NovelToon NovelToon

Love Challenge

Bab 1 Part 1

"Pergi dan kerja di pedalaman?" Dea menatap heran ke arah temannya. "Kenapa kita mau melakukannya?"

"Kenapa?" Emily balik bertanya, sama herannya. "Bisa-bisanya kau bertanya begitu, Dea? Setiap orang ingin bekerja di pedalaman. Di sana indah!"

"Bukan indah tapi gersang, kali."

"Di sana banyak pria kekar yang berkuda dengan topi dan sepatu bot berdebu."

"Banyak lalat," kata Dea, tidak terkesan.

"Jangan begitu dong, Dea." Emily meninggalkan pelanggannya dan menarik kursi supaya ia bisa duduk berhadapan dengan temannya. "Ini kesempatan sekali seumur hidup! Sudah lama aku ingin pergi dan bekerja di peternakan."

"Kenapa sih?"

"Karena di sana berbeda, romantis, dan indah," jawab Emily antusias, sambil menggerak-gerakkan tangannya dengan cepar. "Lagi pula," terusnya, tampak jelas sedang mencari-cari alasan, "ini turun-temurun dalam keluargaku."

Dea memandang Emily dengan mata terbuka lebar. Setahunya, Emily lahir dan besar di London, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan daerah pedalaman. "Sejak kapan?"

"Ibuku orang Australia," sahut Emily bangga.

"Dari Melbourne. Itu sama sekali bukan pedalaman Australia, kan!"

"Yah, nenekku dibesarkan di peternakan," aku Emily berusaha mempertahankan diri.

"Nenekku dibesarkan di Leamington Spa, tapi tidak berarti aku ingin pergi dan bekerja di sana."

"Leamington Spa tidak dipadati pria yang tahu cara melempar **** dan bergulat menjatuhkan banteng ke tanah hanya dengan satu tangan, ya kan? Pria sejati Dea, tidak seperti para pria di sini."

Emily melihat ke seputar bar tempat ia bekerja sebagai pelayan dengan pandangan merendahkan. Ia mengenakan celemek putih panjang, tak acuh pada pelanggan di meja terdekat yang mencoba menarik perhatiannya.

Dea mengikuti arah pandangan temannya. Di Minggu malam itu bar sangat berisik, disesaki oleh muda-mudi yang menikmati satu lagi akhir pekan yang menyenangkan di Sydney. Menurut Dea, setiap pria lajang di sana tampak jangkung, berdada bidang, dan pantas disukai. Itu kalau kau tidak sedang memulihkan diri sehabis didepak dari ketinggian yang amat sangat dan karenanya sama sekali tidak tertarik pada mereka.

"Apa yang salah dengan mereka?" tanyanya.

"Mereka semua pria kota," gerutu Emily. "Tidak ada bedanya andai kita ada di London."

Melalui jendela kaca, Dea bisa melihat Opera House. Atapnya yang terkenal itu berpendar di langit malam, dan pelabuhan dipenuhi kapal-kapal yang berlabuh, naik-turun karena ombak.

Seperti London? Menurut Dea sama sekali tidak. "Kau sudah pindah aliran ya?" katanya. "Baru sekitar seminggu lalu yang kaubicarakan cuma Marcus, dan dia sama halusnya dengan pria-pria itu."

"Terlalu halus," kata Emily, mengingat Marcus dengan geram. "Aku sudah kapok. Cukup sudah pria-pria seperti itu. Aku ingin pria yang punya sedikit keberanian dalam dirinya."

"Yah, kalau kau ingin yang berani, mungkin pedalaman memang tempat yang cocok buatmu." Dea menyeringai sambil mengangkat minumannya. Ia tidak sedang bertugas. "Dengar-dengar, di sana sangat berdebu."

"Aku serius, Dea." Emily mencondongkan badan untuk meyakinkan. "Ini bukan keinginan sesaat. Bahkan sebelum kita meninggalkan London, aku sudah bilang ingin melihat pedalaman sementara kita berada di sini, ya kan!"

"Kukira maksudmu perjalanan ke Alice Springs dan kunjungan ke Ayers Rock atau Uluru atau apalah namanya sekarang. Bukan terikat di peternakan!"

