" Terkadang senyum hanyalah sebuah
topeng untuk menutupi luka "
Seorang gadis cantik dan ceria dengan rambut panjangnya yang tergerai indah, tampak memasuki sebuah Kafe mewah dengan terburu-buru. Gadis itu sudah tidak sabar bertemu lelaki yang menjadi pacarnya selama 3 tahun, meski hanya dari virtual. Hari ini di Kafe ini merupakan pertemuan pertama dia dengan pacarnya.
Sudah sekitar setengah jam ia bergeming melakukan suatu hal berulang kali menghela nafas dan membuang nafas sembari memeriksa layar ponselnya. "Rey kau dimana?" Elfesta menatap seisi kafe namun, tidak menemukan orang yang dicarinya. "Sabar El, sabar. Kamu harus menunggunya, Mungkin saja Rey ada keperluan mendadak atau merencanakan sebuah kejutan untukku," ucapnya sambil meyakini dirinya sendiri sembari mengirimkan beberapa pesan di layar ponselnya.
Elfesta Masih menunggu di Kafe itu. Ia yang semula menggerakkan jari-jarinya kini menghentikan gerakan tangannya sekilas, memandangi layar ponsel yang masih belum ada balasan satupun.
"Hai," sebuah suara menyapa dari arah belakang dan kemudian wanita itu langsung menarik kursi di depannya dan duduk tepat dihadapan Elfesta.
"Hai," balas Elfesta yang heran siapa wanita itu.
"Kamu Elfesta kan? Kenalin saya Sintya," ucapnya sambil mengulurkan tangan.Elfesta lantas membalas uluran tangan wanita yang kelihatannya sedang mengandung.
"By the way, kamu cantik ya. Pantas saja suami saya naksir sama kamu. Oh iya, saya lupa bilang kalau saya itu istrinya Rey lihat kan saya sedang mengandung anaknya," sambil menunjuk perutnya. "Dan itu artinya kamu selingkuhan suami saya." Jelasnya pada Elfesta.
Kata-kata itu menghantam Elfesta seperti petir di siang bolong. Elfesta membeku, berusaha mencerna informasi yang baru saja didengarnya. Istrinya? Rey sudah menikah?
“Saya… tidak tahu… Maksud saya, Rey tidak pernah bilang apa-apa…maaf, maafkan saya." suara Elfesta melemah. Ia merasa seperti seluruh dunianya runtuh dalam hitungan detik.
Sintya mendengus kecil, wajahnya menampakkan ejekan. “Tentu saja dia tidak bilang. Bagaimana pun juga, kamu hanyalah mainan buat dia.” Tatapan Sintya berubah tajam, matanya penuh kebencian. “Kamu pikir bisa merebut suami orang dan hidup bahagia?”
Elfesta merasa dadanya sesak. “Aku benar-benar tidak tahu…” bisiknya, berusaha mempertahankan harga dirinya.
Namun, Sintya tidak berhenti di situ. Dia membungkukkan tubuhnya, wajahnya semakin dekat dengan Elfesta. “Kalau aku jadi kamu, aku sudah berhenti sekarang sebelum semuanya bertambah buruk. Tapi kamu, ya, dasar perempuan tidak tahu malu, masih saja terus berharap.”
Ketegangan mulai membangun di antara mereka. Elfesta bisa merasakan tatapan pengunjung kafe lain yang kini mengarah padanya, bisikan-bisikan mulai terdengar dari meja-meja sekelilingnya. Keheningan yang memekakkan itu tiba-tiba dipecahkan oleh Sintya yang tanpa peringatan menyambar rambut Elfesta dengan kasar.
“Aduh! Lepaskan!” Elfesta berteriak kesakitan, mencoba melepaskan diri dari Sintya yang semakin brutal.
“Kamu harus belajar berhenti menggoda suami orang!” teriak Sintya, menarik rambut Elfesta dengan lebih kuat. Mereka berdua terlibat dalam pertengkaran fisik yang memancing perhatian lebih banyak orang. Beberapa pelayan mencoba mendekat untuk melerai, tetapi situasinya semakin kacau.
Di tengah keributan itu, seorang pria yang sedang duduk tak jauh dari meja mereka akhirnya berdiri dan bergerak cepat ke arah mereka. Tanpa berpikir panjang, dia segera menarik Sintya dari Elfesta, berusaha memisahkan mereka.
"Cukup!" seru pria itu, yang ternyata adalah Alvares, seorang dosen yang sedang kebetulan ada di kafe itu. “Apa-apaan ini?”
Sintya menatapnya dengan marah, tetapi Alvares tidak memberi ruang untuk argumen lebih lanjut. “Kamu sedang membuat masalah besar di sini.”
"Dia yang salah!" teriak Sintya masih berusaha melawan. "Dia selingkuhan suamiku!"
Elfesta, yang rambutnya acak-acakan dan matanya mulai berair, hanya bisa diam terpaku. Dia menatap Alvares dengan wajah bingung, berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. Alvares kemudian beralih kepada Elfesta, matanya melunak sejenak melihat keadaannya yang kacau.
“Kamu baik-baik saja?” tanyanya sambil membantu Elfesta berdiri.
Elfesta hanya mengangguk lemah, masih terkejut dengan apa yang barusan terjadi. Saat Alvares membantu menenangkan situasi, Rey tiba-tiba muncul, bergegas masuk ke dalam kafe. Namun, semua sudah terlambat. Sintya telah membuat keributan besar, dan Elfesta sudah kehilangan kepercayaan pada Rey.
Rey mencoba menarik Sintya menjauh, meminta maaf dengan terburu-buru kepada Elfesta, tetapi Elfesta hanya menggelengkan kepala, air matanya mulai mengalir. “Aku tidak tahu, Rey. Aku tidak tahu kamu sudah menikah…”
Sintya terus meronta, berteriak-teriak penuh kemarahan, sementara Rey hanya bisa memohon agar dia tenang. Alvares tetap berdiri di samping Elfesta, memastikan situasi terkendali.
Tanpa berkata lebih lanjut, Elfesta akhirnya memutuskan untuk pergi, meninggalkan kafe dengan langkah cepat, perasaannya hancur berkeping-keping. Alvares hanya bisa menatapnya dari kejauhan, sedikit merasa iba dan penasaran dengan sosok wanita yang baru saja terlibat dalam kejadian yang penuh drama itu.
Saat Elfesta kembali ke kos-kosannya, hatinya terasa begitu hampa. Langkah kakinya lemah, seolah tenaga hidupnya telah terkuras. Dalam ruangan kecil yang gelap tanpa cahaya, dia menjatuhkan dirinya di atas kasur, tenggelam dalam perasaan kecewa dan kesedihan yang mendalam. Segala kenangan tentang Rey berputar di kepalanya, seperti film yang terus diputar ulang.
Elfesta teringat kata-kata Sintya, teringat tatapan penuh simpati dari pria asing di kafe. Tangannya gemetar saat ia mengambil pisau di samping tempat tidurnya. Di tengah kesedihannya, ia berpikir untuk mengakhiri semuanya, tapi tiba-tiba terdengar suara dobrakan keras dari pintu.
"Apa lo gila, El?" suara Aca yang familiar membangunkannya dari kesedihan mendalam. Gadis berambut pendek yang manis itu langsung masuk dan memeluk Elfesta erat-erat, menggagalkan niat buruknya.
" Apa ini, El? lo jangan gila deh mau bunuh diri gini,cukup El cukup sayangi diri lo sendiri, apa lagi yang mau lo lakuin? Ada apa? anxiety lo kambuh kan, ya pasti gara-gara Rey ya lo sampai gak tahan. Sini cerita sama gue, please jangan sakiti diri lo ya El, apa gunanya gue jadi sahabat lo kalau gue gak bisa buat lo bahagia dan malah kayak gini?" Ucap gadis itu yang ternyata adalah sahabat dekat Elfesta bernama Aca
Mendengar perkataan Jesica tangis Elfesta pecah, dia sesenggukan dan menangis sejadi-jadinya . Jesica segera memeluk Elfesta dan menenangkan sahabatnya itu.
“Don’t cry, El. Lo masih punya gue. Nangis aja gak apa-apa... Tapi gue tahu El yang gue kenal itu kuat banget. Lo mau cerita?”
Elfesta terisak pelan, menurunkan pelukan sahabatnya. Ia mencoba menarik napas panjang, tapi tangisnya belum juga reda.
“R–Rey, Ca… Dia bohong. Gue bukan yang pertama. Gue kira ini akan beda, tapi ternyata… semuanya hancur, lagi dan lagi.”
Aca menatap Elfesta dengan alis bertaut, sorot matanya serius. “Maksud lo… dia selingkuh?”
Elfesta menggeleng pelan. “Enggak, Ca. Lebih parah… Dia udah punya istri. Dari semua orang, kenapa harus gue yang jadi korban? Di rumah, di sekolah dulu, bahkan sama orang yang gue pikir bisa gue percaya. Apa gue terlalu naif? Apa gue emang gak pantas bahagia, Ca?”
Suara Elfesta pecah di akhir kalimat. Matanya bengkak, wajahnya kusut. Aca menahan napas sejenak sebelum akhirnya meraih tangan Elfesta.
“Jangan pernah bilang kayak gitu lagi, El. Dengerin gue, lo tuh hidup buat jadi cahaya, bukan buat dipadamkan sama orang kayak Rey. Gue gak tahu kenapa dunia kayak jahat banget sama lo, tapi yang gue tahu… lo punya gue, dan itu harusnya cukup buat lo tetap berdiri.”
Aca menarik napas, lalu bergumam pelan, “Dan si Rey bangsat itu… pengen banget gue bikin jadi lonte”
Elfesta sempat mengernyit. “Lonte?”
Aca mengangguk sambil pura-pura menatap kosong. “Iya. Lonte… alias lontong sate. Kan gue pengen nancepin tusuk sate di jidatnya. Dia gak tahu ya, gak ada yang boleh nyakitin lo di dunia ini.”
Meski air matanya belum kering, Elfesta tertawa kecil melihat ekspresi lucu sahabatnya. Ada rasa hangat yang perlahan tumbuh di dada.
“Terkadang gue heran sama lo, Ca. Lo juga punya masalah, tapi lo masih bisa bikin orang lain ketawa.”
Aca menyengir dan menjawab ringan, “Udahlah, stop muji gue. Lebih baik lo senyum terus, jangan nangis. Nanti lo jadi kayak cucian belum disetrika—kusut dan bikin tua sebelum waktunya.”
Perut Aca tiba-tiba berbunyi keras. Elfesta dan Aca spontan tertawa.
“El, gue laper nih. Masakin dong. Mie goreng kayak biasa, boleh ya?”
Elfesta berdiri dan langsung menuju dapur. “Baik, Tuan Putri. Chef Elfesta siap memasak!”
“Yaaaay! Asal jangan sampe bikin usus gue keriting, ya!”
“Padahal tadinya gue senang denger pujian lo,” jawab Elfesta sambil terkikik. “Tapi sekarang lo kayak pujangga tua... kayak ahli sejarah nusantara.”
“Tolol. Itu namanya sastrawan, bukan sejarah,” Aca menyahut cepat. “Tapi... ya gue juga pandai sejarah sih.”
“Oh ya? Coba, di mana letak Kerajaan Majapahit?” tantang Elfesta sambil membalik mie di wajan.
“Jawa Timur lah!” jawab Aca cepat.
Elfesta menyipitkan mata. “Kalau gitu siapa raja pertamanya sampai yang terakhir, dan apa gelar mereka?”
Hening. Aca terdiam, tak punya jawaban. Elfesta tertawa puas.
“Udahlah, masakin gue, Kakak Elfesta-ku yang cerewet ini!”
---
Tak lama kemudian, mie goreng pun tersaji di meja. Bau gurih memenuhi ruangan.
“Gak ada telur, El? Hambar nih!” gerutu Aca sambil terus mengunyah.
Elfesta menatapnya dengan wajah datar, lalu terus makan. “Kalau lo mau, beli telur terus simpan di kulkas. Jadi bisa goreng kapan aja.”
“Eh, lo gak lagi kesulitan uang kan, El? Dulu gue udah nyaranin buat... ya, jadi partner ngepet. Tapi lo tolak. Huh!”
Elfesta menghela napas. “Aca, ngepet bukan solusi. Tuhan bisa marah.”
Aca mendesah. “Gue tahu, tapi... susah liat lo hidup kayak gini, El. Mie instan tiap hari? Lo makin kurus. Mie itu kayak kenangan, enak dimakan tapi nyakitin kalau disimpan kelamaan.”
Elfesta terdiam. Kalimat itu seperti tamparan. Bukan karena Aca menyindir, tapi karena benar.
“Gue gak bisa lupakan semua yang terjadi di rumah gue dulu, Ca. Bahkan setelah gue pergi, semua kenangan itu masih ikut. Dan itu bikin gue susah percaya siapa pun. Gue benci rumah, dan gue... benci ayah.”
Aca terdiam sejenak, lalu meraih tangan Elfesta.
“Maafin gue ya, El. Gue gak maksud buat lo inget-inget lagi. Tapi mulai sekarang, lo harus bahagia. Dan kalau lo nanti punya pacar baru, wajib banget lo kenalin ke gue dulu. Supaya kalau dia nyakitin lo, bisa gue... kupas kulitnya satu-satu.”
Elfesta menggigil kecil, lalu tertawa kecil. Ia tahu, itu bentuk sayang dari sahabatnya.
Dalam hati, Elfesta merasa... mungkin tidak semua orang jahat. Masih ada Aca. Dan itu cukup untuk malam ini.
"Dunia sempit ya... kita bertemu dengan pertemuan yang tak terduga seperti tiket lotre. Siapa tahu? apakah mungkin bertemu dengan jackpot cinta atau sekadar mengalami petualangan tak terduga yang berakhir kesialan!"
...----------------...
...----------------...
Pagi itu, langit cerah dan udara segar menyambut Elfesta yang sedang bergegas menuju halte bus. Ia membawa tas penuh buku, bersiap untuk hari kuliahnya. Elfesta mempercepat langkahnya, merasa optimis dan bersemangat. Namun, di tengah perjalanan, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Saat Elfesta melintasi trotoar yang ramai, ia tiba-tiba bertabrakan dengan seseorang yang juga tampak terburu-buru. Benturan itu membuat buku-bukunya jatuh berceceran di trotoar, dan seketika ia merasakan gelombang kekesalan.
"Maaf," katanya gugup tanpa melihat ke arah siapa yang ditabraknya. Saat Elfesta mengangkat pandangannya, matanya bertemu dengan sosok pria tinggi yang tampan. Pria itu menatapnya dengan ekspresi sedikit kesal. Elfesta segera merasa tidak nyaman. Pria itu bukan orang asing.
"Trotoar ini cukup lebar untuk dua orang, bukan?" kata pria itu dengan nada sinis.
Elfesta terkejut mendengar nada bicaranya. Namun, setelah sekilas memandang wajah pria tersebut, ingatan masa lalu tiba-tiba menghantamnya. Bukankah ini pria yang menolongku waktu itu di kafe? pikirnya. Ada sesuatu yang mengganjal dalam ingatannya, namun Elfesta terlalu terganggu oleh situasi sekarang untuk bisa fokus.
"Ya, saya sudah minta maaf," jawabnya dengan nada lebih tajam dari yang dimaksud, sambil buru-buru mengumpulkan buku-bukunya dari trotoar.
Pria itu—yang Elfesta ingat bernama Alvares, menawarkan bantuannya. "Mau kubantu?" katanya, namun Elfesta menolak. "Tidak perlu, saya bisa melakukannya sendiri," ucapnya tegas. Ada sesuatu tentang tatapan dinginnya yang membuat Elfesta lebih memilih menjauh.
Keadaan di antara mereka menjadi tegang. Alvares akhirnya berusaha meredakan suasana. "Baiklah, lain kali kita hindari hal ini. Tapi kamu juga harus lebih berhati-hati."
Elfesta mengangguk cepat tanpa kata, tak ingin memperpanjang percakapan. Setelah selesai mengumpulkan buku-bukunya, dia melanjutkan perjalanan menuju halte bus, sementara Alvares memanggil taksi dan pergi. Namun, meski sudah berlalu, pertemuan itu terus menghantui pikiran Elfesta. Pria yang sinis dan tampan itu... tak mungkin salah, dia pasti orang yang menolongku di kafe. Tapi mengapa sekarang dia tampak begitu berbeda?
*Flashback on
Kala itu Alvares bersiap-siap untuk pergi ke kampus untuk hari pertamanya sebagai seorang dosen. Dia sangat bersemangat memulai petualangan barunya dalam dunia akademis.
Namun, takdir memiliki rencana lain untuknya.Ketika mobil yang membawanya menuju ke kampus melaju dengan mulus di jalan raya yang ramai, tiba-tiba suasana berubah menjadi kacau. Suara desingan yang tidak biasa terdengar dari bawah mobil, dan dengan cepat, mobil itu berhenti dengan mendadak.
Alvares merasa kebingungan. "Oh tidak, apa yang terjadi dengan mobil ini? Kenapa tiba-tiba berhenti?" tanyanya pada supirnya.
Pak Supir yang tidak lain adalah mang ujang dengan wajah khawatir, keluar dari mobil untuk memeriksa keadaan. "Aduh Pak.Maafkan saya, Pak Alvares. Sepertinya ban mobilnya bocor," jawabnya dengan nada yang sedikit terbata.
Alvares merasa panik. Hari pertamanya sebagai dosen, dan dia terjebak di tengah jalan karena masalah teknis. "Bocor? Tapi bagaimana bisa?" Alvares bertanya, mencoba mencari pemahaman atas situasi yang tidak terduga ini.
Supir menjelaskan bahwa kemungkinan ada paku atau benda tajam lainnya di jalan yang menusuk ban mobil. "Saya akan segera memeriksanya dan mencoba mengganti ban dengan yang serep, Pak Alvares," kata supir dengan suara yang bergetar.
Alvares mengangguk, berusaha mempertahankan ketenangannya. "Baiklah, tolong periksa dan lihat apa yang bisa kita lakukan. Saya tidak ingin terlambat untuk mengajar di hari pertama saya di kampus," ujarnya, berusaha menenangkan diri sendiri dan supirnya.Supir segera beraksi, mencoba memperbaiki situasi yang darurat ini.
Alvares pun duduk di dalam mobil, memikirkan langkah-langkah selanjutnya yang harus diambil sambil melihat jam tangannya. Setelah menunggu dengan harapan yang memudar, Alvares menyadari bahwa mobilnya tidak akan segera diperbaiki oleh supirnya.
