Dhiya Kharya wanita yang tegar yang berusia 25 tahun itu terus mengatakan yang sebenarnya, antara ia dan mendiang nyonya Afsheen.
"Mas! Aku sendiri tidak tahu, kalau Ibu berencana menjodohkan kita," rintihnya. "Kalau Mas tidak mau. Lalu, kenapa Mas yang datang melamarku? Dhyia menatap lelaki yang masih membelakanginya. "Tapi, sekarang..., setelah semuanya terjadi, di malah Mas yang menuduhku," lanjutnya dengan deraian air mata. "Kenapa Mas setega itu terhadapku?" tanyanya dengan nada suara serak dan air mata. "Mas yang mendahulukannya. Tapi, Mas yang menyalahkanku. Kenapa Mas? Kenapa!?" teriaknya terus bertanya. "Seharusnya, Mas menolaknya dan mengatakan yang sebenarnya pada 'ku. Huhuhu!" Dhyia terus menangis tersedu-sedu. "Mungkin aku akan mengerti," katanya lagi sambil menangis, menatap punggung lelaki yang enggan untuk menoleh ke arahnya dengan kedua bola mata berkaca-kaca.
"Alah! Jangan banyak bicara kamu!" bentaknya dari depan, bingung karena terjebak dengan pertanyaan sang istri. "Aku tau? Kau senangkan?" lanjutnya bertanya balik. Menarik dasi yang melingkar di kerah bajunya dengan kasar. "Itu cuma alasanmu saja. Karena aku tau. Kau ingin tinggal di rumah yang besar ini, 'kan?" Dia kembali melayangkan pertanyaan miring, memutar badan menatap ke arah sang istri dengan pias.
Suara isak tangis bercampur sesenggukan masih terdengar membelenggu jiwa, meski pelan.
"Astaghfirullah, Mas. Aku engga pernah sedikit pun, menginginkan hartamu," jawabnya dengan nada suara yang serak dan tenggorokan perih. "Aku tau aku bukan siapa-siapa. Dan aku tidak sepadan dengan kalian. Tapi, aku tulus menikah denganmu. Bukan karena hal yang lain. Apalagi seperti yang kamu tuduhkan!" lanjutnya dengan tegas. Menatap suaminya yang bermuka masam dengan kedua bola mata memerah.
Dari bawah suara pertengkaran mereka kembali terdengar oleh Benar. Benar yang sedang menyusun dan merapikan vas bunga, menaikkan kepala, menatap ke lantai atas tepat ke arah kamar nyonya dan tuan mudanya.
membelenggu jiwa. "Tapi, kenapa Mas yang datang memberiku penawaran pernikahan? Kalau Mas tidak setuju..., kenapa Mas mendahulukannya?" tanyanya dengan nada suara bercampur serak dan air mata. "Kenapa Mas?" tanyanya kembali berdiri menatap punggung pria yang enggan untuk membalik ke belakang untuk menoleh ke arahnya walau hanya sebentar. "Seharusnya Mas menolaknya dan mengatakan yang sebenarnya pada 'ku, huhuhu!" Dhyia terus menangis tersedu-sedu.
"Betul, Mas. Nyonya yang membujukku agar mau menikah denganmu. Dia memohon supaya aku mau menjadi istrimu." Dhyia mengungkapkan semuanya dengan pilu.
Sebenarnya pada saat itu ia ingin menghilangkan rasa cintanya terhadap lelaki itu.
dari dari dalam lubuk hatinya yang pada saat itu. Sebenarnya ia ingin menghilangkan rasa cintanya terhadap Ilker Can Carya. "Ibu, memohon, Mas. Supaya aku mau menikah dengan mu." Dhiya Kharya menatap sang suami yang memutar badan berdiri membelakanginya kembali sambil menaruh tangan di kedua saku celananya.