"Aku tak ingin jadi turis," kata Emily keras kepala, bibir bawahnya mencibir. "Aku ingin mengalami kehidupan yang sesungguhnya di pedalaman, apa ada yang lebih baik daripada tinggal selama beberapa minggu di peternakan?"

Dea bisa saja mengajukan banyak pilihan, sangat banyak malah.

"Ehm, kita tidak punya banyak waktu sebelum kita harus pulang ke London," katanya memberi alasan yang masuk akal. "Masih banyak yang perlu dilihat. Aku benar-benar tidak ingin menghabiskan sisa waktuku dengan tersangkut di tengah antah berantah. Pergilah kalau kau mau, nanti kau kutemui lagi. Toh kita sudah sepakat untuk tidak harus berdua setiap waktu."

"Aku tahu, tapi aku takkan dapat pekerjaan itu kalau kau tidak ikut," rengek Emily. "Mereka membutuhkan dua gadis, dan kalau kau tidak bersamaku, aku tidak mungkin mendapatkan pekerjaan itu."

"Kenapa mereka tidak bisa menerimamu dan mencari satu orang lagi?" tukas Dea.

"Karena peternakan itu sangat luas dan terisolir sehingga mereka tidak mau ambil risiko mempekerjakan dua gadis yang bisa jadi tidak cocok. Rupanya ini properti yang sangat terkenal di Australia." Emily berbinar, mengingat-ingat apa yang telah diceritakan kepadanya. "Ada yang bilang padaku peternakan ini seluas Belgia atau Wales ya? Pokoknya sangat besar deh, dan ada rumah induk tua yang indah... Persis seperti bayanganmu tentang properti pedalaman yang sempurna. Meskipun mereka terbiasa dengan orang yang bekerja hanya sebentar, Nick bilang mereka telah memutuskan kali ini akan mempekerjakan dua orang yang berteman."

"Siapa itu Nick?"

"Nick Sutherland. Dia pemiliknya, orang yang sangat menarik," kata Emily menghela napas penuh angan. "Pirang, kekar, dan berdagu persegi...benar-benar tipeku! Dan kalau kau tidak mau ikut denganku, dengan mudah dia akan mempekerjakan dua gadis lain. Aku tahu banyak orang berebut kesempatan untuk bekerja di tempat seperti Callula Downs," tambahnya dengan lirikan marah pada Dea, yang tidak terpengaruh. Ia sudah terbiasa dengan Emily.

"Mungkin mereka akan menemukan dua gadis yang benar-benar berguna di pedalaman," kata Dea. "Kurasa kita tidak akan banyak berguna buat mereka. Kita sama sekali tidak tahu tentang berkuda atau sapi atau apa pun yang mereka lakukan di sana."

"Mereka tidak membutuhkan gadis magang, mereka sudah punya orang untuk melakukan semua itu. Yang mereka butuhkan adalah koki dan guru pribadi."

"Guru pribadi?" Dea tertawa. "Kau bergurau! Kukira guru pribadi sudah tidak ada lagi sejak era Jane Eyre."

"Yah, aku juga merasa sedikit aneh," aku Emily, "tapi kurasa maksud sebenarnya adalah pengasuh anak, itu saja. Anak perempuan ini baru berumur lima tahun, jadi dia tidak membutuhkan pengajaran yang intensif. Kukira tugas kita lebih banyak mengawasi dan menjaga agar dia tetap senang."

Dea mulai tampak waspada. "Kita tidak tahu apa-apa tentang anak-anak!"

"Ah, pasti tidak sulit," Emily mengibaskan tangannya. "Bacakan beberapa cerita, pastikan dia tidak kehilangan boneka beruangnya...pasti gampang."

"Yah, aku tidak mau berurusan dengan anak itu," kata Dea tegas. "Anak-anak membuatku gugup."

"Tidak masalah. Aku yang akan mengurus bocah itu," Emily menenangkannya. "Kau cukup menjadi koki saja. Kau tahu untuk menyelamatkan hidupku pun aku takkan bisa memasak, sedangkan kau jagonya," ia melanjutkan dengan pujian yang berlebihan. "Saat kubilang pada Nick kau bekerja di katering, dia tampak sangat senang. Dia bilang merekq hampir tidak pernah mendapatkan koki yang berpengalaman dan... Oh, ayolah, Dea, katakan kau mau ikut. Ini sempurna, dan aku tidak bisa melakukannya tanpa kau. Ini menyenangkan."

