Mau tak mau Dea tertawa mendengar kehidupan khayalan temannya yang penuh imajinasi. "Jangan-jangan kau membayangkan koboi?" katanya. "Dalam hal ini, kau ada di negara yang salah."
"Pria yang sama, beda topi," tegas Emily. "Di Amerika, koboi memakai topi yang tepinya melengkung, tetapi pekerja peternakan Australia memakai Akubra."
"Memakai apa?"
"Seperti topi koboi, tapi tidak terlalu melengkung."
Dea yakin Emily tidak tahu-menahu soal itu, tapi pedalaman mengajarkan, tidak ada gunanya ia berdebat dengan Emily.
Sebaliknya ia berkata, "Aku kaget kau tidak membawa topi untuk dipakai bersama setelanmu." Diamatinya jins Emily yang masih baru, kemeja biru kota-kotaknya (tampak jelas sengaja disesuaikan dengan warna matanya), dan scarf leher merah berbintik putih. "Aku tidak tahu kita harus berdandan secara khusus. Kalau sebelumnya kau bilang, aku pasti bawa topi Stetson dan jaket berumbai."
Emily mengibaskan rambut keriting pirangnya. "Kau boleh saja mengejek, tapi setidaknya pakaianku pantas, tidak seperti beberapa orang yang bisa kusebutkan namanya. Aku tidak percaya kau memakai gaun dan sepatu konyol itu!"
"Kau suka sepatu ini," kata Dea, memutar pergelangan kakinya agar ia bisa mengagumi sepatunya. Benda ini tidak pantas disebut sepatu. Kata sepatu terlalu sederhana untuk sebuah fantasi di tumit. "Kau marah kan, saat mereka bilang tidak punya ukuranmu."
"Itu kan di Sydney. Aku siap mengakui hal itu dalam konteks yang sesuai. Sepatu itu memang luar biasa, tapi tampak sangat konyol di sini. Aku tidak mengerti, setidaknya kau kan bisa pakai jins," gerutu Emily. "Nanti kau kelihatan seperti tidak tahu apa-apa tentang pedalaman, dan aku akan disamakan denganmu."
"Aku tidak suka bepergian pakai jins. Sudahlah, toh si Nick-mu ini tidak mengharuskan kita pakai seragam. Dia mempekerjakanku untuk memasak, bukan untuk duduk-duduk di sekitar pagar dengan penampilan seperti di film koboi."
"Yah, jangan salahkan aku kalau ternyata si Chase ini adalah pria tampan yang tidak tertarik padamu karena mengira kau gadis kota sejati," kata Emily dengan nada tidak mau terlibat dalam masalah ini. "Kau bakalan mengertakkan gigi sambil mengutuki hak tinggimu, sementara aku di luar sana mempelajari betapa lihainya dia menggunakan tangannya."
"Aku tidak peduli seberapa menariknya dia. Aku hanya berharap dia muncul." Sambil mengayunkan kakinya turun dari koper, Dea berdiri dan berjalan mondar-mandir dengan tidak sabar di terminal.
Kegiatan ini tidak membutuhkan waktu lama. Terminal ini tidak lebih dari sebuah pondok dengan pintu kaca yang menghadap landasan. Dua pesawat bermesin tunggal parkir di satu sisi, dekat tangki air, dan bendera penunjuk arah angin tergantung lemas di tiangnya. Langit biru semata, meski terlindung dalam kenyamanan penyejuk udara di terminal, Dea bisa merasakan panas yang menyengat di luar. Di seberang landasan tidak ada apa-apa, hanya hamparan tanah datar yang di sana-sini ditumbuhi rumput spinifex dan berujung pada cakrawala yang tampak berpendar. Sejauh-jauh mata memandang, hanya itu yang tampak. Dea jemu sekali tadi, terbang sejauh ratusan mil di atas pemandangan yang sama dan tidak berubah sedikit pun. Daerah ini memang luar biasa membosankan. Ia tidak mengerti mengapa Emily begitu antusias datang kemari.
Seekor lalat mendengung di kaca, tapi selain suara itu kesunyian sangat terasa. Dea menghela napas dan melihat jamnya kembali.