"Pak kayaknya ini gak akan selesai dengan cepat."Ucap mang ujar supirnya Alvares.
"Baiklah, kalau begitu saya akan pergi dengan taxi atau bus saja mang."Dengan keputusan yang cepat, dia memutuskan untuk tidak membuang waktu lebih lama dan memilih untuk berjalan kaki menuju halte bus terdekat.
*Flashback off
Saat Elfesta tiba di kampus, dia tidak bisa menghilangkan bayangan Alvares dari pikirannya. Dia bertanya-tanya siapa pria itu sebenarnya dan mengapa dia begitu mengganggu, mengesalkan dan menarik pada saat yang bersamaan.
Di kelas, Semua sedang membicarakan mengenai dosen baru. Aca sahabatnya Elfesta pun mendekati Elfesta dan mengajak nya berbicara. "Lo tau gak El?"
"Enggak tau."Jawab Elfesta seadanya.
"Yaelah lo mah ngeselin, gue belum siap ngomong udah di potong aja." Ucap Aca
"Ya karna lo ceritanya kelamaan." Jawab Elfesta
" Ya makanya dengerin gue dulu,, jadi gini bestie, katanya kampus kita kedatangan dosen baru. Bukan cuman dosen si, tapi dia tuh cucu pemilik kampus ini.Terus tuh dosen baru kita nih katanya tajir melintir, pokoknya kaya banget deh." Aca menjelaskan panjang lebar yang hanya di jawab singkat oleh Elfesta " Ya terus mau gue apain?"
Aca pun mendengus kesal sambil berkata " Gak ada sih, hehe. Yaudah deh lagian gue cuma pengen liat tuh dosen, mana tau tampan bisalah di sikat. Beruntung banget gue kalau punya pacar tajir plus tampan."
"Aca jangan berharap deh siapa tau tuh dosen dah nikah atau punya pacar. Daripada berharap sama yang gak pasti mending lo fokus aja buat rancangan skripsi gitu, biar nanti pas udah mau deket jadi cepet kelar terus lo gak jadi mahasiswa abadi." Ucap Elfesta seakan mengejek.
"Ah lo mah gak asik,, malah ingetin gue ke itu lagian itu juga masih lama cintaaku El" Ucap Aca sambil mengerucutkan bibirnya
Tidak lama kemudian seseorang datang dari balik pintu kelas, ya dia adalah Alvares sambil menunjukkan ketampananya.Elfesta terkejut mengetahui bahwa Alvares pria yang bertabrakan dengannya tadi adalah dosen baru yang akan mengajar mata kuliah favoritnya.
"Selamat pagi semuanya, perkenalkan nama saya adalah Alvares Smith Ackerley. Kalian bisa memanggil saya pak Al atau Alvares, saya adalah dosen baru kalian. Apakah ada yang kalian inginkan tanyakan?"
" Umur bapak berapa pak?" Tanya salah satu mahasiswi bernama Kiara.
" Umur saya 28 tahun." Ucap Alvares
" Gak tua-tua banget kok El, bisalah ekann."Bisik Aca pada Elfesta.
" Tinggal dimana pak? udah nikah belum pak? atau udah ada pacar belum pak?" Tanya mahasiswi lainnya
Alvares yang mendengar banyak pertanyaan di hari pertama nya mengajar pun hanya bisa menggelengkam kepala sembari menjawab "Maaf itu pertanyaan yang privasi."
"El tanyain dong, Instagram nya, Twitter, Facebook dan lainnya."
"Ogah, lu kan tadi udah denger 'privasi', jadi gue gak mau nanya-nanya."
"Tapi El Arghghh bapak itu ganteng banget sama kayak Mark gue ganteng, eh tapi cakepan Mark deh, soalnya Mark gak ada bandingannya. Gue mah tetep stay dengan Mark di era gempuran dosen tampan." Ucap Aca dengan antusias
" SSA (suka-suka Aca) aja deh, kalau gue mah stay di mas Jungkook.Lanjutin sana perhatiin dosen tampan lu tuh, gue capek mau turu." Kata Elfesta yang kemudian tertidur.
"Elfesta....!!!" Ucap Aca kepada Elfesta sedikit berteriak.
Seisi kelas memandang kearah sumber suara dan Elfesta reflek menutup wajahnya dengan buku.
Sementara Aca hanya terdiam menatap mata teman-temannya karna malu.
" Ada apa disana?" Tanya Alvares dan ketika itu juga matanya tertuju pada satu orang yaitu Elfesta.
"Ehmm anu pak, tadi kami cuma mau nanya bapak udah berapa lama jadi dosen pak?" Ucal Elfesta dengan gugup.
"Oh ini baru yang pertama." Jawab Alvares singkat
" Ah begitu Baiklah terimakasih pak."