Bersambung...

Bab 1 Part 2

"Tapi kita juga senang di Sydney," sanggah Dea. "Kita punya pekerjaan, teman, tempat tinggal... Tidak ada yang bisa terjadi di sini kecuali kesenangan. Di peternakan tidak akan seperti ini. Kita akan terikat di rumah dengan seorang anak kecil. Udaranya akan sangat panas dan tidak ada yang bisa dikunjungi atau dilakukan. Kita bahkan tidak tahu cara menunggang kuda!" Ia menggelengkan kepala. "Kau akan membencinya. Aku pasti akan membencinya."

"Sama seperti kau akan membenci Australia?" tukas Emily. "Dulu katamu kau tidak mau pergi dan kau akan merana, dan sekarang kau malah mau menetap di sini. Sudah kubilang kau akan menyukainya, dan aku benar, ya kan?"

Dea harus mengakui hal itu. "Ya," katanya.

"Jadi kenapa kau tidak percaya padaku saat kubilang kau juga akan menyukai pedalaman? Tahu nggak apa masalahmu?" Emily melanjutkan dan Dea menghela napas. Ia tahu ia tidak perlu menjawab karena Emily pasti akan menjawabnya juga.

Benar saja. Emily mencondongkan tubuhnya ke depan, dengan gaya psikolog amatir yang bersemangat. "Ini kesalahan Phil," ujarnya. "Dia menyakitimu sangat dalam sehingga sekarang kau takut mencoba apa pun yang baru."

"Itu tidak benar," Dea mencoba protes, tapi Emily sedang di atas angin dan tidak mau disela.

"Kau tidak punya rasa percaya diri lagi. Begitu ada yang menyarankan sesuatu yang sedikit berbeda, kau mulai mencari-cari alasan. Kau bahkan tidak mau membeli gaun yang kemarin hanya karena gaun itu sedikit lebih pendek daripada yang biasa kau pakai."

"Gaun itu membuatku kelihatan gemuk."

"Kau justru tampak luar biasa, tapi kau tak bisa memakainya, kan? Karena kalau kau tampak luar biasa, beberapa pria mungkin akan tertarik padamu dan kau harus menghadapi risiko untuk terlibat dalam percintaan lagi."

Dea meneguk anggurnya dan menyangkal, "Omong kosong."

"Dan sekarang aku menawarkan kesempatan untuk petualangan serta gairah sementara yang ingin kau lakukan hanyalah berdiam diri dengan aman di tempat kau berada sekarang."

"Aku sudah pernah bertualang." kata Dea, lega karena Emily telah berhenti membicarakan mantan tunangannya. "Aku pergi trekking, kan? Petualangan berarti tidak ada WC, kamar mandi, dan hair dryer, padahal kau tahu aku harus mencuci rambutku setiap pagi."

"Dan itu berarti Callula Downs akan menjadi tempat yang sempurna untukmu," kata Emily mengambil keuntungan. "Di sana lebih mewah daripada tempat tinggal kita sekarang, aku jamin itu. Rumah induk tuanya luar biasa indah, orang membayar mahal untuk bisa pergi dan tinggal di sana. Berada di tempat yang begitu terpencil saja sudah merupakan petualangan, belum lagi bonusnya berupa air panas dan soket untuk mencolokkan hair dryer-mu. Apa lagi yang kau harapkan?"

"Toko, bar, klub, teater, lampu, musik..."

"Kau bisa mendapatkan itu kapan saja. Tapi ini mungkin satu-satunya kesempatan kita untuk pergi ke tempat seperti Callula Downs. Kau tidak bisa melewatkan begitu saja kesempatan yang melintas di hadapanmu. Ambil kesempatan yang ada dan semua keuntungannya."

"Aku nggak tahu..."

"Ini kan tidak untuk selamanya," desak Emily. "Aku yakin Nick akan setuju jika kita bilang kita hanya bisa bekerja satu bulan, kemudian kita bisa menghabiskan waktu dengan jalan-jalan seperti yang sudah kita rencanakan. Kita bisa langsung pergi ke Barrier Reef. Bagaimana menurutmu?"

Dea ragu-ragu, sadar bahwa ia sudah kehabisan argumen. Emily memang seperti itu. Ia terus dan terus mendesak sampai akhirnya lebih mudah untuk menyerah dan mengikuti keinginannya.