"Barangkali Nick Siapanamanyaitu berubah pikiran dan mempekerjakan orang lain," kata Dea penuh harap.
"Namanya Nick Sutherland, dan aku yakin dia tidak akan melakukan hal itu," Emily segera membela Nick. "Dia kedengarannya sangat senang ketika aku menelepon dan memberitahunya bahwa kau akan ikut. Sayang waktu itu kau tidak bertemu dengannya. Dia tampan dan baik, kita tahu itu kombinasi yang jarang ada."
"Kalau dia memang baik, kenapa bukan dia yang menjemput kita?"
"Dia tidak di sini." Emily sepertinya kecewa. "Istrinya bekerja di luar negeri dan dia akan menemaninya. Itu sebabnya mereka butuh seseorang untuk mengasuh anak di peternakan."
"Istri?" Dea menggelengkan kepala, pura-pura bersimpati. "Pasti cukup mengejutkan saat kau tahu tentang istrinya!"
Emily menghela napas. "Begitulah... Tapi dia memang agak terlalu tua buatku. Dan dia menyebut-nyebut saudara laki-lakinya," ia menambahkan.
"Adik laki-laki?"
"Kukira begitu?"
"Sudah menikah?"
"Belum. Aku yakin Nick mengatakan adiknya belum menikah."
Segalanya sekarang menjadi jelas bagi Dea.
"Namanya?"
"Aku tidak tahu," sesal Emily. "Aku tidak bisa terlalu banyak bertanya. Aku tidak mau terkesan terlalu terang-terangan, dan Nick juga tidak banyak bicara. Hanya bahwa adiknya akan mengawasi segalanya. Aku menangkap kesan, adiknya mungkin punya properti sendiri."
"Sayang. Agak sia-sia setelan gadis koboimu jika Nick bahkan tidak ada di sana."
"Yah, kan masih ada si Chase. Aku tahu manajer tidak sama dengan pemilik, tapi aku berani bertaruh dia juga menarik."
"Dia mungkin sudah menikah."
"Kukira tidak. Pria-pria ini jarang keluar," kata Emily penuh harap. "Sejak dulu aku kepingin punya hubungan yang membara dengan tipe peternak yang kuat dan pendiam. Nah, kalau beruntung, kita bisa mendapatkan si adik dan si manajer, jadi masing-masing dapat satu."
"Terima kasih, tapi aku selalu beranggapan daya tarik tipe kuat dan pendiam itu terlalu dibesar-besarkan. Aku suka pria yang bisa berbicara tentang sesuatu yang lebih luas daripada sapi. Aku akan keluar untuk melihat apa ada tanda-tanda kedatangannya."
Sambil menurunkan kacamata hitam dari puncak kepala ke hidungnya, Dea mendorong pintu hingga terbuka. Udara panas menerpanya, dab bahkan di balik kacamata hitamnya ia tetap harus membiasakan matanya terhadap kesilauan.
Setidaknya kita pasti melihat siapa pun yang lewat dijalanan seperti ini, pikirnya sambil menyipitkan mata ke satu arah dan kemudian ke arah lainnya di sepanjang jalan yang benar-benar lurus dan kosong. Ia berharap salah satu sosok fantasi Emily akan muncul segera, karena satu-satunya kemungkinan yang tersisa adalah berjalan kaki ke kota, dan perjalanan itu tampak sangat jauh.
Sangat melegakan kembali ke ruangan ber-AC, tetapi kedua gadis itu segera merasa bosan dan sebal. Bergantian mereka keluar dan memeriksa jalan, tetapi selama satu setengah jam hanya ada tiga trailer pengangkut ternak yang lewat.
Akhirnya Dea teringat akan majalah Cosmopolitan di kopernya, dan ia baru saja tenggelam dalam artikel tentang kenikmatan kehidupan kota besar saat suara berderu membuat mereka menengok ke atas.
Sebuah pesawat kecil dengan sayap yang seolah-olah melekat pada pipa panjang turun dengan ringan di landasan dan bergerak menuju terminal sementara baling-balingnya masih berputar. Kedua gadis mengawasi pesawat itu berhenti, baling-balingnya melambat dan berhenti perlahan, kemudian seorang pria melompat turun dan bergerak menuju terminal dengan tergesa-gesa.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments