Al & El

Al & El

1. Hancur

" Terkadang senyum hanyalah sebuah

topeng untuk menutupi luka "

 

 

Seorang gadis cantik dan ceria dengan rambut panjangnya yang tergerai indah, tampak memasuki sebuah Kafe mewah dengan terburu-buru. Gadis itu sudah tidak sabar bertemu lelaki yang menjadi pacarnya selama 3 tahun, meski hanya dari virtual. Hari ini di Kafe ini merupakan pertemuan pertama dia dengan pacarnya.

Sudah sekitar setengah jam ia bergeming melakukan suatu hal berulang kali menghela nafas dan membuang nafas sembari memeriksa layar ponselnya. "Rey kau dimana?" Elfesta menatap seisi kafe namun, tidak menemukan orang yang dicarinya. "Sabar El, sabar. Kamu harus menunggunya, Mungkin saja Rey ada keperluan mendadak atau merencanakan sebuah kejutan untukku," ucapnya sambil meyakini dirinya sendiri sembari mengirimkan beberapa pesan di layar ponselnya.

Elfesta Masih menunggu di Kafe itu. Ia yang semula menggerakkan jari-jarinya kini menghentikan gerakan tangannya sekilas, memandangi layar ponsel yang masih belum ada balasan satupun.

"Hai," sebuah suara menyapa dari arah belakang dan kemudian wanita itu langsung menarik kursi di depannya dan duduk tepat dihadapan Elfesta.

"Hai," balas Elfesta yang heran siapa wanita itu.

"Kamu Elfesta kan? Kenalin saya Sintya," ucapnya sambil mengulurkan tangan.Elfesta lantas membalas uluran tangan wanita yang kelihatannya sedang mengandung.

"By the way, kamu cantik ya. Pantas saja suami saya naksir sama kamu. Oh iya, saya lupa bilang kalau saya itu istrinya Rey lihat kan saya sedang mengandung anaknya," sambil menunjuk perutnya. "Dan itu artinya kamu selingkuhan suami saya." Jelasnya pada Elfesta.

Kata-kata itu menghantam Elfesta seperti petir di siang bolong. Elfesta membeku, berusaha mencerna informasi yang baru saja didengarnya. Istrinya? Rey sudah menikah?

“Saya… tidak tahu… Maksud saya, Rey tidak pernah bilang apa-apa…maaf, maafkan saya." suara Elfesta melemah. Ia merasa seperti seluruh dunianya runtuh dalam hitungan detik.

Sintya mendengus kecil, wajahnya menampakkan ejekan. “Tentu saja dia tidak bilang. Bagaimana pun juga, kamu hanyalah mainan buat dia.” Tatapan Sintya berubah tajam, matanya penuh kebencian. “Kamu pikir bisa merebut suami orang dan hidup bahagia?”

Elfesta merasa dadanya sesak. “Aku benar-benar tidak tahu…” bisiknya, berusaha mempertahankan harga dirinya.

Namun, Sintya tidak berhenti di situ. Dia membungkukkan tubuhnya, wajahnya semakin dekat dengan Elfesta. “Kalau aku jadi kamu, aku sudah berhenti sekarang sebelum semuanya bertambah buruk. Tapi kamu, ya, dasar perempuan tidak tahu malu, masih saja terus berharap.”

Ketegangan mulai membangun di antara mereka. Elfesta bisa merasakan tatapan pengunjung kafe lain yang kini mengarah padanya, bisikan-bisikan mulai terdengar dari meja-meja sekelilingnya. Keheningan yang memekakkan itu tiba-tiba dipecahkan oleh Sintya yang tanpa peringatan menyambar rambut Elfesta dengan kasar.

“Aduh! Lepaskan!” Elfesta berteriak kesakitan, mencoba melepaskan diri dari Sintya yang semakin brutal.

“Kamu harus belajar berhenti menggoda suami orang!” teriak Sintya, menarik rambut Elfesta dengan lebih kuat. Mereka berdua terlibat dalam pertengkaran fisik yang memancing perhatian lebih banyak orang. Beberapa pelayan mencoba mendekat untuk melerai, tetapi situasinya semakin kacau.

Di tengah keributan itu, seorang pria yang sedang duduk tak jauh dari meja mereka akhirnya berdiri dan bergerak cepat ke arah mereka. Tanpa berpikir panjang, dia segera menarik Sintya dari Elfesta, berusaha memisahkan mereka.

"Cukup!" seru pria itu, yang ternyata adalah Alvares, seorang dosen yang sedang kebetulan ada di kafe itu. “Apa-apaan ini?”