Merasa Dea mulai goyah, Emily meningkatkan lagi desakannya, "Tolonglah, Dea. Aku benar-benar ingin pergi. dan aku tidak bisa melakukannya tanpamu. Aku membutuhkanmu... dan aku ada untuk membantumu saat kau membutuhkanku, ya kan?"

Itu benar. Ia telah membantu. Emily-lah yang langsung membantunya saat Phil mengatakan ia akan meninggalkan Dea, dan untuk siapa ia meninggalkannya. Emily-lah yang melakukan segala yang perlu dilakukan, saat Dea tidak berdaya untuk mengerjakan apa pun kecuali meringkuk di sofa, terlalu terluka hingga menangis pun ia tidak bisa.

Dea menghela napas, "Ayolah, Emily, kau bisa melakukan pemerasan perasaan dengan cara yang lebih baik daripada ini. Kenapa tidak sekalian mengeluarkan air mata dan menuduhku menghancurkan hidupmu jika aku tidak setuju?"

"Itu rencana terakhirku," kata Emily tersenyum lebar.

Dea menyerah. "Satu bulan saja," katanya dengan nada memperingatkan. "Aku tidak akan tinggal lebih lama sedetik pun!"

Emily berteriak kegirangan. "Kau memang bintang!" katanya sambil melimpat memeluk Dea. "Aku tahu aku bisa mengandalkanmu. Aku akan menelepon Nick sekarang, dan ya, aku janji akan bilang padanya kita hanya bisa tinggal satu bulan. Tapi aku berani bertaruh apa saja bahwa pada akhir bulan, kau pasti ingin tinggal di sana selamanya!"

# # #

"Rasanya bulan ini akan terasa sangat lama," gerutu Dea, sambil mengeret kopernya ke arah sederetan kursi plastik oranye yang berjajar di sepanjang dinding terminal (istilah yang terlalu "wah") di Bandara Mackinnon. "Kita baru sepuluh menit di sini, tapi aku sudah bosan."

Sepuluh menit itu adalah waktu yang dibutuhkan pesawat untuk mendarat dan menurunkan enam penumpang, mengangkut dua penumpang, dan mengudara lagi. Empat penumpang selain Dea dan Emily telah pergi menuju kota, sementara pria yang mendorong tangga pesawat, menurunkan koper-koper mereka, dan menaikkan dua penumpang ke dalam pesawat, telah menghilang. Dea serta Emily ditinggal sendirian, memandangi pesawat lepas landas ke langit biru yang menyilaukan hingga pesawat itu menghilang di kejauhan.

Dea menjatuhkan dirinya ke salah satu kursi dan menaikkan kaki ke kopernya. "Kau sudah menelepon si Nick Sutherland itu tentang kedatangan kita, kan?"

"Tentu saja," kata Emily. "Aku bilang kapan pesawatnya tiba, dan dia bilang dia akan mengirim seseorang bernama Chase untuk menjemput kita."

"Chase? Nama apa itu?"

"Kurasa itu nama keluarga. Kata Nick, dialah yang menjalankan peternakan, jadi kurasa dia semacam manajer."

Dea mendengus. "Bukan manajer yang efisien jika dia lupa kalau kita akan datang."

"Dia tidak akan lupa. 'Andal' adalah sebutan lain bagi pria ini," kata Emily yakin. "Dia cuma tidak mau terburu-buru."

"Itu sih sudah terbukti!"

Emily mengabaikan sindiran Dea. "Tipe kuat dan pendiam tidak suka memerhatikan jam. Itu yang membuat mereka menarik. Mereka punya seluruh waktu di dunia. Berani taruhan pria ini akan muncul mengenakan kemeja kotak-kotak dan topi koboi. Dia akan mengatakan apa kabar dengan pelan disertai senyum santai, dan tangan yang perlahan..."

Mulai berkeringat, Emily berhenti lalu mengipasi dirinya dengan tiket pesawat. "Aku tidak sabar! Dia pasti kecokelatan dan jangkung, dan sudut matanya pasti berkerut karena dia sering menyipitkan mata, melihat jauh ke cakrawala." Mata Emily menyipit karena berpikir. "Mungkin dia agak pemalu, tapi dia bisa populer, karena caranya mengendalikan kuda, dan jangan biarkan aku cerita tentang apa yang bisa dia lakukan dengan ****...! Dia bisa menjeratku kapan saja!"

