Malam yang tak terduga

Bar yang remang-remang itu dipenuhi suara riuh pengunjung yang tertawa, bercanda, dan menikmati malam. Elfesta, dengan seragam kerjanya yang sederhana, berjalan cepat membawa nampan berisi minuman ke salah satu meja yang ada di sudut ruangan. Ia bekerja dengan cekatan, menghindari tatapan pria-pria yang sering kali terlampau berani menatap tubuhnya.

Elfesta berhenti di meja seorang pria paruh baya dengan jas mahal yang terlihat mabuk. Ia menatap Elfesta dengan senyum miring.“Akhirnya, pesanan saya datang juga,” pria itu bergumam sambil menyeringai. Tatapannya tidak pernah lepas dari tubuh Elfesta, membuat gadis itu merasa tidak nyaman. “Ini pesanannya, Pak,” ucap Elfesta sopan, meletakkan minuman di atas meja.

Ia ingin segera pergi, tapi pria itu menyentuh lengannya, menahannya.“Hei, jangan buru-buru. Temani saya bermain-main sebentar gadis kecil,” katanya, menekan cengkeramannya sedikit lebih keras.

Elfesta menegang. “Maaf, saya harus bekerja,” jawabnya sambil mencoba melepaskan tangan pria itu dari lengannya. Tapi, pria itu tidak menyerah. Ia malah menarik Elfesta lebih dekat, menatapnya dengan mata yang dipenuhi nafsu. “Kau tidak bisa menolak, kan? Bukankah ini juga bagian dari pekerjaanmu?ayolah jangan sok jual mahal jalang” ucap pria itu sambil tertawa kecil. Elfesta merasa muak. Ia mencoba menarik dirinya, tapi pria itu semakin berani. Tiba-tiba, tangan pria itu bergerak ke arah yang lebih jauh dari batasan dan mencoba memegang bokongnya. Elfesta tersentak, wajahnya memucat. Ia berusaha meronta, tapi pria itu menahannya lebih kuat. “Jangan sentuh saya!” Elfesta berteriak, mencoba menarik dirinya dengan sekuat tenaga, tapi sia-sia.

Tepat saat itu, sebuah suara keras membuyarkan semua. “Lepaskan dia!”Elfesta mendongak, melihat sosok yang familiar. Alvares, dosennya, berdiri dengan mata menyala marah. Tanpa menunggu lebih lama, Alvares menghampiri pria itu dan menarik kerah bajunya, memisahkannya dari Elfesta dengan satu gerakan cepat. “Kau dengar apa yang dia katakan?!” Alvares berteriak, tatapannya penuh dengan kemarahan yang membara. Tanpa ragu, Alvares menghantamkan tinjunya ke wajah pria itu, membuatnya terjatuh dari kursi.

“Aduh, kau tahu siapa aku?” pria itu berteriak marah sambil memegang wajahnya yang terluka. “Aku punya kekuasaan! Kau tidak akan selamat!”Alvares hanya menatapnya dingin. “Aku tidak peduli siapa kau. Tapi kalau kau berani menyentuh milik saya lagi, aku akan pastikan kau tidak bisa berkeliaran dengan bebas.” Alvares menarik napas, berusaha menahan amarah yang hampir meledak. “Sekarang pergi sebelum aku berubah pikiran.”

"Cih, sekalipun gadis itu milikmu, dia bisa saja ku beli" Ucap pria itu yang langsung di tonjok oleh Alvares. Pria itu segera bangkit dengan wajah merah padam, tapi dia tahu ini bukan saatnya melawan. Dengan ancaman yang tertahan di bibir, dia pergi, meninggalkan bar dengan kemarahan tertahan.