Sintya menatapnya dengan marah, tetapi Alvares tidak memberi ruang untuk argumen lebih lanjut. “Kamu sedang membuat masalah besar di sini.”

"Dia yang salah!" teriak Sintya masih berusaha melawan. "Dia selingkuhan suamiku!"

Elfesta, yang rambutnya acak-acakan dan matanya mulai berair, hanya bisa diam terpaku. Dia menatap Alvares dengan wajah bingung, berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. Alvares kemudian beralih kepada Elfesta, matanya melunak sejenak melihat keadaannya yang kacau.

“Kamu baik-baik saja?” tanyanya sambil membantu Elfesta berdiri.

Elfesta hanya mengangguk lemah, masih terkejut dengan apa yang barusan terjadi. Saat Alvares membantu menenangkan situasi, Rey tiba-tiba muncul, bergegas masuk ke dalam kafe. Namun, semua sudah terlambat. Sintya telah membuat keributan besar, dan Elfesta sudah kehilangan kepercayaan pada Rey.

Rey mencoba menarik Sintya menjauh, meminta maaf dengan terburu-buru kepada Elfesta, tetapi Elfesta hanya menggelengkan kepala, air matanya mulai mengalir. “Aku tidak tahu, Rey. Aku tidak tahu kamu sudah menikah…”

Sintya terus meronta, berteriak-teriak penuh kemarahan, sementara Rey hanya bisa memohon agar dia tenang. Alvares tetap berdiri di samping Elfesta, memastikan situasi terkendali.

Tanpa berkata lebih lanjut, Elfesta akhirnya memutuskan untuk pergi, meninggalkan kafe dengan langkah cepat, perasaannya hancur berkeping-keping. Alvares hanya bisa menatapnya dari kejauhan, sedikit merasa iba dan penasaran dengan sosok wanita yang baru saja terlibat dalam kejadian yang penuh drama itu.

Saat Elfesta kembali ke kos-kosannya, hatinya terasa begitu hampa. Langkah kakinya lemah, seolah tenaga hidupnya telah terkuras. Dalam ruangan kecil yang gelap tanpa cahaya, dia menjatuhkan dirinya di atas kasur, tenggelam dalam perasaan kecewa dan kesedihan yang mendalam. Segala kenangan tentang Rey berputar di kepalanya, seperti film yang terus diputar ulang.

Elfesta teringat kata-kata Sintya, teringat tatapan penuh simpati dari pria asing di kafe. Tangannya gemetar saat ia mengambil pisau di samping tempat tidurnya. Di tengah kesedihannya, ia berpikir untuk mengakhiri semuanya, tapi tiba-tiba terdengar suara dobrakan keras dari pintu.

"Apa lo gila, El?" suara Aca yang familiar membangunkannya dari kesedihan mendalam. Gadis berambut pendek yang manis itu langsung masuk dan memeluk Elfesta erat-erat, menggagalkan niat buruknya.

" Apa ini, El? lo jangan gila deh mau bunuh diri gini,cukup El cukup sayangi diri lo sendiri, apa lagi yang mau lo lakuin? Ada apa? anxiety lo kambuh kan, ya pasti gara-gara Rey ya lo sampai gak tahan. Sini cerita sama gue, please jangan sakiti diri lo ya El, apa gunanya gue jadi sahabat lo kalau gue gak bisa buat lo bahagia dan malah kayak gini?" Ucap gadis itu yang ternyata adalah sahabat dekat Elfesta bernama Aca

Mendengar perkataan Jesica tangis Elfesta pecah, dia sesenggukan dan menangis sejadi-jadinya . Jesica segera memeluk Elfesta dan menenangkan sahabatnya itu.

“Don’t cry, El. Lo masih punya gue. Nangis aja gak apa-apa... Tapi gue tahu El yang gue kenal itu kuat banget. Lo mau cerita?”

Elfesta terisak pelan, menurunkan pelukan sahabatnya. Ia mencoba menarik napas panjang, tapi tangisnya belum juga reda.

“R–Rey, Ca… Dia bohong. Gue bukan yang pertama. Gue kira ini akan beda, tapi ternyata… semuanya hancur, lagi dan lagi.”

Aca menatap Elfesta dengan alis bertaut, sorot matanya serius. “Maksud lo… dia selingkuh?”

Elfesta menggeleng pelan. “Enggak, Ca. Lebih parah… Dia udah punya istri. Dari semua orang, kenapa harus gue yang jadi korban? Di rumah, di sekolah dulu, bahkan sama orang yang gue pikir bisa gue percaya. Apa gue terlalu naif? Apa gue emang gak pantas bahagia, Ca?”