Bersambung...

Bab 1 Part 3

Mau tak mau Dea tertawa mendengar kehidupan khayalan temannya yang penuh imajinasi. "Jangan-jangan kau membayangkan koboi?" katanya. "Dalam hal ini, kau ada di negara yang salah."

"Pria yang sama, beda topi," tegas Emily. "Di Amerika, koboi memakai topi yang tepinya melengkung, tetapi pekerja peternakan Australia memakai Akubra."

"Memakai apa?"

"Seperti topi koboi, tapi tidak terlalu melengkung."

Dea yakin Emily tidak tahu-menahu soal itu, tapi pedalaman mengajarkan, tidak ada gunanya ia berdebat dengan Emily.

Sebaliknya ia berkata, "Aku kaget kau tidak membawa topi untuk dipakai bersama setelanmu." Diamatinya jins Emily yang masih baru, kemeja biru kota-kotaknya (tampak jelas sengaja disesuaikan dengan warna matanya), dan scarf leher merah berbintik putih. "Aku tidak tahu kita harus berdandan secara khusus. Kalau sebelumnya kau bilang, aku pasti bawa topi Stetson dan jaket berumbai."

Emily mengibaskan rambut keriting pirangnya. "Kau boleh saja mengejek, tapi setidaknya pakaianku pantas, tidak seperti beberapa orang yang bisa kusebutkan namanya. Aku tidak percaya kau memakai gaun dan sepatu konyol itu!"

"Kau suka sepatu ini," kata Dea, memutar pergelangan kakinya agar ia bisa mengagumi sepatunya. Benda ini tidak pantas disebut sepatu. Kata sepatu terlalu sederhana untuk sebuah fantasi di tumit. "Kau marah kan, saat mereka bilang tidak punya ukuranmu."

"Itu kan di Sydney. Aku siap mengakui hal itu dalam konteks yang sesuai. Sepatu itu memang luar biasa, tapi tampak sangat konyol di sini. Aku tidak mengerti, setidaknya kau kan bisa pakai jins," gerutu Emily. "Nanti kau kelihatan seperti tidak tahu apa-apa tentang pedalaman, dan aku akan disamakan denganmu."

"Aku tidak suka bepergian pakai jins. Sudahlah, toh si Nick-mu ini tidak mengharuskan kita pakai seragam. Dia mempekerjakanku untuk memasak, bukan untuk duduk-duduk di sekitar pagar dengan penampilan seperti di film koboi."

"Yah, jangan salahkan aku kalau ternyata si Chase ini adalah pria tampan yang tidak tertarik padamu karena mengira kau gadis kota sejati," kata Emily dengan nada tidak mau terlibat dalam masalah ini. "Kau bakalan mengertakkan gigi sambil mengutuki hak tinggimu, sementara aku di luar sana mempelajari betapa lihainya dia menggunakan tangannya."

"Aku tidak peduli seberapa menariknya dia. Aku hanya berharap dia muncul." Sambil mengayunkan kakinya turun dari koper, Dea berdiri dan berjalan mondar-mandir dengan tidak sabar di terminal.

Kegiatan ini tidak membutuhkan waktu lama. Terminal ini tidak lebih dari sebuah pondok dengan pintu kaca yang menghadap landasan. Dua pesawat bermesin tunggal parkir di satu sisi, dekat tangki air, dan bendera penunjuk arah angin tergantung lemas di tiangnya. Langit biru semata, meski terlindung dalam kenyamanan penyejuk udara di terminal, Dea bisa merasakan panas yang menyengat di luar. Di seberang landasan tidak ada apa-apa, hanya hamparan tanah datar yang di sana-sini ditumbuhi rumput spinifex dan berujung pada cakrawala yang tampak berpendar. Sejauh-jauh mata memandang, hanya itu yang tampak. Dea jemu sekali tadi, terbang sejauh ratusan mil di atas pemandangan yang sama dan tidak berubah sedikit pun. Daerah ini memang luar biasa membosankan. Ia tidak mengerti mengapa Emily begitu antusias datang kemari.

Seekor lalat mendengung di kaca, tapi selain suara itu kesunyian sangat terasa. Dea menghela napas dan melihat jamnya kembali.

