat Alya yang menarik senyum untuknya. Tanpa sadar Nathan ikut tersenyum karena hal itu.
Ia kembali melirik permen di tangannya yang diberikan oleh Alya, permen mint dengan bungkus warna biru. Nathan tersenyum, daripada ia makan ia simpan saja dulu dalam sakunya.
***
Gadis berwajah cantik dengan surai berwarna merah melambai padanya, gadis itu menyender pada pintu mobil dengan kacamata hitam membingkai matanya.
Daehyun tersenyum manis, matanya melirik pada Naeun yang membuka kacamatanya.
“Bagaimana hari ini, gwaencha-heuseyo, apa Yeonjin lagi-lagi menganggumu, oppa?”
Daehyun yang diberi pertanyaan bertubi-tubi lantas terkekeh lalu menggeleng.
“Kau mengkhawatirkanku?” Naeun mengangguk cepat.
“Dia pria dengan hati yang busuk, dia tidak pantas menjadi aktor.”
“Sudahlah, dia sebenarnya baik, hanya saja dia iri melihatku. Di dunia kerja sudah biasa hal itu terjadi."
Manajer Daehyun datang, pria dengan kisaran umur 40 an itu membawa jaket Daehyun di tangannya.
Saat ini mereka berada di basement parkiran.
“Oppa. Kau harus berhenti menjadi pria yang lembut, image mu sangat cocok menjadi pria dingin yang kaku. Eoh? Apa ini termasuk buatan agensimu!” tuding Naeun menyelidik. Daehyun terkekeh, lagi-lagi Naeun memberitahunya hal itu.
“Anniya, appa yang menyuruhku untuk tetap menjadi seperti ini Naeun, aku sebagai anaknya hanya bisa menurut. Aku juga sudah terbiasa dengan sikap ini sejak dulu.” Naeun berdecak.
“Bersama appamu kau pasti seperti seekor anjing yang selalu menurut pada majikannya.”
“Appaku adalah segalanya, dia lebih dari sekedar majikan, tapi dia raja di hatiku. Aku hanya ingin menjadi orang biasa tanpa menaruh banyak rasa benci pada orang yang pernah melukaiku sengaja maupun tidak sengaja, makannya aku bertindak seperti itu.”
“Kau saja tidak disegani Yeonjin. Oppa, kau terlalu naif.”
Daehyun hanya tersenyum, memamerkan matanya yang menyipit karena tersenyum.
Ckrek
Seseorang tersenyum di balik maskernya, diam-diam ia memotret Daehyun yang membelakangi kamera, posisinya seperti tengah Daehyun berciuman dengan Naeun, apalagi posisi kepala pria itu bisa pas seperti orang yang tengah berciuman, tentu saja hal itu tanpa disadari oleh Daehyun maupun Naeun.
...***...
...Just fiksi! Tidak ada hubungannya sama real life ya, pokoknya jgn trlalu dibawa serius, kalau suka dgn part ini bisa like, dan komen untuk masukannya. Terimakasih….
...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!