Elfesta masih berdiri kaku, terkejut dan bingung. Ia tidak pernah menyangka Alvares, dosennya yang selalu terlihat tenang di kampus, bisa sebegitu marah dan melindunginya seperti ini. “Pak… terima kasih…” ucapnya pelan, suara Elfesta bergetar. “Kenapa kau di sini, Elfesta?” tanya Alvares dengan suara yang lebih tenang, tapi tetap terdengar dingin. “Tempat ini bukan untukmu.” Elfesta menunduk, sementara Alvares memakaikan jas yang ia kenakan pada Elfesta. “Saya… butuh uang untuk biaya hidup, Pak. Beasiswa saya tidak cukup.”Alvares menatap Elfesta dengan mata yang sulit dibaca. “Dan kau pikir tempat ini adalah solusinya?” Elfesta terdiam membisu. Ia tahu ini bukan tempat yang ideal, tapi ia tidak punya pilihan lain.

“Saya harus melakukannya, Pak. Saya butuh uang.

”Bagaimana kalau aku melarangmu?” tanya Alvares tajam.Elfesta mendongak, menatap mata dosennya dengan sedikit pemberontakan.

“Anda tidak punya hak untuk melarang saya, Pak.” Alvares menghela napas panjang, merasa frustrasi. Ia tidak tahu bagaimana cara mengatasi situasi ini. Dengan gerakan cepat, Alvares menarik tangan Elfesta dan mencoba membawanya keluar dari bar. “Ayo, aku antar kau pulang."

"Pak, saya belum selesai bekerja!” protes Elfesta sambil mencoba melepaskan tangannya. “Tidak ada pembicaraan lagi,” ujar Alvares tegas. Namun, dalam kekacauan kecil itu, mereka tergelincir. Elfesta terjatuh tepat di atas tubuh Alvares, dan tanpa sengaja, bibir mereka bertemu. Ciuman yang tidak disengaja itu membuat dunia terasa berhenti sejenak.Elfesta langsung bangkit dengan wajah memerah, merasa malu dan marah pada saat yang bersamaan. “Ini… ini semua salah Anda!” teriaknya, suaranya bergetar antara kesal dan malu. “Bibir saya... ciuman pertama saya…”

Alvares menatap Elfesta dengan mata yang sulit dibaca, seketika itu juga Elfesta mengeluarkan cairan bening dari matanya. Membuat Alvares memiliki campuran perasaan bersalah dan sesuatu yang lebih dalam. Ia bangkit perlahan, mengusap pakaiannya yang berantakan. “saya... tidak bermaksud begitu.maaf" Ucap Alvares yang kebingungan.

“Tentu saja tidak!” Elfesta mendengus kesal,ia segera menghapus air matanya, wajahnya masih merah padam. “Sekarang saya tidak mau lagi mendengar omelan bapak soal pekerjaan saya!” Alvares menatap Elfesta dengan lebih lembut kali ini, menyesali ketegangan yang terjadi. “Elfesta, aku hanya tidak ingin kau terluka.”

“Tapi saya butuh uang, Pak. Saya tidak bisa berhenti begitu saja,” Elfesta bersikeras, meskipun hatinya masih berdebar keras karena insiden ciuman tadi.

Alvares menggelengkan kepala, menahan amarahnya yang tampak berusaha dia redam. “Kau tahu siapa pemilik bar ini?” Elfesta mengangkat bahu, sedikit bingung dengan pertanyaan itu. “Tidak, Pak. Yang saya tahu, saya hanya bekerja di sini. Pemiliknya jarang terlihat.” Alvares tersenyum tipis, namun senyuman itu lebih seperti ekspresi pahit daripada keramahan. “Pemilik bar ini adalah aku, Elfesta.” Elfesta tercengang. Dia terdiam beberapa detik, mencoba mencerna apa yang baru saja dia dengar. “Apa? Maksud Anda… bar ini milik Anda, Pak?”

“Iya,” jawab Alvares tegas. “Aku membeli tempat ini beberapa tahun lalu sebagai investasi. Dan aku tidak pernah menyangka salah satu mahasiswiku yang suka terlambat bekerja di sini, terlebih lagi kau.” Elfesta merasa lidahnya kelu. “Kenapa Anda tidak bilang dari awal?”

“Karena aku tidak ingin mengungkapkan hal ini, apalagi pada orang lain termasuk kau sebagai mahasiswiku” Alvares mengusap wajahnya, tampak lelah.

“Aku selalu menjaga batasan antara kehidupan pribadi dan profesional. Tapi setelah melihat apa yang terjadi padamu semalam, aku tidak bisa diam saja.”

