Setelah mereka bertiga keluar dari ruang kelas mereka pun menuju parkiran
"Lu tuh ya El, nyebelin. Narik-narik tangan gue gitu, padahal gue lagi menikmati pemandangan pria tampan. Sakit tau," gerutu Aca sambil mendengus kesal.
"Lagian kalian berdua ngeselin!" balas Elfesta tak mau kalah.
"Udahlah, bestie-bestie gue yang paling cakep. Stop debat nggak penting. Btw, malam ini malming nih, jomblo juga. Yuk nongkrong! Siapa tau ketemu abang-abang yang bening. Hihi." Ajak Ara ceria.
"Setuju! Mending nongkrong daripada bengong di kosan, berasa mengheningkan cipta terus," kata Aca mengangguk.
"Yaudah deh, apa sih yang nggak buat kalian," sahut Elfesta sambil tersenyum kecil.
"Idih, gombal. Sorry ya, kagak baper. Ya kan Ra?"
"Iyeee, kalau cogan yang gombal baru deh meleyot," timpal Ara.
" Auah ngeselin, tapi yaudah deh mau gimana pun juga kalian kan Bestie guee, Eh ra gue jadi keinget pertemuan pertama kita deh. Itu loh waktu lu ospek, sumpah gue ngakak banget. Waktu itu Lu malah pake topi bentuknya lain. padahal di suruh topi tani, mana pas lagi baris sepatu lu kayak minta makan lagi hahaha ...gak kuat gue, apalagi tu dulu pas aca di tanyain apa malah di jawab apa, mana mukanya mau nangis. Untung gue lupa fotoin lu berduaa kalau gaa kan bisa buat pamer ke calon husbu kalian di masa depan." Ujar Elfesta mengenang awal pertemuan mereka sembari tertawa.
" Stop ya, malu gue tapi syukur ada lu yang bawa sepatu cadangan El, entah deh gue gak tau apa isi otak lu yang bawa apa-apa gak pernah satu, mirip doraemon. Tapi di situ gue makasih banget sama lu." Ucap Ara sambil memeluk El.
" Lu juga baik ma gue El kalau gak ada lu gue udah nangis, ini karna mulut ketus lu huwaa makkk kenapa gue ketemu sahabat kayak gini, tapi udah deh lop u, ikut peluk jugaaaa." Balas aca yang ikut berpelukan bersama Ara dan El bak teletubis.
" Udah-udah jangan mewek, ayo pulang ntar malam kan mau nongkrong, eh iya nongkrong di tempat biasa kan, Kafe moonlight?"
" Yoi bestie, yaudah kalau gitu kami luan ya raa, papay araaa."
" Papay juga ."
Malamnya, Elfesta dan Aca tiba di Kafe Moonlight, tempat favorit mereka bertiga. Ara sudah duduk di pojok dekat jendela, melambai saat melihat mereka datang.
Setelah saling sapa dan berbincang ringan, Elfesta berdiri.
"Ara, Aca, pesen apa nih?" tanyanya sambil membuka notes di HP.
"Aku mau latte dan sandwich tuna," jawab Aca.
"Aku ambil cappuccino dan salad buah," kata Ara dengan senyum.
Elfesta melangkah ke kasir. Tapi langkahnya terhenti sejenak. Di meja dekat kasir, duduk Pak Alvares, dosennya. Kali ini tidak sendirian—di hadapannya seorang wanita anggun dengan penampilan elegan dan sensual, mengenakan dress hitam simpel yang pas di tubuh.
'Itu... dosen gue?' batin Elfesta sedikit gugup. Matanya beradu sebentar dengan pria itu, tapi ia segera mengalihkan pandangan, pura-pura tidak mengenalinya.
Setelah memesan, Elfesta kembali ke meja.
"Lo gak akan percaya siapa yang gue lihat," bisiknya sambil duduk.
"Siapa?" tanya Ara penasaran.
"Pak Alvares. Duduk di sana. Sama cewek yang... gila, seksi banget," kata Elfesta pelan, melirik ke arah mereka.
"Yah... patah hati gue," keluh Aca, menunduk pura-pura sedih. "Gue kira dia single."
"Mana ganteng pula, dan ceweknya seksi. Sakit di hati tapi gak berdarah," sahut Ara.
"Udahlah," kata Elfesta, pura-pura cuek. "Dosen doang. Gak penting. Kita di sini buat have fun, bukan buat ngelamunin cowok unavailable."
Beberapa menit kemudian, seorang barista mengantarkan makanan. Tapi ada yang aneh.
"Loh... kok ini bukan salad buah?" tanya Ara heran.
"Ini juga bukan latte gue, sandwich gue kemana dan... ini kayak jus alpukat?" Aca mengernyit.
Mereka bertiga baru sadar, pesanan tertukar.
Dan seolah semesta ingin tambah ribet, suara panik terdengar dari arah meja Pak Alvares.
"Ini gak bisa diterima! Teman saya alergi tuna—dia sudah bereaksi!"
Elfesta langsung berdiri. “Aduh… jangan-jangan sandwich Aca nyasar ke sana.”
Dengan cepat Elfesta menghampiri meja itu. Napasnya sedikit tersengal karena panik, tapi wajahnya tetap tenang. Seorang wanita yang duduk bersama Alvares tampak mulai menunjukkan gejala alergi—kulitnya memerah, matanya berair, dan napasnya mulai berat. Tangannya bergetar ketika meraih gelas di depannya, tapi gagal menggenggam dengan mantap.
"Maaf, Pak. Sepertinya ada kesalahan. Itu seharusnya bukan pesanan Anda," kata Elfesta dengan suara setenang mungkin.
