Love Challenge

Love Challenge

Bab 1 Part 1

"Pergi dan kerja di pedalaman?" Dea menatap heran ke arah temannya. "Kenapa kita mau melakukannya?"

"Kenapa?" Emily balik bertanya, sama herannya. "Bisa-bisanya kau bertanya begitu, Dea? Setiap orang ingin bekerja di pedalaman. Di sana indah!"

"Bukan indah tapi gersang, kali."

"Di sana banyak pria kekar yang berkuda dengan topi dan sepatu bot berdebu."

"Banyak lalat," kata Dea, tidak terkesan.

"Jangan begitu dong, Dea." Emily meninggalkan pelanggannya dan menarik kursi supaya ia bisa duduk berhadapan dengan temannya. "Ini kesempatan sekali seumur hidup! Sudah lama aku ingin pergi dan bekerja di peternakan."

"Kenapa sih?"

"Karena di sana berbeda, romantis, dan indah," jawab Emily antusias, sambil menggerak-gerakkan tangannya dengan cepar. "Lagi pula," terusnya, tampak jelas sedang mencari-cari alasan, "ini turun-temurun dalam keluargaku."

Dea memandang Emily dengan mata terbuka lebar. Setahunya, Emily lahir dan besar di London, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan daerah pedalaman. "Sejak kapan?"

"Ibuku orang Australia," sahut Emily bangga.

"Dari Melbourne. Itu sama sekali bukan pedalaman Australia, kan!"

"Yah, nenekku dibesarkan di peternakan," aku Emily berusaha mempertahankan diri.

"Nenekku dibesarkan di Leamington Spa, tapi tidak berarti aku ingin pergi dan bekerja di sana."

"Leamington Spa tidak dipadati pria yang tahu cara melempar **** dan bergulat menjatuhkan banteng ke tanah hanya dengan satu tangan, ya kan? Pria sejati Dea, tidak seperti para pria di sini."

Emily melihat ke seputar bar tempat ia bekerja sebagai pelayan dengan pandangan merendahkan. Ia mengenakan celemek putih panjang, tak acuh pada pelanggan di meja terdekat yang mencoba menarik perhatiannya.

Dea mengikuti arah pandangan temannya. Di Minggu malam itu bar sangat berisik, disesaki oleh muda-mudi yang menikmati satu lagi akhir pekan yang menyenangkan di Sydney. Menurut Dea, setiap pria lajang di sana tampak jangkung, berdada bidang, dan pantas disukai. Itu kalau kau tidak sedang memulihkan diri sehabis didepak dari ketinggian yang amat sangat dan karenanya sama sekali tidak tertarik pada mereka.

"Apa yang salah dengan mereka?" tanyanya.

"Mereka semua pria kota," gerutu Emily. "Tidak ada bedanya andai kita ada di London."

Melalui jendela kaca, Dea bisa melihat Opera House. Atapnya yang terkenal itu berpendar di langit malam, dan pelabuhan dipenuhi kapal-kapal yang berlabuh, naik-turun karena ombak.

Seperti London? Menurut Dea sama sekali tidak. "Kau sudah pindah aliran ya?" katanya. "Baru sekitar seminggu lalu yang kaubicarakan cuma Marcus, dan dia sama halusnya dengan pria-pria itu."

"Terlalu halus," kata Emily, mengingat Marcus dengan geram. "Aku sudah kapok. Cukup sudah pria-pria seperti itu. Aku ingin pria yang punya sedikit keberanian dalam dirinya."

"Yah, kalau kau ingin yang berani, mungkin pedalaman memang tempat yang cocok buatmu." Dea menyeringai sambil mengangkat minumannya. Ia tidak sedang bertugas. "Dengar-dengar, di sana sangat berdebu."

"Aku serius, Dea." Emily mencondongkan badan untuk meyakinkan. "Ini bukan keinginan sesaat. Bahkan sebelum kita meninggalkan London, aku sudah bilang ingin melihat pedalaman sementara kita berada di sini, ya kan!"

"Kukira maksudmu perjalanan ke Alice Springs dan kunjungan ke Ayers Rock atau Uluru atau apalah namanya sekarang. Bukan terikat di peternakan!"

"Aku tak ingin jadi turis," kata Emily keras kepala, bibir bawahnya mencibir. "Aku ingin mengalami kehidupan yang sesungguhnya di pedalaman, apa ada yang lebih baik daripada tinggal selama beberapa minggu di peternakan?"