Elfesta terdiam, menatap gelas di depannya. “Jadi… bapak ingin saya berhenti karena bar ini milik Anda?apa bapak membenci saya karena saya tidak patuh saat di kelas?"

“Bukan hanya itu, Elfesta. Ini bukan soal aku atau tempat ini. Ini tentang kau,” kata Alvares dengan suara yang lebih lembut. “Aku tidak ingin kau terluka atau berada dalam bahaya karena pekerjaan ini. Aku mengerti kau ingin mandiri, tapi ada cara lain yang lebih aman.”

Elfesta menelan ludah, matanya mulai berkaca-kaca. Dia merasa bingung, antara marah karena merasa diperlakukan seperti anak kecil dan tersentuh oleh perhatian Alvares.

“Anda pikir saya bisa menemukan pekerjaan lain dengan mudah? Ini tidak semudah itu, Pak.” Alvares mencondongkan tubuhnya sedikit, menatap Elfesta dalam-dalam. “Aku tidak ingin memaksamu. Tapi aku juga tidak bisa diam melihatmu terus bekerja di tempat yang aku tahu tidak baik untukmu. Aku bersedia membantumu, apapun itu.”

Elfesta menggeleng pelan. “Saya tidak mau bantuan dari siapapun. Saya tidak mau berhutang budi.”

“Aku tidak menawarkan ini karena kasihan, Elfesta. Aku menawarkan karena aku peduli padamu. Sebagai dosenmu, sebagai… seseorang yang ingin melihatmu baik-baik saja.” Alvares mengucapkannya dengan suara rendah, tapi tegas.Elfesta menatap Alvares, merasakan kejujuran di balik kata-katanya. Tapi rasa gengsi dan kemandirian masih menghalanginya untuk menerima begitu saja. “Saya tidak tahu, Pak. Saya harus berpikir.”

“Pikirkan baik-baik. Aku tidak akan memaksamu. Tapi aku tidak akan berhenti melindungimu.” Alvares berdiri, meletakkan sebuah kartu nama di atas meja. “Ini nomor pribadiku. Hubungi aku kalau kau butuh apapun. Dan kalau kau memutuskan untuk berhenti, aku bisa membantumu menemukan pekerjaan yang lebih baik.” Elfesta meraih kartu nama itu dengan tangan gemetar. “Terima kasih, Pak. Saya akan memikirkannya. ”

Elfesta menatap kartu nama di tangannya. Nama Alvares terukir jelas, bersama dengan nomor telepon yang kini tampak lebih berarti dari sekadar angka. Mungkin, bantuan dari Alvares bukanlah bentuk kelemahan, melainkan awal dari sesuatu yang lebih baik.

“Kalau begitu, aku akan mengantarmu pulang. Kita bicarakan ini di lain waktu.”Tanpa berkata lebih banyak, Alvares menarik Elfesta ke arah mobilnya. Mereka berdua duduk dalam diam selama perjalanan. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing, merasakan ketegangan yang tidak pernah mereka bayangkan akan terjadi di antara mereka.Sesampainya di depan kos-kosan Elfesta, Alvares mematikan mesin mobil dan menatap Elfesta. “Elfesta, kalau kau ada masalah, hubungi aku. Jangan ragu, mengerti?” Elfesta hanya mengangguk kecil, masih merasa kesal namun tidak bisa mengabaikan perhatian Alvares. “Baik, Pak.”

Alvares mengulurkan tangannya, menyentuh kepala Elfesta dengan lembut. “Hati-hati. Dan jangan bekerja di tempat itu lagi.”Elfesta menunduk, perasaan bergejolak di dadanya. “Saya tidak bisa janji, Pak.” Alvares tersenyum tipis. “Kalau begitu, setidaknya pastikan kau tidak dalam bahaya. Selamat malam, Elfesta.” Elfesta keluar dari mobil dengan langkah berat, menatap Alvares yang masih duduk di dalam mobilnya. Dia tahu malam ini adalah awal dari sesuatu yang rumit antara dirinya dan dosennya, sesuatu yang tidak bisa lagi dihindari.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!