Pak Alvares, yang awalnya terlihat santai, kini menatap Elfesta dengan sorot mata tajam. Rahangnya mengeras.
"Kenapa bisa ada keteledoran seperti ini di kafe ini? Kamu tahu, kan, gimana kondisi teman saya sekarang?" katanya dengan nada menahan amarah. "Dia alergi berat terhadap Seafood! Kalau telat penanganannya, ini bisa fatal!"
Elfesta tidak mundur. Ia tetap berdiri tegak, meskipun jantungnya berdetak kencang. "Saya tahu, Pak. Saya juga punya alergi, jadi saya selalu bawa antihistamin. Saya bisa bantu, kalau Bapak izinkan," ucapnya cepat sambil membuka tas selempangnya dan mengeluarkan kotak kecil berisi obat.
Wanita itu mulai mengerang pelan. Tubuhnya condong ke depan, keringat mengucur di pelipisnya. Elfesta berlutut di sampingnya dan menyerahkan tablet antihistamin.
"Tapi kamu yakin ini aman?" tanya Alvares, masih tampak waspada.
"Percaya saya, Pak. Ini obat standar. Bisa bantu meredakan reaksi awal sebelum sempat ke dokter. Lebih baik daripada tidak sama sekali." Tatapan mata Elfesta tegas, tulus, dan penuh kepedulian. Ia menatap langsung ke mata wanita itu. "Mbak, minum ini, ya. Pelan-pelan saja."
Wanita itu mengambil obatnya dengan tangan gemetar dan meminumnya perlahan, dibantu Elfesta. Beberapa menit kemudian, gejala yang dialaminya mulai mereda. Warna merah di kulitnya memudar, napasnya kembali stabil meski masih sedikit berat.
Wajah Pak Alvares mulai melunak. Ketegangan di bahunya sedikit mereda. "Terima kasih, Elfesta. Tapi ini tetap nggak bisa dianggap sepele. Bisa saja berakibat jauh lebih parah."
Pada saat itu, waiter yang bertugas menghampiri mereka. Wajahnya pucat, kemejanya sedikit kusut karena gugup. "Saya... saya minta maaf, semuanya. Ini benar-benar kesalahan saya. Saya salah memberikan pesanan. Harusnya sandwich tuna tidak diberikan ke meja Bapak. Tapi saya keliru mencatat nomor meja. Saya benar-benar lengah dan tidak memeriksa ulang."
Pak Alvares menatap tajam ke arahnya. "Kamu sadar ini hampir merenggut nyawa seseorang?"
Waiter itu menunduk dalam. "Iya, Pak. Saya sangat menyesal. Ini kesalahan yang tidak bisa saya sangkal. Saya akan bertanggung jawab sepenuhnya."
Elfesta berdiri dan menengahi, mencoba meredakan ketegangan. "Waiter ini sudah minta maaf, Pak. Dan saya rasa ini bisa jadi pelajaran untuk kita semua—kesalahan sekecil apa pun di dunia kuliner bisa punya konsekuensi besar. Tapi tetap, teman bapak sebaiknya dibawa ke dokter secepatnya untuk diperiksa lebih lanjut."
Wanita itu mengangguk pelan. Meski masih lemah, ia tersenyum pada Elfesta. "Terima kasih... kamu penyelamat saya malam ini."
Alvares menghela napas dalam dan menatap Elfesta dengan pandangan yang sulit ditebak—campuran kagum dan lega. "Baiklah. Terima kasih atas pertolongannya. Dan untuk kamu..." katanya, menatap barista yang masih gemetar. "Saya tidak akan memperpanjang masalah ini. Tapi pastikan, mulai sekarang, tidak ada kesalahan seperti ini lagi. Periksa ulang setiap pesanan. Pahami bahwa pekerjaanmu menyangkut nyawa orang lain."
Waiter itu mengangguk berulang kali. "Terima kasih, Pak. Terima kasih banyak. Saya akan pastikan hal ini tidak terulang lagi. Jika ada sesuatu yang bisa kami lakukan untuk memperbaiki situasi, silakan beri tahu kami."
Wanita yang duduk bersama Alvares kembali menatap Elfesta. Kali ini dengan tatapan penuh syukur dan haru. "Terima kasih, ya. Kamu benar-benar cepat tanggap."
Setelah situasi sedikit tenang, Alvares membantu temannya berdiri dan mereka meninggalkan kafe.
Elfesta kembali ke mejanya. Aca dan Ara langsung menyambutnya dengan ekspresi campuran antara kagum dan syok.
"Lu hebat, El," kata Ara pelan.
"Iya, sumpah. Lu tuh bener-bener tahu cara ngadepin situasi darurat, padahal yang dihadapi tuh—dengan segala hormat—kayak kulkas dua puluh pintu, dingin banget!" tambah Aca sambil tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.
Elfesta hanya menghela napas dan tersenyum tipis. "Gue cuma ngelakuin apa yang harus gue lakuin. Dan untungnya gue selalu bawa antihistamin, kebiasaan yang akhirnya berguna juga." Ia memandangi piring yang sudah mulai dingin di hadapannya. "Yuk, kita nikmati makanan kita sekarang. Malam ini terlalu dramatis kalau dilewatkan dengan lapar."
Mereka bertiga tertawa kecil, mencoba mengembalikan suasana hangat, dan perlahan-lahan mulai menikmati makanan sambil tetap membahas kejadian tadi dengan nada ringan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
kawaiko
Ceritanya begitu memukau, sulit dilupakan.
2024-07-21
1