Dhyia Kharya hanya diam saja sambil berjalan dan memasukkan dasi ke dalam mesin cuci. Dia tidak pernah mendapati atau pun mendengar suaminya berpesan pada bi Benar untuk menjaganya.
Akan tetapi, Dhyia tetap tersenyum menahan sedih di dalam hati. "Terima kasih, Bi. Sekarang kembalilah bekerja!" perintahnya memutar badannya dengan rileks, seolah ia baru pertama kali mendengar itu. Berdiri di sebelah meja makan sambil menarik kursi. "Bi, jangan lupa! Dasinya di cuci pakai tangan, ya!" pintanya dengan lemah lembut.
"Baik, Nyonya," jawab Benar, meninggalkan Dhyia. "Kalau begitu saya permisi dulu," pamitnya.
Bi Benar kembali bekerja membersihkan dapur yang masih berantakan dan tidak lupa sesekali ia melirik nyonya mudanya dari ekor mata yang tampak murung. Diikuti tangan mengelap meja.
Meja makan yang sering digunakan oleh majikannya untuk bertengkar dielapnya sampai mengkilat. "Ini meja harus sekilat mungkin. Supaya, Tuan memujiku," katanya di dalam hati. Teringat belakangan ini sikap tuannya telah berubah.
Rumah yang besar dan halaman yang luas terlihat sunyi, seperti tak berpenghuni. Dhyia Kharya melihat halaman yang dulu sering dilaluinya saat bersama nyonya Afsheen kala itu.
Segaris senyuman berat pun, terukir di wajahnya yang cantik ketika terbayang tawa sang nyonya. Memegang gelas yang ada di atas meja.
"Bi, halaman itu terlihat kotor," singgungnya, memutar duduk miring sambil menuang air ke dalam gelas, melihat halaman yang hijau.
"Pak Altan belum datang, Nyonya," jawab Benar langsung sambil menyimpan kain lap.
"Kenapa Pak Altan belum datang? Apa dia sakit?" tanya Dhyia, meneguk air minum.
"Saya kurang tau, Nya. Tapi, semalam Pak Altan bilang, "Kalau dia agak terlambat datang." Benar menoleh ke arah Dhyia yang sedang memegang gelas. "Mungkin, pak Altan lagi ada masalah?" lanjutnya, merapikan wastafel serta menaruh tempat sabun cuci piring ke tempatnya.
"Ada masalah?" tanya Dhyia terheran. "Kalau Pak Altan ada masalah. Kenapa kamu gak pernah cerita sama saya?" tanyanya kembali sambil meneguk minum hingga habis.
"Maaf, Nyonya! Saya tidak berani mengganggu, Nyonya," kata Benar lagi. Meninggalkan wastafel dan menyusun piring yang bertumpuk ke dalam rak piring yang terkunci.
Dhyia Kharya tertunduk diam. "Bi, maaf 'kan saya, ya! Karena belakangan ini. Saya tidak mempedulikan kalian lagi," sesalnya.
"Tidak apa-apa, Nyonya! Kami tidak pernah berpikiran, seperti itu. Kami tidak pernah merasa diabaikan. Asalkan Nyonya baik-baik saja, kami sudah senang," balas Benar dengan sopan. Menutup rak piring dan mengelapnya sampai kilat.
"Saya tau kalau kalian akan mengatakan hal itu," balas Dhyia. "Memang belakangan ini saya lebih memfokuskan ke diri saya sendiri. Jadi, secara tidak langsung saya sudah mengabaikan kalian," ungkapnya dengan sendu. Diikuti kedua bola mata menatap nanar sebuah pohon yang di tumbuhi rumput.
Benar kembali menatap nyonya mudanya dengan penuh rasa kasihan sambil menaruh kain lap ke dalam keranjang.
Selama gejolak yang terjadi di dalam pernikahannya ia tidak pernah lagi mengawasi asisten rumah tangganya. Apakah ada yang sakit atau kesulitan ekonomi? Semua hilang dari ingatannya begitu saja demi menjalankan amanah yang diemban.
Memutar badan menenangkan diri di meja makan sambil menaruh gelas yang sudah kosong di sampingnya, kembali ia melirik pohon yang selama ini ia rindukan.
Ditengah lamunan mengenang masa lalunya yang sudah jauh berputar seratus delapan puluh derajat, membuatnya gugup akan dirinya ke depan. Menatap kulkas dengan yang tertutup malu. "Kulkas itu, semenjak kepergianmu tidak lagi terbuka," katanya, menatap kulkas yang dulu sering dibukanya dengan sendu.