"Itu hanya alasanmu saja! Supaya aku bersimpati padamu, iya 'kan?" balas Ilker, membelakangi sang istri kembali sambil menaruh kedua tangan di saku celana. "Kalau kau mau tinggal di sini, bilang saja! Aku akan mengizinkanmu untuk tinggal di sini. Tidak perlu kau harus menikah dengan 'ku!" tandasnya enteng. Menjatuhkan pandangannya ke bawah, melirik sedikit ke arah wanita yang masih berdiri di belakangnya.
Dari atas suara keributan masih terus menggema memenuhi langit-langit ruangan. "Kasihan, Nyonya. Dia selalu di salahkan terus ," gumam Benar, menatap ke lantai atas. Berjalan meninggalkan vas bunga yang sudah tertata rapi.
Pertengkaran yang terjadi di antara mereka berdua setiap hari membuat telinga Benar dan pak Altan semakin sakit, bahkan suara itu semakin hari semakin memekik terdengar hingga ke dapur yang membuat jantung pak Altan terkadang ingin copot. Terutama suara Ilker.
"Seperti biasa mereka selalu ribut?!" kata pak Altan yang berjalan keluar membawa gelas sambil melihat ke arah sumber suara.
"Mas, kenapa sih? Kamu itu gak pernah percaya samaku?" tanya Dhiya lagi. Tangisan yang belum juga usai. "Asal Mas tau? Aku juga gak pernah mau hal ini terjadi!" lanjutnya, menunduk dengan butiran kristal yang berjatuhan membasahi lantai. "Kalau saja aku kayak gini akhirnya. Sekuat apa pun, Tante dulu memaksaku. Aku gak akan pernah mau!" katanya lagi dengan linangan air mata.
Ilker Can Carya pemuda yang berusia 37 tahun itu terus berdiri tegak lurus, menutup rasa belas kasihannya terhadap wanita itu.
"Kau sangat pandai mencari simpati," ucapnya ketus. "Wanita, seperti mu itu, hanya topeng. Berpura-pura baik di depan orang yang baik denganmu," sindirnya dengan pedas dan langsung mematahkan kembali hati Dhyia. "Kalau kau mau. Aku bisa mencarikan untukmu laki-laki yang lebih kaya," ucapnya, memutar badan menatap istrinya yang sudah bermandikan air mata.
"Tapi laki-laki itu bukan aku!" tegasnya.
Hatinya berdenyut nyeri ketika pria yang menjadi suaminya mengatakan itu.
"Mas, kalau saja kau tau? Aku sebenarnya sangat mencintaimu," katanya di dalam hati sambil mengelap air mata dengan tangannya. Memutar badan melangkah mendekati tempat tidur. Menatap nanar keluar jendela sambil mengulang mengingat semua.
Meski sebenarnya hati kecilnya perih mendengar keluh kesah wanita yang sudah ia nikahi. Akan tetapi, ia enggan mengakuinya. Dikarenakan cinta butanya terhadap wanita masa lalunya yang membuatnya lupa dan menjadikannya pria yang kasar. Tetapi ia masih menaruh rasa iba walau itu cuma sedikit.
"Setiap aku datang ke rumah ini! Kau selalu menangis. Lama-lama aku bisa gila!" katanya, mendengus kesal. "Kau itu semakin menambah masalahku menjadi besar!" sentilnya, sambil memijat-mijat kening dengan kuat. "Hari ini alasanmu itu! Besok, apalagi alasanmu." Melemparkan dasinya dengan kasar ke lantai. "Aku muak melihatmu!" sentaknya, meninggalkan sang istri dan masuk ke dalam kamar mandi.
Braugh!
Deg!
Dhiya Kharya pun terkejut ketika mendengar pintu yang terhempas dengan kuat . Sontak jantungnya ingin copot seketika. Memutar kepala melihat ke arah pintu. Pria yang ia kenal dulu tidak pernah melakukan hal sekasar itu sebelum pernikahan, pikirnya. Menelan saliva dengan kasar.
"Dhiya!" teriak Ilker dari dalam kamar mandi.