Suara Elfesta pecah di akhir kalimat. Matanya bengkak, wajahnya kusut. Aca menahan napas sejenak sebelum akhirnya meraih tangan Elfesta.

“Jangan pernah bilang kayak gitu lagi, El. Dengerin gue, lo tuh hidup buat jadi cahaya, bukan buat dipadamkan sama orang kayak Rey. Gue gak tahu kenapa dunia kayak jahat banget sama lo, tapi yang gue tahu… lo punya gue, dan itu harusnya cukup buat lo tetap berdiri.”

Aca menarik napas, lalu bergumam pelan, “Dan si Rey bangsat itu… pengen banget gue bikin jadi lonte”

Elfesta sempat mengernyit. “Lonte?”

Aca mengangguk sambil pura-pura menatap kosong. “Iya. Lonte… alias lontong sate. Kan gue pengen nancepin tusuk sate di jidatnya. Dia gak tahu ya, gak ada yang boleh nyakitin lo di dunia ini.”

Meski air matanya belum kering, Elfesta tertawa kecil melihat ekspresi lucu sahabatnya. Ada rasa hangat yang perlahan tumbuh di dada.

“Terkadang gue heran sama lo, Ca. Lo juga punya masalah, tapi lo masih bisa bikin orang lain ketawa.”

Aca menyengir dan menjawab ringan, “Udahlah, stop muji gue. Lebih baik lo senyum terus, jangan nangis. Nanti lo jadi kayak cucian belum disetrika—kusut dan bikin tua sebelum waktunya.”

Perut Aca tiba-tiba berbunyi keras. Elfesta dan Aca spontan tertawa.

“El, gue laper nih. Masakin dong. Mie goreng kayak biasa, boleh ya?”

Elfesta berdiri dan langsung menuju dapur. “Baik, Tuan Putri. Chef Elfesta siap memasak!”

“Yaaaay! Asal jangan sampe bikin usus gue keriting, ya!”

“Padahal tadinya gue senang denger pujian lo,” jawab Elfesta sambil terkikik. “Tapi sekarang lo kayak pujangga tua... kayak ahli sejarah nusantara.”

“Tolol. Itu namanya sastrawan, bukan sejarah,” Aca menyahut cepat. “Tapi... ya gue juga pandai sejarah sih.”

“Oh ya? Coba, di mana letak Kerajaan Majapahit?” tantang Elfesta sambil membalik mie di wajan.

“Jawa Timur lah!” jawab Aca cepat.

Elfesta menyipitkan mata. “Kalau gitu siapa raja pertamanya sampai yang terakhir, dan apa gelar mereka?”

Hening. Aca terdiam, tak punya jawaban. Elfesta tertawa puas.

“Udahlah, masakin gue, Kakak Elfesta-ku yang cerewet ini!”

---

Tak lama kemudian, mie goreng pun tersaji di meja. Bau gurih memenuhi ruangan.

“Gak ada telur, El? Hambar nih!” gerutu Aca sambil terus mengunyah.

Elfesta menatapnya dengan wajah datar, lalu terus makan. “Kalau lo mau, beli telur terus simpan di kulkas. Jadi bisa goreng kapan aja.”

“Eh, lo gak lagi kesulitan uang kan, El? Dulu gue udah nyaranin buat... ya, jadi partner ngepet. Tapi lo tolak. Huh!”

Elfesta menghela napas. “Aca, ngepet bukan solusi. Tuhan bisa marah.”

Aca mendesah. “Gue tahu, tapi... susah liat lo hidup kayak gini, El. Mie instan tiap hari? Lo makin kurus. Mie itu kayak kenangan, enak dimakan tapi nyakitin kalau disimpan kelamaan.”

Elfesta terdiam. Kalimat itu seperti tamparan. Bukan karena Aca menyindir, tapi karena benar.

“Gue gak bisa lupakan semua yang terjadi di rumah gue dulu, Ca. Bahkan setelah gue pergi, semua kenangan itu masih ikut. Dan itu bikin gue susah percaya siapa pun. Gue benci rumah, dan gue... benci ayah.”

Aca terdiam sejenak, lalu meraih tangan Elfesta.

“Maafin gue ya, El. Gue gak maksud buat lo inget-inget lagi. Tapi mulai sekarang, lo harus bahagia. Dan kalau lo nanti punya pacar baru, wajib banget lo kenalin ke gue dulu. Supaya kalau dia nyakitin lo, bisa gue... kupas kulitnya satu-satu.”

Elfesta menggigil kecil, lalu tertawa kecil. Ia tahu, itu bentuk sayang dari sahabatnya.

Dalam hati, Elfesta merasa... mungkin tidak semua orang jahat. Masih ada Aca. Dan itu cukup untuk malam ini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!