"Nyonya," teriak Benar tiba-tiba berlari meninggalkan pekerjaannya sambil membawa sebelah sepatu tuan mudanya.
Membuyarkan lamunan Dhyia seketika. "Ada apa, Bi?" tanyanya terkejut sambil menoleh ke arah Benar yang berlari, seperti orang yang ketakutan.
"Tuan. Nyonya.... ," kata Benar pucat menutup mulut rapat.
"Tuan? Emang Tuan, kenapa?'' tanya Dhyia lagi penasaran. "Ada apa dengan Tuan?" Dhyia bertanya balik dengan gurat wajah panik, memutar duduk ke arah Benar yang ngos-ngosan.
"Tuan sudah pulang," jawabnya langsung dengan bercampur aduk, membayangkan nyonya dan tuannya akan bertengkar lagi.
"Bi! Kalau Tuan muda sudah pulang, engga harus kayak gitu!" tutur Dhyia dengan lemah lembut. " 'Kan saya jadi, panik," lanjutnya tersenyum sambil menarik napas pelan.
"Maaf, Nya! Saya gak sengaja," ucap Benar menunduk malu dengan rasa bersalah sambil memegang sebelah sepatu tuan mudanya.
"Ya, sudah! Sekarang Bibi pergilah lanjutkan lagi pekerjaannya! Biar saya yang akan mengurus, Tuan," kata Dhyia bangun dari duduknya.
Hari yang sudah hampir mau siang. Dhyia Kharya pun berjalan ke depan pintu utama. Menyeret kedua kaki dengan hati yang bercampur aduk. Untuk saat ini, dia harus bisa semaksimal mungkin menyambut sang suami dengan senyuman yang ramah, meski ia tau ia akan mendapatkan perlakuan yang tidak baik.
"Wa'alaikumussalam, Mas," sapanya langsung membuka pintu sebelum pria itu mengucapkan salam. Berdiri sambil mengulurkan tangan untuk menyalam suaminya.
Namun, sayang Ilker tidak menoleh sama sekali. Dia malah melangkah masuk dan cuek, berjalan terus sambil membawa tas dan tidak menyambut uluran tangan itu.
Sungguh perih rasanya bagi Dhyia, berdenyut nyeri di dalam hati. Namun, ia tetap tersenyum, meski sebenarnya senyum itu sangat sulit untuk ia tunjukkan walau hanya pada dinding yang bisu.
"Mas, kenapa kamu pulangnya cepat?" tanyanya, berjalan mengikuti sang suami menaiki tangga. "Mas, apa ada masalah?" tanyanya lagi, mengejar lelaki yang berjalan kencang itu.
Jeglek !
Pintu pun terhempas dengan kasar. Spontan Ilker memutar badan dengan muka yang kesal. "Masalahnya itu kamu!" katanya langsung menunjuk Dhyia. "Gara-gara kamu! Aku semakin sulit untuk bertemu, Yilzid!" pekiknya, melemparkan tas di atas tempat tidur. "Kalau saja kau dulu tidak menyetujui perjanjian itu. Aku pasti sudah menikah dengannya?!" ungkapnya lagi membuat sang istri terpojok di depan pintu. "Sewaktu Ibuku masih hidup? Apa yang kau katakan padanya, ha? Sampai-sampai dia menyuruhku untuk menikahimu!" serangnya lagi dengan nada suara yang tinggi. "Kau tau? Sampai saat ini? Aku gak pernah menerima pernikahan ini! Apalagi melihat mukamu itu, cih!" sindirnya dengan ejekan yang pahit, membuang mukanya seketika dari sang istri.
Dhyia bagaikan tersambar petir. Dia tidak menyangka kalau lelaki yang selama ini hanya diam saja dan cuma bersikap dingin terhadapnya sekarang malah terang-terangan membentak.
"Mas... ," panggilnya dengan nada suara lirih, menutup kedua bibir dengan rapat. Diikuti tangan kanan menyeka air mata. Menatap punggung lelaki yang kekar itu.
"Aku tidak ngomong apa-apa. Pada saat itu aku hanya diam saja. Aku ingin menunggu keputusan dari, Mas. Tapi apa? Mas langsung mengangguk dan tanpa memikirkannya dulu!" kata Dhyia.
.
.
.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 160 Episodes
Comments