" hmm" Jawab Alvares
Elfesta merasa tertekan menjawab Alvares, mengingat kejadian yang terjadi sebelum pergi ke kampus nya. Seketika dia merasa jika dunia benar-benar sempit dan dia tidak akan tau bagaimana akan menghadapi hari esok saat di kelas terlebih akan berjumpa dengan dosen barunya. Tapi seketika itu juga, dia membuang jauh-jauh pikiran nya dan melanjutkan aktivitas nya yaitu mendengarkan penjelasan Alvares.
Tiba-tiba hp Elfesta berbunyi menandakan ada pesan masuk yang berasal dari Whatsapp nya, ternyata pesan itu adalah dari mamanya El. Setelah membaca pesan itu mood nya seketika berubah. Ada rasa sakit di hatinya namun ia lebih memilih menahan. Sementara Alvares yang sedang mengajar teralihkan fokus nya pada Elfesta.Dia pun berjalan ke arah Elfesta.
"Ekhemm...Saya tidak suka ada yang mengabaikan saya, di kelas saya." Ucapnya sambil mengambil hp Elfesta.
"Eh hp gue " Elfesta melihat ke arah orang yang mengambil hpnya.
" Balikin hp saya dong pak."
"Balikin kata kamu? gak semudah itu, Dari tadi ketika saya menjelaskan kamu hanya fokus pada hp.Ini aturan kelas saya, dilarang bermain hp saat kelas berlangsung."
"Maaf pak, saya tidak akan mengulangi nya.Sekarang boleh saya minta hp semata wayang saya pak?"
"Nanti saya kembalikan setelah kelas berakhir."
Mendengar ucapan Alvares membuat Elfesta mendengus kesal.
Kelas pun Selesai. Mahasiswa dan Mahasiswi mulai berhamburan keluar kelas. Sedangkan Elfesta, Aca dan Ara masih ada di dalam kelas.
"Ra lu gak keluar?" Tanya Aca pada Ara.
"Gue nunggu kalian, kalian gak keluar?Betah ni ceritanya di dalem."
"Mata mu betah, noh liat, di depan sana ada si dokam, alias dosen kampret. Kalau gue gak butuh sama tuh hp dah milih balik gue." Jawab Elfesta kesal.
"Udahlah, ayo minta hp lu, gue temenin sekalian pdkt sama dogan." Ucap aca sembari menarik tangan Elfesta. Elfesta yang pasrah pun segera mengikuti nya.
" Maaf pak mengganggu waktunya, boleh sama minta hp saya?"
"Ini hp kamu, Lain kali fokus ke saya bukan ke hp."
"Dih, bapak siapa saya, sampai harus saya fokuskan." gumam Elfesta yang ternyata di dengan Alvares.
" Saya dosen kamu."
"Eh bapak denger, maaf pak."
"hmm"
"Pakk,, minta nomor WA nya dong." Ucap Aca cengengesan.
"Iya pak, mana tau kita ada perlu, buat nanya-nanya gitu." ucap Ara menambahkan
"Eh maaf pak temen-temen saya tuh memang gini." Ucap Elfesta sembari menarik tangan Aca dan Ara untuk segera keluar dari ruangan.
Setelah mereka bertiga keluar dari ruang kelas mereka pun menuju parkiran
"Lu tuh ya El, nyebelin. Narik-narik tangan gue gitu, padahal gue lagi menikmati pemandangan pria tampan. Sakit tau," gerutu Aca sambil mendengus kesal.
"Lagian kalian berdua ngeselin!" balas Elfesta tak mau kalah.
"Udahlah, bestie-bestie gue yang paling cakep. Stop debat nggak penting. Btw, malam ini malming nih, jomblo juga. Yuk nongkrong! Siapa tau ketemu abang-abang yang bening. Hihi." Ajak Ara ceria.
"Setuju! Mending nongkrong daripada bengong di kosan, berasa mengheningkan cipta terus," kata Aca mengangguk.
"Yaudah deh, apa sih yang nggak buat kalian," sahut Elfesta sambil tersenyum kecil.
"Idih, gombal. Sorry ya, kagak baper. Ya kan Ra?"
"Iyeee, kalau cogan yang gombal baru deh meleyot," timpal Ara.
" Auah ngeselin, tapi yaudah deh mau gimana pun juga kalian kan Bestie guee, Eh ra gue jadi keinget pertemuan pertama kita deh. Itu loh waktu lu ospek, sumpah gue ngakak banget. Waktu itu Lu malah pake topi bentuknya lain. padahal di suruh topi tani, mana pas lagi baris sepatu lu kayak minta makan lagi hahaha ...gak kuat gue, apalagi tu dulu pas aca di tanyain apa malah di jawab apa, mana mukanya mau nangis. Untung gue lupa fotoin lu berduaa kalau gaa kan bisa buat pamer ke calon husbu kalian di masa depan." Ujar Elfesta mengenang awal pertemuan mereka sembari tertawa.