"Barangkali Nick Siapanamanyaitu berubah pikiran dan mempekerjakan orang lain," kata Dea penuh harap.

"Namanya Nick Sutherland, dan aku yakin dia tidak akan melakukan hal itu," Emily segera membela Nick. "Dia kedengarannya sangat senang ketika aku menelepon dan memberitahunya bahwa kau akan ikut. Sayang waktu itu kau tidak bertemu dengannya. Dia tampan dan baik, kita tahu itu kombinasi yang jarang ada."

"Kalau dia memang baik, kenapa bukan dia yang menjemput kita?"

"Dia tidak di sini." Emily sepertinya kecewa. "Istrinya bekerja di luar negeri dan dia akan menemaninya. Itu sebabnya mereka butuh seseorang untuk mengasuh anak di peternakan."

"Istri?" Dea menggelengkan kepala, pura-pura bersimpati. "Pasti cukup mengejutkan saat kau tahu tentang istrinya!"

Emily menghela napas. "Begitulah... Tapi dia memang agak terlalu tua buatku. Dan dia menyebut-nyebut saudara laki-lakinya," ia menambahkan.

"Adik laki-laki?"

"Kukira begitu?"

"Sudah menikah?"

"Belum. Aku yakin Nick mengatakan adiknya belum menikah."

Segalanya sekarang menjadi jelas bagi Dea.

"Namanya?"

"Aku tidak tahu," sesal Emily. "Aku tidak bisa terlalu banyak bertanya. Aku tidak mau terkesan terlalu terang-terangan, dan Nick juga tidak banyak bicara. Hanya bahwa adiknya akan mengawasi segalanya. Aku menangkap kesan, adiknya mungkin punya properti sendiri."

"Sayang. Agak sia-sia setelan gadis koboimu jika Nick bahkan tidak ada di sana."

"Yah, kan masih ada si Chase. Aku tahu manajer tidak sama dengan pemilik, tapi aku berani bertaruh dia juga menarik."

"Dia mungkin sudah menikah."

"Kukira tidak. Pria-pria ini jarang keluar," kata Emily penuh harap. "Sejak dulu aku kepingin punya hubungan yang membara dengan tipe peternak yang kuat dan pendiam. Nah, kalau beruntung, kita bisa mendapatkan si adik dan si manajer, jadi masing-masing dapat satu."

"Terima kasih, tapi aku selalu beranggapan daya tarik tipe kuat dan pendiam itu terlalu dibesar-besarkan. Aku suka pria yang bisa berbicara tentang sesuatu yang lebih luas daripada sapi. Aku akan keluar untuk melihat apa ada tanda-tanda kedatangannya."

Sambil menurunkan kacamata hitam dari puncak kepala ke hidungnya, Dea mendorong pintu hingga terbuka. Udara panas menerpanya, dab bahkan di balik kacamata hitamnya ia tetap harus membiasakan matanya terhadap kesilauan.

Setidaknya kita pasti melihat siapa pun yang lewat dijalanan seperti ini, pikirnya sambil menyipitkan mata ke satu arah dan kemudian ke arah lainnya di sepanjang jalan yang benar-benar lurus dan kosong. Ia berharap salah satu sosok fantasi Emily akan muncul segera, karena satu-satunya kemungkinan yang tersisa adalah berjalan kaki ke kota, dan perjalanan itu tampak sangat jauh.

Sangat melegakan kembali ke ruangan ber-AC, tetapi kedua gadis itu segera merasa bosan dan sebal. Bergantian mereka keluar dan memeriksa jalan, tetapi selama satu setengah jam hanya ada tiga trailer pengangkut ternak yang lewat.

Akhirnya Dea teringat akan majalah Cosmopolitan di kopernya, dan ia baru saja tenggelam dalam artikel tentang kenikmatan kehidupan kota besar saat suara berderu membuat mereka menengok ke atas.

Sebuah pesawat kecil dengan sayap yang seolah-olah melekat pada pipa panjang turun dengan ringan di landasan dan bergerak menuju terminal sementara baling-balingnya masih berputar. Kedua gadis mengawasi pesawat itu berhenti, baling-balingnya melambat dan berhenti perlahan, kemudian seorang pria melompat turun dan bergerak menuju terminal dengan tergesa-gesa.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!