Dea bisa saja mengajukan banyak pilihan, sangat banyak malah.

"Ehm, kita tidak punya banyak waktu sebelum kita harus pulang ke London," katanya memberi alasan yang masuk akal. "Masih banyak yang perlu dilihat. Aku benar-benar tidak ingin menghabiskan sisa waktuku dengan tersangkut di tengah antah berantah. Pergilah kalau kau mau, nanti kau kutemui lagi. Toh kita sudah sepakat untuk tidak harus berdua setiap waktu."

"Aku tahu, tapi aku takkan dapat pekerjaan itu kalau kau tidak ikut," rengek Emily. "Mereka membutuhkan dua gadis, dan kalau kau tidak bersamaku, aku tidak mungkin mendapatkan pekerjaan itu."

"Kenapa mereka tidak bisa menerimamu dan mencari satu orang lagi?" tukas Dea.

"Karena peternakan itu sangat luas dan terisolir sehingga mereka tidak mau ambil risiko mempekerjakan dua gadis yang bisa jadi tidak cocok. Rupanya ini properti yang sangat terkenal di Australia." Emily berbinar, mengingat-ingat apa yang telah diceritakan kepadanya. "Ada yang bilang padaku peternakan ini seluas Belgia atau Wales ya? Pokoknya sangat besar deh, dan ada rumah induk tua yang indah... Persis seperti bayanganmu tentang properti pedalaman yang sempurna. Meskipun mereka terbiasa dengan orang yang bekerja hanya sebentar, Nick bilang mereka telah memutuskan kali ini akan mempekerjakan dua orang yang berteman."

"Siapa itu Nick?"

"Nick Sutherland. Dia pemiliknya, orang yang sangat menarik," kata Emily menghela napas penuh angan. "Pirang, kekar, dan berdagu persegi...benar-benar tipeku! Dan kalau kau tidak mau ikut denganku, dengan mudah dia akan mempekerjakan dua gadis lain. Aku tahu banyak orang berebut kesempatan untuk bekerja di tempat seperti Callula Downs," tambahnya dengan lirikan marah pada Dea, yang tidak terpengaruh. Ia sudah terbiasa dengan Emily.

"Mungkin mereka akan menemukan dua gadis yang benar-benar berguna di pedalaman," kata Dea. "Kurasa kita tidak akan banyak berguna buat mereka. Kita sama sekali tidak tahu tentang berkuda atau sapi atau apa pun yang mereka lakukan di sana."

"Mereka tidak membutuhkan gadis magang, mereka sudah punya orang untuk melakukan semua itu. Yang mereka butuhkan adalah koki dan guru pribadi."

"Guru pribadi?" Dea tertawa. "Kau bergurau! Kukira guru pribadi sudah tidak ada lagi sejak era Jane Eyre."

"Yah, aku juga merasa sedikit aneh," aku Emily, "tapi kurasa maksud sebenarnya adalah pengasuh anak, itu saja. Anak perempuan ini baru berumur lima tahun, jadi dia tidak membutuhkan pengajaran yang intensif. Kukira tugas kita lebih banyak mengawasi dan menjaga agar dia tetap senang."

Dea mulai tampak waspada. "Kita tidak tahu apa-apa tentang anak-anak!"

"Ah, pasti tidak sulit," Emily mengibaskan tangannya. "Bacakan beberapa cerita, pastikan dia tidak kehilangan boneka beruangnya...pasti gampang."

"Yah, aku tidak mau berurusan dengan anak itu," kata Dea tegas. "Anak-anak membuatku gugup."

"Tidak masalah. Aku yang akan mengurus bocah itu," Emily menenangkannya. "Kau cukup menjadi koki saja. Kau tahu untuk menyelamatkan hidupku pun aku takkan bisa memasak, sedangkan kau jagonya," ia melanjutkan dengan pujian yang berlebihan. "Saat kubilang pada Nick kau bekerja di katering, dia tampak sangat senang. Dia bilang merekq hampir tidak pernah mendapatkan koki yang berpengalaman dan... Oh, ayolah, Dea, katakan kau mau ikut. Ini sempurna, dan aku tidak bisa melakukannya tanpa kau. Ini menyenangkan."

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!