" Stop ya, malu gue tapi syukur ada lu yang bawa sepatu cadangan El, entah deh gue gak tau apa isi otak lu yang bawa apa-apa gak pernah satu, mirip doraemon. Tapi di situ gue makasih banget sama lu." Ucap Ara sambil memeluk El.
" Lu juga baik ma gue El kalau gak ada lu gue udah nangis, ini karna mulut ketus lu huwaa makkk kenapa gue ketemu sahabat kayak gini, tapi udah deh lop u, ikut peluk jugaaaa." Balas aca yang ikut berpelukan bersama Ara dan El bak teletubis.
" Udah-udah jangan mewek, ayo pulang ntar malam kan mau nongkrong, eh iya nongkrong di tempat biasa kan, Kafe moonlight?"
" Yoi bestie, yaudah kalau gitu kami luan ya raa, papay araaa."
" Papay juga ."
Malamnya, Elfesta dan Aca tiba di Kafe Moonlight, tempat favorit mereka bertiga. Ara sudah duduk di pojok dekat jendela, melambai saat melihat mereka datang.
Setelah saling sapa dan berbincang ringan, Elfesta berdiri.
"Ara, Aca, pesen apa nih?" tanyanya sambil membuka notes di HP.
"Aku mau latte dan sandwich tuna," jawab Aca.
"Aku ambil cappuccino dan salad buah," kata Ara dengan senyum.
Elfesta melangkah ke kasir. Tapi langkahnya terhenti sejenak. Di meja dekat kasir, duduk Pak Alvares, dosennya. Kali ini tidak sendirian—di hadapannya seorang wanita anggun dengan penampilan elegan dan sensual, mengenakan dress hitam simpel yang pas di tubuh.
'Itu... dosen gue?' batin Elfesta sedikit gugup. Matanya beradu sebentar dengan pria itu, tapi ia segera mengalihkan pandangan, pura-pura tidak mengenalinya.
Setelah memesan, Elfesta kembali ke meja.
"Lo gak akan percaya siapa yang gue lihat," bisiknya sambil duduk.
"Siapa?" tanya Ara penasaran.
"Pak Alvares. Duduk di sana. Sama cewek yang... gila, seksi banget," kata Elfesta pelan, melirik ke arah mereka.
"Yah... patah hati gue," keluh Aca, menunduk pura-pura sedih. "Gue kira dia single."
"Mana ganteng pula, dan ceweknya seksi. Sakit di hati tapi gak berdarah," sahut Ara.
"Udahlah," kata Elfesta, pura-pura cuek. "Dosen doang. Gak penting. Kita di sini buat have fun, bukan buat ngelamunin cowok unavailable."
Beberapa menit kemudian, seorang barista mengantarkan makanan. Tapi ada yang aneh.
"Loh... kok ini bukan salad buah?" tanya Ara heran.
"Ini juga bukan latte gue, sandwich gue kemana dan... ini kayak jus alpukat?" Aca mengernyit.
Mereka bertiga baru sadar, pesanan tertukar.
Dan seolah semesta ingin tambah ribet, suara panik terdengar dari arah meja Pak Alvares.
"Ini gak bisa diterima! Teman saya alergi tuna—dia sudah bereaksi!"
Elfesta langsung berdiri. “Aduh… jangan-jangan sandwich Aca nyasar ke sana.”
Dengan cepat Elfesta menghampiri meja itu. Napasnya sedikit tersengal karena panik, tapi wajahnya tetap tenang. Seorang wanita yang duduk bersama Alvares tampak mulai menunjukkan gejala alergi—kulitnya memerah, matanya berair, dan napasnya mulai berat. Tangannya bergetar ketika meraih gelas di depannya, tapi gagal menggenggam dengan mantap.
"Maaf, Pak. Sepertinya ada kesalahan. Itu seharusnya bukan pesanan Anda," kata Elfesta dengan suara setenang mungkin.
Pak Alvares, yang awalnya terlihat santai, kini menatap Elfesta dengan sorot mata tajam. Rahangnya mengeras.
"Kenapa bisa ada keteledoran seperti ini di kafe ini? Kamu tahu, kan, gimana kondisi teman saya sekarang?" katanya dengan nada menahan amarah. "Dia alergi berat terhadap Seafood! Kalau telat penanganannya, ini bisa fatal!"
Elfesta tidak mundur. Ia tetap berdiri tegak, meskipun jantungnya berdetak kencang. "Saya tahu, Pak. Saya juga punya alergi, jadi saya selalu bawa antihistamin. Saya bisa bantu, kalau Bapak izinkan," ucapnya cepat sambil membuka tas selempangnya dan mengeluarkan kotak kecil berisi obat.
Wanita itu mulai mengerang pelan. Tubuhnya condong ke depan, keringat mengucur di pelipisnya. Elfesta berlutut di sampingnya dan menyerahkan tablet antihistamin.
"Tapi kamu yakin ini aman?" tanya Alvares, masih tampak waspada.
"Percaya saya, Pak. Ini obat standar. Bisa bantu meredakan reaksi awal sebelum sempat ke dokter. Lebih baik daripada tidak sama sekali." Tatapan mata Elfesta tegas, tulus, dan penuh kepedulian. Ia menatap langsung ke mata wanita itu. "Mbak, minum ini, ya. Pelan-pelan saja."
Wanita itu mengambil obatnya dengan tangan gemetar dan meminumnya perlahan, dibantu Elfesta. Beberapa menit kemudian, gejala yang dialaminya mulai mereda. Warna merah di kulitnya memudar, napasnya kembali stabil meski masih sedikit berat.
Wajah Pak Alvares mulai melunak. Ketegangan di bahunya sedikit mereda. "Terima kasih, Elfesta. Tapi ini tetap nggak bisa dianggap sepele. Bisa saja berakibat jauh lebih parah."
Pada saat itu, waiter yang bertugas menghampiri mereka. Wajahnya pucat, kemejanya sedikit kusut karena gugup. "Saya... saya minta maaf, semuanya. Ini benar-benar kesalahan saya. Saya salah memberikan pesanan. Harusnya sandwich tuna tidak diberikan ke meja Bapak. Tapi saya keliru mencatat nomor meja. Saya benar-benar lengah dan tidak memeriksa ulang."
Pak Alvares menatap tajam ke arahnya. "Kamu sadar ini hampir merenggut nyawa seseorang?"
Waiter itu menunduk dalam. "Iya, Pak. Saya sangat menyesal. Ini kesalahan yang tidak bisa saya sangkal. Saya akan bertanggung jawab sepenuhnya."
Elfesta berdiri dan menengahi, mencoba meredakan ketegangan. "Waiter ini sudah minta maaf, Pak. Dan saya rasa ini bisa jadi pelajaran untuk kita semua—kesalahan sekecil apa pun di dunia kuliner bisa punya konsekuensi besar. Tapi tetap, teman bapak sebaiknya dibawa ke dokter secepatnya untuk diperiksa lebih lanjut."
Wanita itu mengangguk pelan. Meski masih lemah, ia tersenyum pada Elfesta. "Terima kasih... kamu penyelamat saya malam ini."
Alvares menghela napas dalam dan menatap Elfesta dengan pandangan yang sulit ditebak—campuran kagum dan lega. "Baiklah. Terima kasih atas pertolongannya. Dan untuk kamu..." katanya, menatap barista yang masih gemetar. "Saya tidak akan memperpanjang masalah ini. Tapi pastikan, mulai sekarang, tidak ada kesalahan seperti ini lagi. Periksa ulang setiap pesanan. Pahami bahwa pekerjaanmu menyangkut nyawa orang lain."
Waiter itu mengangguk berulang kali. "Terima kasih, Pak. Terima kasih banyak. Saya akan pastikan hal ini tidak terulang lagi. Jika ada sesuatu yang bisa kami lakukan untuk memperbaiki situasi, silakan beri tahu kami."
Wanita yang duduk bersama Alvares kembali menatap Elfesta. Kali ini dengan tatapan penuh syukur dan haru. "Terima kasih, ya. Kamu benar-benar cepat tanggap."
Setelah situasi sedikit tenang, Alvares membantu temannya berdiri dan mereka meninggalkan kafe.
Elfesta kembali ke mejanya. Aca dan Ara langsung menyambutnya dengan ekspresi campuran antara kagum dan syok.
"Lu hebat, El," kata Ara pelan.
"Iya, sumpah. Lu tuh bener-bener tahu cara ngadepin situasi darurat, padahal yang dihadapi tuh—dengan segala hormat—kayak kulkas dua puluh pintu, dingin banget!" tambah Aca sambil tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.
Elfesta hanya menghela napas dan tersenyum tipis. "Gue cuma ngelakuin apa yang harus gue lakuin. Dan untungnya gue selalu bawa antihistamin, kebiasaan yang akhirnya berguna juga." Ia memandangi piring yang sudah mulai dingin di hadapannya. "Yuk, kita nikmati makanan kita sekarang. Malam ini terlalu dramatis kalau dilewatkan dengan lapar."
Mereka bertiga tertawa kecil, mencoba mengembalikan suasana hangat, dan perlahan-lahan mulai menikmati makanan sambil tetap membahas kejadian tadi dengan nada ringan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!