Dhiya yang ingin mengambil tas sontak menghentikan tangannya setengah mengayun di udara, memutar kepala menoleh ke arah sumber suara. "Iya, Mas," sahutnya, mengambil tas segera dan meletakkannya di dalam lemari kaca, khusus tempat penyimpanan barang-barang milik sang suami. "Ada apa, Mas?" tanyanya dengan nada suara lembut bercampur serak. Menghampiri pintu kamar mandi.
"Apa lampunya mati?" teriak Ilker bertanya dari dalam. Menutup kedua matanya dengan rapat demi menahan perih air shampo yang menetes.
"Tidak, Mas," jawab Dhyia pelan.
"Lalu kenapa shower nya mati?" tanyanya lagi dengan kesal. Mengerjitkan kedua mata sambil menggoyang-goyang tangkai shower.
"Aku tidak tau, Mas. 'Kan, Mas yang mandi di dalam," jawab Dhiya enteng dari balik pintu.
"Aaagh, cih! Sial!" Erang Ilker, memukul handuk yang tergantung di dinding. " Hari ini gak ada yang menyenangkan, cih!" katanya lagi dengan kesal, mencuci mukanya dengan air shower yang mulai menetes.
Dhiya yang masih berdiri di depan pintu mendadak panik sebab ia tidak mendengar lagi suara lelaki itu. "Mas! Apa airnya sudah hidup?" tanyanya balik dengan nada suara khawatir.
"Sudah, pergi sana! Jangan sebut-sebut namaku!" sentaknya dari dalam.
Sekali lagi Dhyia diam menutup mulutnya dengan rapat. Pernikahan semakin hari semakin membuatnya tersiksa seakan ia tidak sanggup lagi untuk hidup. "Apa pernikahan ini harus aku akhiri saja?" gumamnya bertanya pada dirinya sendiri. "Rasanya, aku sudah tidak kuat lagi hidup dengan orang yang selalu menyalahkan dan menuduhku yang bukan-bukan setiap hari." Menyeret kedua kaki mengambil dasi yang teronggok di lantai.
Jeglek!
Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka yang membuat Dhyia kembali terkejut. Ilker yang tadi menjerit, seperti orang yang kebakaran jenggot, berjalan dan membuka lemari.
"Mas, kamu mau ke mana?" tanya Dhiya, menaikkan tubuhnya sambil memegang dasi.
Ilker langsung melayangkan tatapan tajam dengan raut muka masam penuh kebencian . "Kau tidak perlu tau! Dan kau tidak perlu repot-repot mengurusku!" jawabnya.
"Mas! Aku, 'kan istrimu. Jadi, sudah sewajarnya aku bertanya. Aku juga harus tau. Kalau Mas, mau pergi ke mana?" tanya Dhiya lagi, mengikuti langkah pria itu dengan kedua bola mata sembab.
"Urus saja dirimu sendiri," balasnya dengan ketus, membuka lemari. "Dari dulu sampai sekarang kita sudah sepakat untuk tidak saling mengurusi satu sama lain," ucapnya, mengambil baju kesukaannya, pemberian dari sang pujaan hati sebagai hadiah ulang tahun. Berjalan ke ruangan ganti dengan handuk yang menutupi setengah tubuhnya.
Dhyia langsung diam seribu bahasa. Berdiri tegak lurus, seperti patung. Mendengarkan omongan itu dengan ikhlas.
Ilker kemudian menghentikan langkahnya lagi, memutar badan ke belakang. "Kau tidak perlu mengurusku," ucapnya sekali lagi mengulangi, menutup pintu dengan kasar.
Di dalam kamar ganti ia masih saja terbayang-bayang wajah istrinya yang menangis tadi. Entah kenapa tanpa sengaja wajah itu hadir di hadapannya? Rasa sedih dan tidak tega tiba-tiba menganak di dalam hatinya.
.
.
.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 160 Episodes
Comments